Bab 5
Adinda baru saja pulang dari rumah sakit. Wanita itu melangkah masuk ke dalam rumah. Rumah itu sangat sepi karena para penghuni lain sudah pada tidur. Adinda melangkah menuju kamarnya, dia membuka pintu kamarnya dan melangkah masuk ke dalam kamarnya. Karena seharian jagain putranya di rumah sakit. Adinda menjatuhkan bokongnya di samping tepat tidur. dia memejamkan matanya dan seketika itu juga bayangan tentang Ikshan muncul dalam benaknya. 'Ikshan, maaf Ibu belum bisa tidur berdua denganmu,' gumam Adinda lirih. Tidak terasa air matanya mengalir dari pelupuk matanya. Akhir-akhir ini air mata itu terus saja mengalir tak henti saat mengetahui sang buah hati gila Adinda menyeka air matanya dan dia bergegas bangkit berdiri dan merenggangkan otot-otot tangannya yang terasa remuk redam. Sesudah itu Adinda melangkah menuju kamar mandi, dia akan mengguyur tubuhnya guna melepaskan rasa penat dan juga rasa stres yang tengah melandanya. Tanpa diketahui oleh Adinda jika ada seseorang yang masuk ke dalam kamarnya dan lampu kamar pun langsung mati. Adinda begitu kegelapan di dalam kamar mandi. Dengan meraba-raba Adinda mencari handuknya dan dia akhirnya mendapatkan handuk yang dia gantung, lalu dililitkan pada tubuhnya. Seseorang itu melangkah menuju kamar mandi dan membuka pintu kamar mandi. Srek! Bugh! Dua tusukan mendarat sempurna di bagian perut dan juga bagian mata. Ditambah lagi pukulan di kepala. Tubuh orang itu jatuh tersungkur dengan berlumuran darah. Langkah kaki keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju saklar lampu dan menyalakan lampu di dalam kamar itu. Lampu di dalam kamar itu kembali menyalah. Tubuh berlumuran darah itu ditarik menuju jendela kamar. Dengan susah paya orang itu mengangkat tubuh itu dan dilemparnya keluar. Prang! Suara tubuh orang itu terjatuh dari lantai atas. "Satu persatu dari kalian akan aku bunuh dan aku buat g i l a sama seperti apa yang sudah kalian lakukan pada anakku," gumam Adinda. Adinda lah yang berhasil menghabisi istri kedua suaminya. Ita, yang awalnya ingin menyerang Adinda, tetapi nyatanya dirinya yang lenyap dibunuh oleh Adinda. Adinda sudah menyiapkan benda tajam di dalam kamar mandi, karena dia tahu rencana jahat yang akan dilakukan keluarga suaminya itu. Adinda berdiri di depan cermin dengan senyuman penuh arti. Adinda seperti seorang psikopat, dia melangkah menuju lemari pakaiannya dan mengambil pakaian tidur. Setelah mengenakan pakaian tidur, Adinda kembali melangkah ke arah meja rias. Dia kembali bercermin di depan kaca besar itu. Adinda mengambil lipstik dan dia poles pada bibirnya. Lipstik berwarna merah itu serasa menyalah pada bibir seksinya. Sesudah itu, Adinda mengibas rambutnya yang basah. Gerakkannya seperti wanita psikopat yang penuh dendam. Tidak berselang lama terdengar suara teriakan Roy dari luar. Adinda mengabaikan teriakan itu, dia hanya mengintipnya lewat jendela kamarnya dan kembali tersenyum saat melihat suaminya yang menangis histeris dengan memangku tubuh Ita. "Ibu? Mira?!" teriak Roy memanggil Lina dan Mira. Lina langsung keluar dari kamarnya dan berlari keluar. Wanita paruh baya itu sangat syok melihat Roy memangku Ita yang