Rumah Bu Aminah yang semula lengang, seketika menjadi riuh tatkala Linda berteriak histeris. Sontak saja semua penghuni rumah berhamburan keluar menuju sumber teriakan.
“Ada apa, Ma! Kok teriak-teriak,” tanya Agung sembari mengatur nafas. “Iya nih! Pagi-pagi Mbak Linda sudah teriak-teriak. Bikin jantungan saja!” imbuh Anggi yang juga sudah berada di teras. “Mobil kita, Mas! Mobil kita enggak ada!” Linda menatap nanar pada halaman di mana tadi malam mobil terparkir. Agung yang sejak tadi belum sadar akan hal itu, seketika mengalihkan pandangan pada arah yang ditunjuk istrinya. Darahnya berdesir hebat, dengan degup jantung begitu kencang. Pun dengan keluarga yang lain, mereka terperangah saat tak melihat Mitsubishi Xpander terparkir di halaman. “Mo-mobilnya hilang, Ma!” Lirih suara Agung terdengar. Pandangannya kosong terpaku pada tempat yang sama. Lututnya bergetar hebat hingga persendian tulang tak lagi mampu menopang berat tubuh. Lelaki itu luruh ke lantai dan terkulai lemas. Dimas yang menyadari keadaan kakaknya langsung memegangi, membantu untuk berdiri. Namun, tenaganya tak cukup kuat hingga hanya mampu ikut duduk dan terus memegangi punggung agar tak roboh. “Sabar, Mas! Nanti kita cari,” bisik Dimas. Sementara itu, Bu Aminah dan Anggi memegangi Linda yang terkulai lemas. Perempuan itu terus meracau tak jelas. Rupanya, lengkingan suara Linda tadi berhasil mengundang tanya para tetangga. Mereka berduyun-duyun mendekat agung dan istrinya. “Ada apa ini, Dimas, kakakmu kenapa?” tanya salah satu warga. “Mobil Mas Agung hilang,” sahut Dimas lesu. Seketika semua yang hadir tercengang. Pasalnya, selama ini kampung mereka aman-aman saja. Tak pernah ada pencurian apalagi kendaraan bermotor. “Loh ... kok bisa? Bagaimana ceritanya?” “Padahal biasanya kampung kita aman, tapi kok bisa hilang ya,” Riuh pertanyaan tumpang tindih terdengar, tapi Agung yang setengah sadar tak menyahut apa pun. Pikirannya kalut menyerupai benang kusut. “Wah ... ini sih karena kemarin Agung sombong, makanya bisa hilang,” “Iya, kayaknya sih gitu. Baru punya mobil saja sudah pamer,” Lirih suara sumbang mulai terdengar. Kebanyakan sependapat kalau semua ini akibat kesombongan Agung. Namun, mereka hanya berbisik. Tak satu pun berani bersuara lantang. Dasar manusia. Kemarin, saat Agung memamerkan kekayaan, tak satu pun berani mengingatkan, bahkan ada pula yang memuji setinggi langit. Namun, hari ini, saat yang dibanggakan raib, hampir semua menyumpahi, bahkan menertawakan. “Bawa kakakmu ke dalam, Dimas. Biarkan dia tenang dulu,” perintah Pak haji yang juga datang. Dimas mengangguk. Dibantu tetangga, Agung dan istrinya digotong ke dalam lalu di baringkan di. Ruang tengah agar kesadaran lekas pulih. *** Malam menjelang. Kesadaran Agung sepenuhnya sudah pulih, tapi Linda masih syok dan terkadang menjerit histeris. Makanya Anggi selalu menjaga kakak iparnya. “Sabar ya, Gung. Ini cobaan buat kamu,” ucap Bu Aminah menasihati anak sulungnya. Cobaan dan karma. Dalam satu kejadian, sebagian orang menganggap cobaan dan sebagian yang lain menganggap karma. Tentu tergantung dari sudut mana memandang. Agung tak menyahut. Sorot matanya menerawang lurus ke depan. Lelaki yang tempo hari masih pongah, kini dilanda kekalutan yang luar biasa. “Iya, Mas! Sekejap saja nanti pasti kamu bisa beli lagi,” timpal Dimas. Agung tersenyum getir. Detik berikutnya dia menghela nafas berat. “Bu ... sawah Ibu jual saja ya buat beli mobil,” Sontak saja Bu Aminah terperanjat mendengar permintaan anak sulungnya. Pun dengan Dimas yang duduk tak jauh dari mereka. “Loh kok