Bab 4
"Nda, tolong cepat ke rumah sakit. Ikshan terus saja berontak dan memanggil kamu," ujar dokter Ibnu dari seberang sana. "Baik, Dok. Saya akan segera ke sana," jawab Adinda. Adinda keluar dari kamarnya dan mengunci pintu kamar. Dengan langkah panjang Adinda melangkah keluar. Adinda berjalan ke arah jalan raya mencari taksi untuk mengantarnya ke rumah sakit jiwa. Ponsel Adinda terus saja berdering ada panggilan masuk dari dokter Ibnu. Adinda mengabaikan panggilan itu karena perasaannya saat ini tidak tenang dan pikirannya sudah jauh melayang tentang putranya tercinta. [Kamu ada di mana? Bisa lebih cepat] pesan masuk dari dokter Ibnu. [Saya masih dalam perjalanan.] Adinda akhirnya membalas pesan dokter Ibnu. Karena sudah tiga hari dokter Ibnu merawat Ikshan di rumah sakit membuat Adinda akrab dengan dokter berjenis kelamin laki-laki itu. Setibanya di rumah sakit, Adinda bergegas keluar dari mobil dan membayar ongkos taksi pada pak sopir. Sesudah itu Adinda berlari kecil masuk ke dalam rumah sakit dan dia pun akhirnya sampai di ruangan rawat putranya. Di dalam ruangan itu terlihat ada dua orang perawat dan juga dokter Ibnu yang tengah memegang kaki dan tangan Ikshan. "Ikshan harus diikat, dia terus saja berontak," kata Dokter Ibnu. "Lakukan yang terbaik, Dok. Yang tidak melukainya," ucap Adinda. Dia pasrahkan semuanya pada dokter dan juga perawat untuk kesembuhan putranya tercinta. Dua orang perawat pun langsung mengikat kedua tangan dan kaki Ikshan. Adinda mendekati putranya dan menyeka air mata yang terus merembes membasahi putranya itu. . "Mama, jangan ikat kaki dan tangan Ikshan. Mama, Ikshan takut. Papa jahat, Ma." Ikshan terus saja berteriak dan mengatakan jikalau papanya jahat padanya. Adinda meneteskan air matanya mendengar teriakan Ikshan yang terdengar pilu. "Mama, Ikshan takut! Mama, lepasin Ikshan, jangan ikat Ikshan, Ma!" teriak Ikshan lagi. "Iya, sayang. Mama akan lepasin ikatannya, tapi Ikshan janji sama Mama. Ikshan tidak boleh berontak, ya?" Adinda tidak tega melihat tangan dan kaki putranya diikat. Dengan penuh hormat Adinda meminta pada perawat untuk melepaskan ikatan tali pada tangan dan kaki Ikshan. Setelah terlepas dengan cekatan bocah gila itu langsung memeluk erat Ibunya dan bertubi-tubi mendaratkan kecupan. Dengan isak tangis, Adinda memeluk erat buah cintanya itu dengan rasa sakit yang mendalam. Hati Adinda sangat sakit melihat sang buah cinta jadi gila karena ulah lelaki yang darahnya mengalir darah tubuh putranya itu. 'Mereka jahat sama kamu, sayang. Mereka jahat sudah buat kamu seperti ini.' Adinda bergumam dalam hati. 'Ya Tuhan Yang Maha Esa berilah kesembuhan untuk putraku tercinta. Jika hamba berbuat dosa yang membuat-Mu murka, hamba mohon kirimkan saja karma itu untuk hamba, jangan Engkau kirimkan pada putraku.' Adinda berucap lirih dan air matanya tak henti-hentinya mengalir membasahi wajahnya. Dengan deraian air mata Adinda terus saja memeluk Ikshan dan tangannya mengusap lembut punggung sang putra. Mendapatkan perlakuan manis dan lembut dari sang Ibu membuat hati dan perasaan Ikshan tenang. Bocah 11 tahun itu tertidur pulas dalam pelukan san Ibu. Walaupun dalam posisi tertidur