Malam menjelang. Bu Asti dan keluarganya sudah kembali ke rumah. Tadi mereka berkeliling menikmati kebersamaan. Sekarang semua sudah beristirahat, menyisakan Vita dan Arum yang masih betah mengobrol. Keduanya memang akrab.
“Oh iya, Vit! Memangnya tadi ada apa kok kakakmu minta kamu ke sana?” tanya Arum disela obrolan. Vita pun bercerita kalau kakaknya akan mengadakan selamat besok. Dia di suruh datang, tapi rasanya malas. “Ya enggak boleh gitu, Vit! Kamu harus datang. Jangan memutus silaturahmi,” “Tapi, Mbak! Mereka belum berubah. Malah semakin kebangetan. Soal amplop lebaran saja aku diketawain,” keluh Vita. Arum tersenyum. Vita sudah sering bercerita soal kelakuan dua kakaknya yang suka menghina. “Aku tahu ini enggak mudah, Vit! Tapi bukan berarti kamu harus menjauh. Datang saja! Tapi kamu juga jangan diam saat ditindas. Jangan mau jika diperlakukan seperti pembantu!” pesan Arum. Sejenak Vita memikirkan kalimat kakak iparnya. Selama ini memang dia hanya diam saat dipermalukan. Paling banter cuma bisa menangis saja. “Insya alloh, Mbak! Aku juga sudah bosan dengan perlakuan mereka, “ Keduanya sama-sama tersenyum saling menguatkan. Seperti itulah kedekatan mereka. Walau bukan saudara kandung, tapi bisa saling mengerti walau beda kasta. Lalu, keduanya mengobrol hal-hal lain. Sesekali berbagi canda tawa. “Oh iya, Mbak! Dari pagi aku belum lihat Doni. Lagi ke mana dia?” Vita menanyakan adik iparnya. Arum, Bagas dan Doni. Mereka tiga bersaudara. Hanya Doni saja yang belum menikah, padahal bisa dibilang hidupnya sudah mapan. Dia bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji yang lumayan tinggi. “Kemarin sih pulang, tapi sudah berangkat lagi. Katanya ada acara di tempat kerjanya. Palingan juga besok dia sudah balik ke sini. Kan memang tiap minggu begitu.” Vita mengangguk. Setiap mengingat adik iparnya, dia selalu merasa tak enak hati. Pasalnya, sejak dulu Doni sering kasih uang, apalagi sejak suaminya merantau, tiap bulan dia memberi uang satu juta. Katanya sih buat jajan Kesya. *** Adzan subuh baru saja berkumandang saat keluarga Bu Asti bangun. Mereka semua gegas bersuci sebelum melakukan kewajiban sebagai makhluk. Selesai sholat, Vita, Arum dan Bu Asti berkutat di dapur. Mereka bersama-sama menyiapkan sarapan. Sebuah keluarga yang harmonis di mana semua anggota keluarga saling membantu. DI saat mereka sedang berjibaku dengan makan, terdengar dering nada panggilan dari ponsel Vita. “Vit, itu ada yang telpon. Angkat gih,” perintah Arum. “Iya, Mbak!” Vita beranjak ke ruang tengah, mengambil benda pipih yang tergeletak di atas TV. Sebuah kontak dengan nama ‘Mas Agung’ terpampang di layar. Setengah hati dia menggeser tombol hijau karena enggan bicara dengan sang kakak. “Kamu di mana, Vit? Kok velum datang. Hari ini masak-masaknya!” Sebelum sempat Vita mengucap salam, dia sudah mendengar suara agung yang mencerocos. “Masih di rumah mertua, Mas! Nanti agak siangan ke sananya. Aku beres-beres dapur dulu,” sahut Vita. “Pokoknya kamu ke sini sekarang. Banyak yang harus dikerjakan di sini. Di situ kan ada kakak ipar dan mertuamu,” Vita menghela nafas panjang. Setiap menginginkan sesuatu, kakaknya memang selalu seperti itu. Bisa dibilang setengah memaksa. “Enggak bisa dong, Mas! Masa aku pergi sebelum dapur beres. Ini namanya mantu durhaka. Datang cuma makan tapi enggak mau mengurusi dapur,” sahut Vita setengah menyindir. Ya. Istri Agung memang begitu. Jarang sekali dia mau bantu masak kalau pas mudik, tapi urusan makan, dia paling depan. “Jangan banyak alasan kamu. Cepat ke sini sekarang!” Vita