malah dijual sih? Katanya kamu mau beli, Mas?” Dimas memandang wajah kakaknya dengan tatapan penuh keheranan. “Sebenarnya ...” Agung menjeda kalimat tatkala keraguan tiba-tiba menyelinap. Satu sisi dia ingin mengatakan yang sebenarnya, tapi di sisi lain dia ingin tetap menjaga gengsi. “Sebenarnya kenapa? Ada apa?” cecar Bu Aminah. Agung memejam sejenak. Dikuatkannya tekad untuk berterus terang. Jika tidak, tentu dia tak sanggup mengatasi masalah ini sendiri. “Sebenarnya itu bukan mobilku. Aku pinjam di tempat rental.”Agung tertunduk lesu. Harga dirinya seakan tercabik di depan Ibu dan adiknya. Namun, tak ada jalan yang lebih baik selain berkata apa adanya. “Astaghfirulloh ... jadi kamu hanya pura-pura sukses, Gung!” Bu Aminah mengelus dada, tak kuasa menahan kekagetan ini. Hatinya seperti dirontok mengetahui anaknya telah berbohong. “Maafkan aku, Bu!”Mata Agung berkaca-kaca. Sedikit sesal mulai menyelinap, tapi masalah tak berhenti sampai di sini. Sudah pasti dia akan dituntut pihak rental untuk bertanggung jawab. Dimas yang juga kaget dengan pengakuan kakaknya menggeleng lemah. Dia turut merasa malu sebab semalam juga aktif membanggakan sang kakak. Suasana seketika menjadi sunyi. Mereka semua diam, larut dalam pikiran masing-masing. “Boleh ya, Bu! Sawah itu jual saja buat ganti mobil yang hilang.” Agung kembali membujuk. 300 juta harga mobil itu, tentu dia tak sanggup jika harus mengganti. Total uang di rekeningnya saja tak lebih dari 10 juta. “Kalau dijual, kita harus bagi rata. Enggak bisa dong hanya buat Mas Agung. Kita sama-sama anak,” ungkap Dimas. Kemarin, keduanya terlihat rukun. Namun, jika sudah menyangkut soal warisan, mereka sama-sama mengharap. “Tapi aku lagi butuh, Dimas! Kamu tahu sendiri kan!” “Aku juga lagi butuh. Kalau sawah itu dijual, aku mau beli mobil. Tapi beli beneran, Mas!” Bu Aminah menggeleng pelan. Air matanya luruh melihat kedua anak lelaki yang dibanggakan saling berebut, seolah tak ada empati di antara mereka. “Jadi bagaimana, Bu? Boleh dijual kan?” Penuh harapan, Agung menatap Bu Aminah. Saking pusingnya memikirkan uang yang harus segera didapat, sampai-sampai dia abai dengan air mata ibunya. “Iya, Bu! Jual saja! Nanti kita bagi dua,” imbuh Dimas yang diam-diam juga mengincar sawah itu. Bu Aminah menyeka sudut mata, lalu menatap dua anak lelakinya bergantian. “Baiklah. Ibu mengizinkan sawah itu dijual, asalkan Vita juga setuju,” sanggup perempuan paruh baya itu, “sekarang kamu telepon adikmu, Dimas! Minta besok pagi dia datang ke sini. Sekalian saja semua dibagi biar adil,” Gurat kecewa jelas terlihat dari wajah Agung dan Dimas. Jauh dalam lubuk hati, mereka ingin menjual sawah itu tanpa memberitahu Vita. Namun, karena permintaan sang Ibu, terpaksa Dimas menghubungi adiknya.Meski sudah berdandan ala kadarnya, Vita masih asyik melangut di kamar. Sebenarnya hari ini dia berencana akan kembali berjualan setelah tiga hari libur, tapi terpaksa dibatalkan karena Dimas menelepon, memintanya pagi ini datang ke rumah. Sempat semalam menolak, tapi Dimas bilang Ibu yang menyuruh.Sebentar kemudian, Vita bangkit lalu membopong Kesya. Firasat mengatakan sesuatu sedang terjadi pada Ibu, makanya dia mau datang. Setelah hampir 15 menit berkendara, akhirnya sampai di rumah Ibu. Vita turun lalu segera naik ke teras. Bu Aminah yang mendengar deru mesin motor berhenti, langsung membuka pintu dan menyambut anak perempuan satu-satunya dan mengajak ke dalam. Sampai di ruang tengah, Vita mengernyit heran melihat semua saudara berkumpul, tapi tak terlihat keceriaan di wajah mereka. Vita duduk di sebelah Ibunya, sementara Kesya bermain di ruang depan bersama anak dari dua kakaknya. “Vit, Ibu minta kamu ke sini karena ada yang ingin dibicarakan,” ucap Bu Aminah membuka percak
