Azam berjalan pelan meninggalkan pekarangan rumah itu. Langkahnya terasa ringan, sebab semua beban di hati sirna setelah bertemu Vita. Soal kata maaf, dia tak terlalu banyak berharap. Semua kesalahan yang dilakukan sudah teramat fatal. Baginya, yang terpenting sudah menunjukkan itikad baik dengan meminta maaf. Di teras, Arsyi menunggu sang pemilik rumah kembali. Ia langsung bangkit saat melihat Azam melenggang ke arahnya. “Bagaimana, Mas?” Arsyi langsung menyambut dengan pertanyaan. Azam meletakkan bokong di kursi teras, diikuti Arsyi yang duduk di tempat semula. Lelaki itu menarik nafas panjang lalu membuang perlahan. Lega setelah hampir tiga hari batinnya bergolak. “Aku sudah meminta maaf,” sahut Azam. “Syukurlah ... apa Mbak Vita memaafkanmu?” Lelaki itu mengendikan bahu, bingung karena saat dia pergi belum terdengar kata maaf dari Vita. “Entah.” “Enggak apa-apa, Mas! Yang penting kamu sudah berusaha menjadi lebih baik. Aku bangga padamu,” ujar Vita kemudian. Sesaat Azam m
Bu Aminah gelisah mendapati anak bungsunya masih belum juga keluar kamar meski matahari sudah sepenggalah. Biasanya, setiap hari Vita selalu bangun pagi untuk menyiapkan dagangan. Kalaupun libur tak jualan, dia tetap bangun pagi lalu menemani Kesya-anaknya. Namun, kali ini ada sesuatu yang mengganjal. Sejak tadi malam pulang dini hari, sama sekali Vita tak menunjukkan batang hidung meski Kesya sudah berlarian sejak pagi. Khawatir terjadi sesuatu yang buruk menimpa, Bu Aminah berinisiatif mengetuk pintu kamar Vita. Nihil. Tak ada sahutan dari dalam. Lalu, perempuan paruh baya itu memberanikan diri memutar gagang pintu. Dia bernafas lega saat melihat anaknya baik-baik saja. Namun, ada sesuatu yang beda. Tak biasanya Vita melangut di sudut ranjang sambil memeluk lutut. Bu Aminah mendekat lalu duduk di tepian ranjang. “Kamu kenapa, Vit? Kok sejak tadi enggak keluar?” tanyanya kemudian. Sama sekali ucapan sang Ibu tak membuat Vita menyahut, atau sekedar menoleh. Perempuan itu masih s
Azam semringah saat perempuan yang sedang ditunggu muncul di halaman rumah. Seketika dia bangkit menyambut Vita yang mengenakan daster longgar khas ibu rumah tangga. “Akhirnya kamu datang juga, Mbak!” ujar Azam saat perempuan itu telah berada di depannya. Vita memasang senyum. Sebuah senyum tulus untuk seorang sahabat, bukan kekasih. “Ayo masuk, Mbak!” Azam membuka pintu lalu mendahului masuk, sementara Vita mengekori di belakang. “Enggak usah di tutup pintunya, Mbak!” perintah Azam saat Vita hendak menutup pintu. “Loh .... kenapa? Ini kan sudah malam?” “Enggak apa-apa. Biar enggak jadi fitnah karena kita berduaan di dalam rumah,” Vita bernafas lega karena ternyata lelaki yang didatangi masih berpikir waras. Lalu, mereka duduk saling hadap, terhalang meja yang berisi dua piring nasi goreng, juga dua gelas air putih. Vita mengedarkan pandangan ke sekeliling. Suasana tampak lengang, nyaris tanpa suara terdengar selain bunyi kendaraan yang berlalu lalang di depan sana. “Bapak
“Terima kasih ya, Dek! Kamu sudah mau menemaniku,” ucap Doni saat mereka baru pulang dari Dokter Urologi. Menurut hasil diagnosa, Doni ditengarai kekurangan hormon testosteron, dan untuk penanganan awal dia diberi suntikan hormon serupa. Selain itu, Doni juga disarankan banyak mengonsumsi makanan berprotein tinggi seperti daging sapi, telur ataupun ikan jenis Tuna dan Salmon. Vita juga dihimbau untuk menjaga suasana hati calon pasangannya agar tak sampai stres berlebihan. Karena biar bagaimanapun tingkat stres yang tinggi turut memberi andil bagi masalah yang tengah Doni hadapi. “Enggak harus berterima kasih, Mas! Ini juga demi kebahagiaan kita,” sahut Vita disertai senyum tulus.“Tapi bagaimana kalau nanti aku tak kunjung sembuh?” Buru-buru Vita mendesis lalu menempelkan jemari telunjuk di bibir calon suaminya. Dia tak ingin Doni terbebani dengan masalah itu yang tentu saja akan membuatnya stres. “Kamu pasti sembuh, Mas!” Tersenyum penuh arti, batin Doni bersyukur memiliki cal
Benar adanya jika roda kehidupan itu berputar. Setelah semua perih dialami, setelah perjuangan yang seakan tak terhenti, hari ini kebahagiaan datang mengganti. Sempat Vita merasa trauma dengan kegagalan pada pernikahan pertama. Sempat pula berpikir untuk selamanya menjadi orang tua tunggal. Namun, sosok Doni yang kembali masuk dalam hidupnya seakan membangkitkan gairah cinta yang padam. Lelaki itu berhasil memberi warna baru dalam hidup. Perhatiannya, ketulusannya, semua membuat Vita merasa berarti. Perempuan pemilik nama lengkap Novita Anggraeni itu tersenyum simpul memerhatikan penampilan dari balik cermin. Demi terlihat anggun di acara lamaran, dia memadukan maxi dress putih dengan pashmina cokelat nude. Tambahan mini belt di pinggang semakin mempertegas bahwa ibu satu anak itu memiliki tubuh langsing. Jantung Vita berdebar-debar menunggu kedatangan keluarga Doni yang akan melamar. Meski ini bukan yang pertama, tapi efek yang ditimbulkan justru lebih kentara, sebab lelaki yang
“Sampai kapan kamu akan menyiksa diri seperti ini, Don?” tanya Arum saat mereka sedang duduk berdua. “Menyiksa bagaimana, Mbak?” Meski sebenarnya paham akan arah pembicaraan kakaknya, Doni masih bersikeras pura-pura tak mengerti. “Sudahlah, Don! Jangan seperti anak kecil. Kami semua tahu sejak dulu kamu mencintai Vita. Dia juga begitu. Lalu kenapa kamu malah seperti ini?” Doni terdiam. Bayangan sosok perempuan itu langsung melintas di kepala hanya dengan mendengar namanya saja. Tak dipungkiri semua itu benar, hanya saja masih ragu sebab keadaan yang dialami. Bagi seorang Doni, cinta itu bukan sekedar bersama. Percuma saja terjalin hubungan jika pada akhirnya harus saling menyakiti. “Kamu sudah tahu alasannya kan, Mbak!” sahutnya datar. “Ya. Aku tahu. Aku mengerti perasaanmu. Tapi bukan berarti kamu harus menyerah. Aku yakin kamu bisa sembuh, Don. Apalagi Vita juga mau menerima kekuranganmu. Kamu harus semangat!” Menyuntikan mental pada adiknya, Arum terus memberi wejangan. Di