menjauhkan ponsel dari telinga sebab tak tahan mendengar suara melengking dari seberang sana. Detik berikutnya dia memilih mematikan ponsel lalu kembali ke dapur, membantu Bu Asti dan Arum yang sedang memasak. *** Sekitar jam sembilan Vita sudah sampai di rumah Ibunya. Dia langsung menerobos masuk dan berjalan ke dapur. Terlihat semua keluarga sedang menikmati sarapan. “Sini, Vit! Kita sarapan bareng,” Bu Aminah menepuk kursi di sebelahnya. Vita langsung mengambil duduk tepat di sebelah Ibunya, sambil tetap menggendong Kesya. “Giliran makan, banter. Di suruh bantu masak jam segini baru datang,” cibir Lina-istri Agung. “Iya, nih! Daei tadi kenapa baru datang,” imbuh Anggi. Vita menghela nafas panjang. Sama sekali sambutan keluarganya tak membuat nyaman. “Maaf, Mbak! Tadi beberes dulu di rumah mertua, jadi baru datang. Lagian, aku sudah makan kok, jadi jangan khawatir ikut makan di sini,” tegas Vita. Mungkin bagi sebagian orang apa yang Vita ucapkan terkesan enggak sopan, tapi bagi Vita, itu dilakukan agar tak terus diintimidasi. “Sudah ... kalau ketemu kok ribut terus sih! Selesaikan makannya, habis ini kita masak,” lerai Bu Aminah. Akhirnya mereka menurut dan melanjutkan makan, sementara Vita diam saja tapi tak beranjak. Setelah selesai makan, Bu Aminah langsung mempersiapkan segala sesuatu sebelum memasak bersama Vita, sedangkan Lina dan Anggi masuk ke kamar masing-masing. Terlebih dahulu Vita mencuci gerabah bekas pakai, dan Bu Aminah mulai mengupas bawang. DI saat mereka berdua sedang sibuk di dapur, Lina dan Anggi datang dengan pakaian rapi. Sontak saja Vita menatap aneh ke arah dua kakak iparnya. “Loh, kok rapi, Mbak?” Vita bertanya. “Iya, kami mau ke rumah temannya Mbak Lina, sekalian jalan-jalan,” sahut Anggi. Seketika Lina terperanjat. Dia meletakkan gerabah yang belum selesai di cuci lalu mendekati kedua kakak iparnya. “Loh ... katanya mau masak buat kenduri, kok malah pergi sih!” gerundel Vita. “Kan sudah ada kamu dan Ibu yang masak,” sahut Lina enteng. Bagaimana bisa seorang yang punya hajat pergi jalan-jalan, sedangkan semua pekerjaan diserahkan pada Ibu mertua dan adik ipar. Hal ini yang membuat Vita meradang, apalagi dia teringat pesan kakak iparnya agar melawan jika diperlakukan seperti pembantu. “Pokoknya aku enggak mau masak kalau enggak bareng kalian berdua!” Vita menjeda kalimat untuk menata nafasnya yang memburu, “Kalau kalian tetap pergi, enggak jadi masak juga enggak apa-apa!” Lina dan Anggi kaget. Mereka tak menyangka jika adik iparnya sudah berani membangkang, padahal biasanya selalu menurut. Barangkali karena sudah bosan diperlakukan seperti pembantu, hari ini Vita bernyali untuk bicara. Hanya ada dua pilihan yang dia miliki yaitu lawan atau akan terus ditindas!4. Pada akhirnya, Lina dan Anggi tak jadi pergi. Keduanya ikut memasak meski hanya setengah hati. Sementara Vita merasa lega karena tak diperlakukan seperti pembantu. Terkadang, dibutuhkan sedikit keberanian agar tak terus disepelekan. Jangan biarkan harga diri diinjak-injak hanya karena miskin. Selepas Asyar, tamu undangan sudah mulai berdatangan. Dengan penuh semangat Agung menyambut para tetangga. Dia sudah tak sabar untuk memamerkan kalau dirinya telah menjadi orang sukses.Setelah semua berkumpul, acara dimulai. “Silakan Pak Haji, mohon didoakan ini selamatanku,” ucap Agung pada lelaki berkopiah putih di sebelahnya. “Memangnya selamatan apa?” Lelaki itu bertanya balik. “Begini, Pak Haji. Aku baru saja membeli mobil baru. Harganya 300 juta lebih,” Sengaja Agung menyebutkan nominal agar para tetangga tahu harga mobilnya. “Wah ... hebat kamu, Gung! Sekarang sudah sukses,” puji salah satu tetangga. “Iya. Uangmu pasti banyak. Tiap mudik selalu ganti mobil,” puji yang lain. “
