Sementara itu Kinan dan Ahmet yang mendengar keributan di luar langsung terbangun. Ahmet terperangah saat melihat ada Kinan di kamarnya.“Ngapain kamu di sini?” tanyanya marah.“Emmh, itu … Kek, aku mau bawakan makan malam, tapi Kakek udah tidur. Jadi aku tunggu di sini,” jawab Kinan sambil menunjuk ke sofa yang tadi didudukinya.“Kakek! Sudah kubilang jangan panggil aku kakek.” Ahmet berteriak dengan keras dan membuat Aldebaran mendengarnya. Dia gegas ke sana untuk melihat.Betapa bahagia rasanya saat melihat ada Kinan di sana yang tadi dia kira kabur.“Kenapa kamu di sini, Sayang?” tanya Aldebaran menghampiri Kinan dan berpura-pura bersikap romantis. Kinan tampak risih saat tangan Aldebaran menyentuh pinggangnya.“Mmh, itu, Tuan. Saya … mau ambilkan makan malam buat Kakek,” jawab Kinan polos. Aldebaran mengedipkan sebelah matanya berulang kali, memberi kode pada Kinan agar tidak menyebutnya tuan.Lelaki itu mendekatkan wajahnya pada Kinan dan berbisik, “Panggil aku sayang jika di de
Kinan masih fokus memijit kaki Ahmet, sementara Aldebaran mengajaknya untuk cepat-cepat. Dia sudah tidak sabar ingin menginterogasi wanita yang menjadi istri gadungannya ini.“Udah mendingan, kan, Dad?” tanya Aldebaran.Ahmet mendelikan matanya. “Aku lagi enak dipijitin. Ganggu saja kamu ini!” Dia hendak melemparkan lagi sebuah bantal pada anaknya, tetapi Kinan menahannya.“Ssst, jangan ribut.” Kinan menyilangkan telunjuknya di bibir.“Tuh denger! Sana pergi kau!” usir Ahmet mengacungkan tinjunya pada Aldebaran.“Hei, dia itu istriku. Seharusnya aku yang lebih berhak, bukan kau Pak Tua!” sergah Aldebaran.“Kau bisa sepuasnya sama istrimu nanti. Aku hanya sebentar saja. Aku ingin mengobrol dengannya.” Ahmet mengangkat bogemnya.“Aku kasih waktu lima menit lagi. setelah itu aku ajak Kinan pergi tidur. Ini sudah malam. Apa kau tidak mengerti bagaimana rasanya pengantin baru?” kata Aldebaran sambil melirik jam yang melingkar di tangannya.“Ya sudahlah. Pergilah kalian. Kakiku sudah jauh l
Aldebaran menatap tak berkedip pada wanita yang jatuh terlelap karena saking capenya. Kinan bercerita tentang hidupnya sambil menangis tadi. Entah kenapa Aldebaran ingin sekali memeluk dan memberikan bahunya untuk bersandar saat Kinan menangis, tetapi dia tak bisa melakukannya. Wanita itu masih sah menjadi istri orang.Saking lelahnya, Kinan meracau lalu kepalanya terkulai di pinggiran sofa.“Kupikir kisah hidupku yang paling buruk,” gumam Aldebaran sambil menatap dengan rasa kasihan pada Kinan. Dia menunggu hingga Kinan benar-benar terlelap, lalu memindahkannya ke atas kasur miliknya. Setelah yakin jika Kinan tidur dalam keadaan nyaman, dia lalu keluar dan menuju ruang kerjanya untuk tidur di sana.Aldebaran seakan susah untuk memejamkan matanya. Dia masih teringat saat Kinan menceritakan kisahnya dengan sang suami.“Kamu wanita tegar dan berprinsip. Berani meninggalkan suami seperti itu demi sebuah harga diri,” gumamnya, lalu terbayang wajah Kinan yang polos, namun pemberani. Ide-id
“Lina, Ima! Apa Nyonya sudah selesai?” tanya Javier dari luar pintu.“Sudah Bang Jev,” jawab Ima.“Tuan Al sudah menunggu di bawah untuk sarapan,” katanya. Lina dan Ima pun bergegas membereskan peralatannya.“Silakan duluan, Nyonya. Kamarnya biar kami yang bereskan,” ucap Ima. Walaupun merasa tak enak hati, tetapi Kinan tak punya pilihan lain, Aldebaran sudah menunggunya di bawah.Saat pintu terbuka Javier sempat terperangah melihat Kinan yang semakin cantik. Sebagai lelaki normal dia kagum dengan wanita ini.“Silakan,” ujar Javier yang mendadak bersikap begitu sopan.“I-iya,” jawab Kinan terlihat gugup.Dia berjalan pelan menuruni tangga lebar yang melingkar. Di bawah sana Aldebaran yang mendengar bunyi heels pendek dari sepatu yang dikenakan Kinan sontak menoleh ke arah tangga.Matanya terperangah untuk sesaat, sebelum akhirnya dia membuang muka karena Javier melihat padanya.Sangat aneh. Aldebaran sering berurusan dengan wanita berbaju seksi. Dia bahkan sering menikmati wanita tan
