Share

NAFKAH ADIK IPAR

4.

 

Pada akhirnya, Lina dan Anggi tak jadi pergi. Keduanya ikut memasak meski hanya setengah hati. Sementara Vita merasa lega karena tak diperlakukan seperti pembantu.

 

Terkadang, dibutuhkan sedikit keberanian agar tak terus disepelekan. Jangan biarkan harga diri diinjak-injak hanya karena miskin.

 

Selepas Asyar, tamu undangan sudah mulai berdatangan. Dengan penuh semangat Agung menyambut para tetangga. Dia sudah tak sabar untuk memamerkan kalau dirinya telah menjadi orang sukses.

 

Setelah semua berkumpul, acara dimulai.

 

“Silakan Pak Haji, mohon didoakan ini selamatanku,” ucap Agung pada lelaki berkopiah putih di sebelahnya.

 

“Memangnya selamatan apa?” Lelaki itu bertanya balik.

 

“Begini, Pak Haji. Aku baru saja membeli mobil baru. Harganya 300 juta lebih,”

 

Sengaja Agung menyebutkan nominal agar para tetangga tahu harga mobilnya.

 

“Wah ... hebat kamu, Gung! Sekarang sudah sukses,” puji salah satu tetangga.

 

“Iya. Uangmu pasti banyak. Tiap mudik selalu ganti mobil,” puji yang lain.

 

“Alhamdulillah, Bapak-bapak. Ini berkat keseriusanku dalam bekerja. Kalau ada yang jual sawah, aku juga mau beli.” Agung tersenyum bangga sebab dirinya dibanjiri pujian.

 

“Iya. Mas Agung pasti berani bayar lebih mahal kalau ada yang jual tanah,” imbuh Dimas.

 

Para tetangga juga ikut memuji Dimas yang telah menjadi ASN. Di kampung tempat tinggal mereka, pekerjaan Dimas sesuatu yang istimewa. Dari hampir 2.000 penduduk, yang berprofesi sebagai ASN bisa dihitung dengan jari.

 

Tak lama kemudian, terdengar suara Pak Haji berdehem. Ini menjadi pertanda kalau doa akan segera di mulai. Seketika semua diam, bersiap mengamini.

 

***

 

Sekitar pukul lima sore, acara sudah selesai. Semua tamu undangan pulang, menyisakan Bu Aminah sekeluarga. Vita yang merasa pekerjaannya sudah selesai langsung pamit pulang.

 

“Loh ... kamu enggak nginep lagi, Vit?” tanya sang Ibu.

 

“Enggak, Bu! Nanti rumahnya kosong terus,”

 

“Kenapa buru-buru pulang, Vit! Kan gelas dan piring belum pada di cuci,” celetuk Linda.

 

Vita menoleh pada kakak iparnya. Sebelumnya dia sudah menduga kalau Linda bakalan bicara seperti itu.

 

“Maaf, Mbak! Aku harus pulang. Lagian kan masih ada kamu dan Mbak Anggi. Cucian segitu paling sebentar juga kelar,” ucap Vita.

 

Anggi dan Linda mendengkus kesal, tapi tak bisa berbuat banyak. Sekarang Vita semakin susah kalau dimintai bantuan.

 

“Ya sudah kalau begitu. Hati-hati di jalan. Kamu sudah bawa nasi sama lauknya kan?” tanya Bu Aminah.

 

“Widih ... Enak betul jadi kamu, Vit. Datang tangan kosong, pulang bawa banyak. Kalau sering-sering begini bisa hancur bandar.”

 

Sebelum sempat Vita menjawab pertanyaan Ibunya, Linda lebih dulu menyindir.

 

“Maaf, Mbak! Aku pulang enggak bawa apa-apa kok! Jangan pikir karena aku miskin jadi rakus gratisan. Kamu salah menilaiku, Mbak!”

 

Kalimat Vita terdengar dingin. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Dia semakin berani menyangkal hal-hal yang tidak sesuai kenyataan.

 

Detik berikutnya, perempuan berhijab itu melangkah ke luar rumah. Lalu segera meluncur pergi bersama anak semata wayangnya.  