lelap, selembar foto sang Ibu tidak terlepas dari genggamannya. Foto itu terus dia dekap di dadanya. Dokter memberikan kode pada Adinda meminta wanita itu untuk menidurkan Ikshan di tempat tidur. "Biarkan aku memeluknya sebentar, dia rindu dan butuh pelukan hangat dariku." Adinda masih ingin memeluk putranya dan membiarkan putranya tidur dalam dekapannya. Dokter Ibnu memberikan kesempatan Adinda untuk memeluk Ikshan, lalu dia juga membiarkan Adinda bersama Ikshan di dalam ruangan rawat. * * * "Ke mana, Adinda? Kenapa dia belum pulang juga?" tanya Lina. "Biarkan saja, Bu. Palingan dia sedang mencari keberadaan putranya yang gila itu." Roy tidak peduli dengan Adinda yang tak kunjung pulang, padahal jam sudah menunjukan angka 9 malam. "Roy, kamu harus bisa memanfaatkan dirinya itu. Kamu harus bisa mengambil kembali hatinya, Ibu tidak mau hidup miskin dan terlantar di luar sana." Lina mulai cemas karena bisa saja sewaktu-waktu Adinda tahu kebusukan mereka dan mengusir mereka dari rumah megah itu. "Iya, Bang. Kamu harus bisa mempertahankan Adinda dan secepatnya kamu ambil sertifikat rumah ini dan ubah jadi milik kita." Mira ikut berbicara dan meminta Roy untuk mengambil sertifikat rumah tersebut dan mengubah nama kepemilikan jadi milik mereka. "Betul, Mas. Kamu harus mengambil sertifikat rumah ini dan ubah menjadi nama kamu." Ita juga ikut berbicara dan membenarkan perkataan Mira. Roy tidak menjawab, dia diam sembari memikirkan cara untuk mengambil alih rumah itu jadi hak miliknya. "Kenapa kita baru kepikiran sekarang? Kenapa tidak kita lakukan sejak dulu sebelum Adinda kembali dari luar negeri?" ucap Lina. "Iya, Bu. Kita tidak kepikiran dulu?" ujar Roy. "Halah, kamu si tidak berguna. Kamu selalu saja ngeyel kalau dibilang sama Ibu." Lina mempersalahkan Roy. "Iya, Mas. Ini salah kamu!" Ita juga ikut mempersalahkan Roy. "Cukup! Kenapa kalian mempersalahkan aku?! Kalian pikir aku tidak pusing mikirin ini dan itu? Kalian kalau tidak bisa berbuat apa-apa silakan kalian pergi dari sini!" cecar Roy memarahi keluarganya. Saat ini Roy sangat pusing dan juga takut karena dia diancam akan dilaporkan ke kantor polisi. adinda lah yang mengancamnya. "Kamu usir Ibu? Dasar anak durhaka!" Lina mengatai Roy anak durhaka. "Cukup, Bu. Cukup memarahi Roy dan mempersalahkan Roy. Saat ini posisi kita semua terancam, Adinda akan melaporkan kita semua ke pihak polisi." "Kita bisa di penjarakan karena sudah melakukan penyiksaan pada Ikshan dan membuat bocah itu gila. Adinda sudah tahu kebusukan kita, Bu." Mendengar perkataan Roy, membuat mata Lina, Mira, Ita dan Ridho membulat sempurna. Mereka sangat syok. Lina yang terserang penyakit jantung pun langsung duduk di sofa dengan menekan dadanya kuat. Mira dan Ridho saling menatap, karena mereka lah yang paling parah menyiksa Ikshan dengan melakukan pele*ah4n pada keponakan mereka. Tidak hanya Mira dan Ridho, tetapi Roy juga melakukan hal itu pada putranya. Sungguh tak bermoral ketiga manusia itu. "Sekarang kita cari cara untuk bisa melenyapkan Adinda. Karena hanya dengan cara itu kita bisa bebas dari ancamannya," ujar Roy. Mereka semua diam dengan pikiran mereka masing-masing. Mereka memikirkan cara untuk menyingkirkan Adinda. "Aku tahu caranya," ucap Ridho buka suara setelah diam beberapa menit. Lina, Mira, Ita dan Roy melihat ke arah Ridho dan siap untuk mendengar cara dari pria itu untuk melenyapkan Adinda. "Aku akan mendatangi kamar Adinda dan aku ... Aku akan membunuhnya saat dia tertidur lelap," ucap Ridho. Tanpa mereka sadari Adinda mendengar semua pembicaraan mereka. 