berlumuran darah. "A-- ada apa ini?" tanya Lina dengan suara bergetar. Tubuhnya bergetar hebat tidak kuat melihat menantu kesayangannya yang berlumuran darah. "Ita dibunuh oleh orang, Bu." "Ibu panggilkan Ridho, kita harus bawa Ita ke rumah sakit." Roy mengangkat tubuh Ita menuju mobilnya. Sedangkan Lina berlari ke dalam rumah dan memanggil Mira dan Ridho. "Mira? Ridho? Bangun kalian!" teriak Lina sambil menggedor pintu kamar putri dan anak mantunya. Mira dan Ridho pun bangun dan membukakan pintu. "Ita, Mira... Ita," ujar Lina gugup. "Ada apa dengan Kak Ita?" tanya Mira dengan mata yang masih ngantuk. "Ita dibunuh, Mira. Kita harus bawa dia ke rumah sakit." Lina menarik tangan Mira dan Ridho keluar. Ridho dan Mira sangat syok saat melihat Ita berlumuran darah dipangku oleh Roy. "Buruan Mira, kenapa kalian lihat saja? Ambil kunci mobil, kita harus bawa Ita ke rumah sakit!" Dengan sedikit berteriak Roy meminta Ridho mengambil kunci mobil. Ridho berlari masuk dan tidak berselang lama Ridho kembali dengan kunci mobil. Pria itu bergegas membuka pintu mobil dan bantu mengangkat tubuh Ita ke dalam mobil. Setelah itu Ridho pun melesatkan mobil menuju rumah sakit. Ke rumah sakit hanya Ridho dan Roy saja, sedangkan Mira dan Lina tidak ikut. Mira harus jaga putri kecilnya dan Lina, wanita itu tidak kuat untuk begadang karena usianya sudah tua. Mira dan Lina melangkah masuk ke dalam rumah dan saat mereka hendak menaiki anak tangga menuju kamar, mereka berpapasan dengan Adinda yang menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Adinda melangkah santai dengan penampilan yang sangat cantik. Walaupun sudah berdandan cantik, tetapi wanita itu terlihat sangat menyeramkan karena tidak ada seulas senyum terpancar dari wajah cantiknya itu. Mira dan Lina segera menyingkir ke samping dan membiarkan Adinda menuruni anak tangga terlebih dahulu. Adinda mengabaikan dua wanita itu dengan menenteng kotak makanannya, dia melangkah kakinya menuju meja makan. Perutnya terasa lapar karena seharian tidak makan. Adinda membuka kotak makanan dan melahap makanan setelah membaca doa. Mira dan Lina hanya melirik sekilas ke arah Adinda dan sesudah itu mereka bergegas ke kamar mereka masing-masing. Mungkin nyali Ibu dan anak itu ciut saat melihat Adinda. * * "Maaf istri Bapak tidak bisa kami selamatkan," ucap Dokter. "Tidak! Ita tidak mungkin meninggal, dia masih hidup!" Roy tidak terima dengan kenyataan yang mengatakan bahwa istrinya sudah tidak bisa terselamatkan lagi. Roy terus saja berteriak histeris, tetapi sekalipun dia berteriak dan menangis sampai keluar air mata darah pun istrinya tidak akan bisa dihidupkan lagi. Jenazah Ita langsung dibawa ke ruangan mayat dan akan segera di bawa pulang ke rumah. Ridho bergegas menghubungi Mira dan memberitahu istrinya bahwa Ita, Adik ipar mereka sudah meninggal. Mira yang lagi di rumah pun sangat terkejut dengan kabar dari suaminya. Mira bergegas keluar dari kamar dan melangkah menuju kamar Ibunya dan memberitahu berita duka itu pada Ibunya. "Apa? Ita meninggal? Ini tidak mungkin!" Lina masih tidak percaya. "Kamu pasti salah dengar, Mira. Ita tidak mungkin meninggal," kata Lina. Wanita paruh