 

 

Vita menghentikan motor di halaman rumah. Pandangannya langsung tertuju pada sosok lelaki yang sedang duduk di bangku teras. Sesaat lelaki itu menoleh dan melempar senyum. Vita membalas dengan senyum yang sama lalu mendekat padanya.

 

“Kamu, Don! Sudah lama? Maaf tadi aku dari rumah Ibu,” cerocos Vita sembari mengulurkan tangan.

 

“Belum kok, Mbak! Paling satu jam.” Doni meraih tangan kakak iparnya dan menyalami.

 

Vita menurunkan Kesya dari gendongan, membiarkan anak itu dibopong adik iparnya, sementara dia mengeluarkan anak kunci lalu membuka pintu.

 

“Masuk, Don!”

 

Lelaki itu mengangguk. Kemudian masuk ke dalam sambil terus membopong Kesya. Dia memang sangat menyayangi keponakannya.

 

“Mau minum apa? Teh atau ...”

 

“Enggak usah, Mbak! Aku cuma sebentar kok,”

 

Kemudian Vita duduk di sofa, berhadapan dengan tamunya.

 

Doni mengambil dompet, membuka lalu mengeluarkan amplop dari dalam. Diletakkan benda tipis itu di atas meja, persis di depan Vita.

 

“Ini buat jajan Kesya, Mbak,”

 

Vita tertegun menatap amplop di depannya. Nyaris setiap bulan Doni memberinya uang, padahal Bagas yang seharusnya memberi nafkah jarang melakukannya.

 

“Duh ... gimana ya, Don! Aku kok jadi enggak enak kalau tiap bulan kamu kasih uang terus,”

 

Walaupun hidup serba pas-pasan, Vita bukan tipe orang yang silau saat melihat uang. Dia lebih senang mencari sendiri ketimbang di kasih. Meski tak banyak, usaha sayur matang yang digelutinya masih cukup jika sekedar untuk makan dia dan Kesya.

 

“Enggak apa-apa kok, Mbak! Lagian Mas Bagas kan enggak pernah kasih uang. Aku tak ingin keponakanku kelaparan. Maafkan Mas Bagas ya, Mbak!”

 

Terdengar lirih, tapi menyayat hati. Doni yang lebih muda saja begitu peduli dengan Kesya, sedangkan Bagas malah abai dengan darah dagingnya. Jarang sekali memberi uang pada Vita, makanya saat Bagas merantau, Vita tak begitu kaget.

 

Sebenarnya perekonomian Vita justru sedikit membaik setelah Bagas merantau. Bukan karena dikirim uang, melainkan dia bisa lebih berhemat karena tak ada lagi yang meminta uang untuk membeli rokok.

 

Gemetar tangan Vita mengambil amplop tersebut. Tak banyak yang bisa dia ucapkan selain kata terima kasih .

 

“Ya sudah kalau begitu, aku pulang dulu, Mbak! Kalau butuh sesuatu, bilang saja sama aku atau Mbak Arum. Insya Alloh kami siap membantu,” pamit Doni.

 

Vita tersenyum penuh haru. Kelopak matanya telah dibanjiri bulir bening yang siap meleleh kapan saja. Hatinya terenyuh dengan perlakuan adik iparnya. Jika saja Bagas bersikap seperti Doi, Sudah barang tentu Vita akan bahagia.

 

“Loh ... kenapa menangis, Mbak?”

 

Dengan kening berkerut, Doni menatap lekat wajah kakak iparnya yang sudah dibanjiri air mata. Sama sekali dia tak mengerti kenapa Vita menangis.

 

“Enggak apa-apa kok.”

 

Vita meraih ujung jilbab lalu menyeka sudut mata. Memaksakan senyum walau hanya membentuk lengkung patah. Hatinya begitu tersentuh dengan kebaikan semua keluarga suami.

 

“Ya sudah kalau begitu, aku pulang dulu ya, Mbak!” ulang Doni.

 

Vita mengangguk lalu mengantar adik iparnya sampai ke teras. Tak butuh waktu lama, Doni sudah berada di atas motor dan segera beranjak pergi, sementara Vita mematung di depan teras sembari menatap punggung adik iparnya yang semakin menjauh.

 

“Ah ... andai saja Mas Bagas sosok lelaki yang bertanggung jawab seperti Doni,” Vita menggumam lirih.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status