Apa jadinya kalau elu mesti kawin sama cewek yang masih bocah ingusan? Ribet! Resek! Tapi, gue terpaksa melakukannya demi kakek yang begitu sayang sama gue.Bayangin, deh, gue mesti kawin sama bocah yang sama sekali bukan tipe gue. Kurus kerempeng. Dada rata. Jilbaban pula. Iyuuh banget pokoknya.Kalian pernah terpana sama ketampanan bokap gue? Dia bahkan nggak ada apa-apanya kalau dibandingkan sama gue.Gue, Ken. Dan ini cerita hidup gue.**“Kinan, cepet pulang, ibumu didatangi Juragan Ganda.” Seorang wanita paruh baya mendekati gadis yang tengah membersihkan rumput di pinggiran kebun.Gadis itu mematung sesaat, sebelum akhirnya kembali sadar. “Juragan Ganda?” gumamnya lirih.“Iya. Ibumu nangis-nangis ketakutan mau ditendang sama anak buahnya Juragan.”“Astagfirullah.” Mendengar itu Kinan lantas berdiri dan berlari menuju rumahnya. Gerimis mulai membesar dan para pekerja mulai meninggalkan pekerjaannya untuk berteduh. Sudah hampir jam empat, waktu para pekerja untuk pulang.Masing-
“Hiiyaa!” Lelaki berkumis itu hendak melesakan tendangannya pada Albany. Namun, lelaki berkuncir itu gegas menghindar, hingga pengawal Juragan Ganda terhuyung ke depan terbawa tenaganya sendiri. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Albany langsung mengejar dan memiting tangan lelaki itu hingga terdengar bunyi gemeretak juga racau kesakitan. Sepertinya tangannya terkilir parah akibat pitingan itu.Pengawal Juragan Ganda yang satunya lagi sudah berdiri dan hendak memukul Albany dengan balok kayu yang tergeletak di pinggir jalan. Beruntung, Kinan berteriak memperingatkan. Albany pun berbalik dan secepat kilat menangkis balok itu dengan tendangan kakinya yang memutar. Balok kayu itu terpental dan tepat mengenai wajah si Pengawal. Dia terdengar lalu terjungkal dengan hidung mengeluarkan darah.Juragan Ganda yang tadi hanya memperhatikan, kini dia turun sambil menggerak-gerakan lehernya. Tangan dan kakinya sudah siap menyerang. Albany tersenyum menyeringai. Jika dua pengawal yang masih muda saja
Belum ada dua jam dari saat Za menyimpan ponselnya lalu tertidur. Benda pipih itu kini berdering nyaring membangunkan kembali pemiliknya.“Siapa?” Za memicingkan matanya lalu mengambil ponsel itu. Di sana terpampang nomor Ken, sang putra kesayangan.“Ken?” Za gegas mengangkatnya.“Kami dari kepolisian, mau mengabarkan jika putra Anda, Kenzie mengalami luka parah dan saat ini berada di rumah sakit Buana Mitra.” Hanya kalimat itu yang terdengar jelas di telinga Za sebelum akhirnya benda itu lepas dari genggamannya.“Ken!” pekiknya dengan hati yang gundah. Dia lalu membangunkan sang suami untuk pergi ke rumah sakit.Keributan yang dibuat Za dan Albany membangunkan Hendro juga Ningsih. Tak ketinggalan Kinanti juga ikut terbangun. Dia diminta menginap oleh Albany juga Za karena takut akan dicari lagi oleh Juragan Ganda setelah perkelahian itu.“Ada apa ini? Mau ke mana kalian?” tanya Hendro yang keluar dari kamarnya diikuti oleh Ningsih.“Ken, Pa,” ujar Za dengan wajah khawatir. Namun, be
“Apa benar yang dikatakan sama Mas Al, Bu? Semua ini karena Papa terlalu memanjakan Ken. Dia jadi berandalan dan susah diatur. Aku sangat menyesal tidak bisa mendidik Ken dengan baik.” Za mulai terisak.Ningsih menghela napas panjang. Dia juga mengakui hal itu. Suaminya terlalu memanjakan sang cucu. Apalagi Ken adalah cucu satu-satunya karena Za tak juga hamil setelah melahirkan putranya. Hendro berpikir, pada siapa lagi dia akan mewariskan hartanya yang banyak jika bukan pada sang cucu, karena Albany sang putra sama sekali tidak mau menerima pemberiannya. Albany sendiri sudah lebih dari cukup dengan usaha sayurannya yang semakin berkembang.“Ya, semua yang terjadi pada Ken memang ada andil kita di sana. Sepertinya kita harus melakukan sesuatu jika dia kembali sehat. Jangan sampai ini terulang lagi,” desah Ningsih dengan tatapan kosong. Za mengangguk setuju.Selama beberapa jam mereka menunggu kabar tentang Ken juga Hendro dengan perasaan cemas. Ketiganya langsung mendongak saat seora