'Kalian yang akan bunuh,' gumam Adinda. Bersambung ...Rossa baru saja keluar dari kamar Rajendra. Kini dia melangkah menuju kamar Khanza, ia ingin berbicara berdua dengan wanita itu. “Permisi,” ucap Rosa. Khanza menoleh ke arah sumber suara dan tersenyum. “Saya boleh masuk?” ucap Rosa meminta izin pada Khanza. “Boleh, Bu. Mari masuk.” Khanza mempersilahkan Ibu dari majikannya itu masuk ke dalam kamarnya. Rosa melangkah kakinya menghampiri Khanza. Wanita paruh baya itu menjatuhkan tubuhnya di sisi ranjang, tepat di samping Khanza. “Apa boleh kita bicara berdua?” Rosa mengajak Khanza untuk bicara berdua. Sepertinya ada hal penting yang mau dibicarakan oleh Rosa. “Boleh, Bu. Mau bicara disini? Atau di luar?” jawab Khanza yang tetap bersikap ramah dan sopan. “Di kamar Ibu saja, ya?” Rosa mengajak Khanza ke kamarnya. Khanza menganggukkan kepalanya. Rosa sendiri kembali bangkit berdiri. “Ibu tunggu di kamar, ya?” ucapnya sembari menepuk pundak Khanza. Rosa meninggalkan kamar Khanza. Lagi dan lagi Khanza menganggukkan kepalanya. Sebe
“Apa-apaan kamu, Sari!” pekik Ikshan. Dia berusaha mendekati Sari dan memegang kedua tangan dokter wanita itu. “Sekali lagi kamu nyakitin aku, tidak segan-segan aku laporkan kamu ke kantor polisi!” ucap Ikshan. Dia berhasil membawa Sari keluar dari ruangannya. Mendengar suara Ikshan dan Sari yang bertengkar di dalam ruangan beberapa perawat langsung berlari ke arah kedua dokter. Lusi selaku perawat di rumah sakit itu ia langsung melerai keduanya. “Kamu tidak pernah balas perasaan aku, kamu jahat Ikshan!” ujar Sari dengan suara lantang. “Kamu lebih memilih wanita gila itu, kamu dan dia sama-sama gila!” Sari terus saja berteriak dan memukul dada bidang Ikshan. Ikshan tidak peduli dengan perkataan dokter Sari, dia meminta pada salah satu perawat untuk mengobati luka yang dilempari oleh Sari. Lusi berteriak memanggil satpam meminta satpam untuk mengamankan Ikshan dan Sari.Setelah satpam mengamankan Sari, Lusi menemui Ikshan dan dia mengambil alih dari perawat lain untuk mengobati
Setelah kejadian Robby yang masuk ke dalam halaman rumah Jannah dan mencoba untuk meneror dan menghabisi Jannah, Ikshan terus saja menjaga wanita itu dan bawa Jannah ikut bersamanya. Apa lagi ada kejanggalan saat Jannah yang dipindahkan ke rumah sakit lain, membuat Ikhsan bertekat untuk bawa Jannah dan dia akan mencari tahu orang yang sudah menyuntik obat keras ada tubuh Jannah hingga wanita itu berteriak dan berontak seperti orang gila. Kedatangan Robby ke rumah Jannah sudah diketahui oleh kedua orang tua Jannah dan juga Ikshan. Mereka sudah mengeceknya lewat CCTV. Walaupun Robby memakai topeng, tetapi kedua orang tua Jannah mengenalinya. Kedua orang tua Jannah juga akan melaporkan kejadian itu pada pihak kepolisian dan sekarang pihak polisi tengah menyelidiki.Saat ini, Ikshan dan Jannah baru saja sampai di kediaman Ikshan. Ikhsan sendiri yang ada piket pagi pun harus berangkat kerja, dia langsung bersiap diri untuk berangkat ke rumah sakit. “Kamu di rumah saja,” kata Ikshan pada
