Share

BAB 3

Malam menjelang. Bu Asti dan keluarganya sudah kembali ke rumah. Tadi mereka berkeliling menikmati kebersamaan. Sekarang semua sudah beristirahat, menyisakan Vita dan Arum yang masih betah mengobrol. Keduanya memang akrab.

 

“Oh iya, Vit! Memangnya tadi ada apa kok kakakmu minta kamu ke sana?” tanya Arum disela obrolan.

 

Vita pun bercerita kalau kakaknya akan mengadakan selamat besok. Dia di suruh datang, tapi rasanya malas.

 

“Ya enggak boleh gitu, Vit! Kamu harus datang. Jangan memutus silaturahmi,”

 

“Tapi, Mbak! Mereka belum berubah. Malah semakin kebangetan. Soal amplop lebaran saja aku diketawain,” keluh Vita.

 

Arum tersenyum. Vita sudah sering bercerita soal kelakuan dua kakaknya yang suka menghina.

 

“Aku tahu ini enggak mudah, Vit! Tapi bukan berarti kamu harus menjauh. Datang saja! Tapi kamu juga jangan diam  saat ditindas. Jangan mau jika diperlakukan seperti pembantu!” pesan Arum.

 

Sejenak Vita memikirkan kalimat kakak iparnya. Selama ini memang dia hanya diam saat dipermalukan. Paling banter cuma bisa menangis saja.

 

“Insya alloh, Mbak! Aku juga sudah bosan dengan perlakuan mereka, “

 

Keduanya sama-sama tersenyum saling menguatkan. Seperti itulah kedekatan mereka. Walau bukan saudara kandung, tapi bisa saling mengerti walau beda kasta.

 

Lalu, keduanya mengobrol hal-hal lain. Sesekali berbagi canda tawa.

 

“Oh iya, Mbak! Dari pagi aku belum lihat Doni. Lagi ke mana dia?” Vita menanyakan adik iparnya.

 

Arum, Bagas dan Doni. Mereka tiga bersaudara. Hanya Doni saja yang belum menikah, padahal bisa dibilang hidupnya sudah mapan. Dia bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji yang lumayan tinggi.

 

“Kemarin sih pulang, tapi sudah berangkat lagi. Katanya ada acara di tempat kerjanya. Palingan juga besok dia sudah balik ke sini. Kan memang tiap minggu begitu.”

 

Vita mengangguk. Setiap mengingat adik iparnya, dia selalu merasa tak enak hati. Pasalnya, sejak dulu Doni sering kasih uang, apalagi sejak suaminya merantau, tiap bulan dia memberi uang satu juta. Katanya sih buat jajan Kesya.

 

***

 

Adzan subuh baru saja berkumandang saat keluarga Bu Asti bangun. Mereka semua gegas bersuci sebelum melakukan kewajiban sebagai makhluk.

 

Selesai sholat, Vita, Arum dan Bu Asti berkutat di dapur. Mereka bersama-sama menyiapkan sarapan. Sebuah keluarga yang harmonis di mana semua anggota keluarga saling membantu.

 

DI saat mereka sedang berjibaku dengan makan, terdengar dering nada panggilan dari ponsel Vita.

 

“Vit, itu ada yang telpon. Angkat gih,” perintah Arum.

 

“Iya, Mbak!”

 

 Vita beranjak ke ruang tengah, mengambil benda pipih yang tergeletak di atas TV. Sebuah kontak dengan nama ‘Mas Agung’ terpampang di layar. Setengah hati dia menggeser tombol hijau karena enggan bicara dengan sang kakak.

 

“Kamu di mana, Vit? Kok velum datang. Hari ini masak-masaknya!” Sebelum sempat Vita mengucap salam, dia sudah mendengar suara agung yang mencerocos.

 

“Masih di rumah mertua, Mas! Nanti agak siangan ke sananya. Aku beres-beres dapur dulu,” sahut Vita.

 

“Pokoknya kamu ke sini sekarang. Banyak yang harus dikerjakan di sini.  Di situ kan ada kakak ipar dan mertuamu,”

 

Vita menghela nafas panjang. Setiap menginginkan sesuatu, kakaknya memang selalu seperti itu. Bisa dibilang setengah memaksa.

