Azam berjalan pelan meninggalkan pekarangan rumah itu. Langkahnya terasa ringan, sebab semua beban di hati sirna setelah bertemu Vita. Soal kata maaf, dia tak terlalu banyak berharap. Semua kesalahan yang dilakukan sudah teramat fatal. Baginya, yang terpenting sudah menunjukkan itikad baik dengan meminta maaf. Di teras, Arsyi menunggu sang pemilik rumah kembali. Ia langsung bangkit saat melihat Azam melenggang ke arahnya. “Bagaimana, Mas?” Arsyi langsung menyambut dengan pertanyaan. Azam meletakkan bokong di kursi teras, diikuti Arsyi yang duduk di tempat semula. Lelaki itu menarik nafas panjang lalu membuang perlahan. Lega setelah hampir tiga hari batinnya bergolak. “Aku sudah meminta maaf,” sahut Azam. “Syukurlah ... apa Mbak Vita memaafkanmu?” Lelaki itu mengendikan bahu, bingung karena saat dia pergi belum terdengar kata maaf dari Vita. “Entah.” “Enggak apa-apa, Mas! Yang penting kamu sudah berusaha menjadi lebih baik. Aku bangga padamu,” ujar Vita kemudian. Sesaat Azam m
“Ini buat jajan ya.” Vita memberikan amplop pada dua keponakannya. “Terima kasih, Bibi,” ucap dua bocah itu hampir berbarengan. Keduanya berjingkrak girang mendapat amplop lebaran. Lalu, mereka bergelayut pada Ibu masing-masing. “Coba sini amplopnya, biar Mama simpan,” ujar Lina pada anak perempuannya yang berusia lima tahun. Setelah menerima benda tersebut, dia langsung membuka dan mengeluarkan isinya. Lina terbelalak saat menyadari isi amplop tersebut hanya lima lembar uang pecahan dua ribuan. “Astaghfirulloh, Vit! Masa iya amplop lebaran isinya cuma sepuluh ribu? Uang segini dapat apa?” Lina menatap sinis pada adik iparnya. Vita sedikit menunduk, tak menyangka amplop yang dia berikan dibuka langsung di depan keluarga besar.“Maklum, Mbak! Aku tinggal di kampung jadi enggak bisa kasih banyak,” ujarnya menahan malu. “Anggi juga tinggal di kampung, tapi dia bisa memberi anakku 100 ribu.” Lina menoleh pada adik iparnya yang satu lagi. “Lebaran kan setahun sekali, malu dong kalau
Sampai di rumah, Vita langsung membuka lemari hendak mengganti pakaian anaknya. Sesaat dia termangu memilih pakaian yang cocok. Lebaran tahun ini dia hanya membeli satu setel pakaian untuk Kesya dan sudah di pakai kemarin. Setelah melalui sedikit pertimbangan, dia mengeluarkan pakaian lebaran tahun lalu dan lekas memakaikan pada anaknya. Selesai dengan pakaian anaknya, Vita dihadapkan kembali dengan sebuah dilema. Sudah dua tahun dia rak membeli baju lebaran. Yang lama pun sudah mulai usang. Satu-satunya gamis yang terbaru sudah dipakai kemarin, jadi tak mungkin dipakai kembali. Akhirnya dia mengeluarkan gamis hitam yang dibeli saat masih gadis dulu.Bermodalkan tiga toples kue kering, Vita memacu motor ke rumah mertuanya. Apa yang dibawa saat ini sama dengan yang diberikan pada Ibunya. Dia tak pernah membeda-bedakan. Motor yang Vita kendarai berhenti di halaman sebuah bangunan yang tak terlalu besar, tapi rapi. Halamannya lumayan luas ditumbuhi beberapa tanaman bunga. Vita turun
Malam menjelang. Bu Asti dan keluarganya sudah kembali ke rumah. Tadi mereka berkeliling menikmati kebersamaan. Sekarang semua sudah beristirahat, menyisakan Vita dan Arum yang masih betah mengobrol. Keduanya memang akrab. “Oh iya, Vit! Memangnya tadi ada apa kok kakakmu minta kamu ke sana?” tanya Arum disela obrolan. Vita pun bercerita kalau kakaknya akan mengadakan selamat besok. Dia di suruh datang, tapi rasanya malas. “Ya enggak boleh gitu, Vit! Kamu harus datang. Jangan memutus silaturahmi,” “Tapi, Mbak! Mereka belum berubah. Malah semakin kebangetan. Soal amplop lebaran saja aku diketawain,” keluh Vita. Arum tersenyum. Vita sudah sering bercerita soal kelakuan dua kakaknya yang suka menghina. “Aku tahu ini enggak mudah, Vit! Tapi bukan berarti kamu harus menjauh. Datang saja! Tapi kamu juga jangan diam saat ditindas. Jangan mau jika diperlakukan seperti pembantu!” pesan Arum. Sejenak Vita memikirkan kalimat kakak iparnya. Selama ini memang dia hanya diam saat dipermaluka