Rumah Bu Aminah yang semula lengang, seketika menjadi riuh tatkala Linda berteriak histeris. Sontak saja semua penghuni rumah berhamburan keluar menuju sumber teriakan. “Ada apa, Ma! Kok teriak-teriak,” tanya Agung sembari mengatur nafas. “Iya nih! Pagi-pagi Mbak Linda sudah teriak-teriak. Bikin jantungan saja!” imbuh Anggi yang juga sudah berada di teras. “Mobil kita, Mas! Mobil kita enggak ada!” Linda menatap nanar pada halaman di mana tadi malam mobil terparkir. Agung yang sejak tadi belum sadar akan hal itu, seketika mengalihkan pandangan pada arah yang ditunjuk istrinya. Darahnya berdesir hebat, dengan degup jantung begitu kencang. Pun dengan keluarga yang lain, mereka terperangah saat tak melihat Mitsubishi Xpander terparkir di halaman. “Mo-mobilnya hilang, Ma!” Lirih suara Agung terdengar. Pandangannya kosong terpaku pada tempat yang sama. Lututnya bergetar hebat hingga persendian tulang tak lagi mampu menopang berat tubuh. Lelaki itu luruh ke lantai dan terkulai lemas.
Meski sudah berdandan ala kadarnya, Vita masih asyik melangut di kamar. Sebenarnya hari ini dia berencana akan kembali berjualan setelah tiga hari libur, tapi terpaksa dibatalkan karena Dimas menelepon, memintanya pagi ini datang ke rumah. Sempat semalam menolak, tapi Dimas bilang Ibu yang menyuruh.Sebentar kemudian, Vita bangkit lalu membopong Kesya. Firasat mengatakan sesuatu sedang terjadi pada Ibu, makanya dia mau datang. Setelah hampir 15 menit berkendara, akhirnya sampai di rumah Ibu. Vita turun lalu segera naik ke teras. Bu Aminah yang mendengar deru mesin motor berhenti, langsung membuka pintu dan menyambut anak perempuan satu-satunya dan mengajak ke dalam. Sampai di ruang tengah, Vita mengernyit heran melihat semua saudara berkumpul, tapi tak terlihat keceriaan di wajah mereka. Vita duduk di sebelah Ibunya, sementara Kesya bermain di ruang depan bersama anak dari dua kakaknya. “Vit, Ibu minta kamu ke sini karena ada yang ingin dibicarakan,” ucap Bu Aminah membuka percak
Mobil yang mereka kendarai berhenti tepat di halaman rumah. Dari balik kaca, Vita menatap rindu pada lelaki yang sedang berdiri di teras rumah. Desiran halus di hati kian terasa saat lelaki itu menoleh, meski sorot mereka tak bertemu. Buru-buru Vita melepas safety belt, turun lalu setengah berlari menghampiri lelaki tersebut. “Mas Bagas!” Vita menghambur dalam pelukan suaminya. Namun, lelaki itu justru kaget melihat kedatangan sang istri. Dia hanya mematung, tanpa membalas pelukan. Vita yang menyadari perubahan sikap suami, melepas pelukan lalu menatap lekat pada wajah. “Kamu enggak kangen aku, Mas?” tanya Vita dengan suara sedikit gemetar. “Kangen kok.” Suara Bagas sedikit tergagap. Pandangannya tertuju pada Arum yang sedang membopong Kesya, mendekat padanya. Sama sekali Bagas tak menyangka jika kakak perempuannya justru membawa Vita ke rumah, padahal dia sudah mewanti-wanti agar tak menceritakan kepulangannya. Semakin lekat Vita menatap wajah suaminya, tapi Bagas justru mengh