 

“Enggak bisa dong, Mas! Masa aku pergi sebelum dapur beres. Ini namanya mantu durhaka. Datang cuma makan tapi enggak mau mengurusi dapur,” sahut Vita setengah menyindir.

 

Ya. Istri Agung memang begitu. Jarang sekali dia mau bantu masak kalau pas mudik, tapi urusan makan, dia paling depan.

 

“Jangan banyak alasan kamu. Cepat ke sini sekarang!”

 

Vita menjauhkan ponsel dari telinga sebab tak tahan mendengar suara melengking dari seberang sana. Detik berikutnya dia memilih mematikan ponsel lalu kembali ke dapur, membantu Bu Asti dan Arum yang sedang memasak.

 

 

***

 

 

Sekitar jam sembilan Vita sudah sampai di rumah Ibunya. Dia langsung menerobos masuk dan berjalan ke dapur. Terlihat semua keluarga sedang menikmati sarapan.

 

“Sini, Vit! Kita sarapan bareng,” Bu Aminah menepuk kursi di sebelahnya.

 

Vita langsung mengambil duduk tepat di sebelah Ibunya, sambil tetap menggendong Kesya.

 

“Giliran makan, banter. Di suruh bantu masak jam segini baru datang,” cibir Lina-istri Agung.

 

“Iya, nih! Daei tadi kenapa baru datang,” imbuh Anggi.

 

Vita menghela nafas panjang. Sama sekali sambutan keluarganya tak membuat nyaman.

 

“Maaf, Mbak! Tadi beberes dulu di rumah mertua, jadi baru datang. Lagian, aku sudah makan kok, jadi jangan khawatir ikut makan di sini,” tegas Vita.

 

Mungkin bagi sebagian orang apa yang Vita ucapkan terkesan enggak sopan, tapi bagi Vita, itu dilakukan agar tak terus diintimidasi.

 

“Sudah ... kalau ketemu kok ribut terus sih! Selesaikan makannya, habis ini kita masak,” lerai Bu Aminah.

 

Akhirnya mereka menurut dan melanjutkan makan, sementara Vita diam saja tapi tak beranjak.

 

Setelah selesai makan, Bu Aminah langsung mempersiapkan segala sesuatu sebelum memasak bersama Vita, sedangkan Lina dan Anggi masuk ke kamar masing-masing.

 

Terlebih dahulu Vita mencuci gerabah bekas pakai, dan Bu Aminah mulai mengupas bawang.

 

 

DI saat mereka berdua sedang sibuk di dapur, Lina dan Anggi datang dengan pakaian rapi. Sontak saja Vita menatap aneh ke arah dua kakak iparnya.

 

“Loh, kok rapi, Mbak?” Vita bertanya.

 

“Iya, kami mau ke rumah temannya Mbak Lina, sekalian jalan-jalan,” sahut Anggi.

 

Seketika Lina terperanjat. Dia meletakkan gerabah yang belum selesai di cuci lalu mendekati kedua kakak iparnya.

 

“Loh ... katanya mau masak buat kenduri, kok malah pergi sih!” gerundel Vita.

 

“Kan sudah ada kamu dan Ibu yang masak,” sahut Lina enteng.

 

Bagaimana bisa seorang yang punya hajat pergi jalan-jalan, sedangkan semua pekerjaan diserahkan pada Ibu mertua dan adik ipar. Hal ini yang membuat Vita meradang, apalagi dia teringat pesan kakak iparnya agar melawan jika diperlakukan seperti pembantu.

 

“Pokoknya aku enggak mau masak kalau enggak bareng kalian berdua!” Vita menjeda kalimat untuk menata nafasnya yang memburu,  “Kalau kalian tetap pergi, enggak jadi masak juga enggak apa-apa!”

 

Lina dan Anggi kaget. Mereka tak menyangka jika adik iparnya sudah berani membangkang, padahal biasanya selalu menurut.

 

Barangkali karena sudah bosan diperlakukan seperti pembantu, hari ini Vita bernyali untuk bicara. Hanya ada dua pilihan yang dia miliki yaitu lawan atau akan terus ditindas!

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status