Home / Romansa / AMPLOP LEBARAN / NAFKAH ADIK IPAR

Share

NAFKAH ADIK IPAR

Author: El Furinji
last update Last Updated: 2023-06-05 15:31:47

4.

 

Pada akhirnya, Lina dan Anggi tak jadi pergi. Keduanya ikut memasak meski hanya setengah hati. Sementara Vita merasa lega karena tak diperlakukan seperti pembantu.

 

Terkadang, dibutuhkan sedikit keberanian agar tak terus disepelekan. Jangan biarkan harga diri diinjak-injak hanya karena miskin.

 

Selepas Asyar, tamu undangan sudah mulai berdatangan. Dengan penuh semangat Agung menyambut para tetangga. Dia sudah tak sabar untuk memamerkan kalau dirinya telah menjadi orang sukses.

 

Setelah semua berkumpul, acara dimulai.

 

“Silakan Pak Haji, mohon didoakan ini selamatanku,” ucap Agung pada lelaki berkopiah putih di sebelahnya.

 

“Memangnya selamatan apa?” Lelaki itu bertanya balik.

 

“Begini, Pak Haji. Aku baru saja membeli mobil baru. Harganya 300 juta lebih,”

 

Sengaja Agung menyebutkan nominal agar para tetangga tahu harga mobilnya.

 

“Wah ... hebat kamu, Gung! Sekarang sudah sukses,” puji salah satu tetangga.

 

“Iya. Uangmu pasti banyak. Tiap mudik selalu ganti mobil,” puji yang lain.

 

“Alhamdulillah, Bapak-bapak. Ini berkat keseriusanku dalam bekerja. Kalau ada yang jual sawah, aku juga mau beli.” Agung tersenyum bangga sebab dirinya dibanjiri pujian.

 

“Iya. Mas Agung pasti berani bayar lebih mahal kalau ada yang jual tanah,” imbuh Dimas.

 

Para tetangga juga ikut memuji Dimas yang telah menjadi ASN. Di kampung tempat tinggal mereka, pekerjaan Dimas sesuatu yang istimewa. Dari hampir 2.000 penduduk, yang berprofesi sebagai ASN bisa dihitung dengan jari.

 

Tak lama kemudian, terdengar suara Pak Haji berdehem. Ini menjadi pertanda kalau doa akan segera di mulai. Seketika semua diam, bersiap mengamini.

 

***

 

Sekitar pukul lima sore, acara sudah selesai. Semua tamu undangan pulang, menyisakan Bu Aminah sekeluarga. Vita yang merasa pekerjaannya sudah selesai langsung pamit pulang.

 

“Loh ... kamu enggak nginep lagi, Vit?” tanya sang Ibu.

 

“Enggak, Bu! Nanti rumahnya kosong terus,”

 

“Kenapa buru-buru pulang, Vit! Kan gelas dan piring belum pada di cuci,” celetuk Linda.

 

Vita menoleh pada kakak iparnya. Sebelumnya dia sudah menduga kalau Linda bakalan bicara seperti itu.

 

“Maaf, Mbak! Aku harus pulang. Lagian kan masih ada kamu dan Mbak Anggi. Cucian segitu paling sebentar juga kelar,” ucap Vita.

 

Anggi dan Linda mendengkus kesal, tapi tak bisa berbuat banyak. Sekarang Vita semakin susah kalau dimintai bantuan.

 

“Ya sudah kalau begitu. Hati-hati di jalan. Kamu sudah bawa nasi sama lauknya kan?” tanya Bu Aminah.

 

“Widih ... Enak betul jadi kamu, Vit. Datang tangan kosong, pulang bawa banyak. Kalau sering-sering begini bisa hancur bandar.”

 

Sebelum sempat Vita menjawab pertanyaan Ibunya, Linda lebih dulu menyindir.

 

“Maaf, Mbak! Aku pulang enggak bawa apa-apa kok! Jangan pikir karena aku miskin jadi rakus gratisan. Kamu salah menilaiku, Mbak!”

 

Kalimat Vita terdengar dingin. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Dia semakin berani menyangkal hal-hal yang tidak sesuai kenyataan.