“Baik! Ceraikan aku sekarang!” tantang Vita. Tak ada pilihan lain. Jika harus berbagi suami, Vita tak akan sanggup. Merasa tertantang, Bagas langsung menjatuhkan talak pada perempuan yang empat tahun belakangan menemani hidupnya. Vita tersenyum getir, menertawakan perihnya hidup yang harus dijalani. Di keluarganya, saudara dan ipar selalu menghina, sedangkan suami yang diharap akan memberi kedamaian, nyatanya membunuh perlahan. “Kamu menceraikan Vita, Gas!” Arum menggeleng lemah, menyadari kebodohan adiknya. Sebagai seorang kakak ipar, dia tahu betul karakter Vita. Susah rasanya jika Bagas menemukan yang lebih baik dari Vita. “Dia yang minta, Mbak! Lagian aku sudah punya penggantinya,” sahut Bagas enteng. Terperangah Arum mendengar jawaban adiknya. Sebagai perempuan, dia membenci lelaki model Bagas yang begitu mudah mencampakkan. Sementara itu, Gea yang sejak tadi tergugu seolah larut dalam kesedihan, tiba-tiba mengangkat wajah dan menyeka air mata. Senyum kemenangan jelas se
Doni menghentikan motor di halaman rumah yang tampak sepi. Mobil kakaknya yang biasanya teronggok di halaman, tak terlihat. Pun motor anggota keluarga yang lain. Dia mengalihkan pandangan pada rumah yang pintunya sedikit terbuka. Langkahnya mendekat, menduga ada salah satu anggota keluarga yang berdiam di rumah. “Assalamu alaikum.” Doni berteriak seraya membuka pintu. Dia terkejut melihat seorang perempuan yang sedang bersandar si sofa ruang tamu dengan posisi kaki berada di atas meja. Sesaat dia memindai wajah perempuan yang rambutnya dicat merah itu, mencoba untuk mengenali. “Hei! Siapa kamu! Kenapa masuk rumah orang sembarangan!” Gea membentak dengan sepasang mata melotot. Kontan saja Doni bertambah bingung. Sama sekali dia tak merasa kenal dengan perempuan itu, tapi kenapa bisa ada di rumahnya. “Maaf, aku pemilik rumah ini. Harusnya aku yang bertanya kamu siapa. Kenapa ada di dalam?” Doni bertanya balik. Gea tercenung. Dia menarik ingatan pada cerita-cerita Bagas sebelumnya
Sekuat apa pun mencoba tegar, hakikatnya Vita hanya perempuan rapuh, yang butuh seseorang untuk menguatkan di saat hati terpuruk. Tiga hari sejak talak dijatuhkan, akhirnya dia menyerah untuk memikul beban itu sendiri. Vita pulang ke rumah Ibunya, mengeluh kesahkan semua perih pada keluarga. “Nah kan! Apa aku bilang! Bagas itu bukan lelaki yang baik buat kamu. Salah sendiri dulu enggak mendengar nasihat kami. Sekarang jadi janda kan!” celetuk Lina. “Kamu sih! Sekarang nyesel kan!” imbuh Anggi. Bukan! Bukan ini yang ingin Vita dengar. Setidaknya kalimat motivasi akan membuatnya sedikit lega. Namun, dua kakak iparnya justru seakan menyalahkan. Benar. Dulu mereka tak suka dengan Bagas. Tapi, bukan karena karakternya. Baik Lina maupun Anggi tak setuju karena Bagas berasal dari keluarga biasa. Vita menyeka sudut mata. Aroma perih menguar, tatkala empati dari keluarga tak di dapat. Hanya Bu Aminah yang sesekali memintanya sabar, tapi tak bereaksi saat dua kakak iparnya mencemooh. “Te
Dari balik kaca jendela, Gea melongok ke luar. Dahinya berkerut saat melihat dua perempuan turun dari mobil, di mana salah satunya ada Vita. “Mas, itu kok mantan istrimu datang ke sini? Mau ngapain?” tanya Gea tanpa mengalihkan pandangan pada dua perempuan yang berjalan mendekat. “Paling juga mau jenguk Ibu,” sahut Bagas santai. Lelaki itu paham betul seperti apa sifat mantan istrinya. Vita pasti akan datang saat mendengar kabar jila Bu Asti sakit. Gea kembali duduk di tempat semula saat Vita dan Arum semakin dekat. Pura-pura memainkan ponsel agar tak ada yang rahu kalau habis mengintip. Pintu terbuka. Arum dan Vita langsung masuk dan berjalan ke arah kamar tidur Bu Asti tanpa menyapa dua orang yang sedang duduk di sofa, sementara Gea merasa tersinggung karena diabaikan. “Masuk rumah orang kok enggak ketuk pintu dulu. Enggak sopan!” cibir Vita. Suara itu berhasil menghentikan langkah Arum dan Vita. Keduanya berbalik. “Kamu mengatai aku?” Arum menatap tajam pada adik ipar barun