"Risma! Makan dulu, Nak!" Teriakan wanita berusia 54 tahun itu menggema di rumah kecil ini hingga siapapun pasti dapat mendengarnya.Ya, beliau adalah Ibuku. Teriakannya tadi apakah memanggilku? Tentu saja bukan, melainkan memanggil anak perempuan kesayangannya, Kharisma Wijayanti, adik bungsuku yang kini berusia 19 tahun.Aku menghela nafas besar, melepaskan sesak yang kian menghimpit dada ini. Sudah jam 9 lebih tetapi anak manja itu tak kunjung meninggalkan alam mimpinya. Sedangkan aku? Sudah bermandikan keringat sejak usai subuh."Sayang! Bangun dong! Makan dulu, nanti asam lambung kamu naik loh!" Lagi, suara wanita yang telah melahirkanku 27 tahun yang lalu itu kembali menggema, kini dibarengi dengan ketukan pintu cukup keras. Namun, sang putri tak kunjung merespon."Sayang, habis makan kita ke salon yuk?" Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, bukan hal baru bagiku mendengar dan melihat Ibuku merayu anak kesayangannya itu dengan berbagai hal yang menarik. Aku berusaha menutup teli
Hari yang melelahkan dengan segala pekerjaan yang membuat seluruh tulangku seakan rontok dari pengaitnya. Meski melelahkan tapi aku sudah mulai terbiasa dengan keadaan ini.Hampir 2 bulan tubuhku dirajam dengan pekerjaan yang tiada habisnya. Lelah? Tentu, tapi tak se-lelah hati ini mendapat perlakuan yang begitu buruk dari Ibu dan adik-adikku.Dulu ketika nenek masih hidup, mereka tak begini padaku meski sama tak menganggapku ada tetapi mereka tak berani membebaniku dengan semua pekerjaan rumah yang tak ada habisnya ini. Pun dengan Ibu, ketika nenek masih hidup, perlakuan Ibu tak seburuk sekarang. Entah apa salah dan dosaku padanya.Jarum jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam saat aku masuk ke kamar yang selama ini aku tempati bersama nenek. Sekarang, kamar ini sangat multifungsi. Disamping sebagai tempatku melepas penat, juga merangkap sebagai tempat setrika dan tempat menumpuk baju-baju yang belum di setrika, bahkan ada beberapa kardus tempat pakaian yang sudah tidak terpak
Aku meraup udara sebanyak yang aku bisa. Mengeluarkan sesak sekaligus membulatkan tekad untuk bangkit melawan mereka yang telah berlaku dzalim terhadapku. Aku bangkit berdiri, lantas keluar kamar menuju kamar mandi di samping kiri kamarku. Bergegas membersihkan diri meski hari masih terlalu pagi. Karena baju atasku basah akibat siraman air oleh Risma tadi, aku memutuskan untuk mandi sekalian.Tak butuh waktu lama, aku segera mengakhiri ritual mandi di pagi buta ini. Berdiri di depan lemari yang menyimpan semua bajuku dan baju nenek.Begitu aku selesai memakai bajuku, pandangan mataku tertuju pada trap paling atas. Dimana, di sana berisi semua dokumen tentang diriku. Gegas aku mengeluarkan semua isinya, berniat melihat dan memastikan siapa diriku melalui surat-surat itu. Yang pertama aku ambil adalah map bening berisi semua raport dan ijazah dari TK hingga SMA, kartu keluarga asli, beberapa piagam dan tentu akte kelahiranku.Mataku dengan awas meneliti setiap nama yang tertera dalam a
Tok tok tok!"Assalamualaikum!" Tak lama terdengar putaran anak kunci dibarengi jawaban salamku tadi."Walaikumsalam. .eh, Zahra!" Seorang wanita cantik menyambut kedatanganku dengan senyum manisnya, namanya Mbak Ika. "Iya, Mbak." ucapku membalas senyumnya."Masuk, yuk!" ajaknya.Aku mengekor sang empunya rumah masuk ke dalam. Mbak Ika mempersilahkanku duduk di sofa ruang tamu, sedangkan beliau berlalu ke dalam untuk membuatkan minum.Tak lama beliau kembali dengan 2 gelas berisi minuman berwarna hijau."Diminum, Ra! Udah lama loh kamu gak main ke sini. Sibuk ya?" ucapnya sembari menjatuhkan bobot di sebelahku."Masuk sore, Mbak! Kalau pagi, biasalah. .banyak tugas negara!" jawabku membuat pemilik lesung di kedua pipinya itu tertawa. Entah apa yang beliau tertawakan, nasibkukah? "Kamu ini! Dahlah, kalau gak sanggup tinggalin aja ke sini!" ucapnya di akhir tawa.Ya, beliau adalah salah satu orang yang paling tahu kehidupanku setelah nenek tiada. Mbak Ika adalah menantu Pak Bandi, r