 

Detik berikutnya, perempuan berhijab itu melangkah ke luar rumah. Lalu segera meluncur pergi bersama anak semata wayangnya.  

 

 

Vita menghentikan motor di halaman rumah. Pandangannya langsung tertuju pada sosok lelaki yang sedang duduk di bangku teras. Sesaat lelaki itu menoleh dan melempar senyum. Vita membalas dengan senyum yang sama lalu mendekat padanya.

 

“Kamu, Don! Sudah lama? Maaf tadi aku dari rumah Ibu,” cerocos Vita sembari mengulurkan tangan.

 

“Belum kok, Mbak! Paling satu jam.” Doni meraih tangan kakak iparnya dan menyalami.

 

Vita menurunkan Kesya dari gendongan, membiarkan anak itu dibopong adik iparnya, sementara dia mengeluarkan anak kunci lalu membuka pintu.

 

“Masuk, Don!”

 

Lelaki itu mengangguk. Kemudian masuk ke dalam sambil terus membopong Kesya. Dia memang sangat menyayangi keponakannya.

 

“Mau minum apa? Teh atau ...”

 

“Enggak usah, Mbak! Aku cuma sebentar kok,”

 

Kemudian Vita duduk di sofa, berhadapan dengan tamunya.

 

Doni mengambil dompet, membuka lalu mengeluarkan amplop dari dalam. Diletakkan benda tipis itu di atas meja, persis di depan Vita.

 

“Ini buat jajan Kesya, Mbak,”

 

Vita tertegun menatap amplop di depannya. Nyaris setiap bulan Doni memberinya uang, padahal Bagas yang seharusnya memberi nafkah jarang melakukannya.

 

“Duh ... gimana ya, Don! Aku kok jadi enggak enak kalau tiap bulan kamu kasih uang terus,”

 

Walaupun hidup serba pas-pasan, Vita bukan tipe orang yang silau saat melihat uang. Dia lebih senang mencari sendiri ketimbang di kasih. Meski tak banyak, usaha sayur matang yang digelutinya masih cukup jika sekedar untuk makan dia dan Kesya.

 

“Enggak apa-apa kok, Mbak! Lagian Mas Bagas kan enggak pernah kasih uang. Aku tak ingin keponakanku kelaparan. Maafkan Mas Bagas ya, Mbak!”

 

Terdengar lirih, tapi menyayat hati. Doni yang lebih muda saja begitu peduli dengan Kesya, sedangkan Bagas malah abai dengan darah dagingnya. Jarang sekali memberi uang pada Vita, makanya saat Bagas merantau, Vita tak begitu kaget.

 

Sebenarnya perekonomian Vita justru sedikit membaik setelah Bagas merantau. Bukan karena dikirim uang, melainkan dia bisa lebih berhemat karena tak ada lagi yang meminta uang untuk membeli rokok.

 

Gemetar tangan Vita mengambil amplop tersebut. Tak banyak yang bisa dia ucapkan selain kata terima kasih .

 

“Ya sudah kalau begitu, aku pulang dulu, Mbak! Kalau butuh sesuatu, bilang saja sama aku atau Mbak Arum. Insya Alloh kami siap membantu,” pamit Doni.

 

Vita tersenyum penuh haru. Kelopak matanya telah dibanjiri bulir bening yang siap meleleh kapan saja. Hatinya terenyuh dengan perlakuan adik iparnya. Jika saja Bagas bersikap seperti Doi, Sudah barang tentu Vita akan bahagia.

 

“Loh ... kenapa menangis, Mbak?”

 

Dengan kening berkerut, Doni menatap lekat wajah kakak iparnya yang sudah dibanjiri air mata. Sama sekali dia tak mengerti kenapa Vita menangis.

 

“Enggak apa-apa kok.”

 

Vita meraih ujung jilbab lalu menyeka sudut mata. Memaksakan senyum walau hanya membentuk lengkung patah. Hatinya begitu tersentuh dengan kebaikan semua keluarga suami.

 

“Ya sudah kalau begitu, aku pulang dulu ya, Mbak!” ulang Doni.

