Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Hasan, ada sesuatu yang terasa aneh dalam hatiku. Entah perasaan apa ini, aku pun tak dapat mendiskripsikannya dengan jelas.Hasan, pria yang mengaku mencintaiku dan bersedia menungguku. Nyatanya, hanya dalam hitungan kurang dari 4 bulan dari pernyataan cintanya, telah menambatkan hatinya pada wanita lain dalam ikatan sah secara agama dan negara. Ya, mereka telah resmi menikah satu minggu yang lalu. Parahnya, tanpa penjelasan apapun dari Hasan padaku. Ah, aku lupa jika aku bukan siapa-siapa untuknya. Jadi, untuk apa dia menjelaskan padaku, memangnya aku ini siapa? Ah, Zahra! Ingatlah siapa dirimu!Perasaan apa yang bergelayut di hati ini? Apakah cemburu? Tapi, aku rasa tidak. Lalu, marah? Entahlah, aku hanya merasa tidak dihargai oleh keputusannya. Tapi, ya sudahlah! Toh, memang aku sendiri yang meminta waktu 1 tahun kala itu. Mungkin memang dia bukan jodohku. Doa dan harapanku, semoga mereka bahagia dan berjodoh dunia akhirat. Juga aku berdoa
"Hei. .Siapa kamu?"Aku menelan salivaku susah payah. Gemetar seluruh tubuhku, jantungku berpacu cepat. Ya Tuhan, jangan sampai orang itu melihatku tadi keluar dari samping rumah."Hei, budeg ya? Kamu siapa?" ulangnya dengan menepuk bahuku.Mau tak mau aku menoleh ke arahnya, lelaki itu menatapku dengan intens. Lelaki jangkung di hadapanku ini adalah satu dari empat orang yang keluar dari mobil sedan yang terparkir di luar gerbang. "E- maaf, Bang! Saya cari Bu Rukayah, benar ini rumahnya, kan?" jawabku sedikit gemetar."Bu Rukayah? Bentar, gue tanyain dulu!" lantas pria itu masuk kembali tanpa curiga. Aku bernafas lega, itu artinya dia tadi tak melihatku keluar dari samping rumah. Tak lama pria itu kembali."Rumah Bu Rukayah di samping, bukan di sini!" jelasnya menunjuk rumah di samping kiri."Oh maaf, Bang! Kata orang tadi rumah ujung ini!" jawabku pura-pura kikuk."Hem!" dia mengangguk tanpa menyahut.Tak mau membuang waktu, aku segera keluar dari gerbang, berjalan dengan langkah l
"Kenapa orang itu ada di sini?" batinku sembari mematikan mesin kuda besiku.Bang Mada, anak pertama suami Ibu. Yang itu artinya dia adalah kakak Raka dan Risma. Sudah hampir 1 tahun kami tak bersua karena beliau tinggal di lain kota bersama keluarga dan Ibunya. Sedangkan, ayahnya yang juga ayahRaka dan Risma tak tahu dimana rimbanya. Itu sekilas yang beliau ceritakan dulu padaku. Entah jika sekarang!Melihatku datang, kedua pria dewasa itu menghentikan obrolannya. Aku segera naik ke teras sembari mengucap salam."Asalamualaikum!""Walaikumsalam!" jawab keduanya berbarengan."Bang," sapaku pada Bang Mada."Hai, Ra! Apa kabar?" tanyanya balik."Baik, Bang! Abang kok ada di sini?" "Iya, kebetulan ada urusan sama Aksa, jadi mampir ke sini. Pas mau pulang, Ika bilang kalau kamu mau datang. Jadi, Abang sengaja nunggu kamu datang." jelasnya dengan senyum yang masih sama seperti dulu. Ramah dan baik sama seperti ayahnya padaku."Oh, gimana kabar Mbak Sita dan anak-anak, Bang? Juga Tante Ra
Sepulang kerja aku segera tancap gas menuju rumah Kakek Beno, jika tidak macet maka aku akan sampai sekitar jam setengah enam. Saat hendak menstarter motor, Rika memanggilku dengan keras."Apa?" jawabku saat ia sudah berdiri di dekat motorku."Kamu mau langsung pulang?" tanyanya."Enggak aku ada urusan bentar, kenapa?""Oh, itu tadi Mbak Nurma pesan katanya besok pemilik cafe mau datang. Jadi kita diminta datang lebih awal, jam 7 udah harus datang katanya." jelasnya."Bang Haikal?" tanyaku memastikan."Bukan! Bang Hanan, pemiliknya sendiri yang mau datang." "Oh!" "Oh doang?" "Ya terus?""Au Ah! Yaudah, aku mau pulang. Besok jangan telat!""Oke!" Setelahnya gegas aku melajukan motor meninggalkan halaman kafe menuju kota S, rumah Kakek Beno.Sepanjang perjalanan, mendadak aku kepikiran soal Ayah kandungku. Sejujurnya aku sangat penasaran siapa sebenarnya dia? Kata Kakek Beno, dulu Ayah mau bertanggung jawab sama Ibu dan aku tapi faktor ekonomi yang menghalanginya. Itu artinya, belia