Mobil yang mereka kendarai berhenti tepat di halaman rumah. Dari balik kaca, Vita menatap rindu pada lelaki yang sedang berdiri di teras rumah. Desiran halus di hati kian terasa saat lelaki itu menoleh, meski sorot mereka tak bertemu. Buru-buru Vita melepas safety belt, turun lalu setengah berlari menghampiri lelaki tersebut. “Mas Bagas!” Vita menghambur dalam pelukan suaminya. Namun, lelaki itu justru kaget melihat kedatangan sang istri. Dia hanya mematung, tanpa membalas pelukan. Vita yang menyadari perubahan sikap suami, melepas pelukan lalu menatap lekat pada wajah. “Kamu enggak kangen aku, Mas?” tanya Vita dengan suara sedikit gemetar. “Kangen kok.” Suara Bagas sedikit tergagap. Pandangannya tertuju pada Arum yang sedang membopong Kesya, mendekat padanya. Sama sekali Bagas tak menyangka jika kakak perempuannya justru membawa Vita ke rumah, padahal dia sudah mewanti-wanti agar tak menceritakan kepulangannya. Semakin lekat Vita menatap wajah suaminya, tapi Bagas justru mengh
“Baik! Ceraikan aku sekarang!” tantang Vita. Tak ada pilihan lain. Jika harus berbagi suami, Vita tak akan sanggup. Merasa tertantang, Bagas langsung menjatuhkan talak pada perempuan yang empat tahun belakangan menemani hidupnya. Vita tersenyum getir, menertawakan perihnya hidup yang harus dijalani. Di keluarganya, saudara dan ipar selalu menghina, sedangkan suami yang diharap akan memberi kedamaian, nyatanya membunuh perlahan. “Kamu menceraikan Vita, Gas!” Arum menggeleng lemah, menyadari kebodohan adiknya. Sebagai seorang kakak ipar, dia tahu betul karakter Vita. Susah rasanya jika Bagas menemukan yang lebih baik dari Vita. “Dia yang minta, Mbak! Lagian aku sudah punya penggantinya,” sahut Bagas enteng. Terperangah Arum mendengar jawaban adiknya. Sebagai perempuan, dia membenci lelaki model Bagas yang begitu mudah mencampakkan. Sementara itu, Gea yang sejak tadi tergugu seolah larut dalam kesedihan, tiba-tiba mengangkat wajah dan menyeka air mata. Senyum kemenangan jelas se
Doni menghentikan motor di halaman rumah yang tampak sepi. Mobil kakaknya yang biasanya teronggok di halaman, tak terlihat. Pun motor anggota keluarga yang lain. Dia mengalihkan pandangan pada rumah yang pintunya sedikit terbuka. Langkahnya mendekat, menduga ada salah satu anggota keluarga yang berdiam di rumah. “Assalamu alaikum.” Doni berteriak seraya membuka pintu. Dia terkejut melihat seorang perempuan yang sedang bersandar si sofa ruang tamu dengan posisi kaki berada di atas meja. Sesaat dia memindai wajah perempuan yang rambutnya dicat merah itu, mencoba untuk mengenali. “Hei! Siapa kamu! Kenapa masuk rumah orang sembarangan!” Gea membentak dengan sepasang mata melotot. Kontan saja Doni bertambah bingung. Sama sekali dia tak merasa kenal dengan perempuan itu, tapi kenapa bisa ada di rumahnya. “Maaf, aku pemilik rumah ini. Harusnya aku yang bertanya kamu siapa. Kenapa ada di dalam?” Doni bertanya balik. Gea tercenung. Dia menarik ingatan pada cerita-cerita Bagas sebelumnya