 

Vita mengangguk lalu mengantar adik iparnya sampai ke teras. Tak butuh waktu lama, Doni sudah berada di atas motor dan segera beranjak pergi, sementara Vita mematung di depan teras sembari menatap punggung adik iparnya yang semakin menjauh.

 

“Ah ... andai saja Mas Bagas sosok lelaki yang bertanggung jawab seperti Doni,” Vita menggumam lirih.

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AMPLOP LEBARAN   BAHAGIA

    Azam berjalan pelan meninggalkan pekarangan rumah itu. Langkahnya terasa ringan, sebab semua beban di hati sirna setelah bertemu Vita. Soal kata maaf, dia tak terlalu banyak berharap. Semua kesalahan yang dilakukan sudah teramat fatal. Baginya, yang terpenting sudah menunjukkan itikad baik dengan meminta maaf. Di teras, Arsyi menunggu sang pemilik rumah kembali. Ia langsung bangkit saat melihat Azam melenggang ke arahnya. “Bagaimana, Mas?” Arsyi langsung menyambut dengan pertanyaan. Azam meletakkan bokong di kursi teras, diikuti Arsyi yang duduk di tempat semula. Lelaki itu menarik nafas panjang lalu membuang perlahan. Lega setelah hampir tiga hari batinnya bergolak. “Aku sudah meminta maaf,” sahut Azam. “Syukurlah ... apa Mbak Vita memaafkanmu?” Lelaki itu mengendikan bahu, bingung karena saat dia pergi belum terdengar kata maaf dari Vita. “Entah.” “Enggak apa-apa, Mas! Yang penting kamu sudah berusaha menjadi lebih baik. Aku bangga padamu,” ujar Vita kemudian. Sesaat Azam m

  • AMPLOP LEBARAN   MAAF

    Bu Aminah gelisah mendapati anak bungsunya masih belum juga keluar kamar meski matahari sudah sepenggalah. Biasanya, setiap hari Vita selalu bangun pagi untuk menyiapkan dagangan. Kalaupun libur tak jualan, dia tetap bangun pagi lalu menemani Kesya-anaknya. Namun, kali ini ada sesuatu yang mengganjal. Sejak tadi malam pulang dini hari, sama sekali Vita tak menunjukkan batang hidung meski Kesya sudah berlarian sejak pagi. Khawatir terjadi sesuatu yang buruk menimpa, Bu Aminah berinisiatif mengetuk pintu kamar Vita. Nihil. Tak ada sahutan dari dalam. Lalu, perempuan paruh baya itu memberanikan diri memutar gagang pintu. Dia bernafas lega saat melihat anaknya baik-baik saja. Namun, ada sesuatu yang beda. Tak biasanya Vita melangut di sudut ranjang sambil memeluk lutut. Bu Aminah mendekat lalu duduk di tepian ranjang. “Kamu kenapa, Vit? Kok sejak tadi enggak keluar?” tanyanya kemudian. Sama sekali ucapan sang Ibu tak membuat Vita menyahut, atau sekedar menoleh. Perempuan itu masih s

  • AMPLOP LEBARAN   PETAKA

    Azam semringah saat perempuan yang sedang ditunggu muncul di halaman rumah. Seketika dia bangkit menyambut Vita yang mengenakan daster longgar khas ibu rumah tangga. “Akhirnya kamu datang juga, Mbak!” ujar Azam saat perempuan itu telah berada di depannya. Vita memasang senyum. Sebuah senyum tulus untuk seorang sahabat, bukan kekasih. “Ayo masuk, Mbak!” Azam membuka pintu lalu mendahului masuk, sementara Vita mengekori di belakang. “Enggak usah di tutup pintunya, Mbak!” perintah Azam saat Vita hendak menutup pintu. “Loh .... kenapa? Ini kan sudah malam?” “Enggak apa-apa. Biar enggak jadi fitnah karena kita berduaan di dalam rumah,” Vita bernafas lega karena ternyata lelaki yang didatangi masih berpikir waras. Lalu, mereka duduk saling hadap, terhalang meja yang berisi dua piring nasi goreng, juga dua gelas air putih. Vita mengedarkan pandangan ke sekeliling. Suasana tampak lengang, nyaris tanpa suara terdengar selain bunyi kendaraan yang berlalu lalang di depan sana. “Bapak