"Apa-Apaan ini?!"Aku kembali memungut lembaran kertas itu dengan senyum menyeringai."Bisa baca bukan?" ucapku tenang menatap tajam mata Raka yang kian memerah. "Jadi, diperbolehkan berkemas dan tinggalkan rumahku!" lanjutku tegas.Desi bangkit berdiri di samping suaminya, dia nampak gusar dengan ancamanku. Pun dengan Risma yang sama gelisah, tapi tidak dengan Ibu. Justru beliau diam tak melakukan pembelaan pada putra kebanggaannya itu. Apakah sejatinya beliau sudah tahu jika surat rumah ini atas namaku?"Hei, kamu ini kenapa sih? Jahat banget sama adik sendiri!" bentak Desi dengan suara bergetar. Bahkan di saat seperti ini saja mereka tak sudi memanggilku dengan sebutan yang lebih baik untuk ditujukan kepada orang yang statusnya lebih tua dari mereka, atau sekedar menyebut namaku saja tak mereka lakukan."Aku punya nama, Nona!" ucapku sembari bersedekap dada. "Dan apa kamu bilang tadi? Aku jahat?" ulangku lantas aku tertawa keras."Ya, aku jadi jahat sebab ulah kalian sendiri! Kali
"Kamu!"Ucap Kami berbarengan. Meski telah bertahun-tahun lamanya kami tak berjumpa tapi aku ingat betul pria tampan dengan bekas luka di pelipis kiri itu."El. ." gumamku tak lepas menatap wajah tampan itu."Jenong?"Plak!Reflek aku melayangkan pukulan ke bahu kirinya dengan cepat mendengar ia masih menyebutku dengan panggilan itu."Ya Allah! Dunia sempit banget ya! Atau kita memang ditakdirkan untuk berjodoh?" ucapnya tak tahu tempat.Seketika mataku melebar sempurna mendengar guyonan unfaedahnya itu. Bertahun tak bertemu tapi sengkleknya masih melekat, atau memang penyakit khasnya itu kekal abadi mendiami otaknya yang sudah gak penuh lagi? Entahlah!"Apaan sih! Masih gesrek aja kamu! Aku pikir setelah sekian tahun tak bertemu, otakmu udah penuh. Tahunya malah makin parah!" cibirku kembali berbalik badan dan berniat segera melanjutkan pekerjaanku yang tertunda itu."Eh Jenong, kamu kerja di sini?" tanyanya tetiba duduk di salah satu kursi yang mejanya sedang aku bersihkan."Iya!" j
Hari yang melelahkan namun membahagiakan sekaligus menegangkan telah berhasil aku lewati.Bertemu kembali dengan El atau sekarang lebih tenar dengan nama Hanan. Ah, aku saja baru tahu kalau dia punya nama sebagus itu, EL HANAN ABIMAYU. Menghadirkan getar rasa yang tak bisa aku jabarkan. Dia tak banyak berubah, hanya sekarang jauh lebih dewasa dan tampan, eh!Usai jam kerja, aku berencana segera pulang. Tak sabar rasanya melihat keluarga cemara nan harmonis dan bahagia itu kelabakan karena kalah taruhan denganku. Meski aku yakin saat ini mereka masih berada di rumahku. Melangkah pelan menuju loker untuk mengambil tasku, tetiba Suara Aldi menghentikan langkahku."Zahra!"Aku menoleh dan mendapati Aldi berjalan ke arahku."Eh, Ra! Udah tahu belom kalau si Risma itu gak cuma ngelon*e tapi juga make?" ucapnya pelan nyaris berbisik sembari matanya melirik sekitar.Aku menghela nafas besar lantas mengangguk pelan. Sontak matanya membulat sempurna."Gila!" umpatnya "Kamu tahu darimana, Di?"
Sepanjang perjalanan pulang tak sedikit pun bibir ini terkatup, hingga gigiku kering rasanya. Entah kebaikan apa yang ku perbuat di masa lalu hingga Tuhan berikan kebahagiaan yang berlipat-lipat demikian."Zahra, will you marry me?" Lamaran mendadak yang El lakukan tadi membuat jantungku berdetak berkali lipat lebih cepat. Wajahku memanas, tubuhku mematung seketika. "Zahra, please! Aku mau jawaban kamu!" paksanya dengan mengampit jemariku yang berada di atas meja. Ia menatapku penuh permohonan, ku selami mata indah itu dan ku temukan kesungguhan di dalamnya.Salahkah jika kali ini aku ingin menjawab, iya?Ada keraguan tapi lebih banyak keyakinan dalam hatiku. Entahlah, rasanya berbeda dengan kala Hadi melamarku waktu itu."Tapi-""Oke, kalau kamu butuh waktu, tolong pikirkan dulu. Tapi, aku harap sebelum aku kembali ke Batam, kamu harus sudah menjawabnya." pintanya lagi seolah mengerti akan apa yang aku pikirkan."Ra, udah dari dulu aku menyukaimu. Aku pikir rasa ini hanya rasa seme