baya itu masih tidak percaya jikalau anak mantu kesayangannya meninggal dunia. Adinda yang belum tidur pun mendengar semua pembicaraan Mira dan Lina. Tetapi dia abaikan saja, perasaannya sudah sedikit lega karena pelaku yang membuat anaknya g i l a sudah dia lenyapkan. "Ikshan, satu pelaku sudah Ibu lenyapkan." Adinda bergumam dengan penuh bangga. Bersambung ...Rossa baru saja keluar dari kamar Rajendra. Kini dia melangkah menuju kamar Khanza, ia ingin berbicara berdua dengan wanita itu. “Permisi,” ucap Rosa. Khanza menoleh ke arah sumber suara dan tersenyum. “Saya boleh masuk?” ucap Rosa meminta izin pada Khanza. “Boleh, Bu. Mari masuk.” Khanza mempersilahkan Ibu dari majikannya itu masuk ke dalam kamarnya. Rosa melangkah kakinya menghampiri Khanza. Wanita paruh baya itu menjatuhkan tubuhnya di sisi ranjang, tepat di samping Khanza. “Apa boleh kita bicara berdua?” Rosa mengajak Khanza untuk bicara berdua. Sepertinya ada hal penting yang mau dibicarakan oleh Rosa. “Boleh, Bu. Mau bicara disini? Atau di luar?” jawab Khanza yang tetap bersikap ramah dan sopan. “Di kamar Ibu saja, ya?” Rosa mengajak Khanza ke kamarnya. Khanza menganggukkan kepalanya. Rosa sendiri kembali bangkit berdiri. “Ibu tunggu di kamar, ya?” ucapnya sembari menepuk pundak Khanza. Rosa meninggalkan kamar Khanza. Lagi dan lagi Khanza menganggukkan kepalanya. Sebe
“Apa-apaan kamu, Sari!” pekik Ikshan. Dia berusaha mendekati Sari dan memegang kedua tangan dokter wanita itu. “Sekali lagi kamu nyakitin aku, tidak segan-segan aku laporkan kamu ke kantor polisi!” ucap Ikshan. Dia berhasil membawa Sari keluar dari ruangannya. Mendengar suara Ikshan dan Sari yang bertengkar di dalam ruangan beberapa perawat langsung berlari ke arah kedua dokter. Lusi selaku perawat di rumah sakit itu ia langsung melerai keduanya. “Kamu tidak pernah balas perasaan aku, kamu jahat Ikshan!” ujar Sari dengan suara lantang. “Kamu lebih memilih wanita gila itu, kamu dan dia sama-sama gila!” Sari terus saja berteriak dan memukul dada bidang Ikshan. Ikshan tidak peduli dengan perkataan dokter Sari, dia meminta pada salah satu perawat untuk mengobati luka yang dilempari oleh Sari. Lusi berteriak memanggil satpam meminta satpam untuk mengamankan Ikshan dan Sari.Setelah satpam mengamankan Sari, Lusi menemui Ikshan dan dia mengambil alih dari perawat lain untuk mengobati
Setelah kejadian Robby yang masuk ke dalam halaman rumah Jannah dan mencoba untuk meneror dan menghabisi Jannah, Ikshan terus saja menjaga wanita itu dan bawa Jannah ikut bersamanya. Apa lagi ada kejanggalan saat Jannah yang dipindahkan ke rumah sakit lain, membuat Ikhsan bertekat untuk bawa Jannah dan dia akan mencari tahu orang yang sudah menyuntik obat keras ada tubuh Jannah hingga wanita itu berteriak dan berontak seperti orang gila. Kedatangan Robby ke rumah Jannah sudah diketahui oleh kedua orang tua Jannah dan juga Ikshan. Mereka sudah mengeceknya lewat CCTV. Walaupun Robby memakai topeng, tetapi kedua orang tua Jannah mengenalinya. Kedua orang tua Jannah juga akan melaporkan kejadian itu pada pihak kepolisian dan sekarang pihak polisi tengah menyelidiki.Saat ini, Ikshan dan Jannah baru saja sampai di kediaman Ikshan. Ikhsan sendiri yang ada piket pagi pun harus berangkat kerja, dia langsung bersiap diri untuk berangkat ke rumah sakit. “Kamu di rumah saja,” kata Ikshan pada