4. Pada akhirnya, Lina dan Anggi tak jadi pergi. Keduanya ikut memasak meski hanya setengah hati. Sementara Vita merasa lega karena tak diperlakukan seperti pembantu. Terkadang, dibutuhkan sedikit keberanian agar tak terus disepelekan. Jangan biarkan harga diri diinjak-injak hanya karena miskin. Selepas Asyar, tamu undangan sudah mulai berdatangan. Dengan penuh semangat Agung menyambut para tetangga. Dia sudah tak sabar untuk memamerkan kalau dirinya telah menjadi orang sukses.Setelah semua berkumpul, acara dimulai. “Silakan Pak Haji, mohon didoakan ini selamatanku,” ucap Agung pada lelaki berkopiah putih di sebelahnya. “Memangnya selamatan apa?” Lelaki itu bertanya balik. “Begini, Pak Haji. Aku baru saja membeli mobil baru. Harganya 300 juta lebih,” Sengaja Agung menyebutkan nominal agar para tetangga tahu harga mobilnya. “Wah ... hebat kamu, Gung! Sekarang sudah sukses,” puji salah satu tetangga. “Iya. Uangmu pasti banyak. Tiap mudik selalu ganti mobil,” puji yang lain. “
Rumah Bu Aminah yang semula lengang, seketika menjadi riuh tatkala Linda berteriak histeris. Sontak saja semua penghuni rumah berhamburan keluar menuju sumber teriakan. “Ada apa, Ma! Kok teriak-teriak,” tanya Agung sembari mengatur nafas. “Iya nih! Pagi-pagi Mbak Linda sudah teriak-teriak. Bikin jantungan saja!” imbuh Anggi yang juga sudah berada di teras. “Mobil kita, Mas! Mobil kita enggak ada!” Linda menatap nanar pada halaman di mana tadi malam mobil terparkir. Agung yang sejak tadi belum sadar akan hal itu, seketika mengalihkan pandangan pada arah yang ditunjuk istrinya. Darahnya berdesir hebat, dengan degup jantung begitu kencang. Pun dengan keluarga yang lain, mereka terperangah saat tak melihat Mitsubishi Xpander terparkir di halaman. “Mo-mobilnya hilang, Ma!” Lirih suara Agung terdengar. Pandangannya kosong terpaku pada tempat yang sama. Lututnya bergetar hebat hingga persendian tulang tak lagi mampu menopang berat tubuh. Lelaki itu luruh ke lantai dan terkulai lemas.
Meski sudah berdandan ala kadarnya, Vita masih asyik melangut di kamar. Sebenarnya hari ini dia berencana akan kembali berjualan setelah tiga hari libur, tapi terpaksa dibatalkan karena Dimas menelepon, memintanya pagi ini datang ke rumah. Sempat semalam menolak, tapi Dimas bilang Ibu yang menyuruh.Sebentar kemudian, Vita bangkit lalu membopong Kesya. Firasat mengatakan sesuatu sedang terjadi pada Ibu, makanya dia mau datang. Setelah hampir 15 menit berkendara, akhirnya sampai di rumah Ibu. Vita turun lalu segera naik ke teras. Bu Aminah yang mendengar deru mesin motor berhenti, langsung membuka pintu dan menyambut anak perempuan satu-satunya dan mengajak ke dalam. Sampai di ruang tengah, Vita mengernyit heran melihat semua saudara berkumpul, tapi tak terlihat keceriaan di wajah mereka. Vita duduk di sebelah Ibunya, sementara Kesya bermain di ruang depan bersama anak dari dua kakaknya. “Vit, Ibu minta kamu ke sini karena ada yang ingin dibicarakan,” ucap Bu Aminah membuka percak
Mobil yang mereka kendarai berhenti tepat di halaman rumah. Dari balik kaca, Vita menatap rindu pada lelaki yang sedang berdiri di teras rumah. Desiran halus di hati kian terasa saat lelaki itu menoleh, meski sorot mereka tak bertemu. Buru-buru Vita melepas safety belt, turun lalu setengah berlari menghampiri lelaki tersebut. “Mas Bagas!” Vita menghambur dalam pelukan suaminya. Namun, lelaki itu justru kaget melihat kedatangan sang istri. Dia hanya mematung, tanpa membalas pelukan. Vita yang menyadari perubahan sikap suami, melepas pelukan lalu menatap lekat pada wajah. “Kamu enggak kangen aku, Mas?” tanya Vita dengan suara sedikit gemetar. “Kangen kok.” Suara Bagas sedikit tergagap. Pandangannya tertuju pada Arum yang sedang membopong Kesya, mendekat padanya. Sama sekali Bagas tak menyangka jika kakak perempuannya justru membawa Vita ke rumah, padahal dia sudah mewanti-wanti agar tak menceritakan kepulangannya. Semakin lekat Vita menatap wajah suaminya, tapi Bagas justru mengh