Sekuat apa pun mencoba tegar, hakikatnya Vita hanya perempuan rapuh, yang butuh seseorang untuk menguatkan di saat hati terpuruk. Tiga hari sejak talak dijatuhkan, akhirnya dia menyerah untuk memikul beban itu sendiri. Vita pulang ke rumah Ibunya, mengeluh kesahkan semua perih pada keluarga. “Nah kan! Apa aku bilang! Bagas itu bukan lelaki yang baik buat kamu. Salah sendiri dulu enggak mendengar nasihat kami. Sekarang jadi janda kan!” celetuk Lina. “Kamu sih! Sekarang nyesel kan!” imbuh Anggi. Bukan! Bukan ini yang ingin Vita dengar. Setidaknya kalimat motivasi akan membuatnya sedikit lega. Namun, dua kakak iparnya justru seakan menyalahkan. Benar. Dulu mereka tak suka dengan Bagas. Tapi, bukan karena karakternya. Baik Lina maupun Anggi tak setuju karena Bagas berasal dari keluarga biasa. Vita menyeka sudut mata. Aroma perih menguar, tatkala empati dari keluarga tak di dapat. Hanya Bu Aminah yang sesekali memintanya sabar, tapi tak bereaksi saat dua kakak iparnya mencemooh. “Te
Dari balik kaca jendela, Gea melongok ke luar. Dahinya berkerut saat melihat dua perempuan turun dari mobil, di mana salah satunya ada Vita. “Mas, itu kok mantan istrimu datang ke sini? Mau ngapain?” tanya Gea tanpa mengalihkan pandangan pada dua perempuan yang berjalan mendekat. “Paling juga mau jenguk Ibu,” sahut Bagas santai. Lelaki itu paham betul seperti apa sifat mantan istrinya. Vita pasti akan datang saat mendengar kabar jila Bu Asti sakit. Gea kembali duduk di tempat semula saat Vita dan Arum semakin dekat. Pura-pura memainkan ponsel agar tak ada yang rahu kalau habis mengintip. Pintu terbuka. Arum dan Vita langsung masuk dan berjalan ke arah kamar tidur Bu Asti tanpa menyapa dua orang yang sedang duduk di sofa, sementara Gea merasa tersinggung karena diabaikan. “Masuk rumah orang kok enggak ketuk pintu dulu. Enggak sopan!” cibir Vita. Suara itu berhasil menghentikan langkah Arum dan Vita. Keduanya berbalik. “Kamu mengatai aku?” Arum menatap tajam pada adik ipar barun
Selepas Magrib, Vita, Arum dan Bu Asti berjibaku di dapur bersama-sama menyiapkan makan malam. Seperti itulah keseharian mereka saat Vita datang. Berbeda dengan mereka, Gea yang saat ini berstatus istri Bagas justru mengeram di kamar. Hampir seminggu dia tinggal di rumah mertua, tapi sekali pun belum pernah membantu masak. Dia akan keluar setelah tercium harum aroma masakan matang. Di saat bersamaan, Doni yang baru pulang kerja langsung menuju dapur karena sejak tadi sudah kehausan. Dia terkejut mendapati sang kakak ipar ada di rumahnya. “Mbak Vita, kamu di sini,” ujar Doni yang wajahnya dihiasi senyum semringah. “Iya, Don! Kamu baru pulang?” Vita mengulurkan tangan dan disambut oleh mantan adik iparnya. “Iya. Tadi macet di jalan.” Doni mengambil gelas di atas rak, menuangkan air putih, lalu meneguk isinya hingga tandas. “Oh iya, Don! Nanti malam kamu tidur di ruang tamu ya! Vita mau menginap di sini. Biar dia tinggal di kamarmu,” pesan sang Ibu. Dulu, sebelum ada perempuan be
Dalam haru heningnya malam, sesosok perempuan bersujud, bersimpuh mengadukan nasib pada Sang Khalik. Dia merasa tak sanggup memikul beban ini sendiri.Sejatinya Lebaran menjadi momen bahagia bagi semua insan, tapi justru menjadi titik terendah bagi seorang Vita. Pengkhianatan, luka dan air mata kerap mewarnai harinya dalam sepekan belakangan. Keluarga yang dikasihi, suami yang dicintai, menjauh, menepi karena ego yang sebenarnya menghancurkan semua. Vita menengadahkan tangan, memohon petunjuk pada Sang Pencipta, berharap setiap luka yang dikecap, akan menjadi manis di kemudian hari. Dalam kepedihan, dia hanya mampu menghibur diri, bahwa semua yang terjadi adalah kuasa-Nya. Hingga tertanam satu keyakinan, semua akan baik-baik saja. Tanpa terasa, sayup terdengar Adzan Subuh berkumandang. Vita lekas melaksanakan kewajibannya sebagai makhluk, lalu beranjak ke dapur menyiapkan sarapan untuk keluarga mantan suaminya. Rupanya, di saat yang sama, Arum dan Bu Asti juga keluar dari kamar, da