  • AMPLOP LEBARAN   PERMINTAAN TERAKHIR

    “Terima kasih ya, Dek! Kamu sudah mau menemaniku,” ucap Doni saat mereka baru pulang dari Dokter Urologi. Menurut hasil diagnosa, Doni ditengarai kekurangan hormon testosteron, dan untuk penanganan awal dia diberi suntikan hormon serupa. Selain itu, Doni juga disarankan banyak mengonsumsi makanan berprotein tinggi seperti daging sapi, telur ataupun ikan jenis Tuna dan Salmon. Vita juga dihimbau untuk menjaga suasana hati calon pasangannya agar tak sampai stres berlebihan. Karena biar bagaimanapun tingkat stres yang tinggi turut memberi andil bagi masalah yang tengah Doni hadapi. “Enggak harus berterima kasih, Mas! Ini juga demi kebahagiaan kita,” sahut Vita disertai senyum tulus.“Tapi bagaimana kalau nanti aku tak kunjung sembuh?” Buru-buru Vita mendesis lalu menempelkan jemari telunjuk di bibir calon suaminya. Dia tak ingin Doni terbebani dengan masalah itu yang tentu saja akan membuatnya stres. “Kamu pasti sembuh, Mas!” Tersenyum penuh arti, batin Doni bersyukur memiliki cal

  • AMPLOP LEBARAN   100 juta (lunas)

    Benar adanya jika roda kehidupan itu berputar. Setelah semua perih dialami, setelah perjuangan yang seakan tak terhenti, hari ini kebahagiaan datang mengganti. Sempat Vita merasa trauma dengan kegagalan pada pernikahan pertama. Sempat pula berpikir untuk selamanya menjadi orang tua tunggal. Namun, sosok Doni yang kembali masuk dalam hidupnya seakan membangkitkan gairah cinta yang padam. Lelaki itu berhasil memberi warna baru dalam hidup. Perhatiannya, ketulusannya, semua membuat Vita merasa berarti. Perempuan pemilik nama lengkap Novita Anggraeni itu tersenyum simpul memerhatikan penampilan dari balik cermin. Demi terlihat anggun di acara lamaran, dia memadukan maxi dress putih dengan pashmina cokelat nude. Tambahan mini belt di pinggang semakin mempertegas bahwa ibu satu anak itu memiliki tubuh langsing. Jantung Vita berdebar-debar menunggu kedatangan keluarga Doni yang akan melamar. Meski ini bukan yang pertama, tapi efek yang ditimbulkan justru lebih kentara, sebab lelaki yang

  • AMPLOP LEBARAN   JANJI

    “Sampai kapan kamu akan menyiksa diri seperti ini, Don?” tanya Arum saat mereka sedang duduk berdua. “Menyiksa bagaimana, Mbak?” Meski sebenarnya paham akan arah pembicaraan kakaknya, Doni masih bersikeras pura-pura tak mengerti. “Sudahlah, Don! Jangan seperti anak kecil. Kami semua tahu sejak dulu kamu mencintai Vita. Dia juga begitu. Lalu kenapa kamu malah seperti ini?” Doni terdiam. Bayangan sosok perempuan itu langsung melintas di kepala hanya dengan mendengar namanya saja. Tak dipungkiri semua itu benar, hanya saja masih ragu sebab keadaan yang dialami. Bagi seorang Doni, cinta itu bukan sekedar bersama. Percuma saja terjalin hubungan jika pada akhirnya harus saling menyakiti. “Kamu sudah tahu alasannya kan, Mbak!” sahutnya datar. “Ya. Aku tahu. Aku mengerti perasaanmu. Tapi bukan berarti kamu harus menyerah. Aku yakin kamu bisa sembuh, Don. Apalagi Vita juga mau menerima kekuranganmu. Kamu harus semangat!” Menyuntikan mental pada adiknya, Arum terus memberi wejangan. Di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status