Ikshan menginap di kediaman Jannah. Mereka juga sudah bawa Jannah keluar dari rumah sakit. Hanya selama ini kondisi Jannah memburuk karena ada orang jahat yang menyuntikkan obat ke dalam tubuh Jannah, sehingga wanita itu berontak dan teriak seperti orang gila. Saat ini kondisi Yura sudah kembali normal dan sebenarnya wanita itu sudah sembuh sejak di rumah sakit tempat Ikshan bekerja, tetapi karena disuntik dengan obat keras yang membuat Jannah berontak dan teriak-teriak seperti orang gila yang membuatnya terus dirawat di rumah sakit. “Apa bisa Jannah ikut bersama saya?” Ikshan meminta izin untuk bawa Jannah ikut bersamanya. Dia ingin menyelidiki lebih lanjut mengenai orang yang menyuntik otak ke dalam tubuh Jannah. “Boleh, dok. Tapi, apakah tidak merepotkan dokter?” Kedua orang mengizinkan Jannah ikut bersama dokter Ikshan, tetapi mereka takut merepotkan laki-laki itu. “Tidak ada yang merepotkan, justru saya senang. Karena nantinya Jannah bisa nemenin adik saya di rumah.” Ikshan
ANAKKU GILA S2 Semua masalah tentang Arunika sudah diurus oleh Ikshan. Laki-laki tampan itu rela ambil cuti demi mengurus masalah adik sepupunya. Selama satu bulan Ikshan cuti dia mengurus semuanya, tidak hanya mengurus masalah Arunika, tetapi Ikshan juga mengurus keberangkatan kedua orang tuanya ke tanah suci. Setalah semua urusannya selesai, Ikshan kembali masuk kerja seperti biasanya. Dokter tampan itu sangat bersemangat setelah cuti satu bulan penuh. Dia melangkah kakinya ke arah ruangannya, dia meletakkan tasnya diatas meja. sesudah itu dia kembali meninggalkan ruangan kerjanya. Dia melangkah ke ruangan rawat Jannah. Tentunya dia sangat merindukan pasiennya yang satu itu. Sesampai di ruang yang ditempati oleh Jannah, ruang itu sudah ditempati pasien lain.Ikshan menghentikan langkahnya dengan penuh kebingungannya, dan saat itu juga dia bertanya pada perawat yang tengah menangani pasien di dalam ruangan itu. “Sus? Pasien yang ada di ruangan ini pindah kemana?” tanya Ikshan. “
ANAKKU GILA S2 Semua masalah tentang Arunika sudah diurus oleh Ikshan. Laki-laki tampan itu rela ambil cuti demi mengurus masalah adik sepupunya. Selama satu bulan Ikshan cuti dia mengurus semuanya, tidak hanya mengurus masalah Arunika, tetapi Ikshan juga mengurus keberangkatan kedua orang tuanya ke tanah suci. Setalah semua urusannya selesai, Ikshan kembali masuk kerja seperti biasanya. Dokter tampan itu sangat bersemangat setelah cuti satu bulan penuh. Dia melangkah kakinya ke arah ruangannya, dia letakkan tasnya di atas meja. sesudah itu dia kembali meninggalkan ruangan kerjanya. Dia melangkah ke ruangan rawat Jannah. Tentunya dia sangat merindukan pasiennya yang satu itu. Sesampai di ruang yang di tempati oleh Jannah, ruang itu sudah ditempati pasien lain.Ikshan menghentikan langkahnya dengan penuh kebingungannya, dan saat itu juga dia bertanya pada perawat yang tengah menangani pasien di dalam ruangan itu. “Sus? Pasien yang ada di ruangan ini pindah ke mana?” tanya Ikshan. “