Usai berbasa-basi sekedarnya, kami di jamu untuk makan siang lebih dulu sebelum Kakek Beno berbicara padaku 4 mata saja. Sesungguhnya rasa hati sudah tak sabar lagi, tapi mau bagaimana lagi. Aku tetap harus sabar demi mendapat informasi tentang diriku sendiri. Aneh memang, tapi itulah kenyataannya. Aku harus mengorek informasi tentang diriku dari orang lain.Kami menikmati makan siang dengan hikmat, sesekali gelak tawa dari kami memenuhi ruang makan yang menyatu dengan dapur mewah ini. Kehangatan dan rasa kekeluargaan sangat terasa sekali, ada yang menghangat di hati ini. Ini untuk pertama kalinya aku merasakan layaknya memiliki keluarga yang utuh dan harmonis. Tante Maya dan Kakek Beno tak menganggapku orang lain, meski baru pertama kali aku datang kemari. Bahkan, anak kedua Tante Maya juga cepat sekali akrab meski baru beberapa menit yang lalu kami bertemu saat dia pulang sekolah.Usai makan dan sholat zuhur, di sinilah aku. Di teras belakang kamar Kakek Beno, duduk di kursi panjan
"Sertifikat rumah itu atas nama Arum. Tapi, dia sudah membuat surat pernyataan yang menyatakan bahwa setelah dirinya meninggal, sertifikat rumah itu harus dibalik menjadi namamu." ucap Kakek Beno membuat perasaanku seketika plong, itu artinya rumah itu benar menjadi hak milikku."Lalu dimana suratnya, Kek?" "Selama ini surat rumah itu ada pada Kakek. Makanya, setelah 7 hari Arum meninggal, Kakek segera urus balik nama surat rumah itu. Sekarang masih di kantor pengacara Kakek, kamu tenang saja, semua sudah berjalan seperti keinginan Arum." Aku tersenyum lega mendengar jawaban beliau."Senin besok biar sekalian dibawa sama Aksa, atau kamu mau ambil sendiri kemari?" "Gak usah, Kek. Sementara biarlah surat itu ada sama Kakek. Kakek tahu sendiri bagaimana tabiat Ibu dan Adik-adik Zahra. Kalau surat itu ada sama Zahra, Zahra takut tak bisa amanah, Kek." jawabku yakin, aku hanya takut Ibu dan kedua adikku akan merampas hak milikku. Biarlah sementara waktu ini mereka menikmati berada di ru
Saking gemetarnya aku sampai lupa menanyakan pin dari kartu tipis ini. Ah, tapi aku percaya jika pin kartu ini bukan kombinasi angka yang sulit sebab nenek adalah tipe orang yang tak mau ribet dengan angka-angka.Di sinilah aku sekarang. Di depan mesin canggih yang hanya dengan menekan angka maka dia akan mempermudah kita dalam bertransaksi.Meski sudah tahu jumlahnya di buku tabungan yang telah diperbaharui, tapi tetap saja aku harus memastikan lagi.Menarik nafas dalam-dalam dan segera memasukkan kartu itu pada tempatnya. Menekan beberapa digit angka yang merupakan kombinasi tanggal kelahiranku. Dan, berhasil hanya dalam satu kali tekan saja.Memilih menu informasi saldo dan terpampang dengan jelas 7 digit angka dengan diikuti 3 nol di belakangnya membuat keringat dingin merembes dari dahiku.Senang? Tentu saja, tapi rasa itu berbaur menjadi satu dengan perasaan heran dan penasaran akan sosok ayah kandungku. Aku memutuskan keluar tanpa transaksi lagi. Ataupun sekedar menarik bebera
Sejauh apapun kakimu melangkah pergi, tetap keluargalah tempatmu pulang.-Adinda Azzahra-Dering ponsel yang aku beli kemarin terdengar nyaring di gendang telingaku. Dengan berat aku mengulurkan tangan meraba di sela bantal. Begitu menyentuhnya, segera aku jawab panggilan itu tanpa melihat nomor siapa yang menghubungi."Hallo!" jawabku dengan suara berat."Hallo, Ra! Ini, Mbak Ika!" mataku membeliak mendengar suara Mbak Ika di seberang sana. "Kata Bang Aksa nanti jam 9 kamu ditunggu Bang Aksa di Bank. Suruh bawa buku tabungan sama KTP kamu yang asli." lanjutnya tanpa menungguku bersuara lebih dulu."Beneran, Mbak?" tanyaku memastikan."Iya, bener! Deposito Nenek kamu bisa langsung cair!" jawabnya meyakinkanku. Seketika kantuk yang mendera sirna sudah, tergantikan semangat yang luar biasa. Aku segera bangkit dan terduduk masih dengan ponsel yang menempel di telingaku."Alhamdulillah. ." gumamku bersyukur karena diberi kemudahan mengurus semuanya."Nanti Mbak Ika temanin ya?" pintaku.