Ikshan menginap di kediaman Jannah. Mereka juga sudah bawa Jannah keluar dari rumah sakit. Hanya selama ini kondisi Jannah memburuk karena ada orang jahat yang menyuntikkan obat ke dalam tubuh Jannah, sehingga wanita itu berontak dan teriak seperti orang gila. Saat ini kondisi Yura sudah kembali normal dan sebenarnya wanita itu sudah sembuh sejak di rumah sakit tempat Ikshan bekerja, tetapi karena disuntik dengan obat keras yang membuat Jannah berontak dan teriak-teriak seperti orang gila yang membuatnya terus dirawat di rumah sakit. “Apa bisa Jannah ikut bersama saya?” Ikshan meminta izin untuk bawa Jannah ikut bersamanya. Dia ingin menyelidiki lebih lanjut mengenai orang yang menyuntik otak ke dalam tubuh Jannah. “Boleh, dok. Tapi, apakah tidak merepotkan dokter?” Kedua orang mengizinkan Jannah ikut bersama dokter Ikshan, tetapi mereka takut merepotkan laki-laki itu. “Tidak ada yang merepotkan, justru saya senang. Karena nantinya Jannah bisa nemenin adik saya di rumah.” Ikshan
ANAKKU GILA S2 Semua masalah tentang Arunika sudah diurus oleh Ikshan. Laki-laki tampan itu rela ambil cuti demi mengurus masalah adik sepupunya. Selama satu bulan Ikshan cuti dia mengurus semuanya, tidak hanya mengurus masalah Arunika, tetapi Ikshan juga mengurus keberangkatan kedua orang tuanya ke tanah suci. Setalah semua urusannya selesai, Ikshan kembali masuk kerja seperti biasanya. Dokter tampan itu sangat bersemangat setelah cuti satu bulan penuh. Dia melangkah kakinya ke arah ruangannya, dia meletakkan tasnya diatas meja. sesudah itu dia kembali meninggalkan ruangan kerjanya. Dia melangkah ke ruangan rawat Jannah. Tentunya dia sangat merindukan pasiennya yang satu itu. Sesampai di ruang yang ditempati oleh Jannah, ruang itu sudah ditempati pasien lain.Ikshan menghentikan langkahnya dengan penuh kebingungannya, dan saat itu juga dia bertanya pada perawat yang tengah menangani pasien di dalam ruangan itu. “Sus? Pasien yang ada di ruangan ini pindah kemana?” tanya Ikshan. “
ANAKKU GILA S2 Semua masalah tentang Arunika sudah diurus oleh Ikshan. Laki-laki tampan itu rela ambil cuti demi mengurus masalah adik sepupunya. Selama satu bulan Ikshan cuti dia mengurus semuanya, tidak hanya mengurus masalah Arunika, tetapi Ikshan juga mengurus keberangkatan kedua orang tuanya ke tanah suci. Setalah semua urusannya selesai, Ikshan kembali masuk kerja seperti biasanya. Dokter tampan itu sangat bersemangat setelah cuti satu bulan penuh. Dia melangkah kakinya ke arah ruangannya, dia letakkan tasnya di atas meja. sesudah itu dia kembali meninggalkan ruangan kerjanya. Dia melangkah ke ruangan rawat Jannah. Tentunya dia sangat merindukan pasiennya yang satu itu. Sesampai di ruang yang di tempati oleh Jannah, ruang itu sudah ditempati pasien lain.Ikshan menghentikan langkahnya dengan penuh kebingungannya, dan saat itu juga dia bertanya pada perawat yang tengah menangani pasien di dalam ruangan itu. “Sus? Pasien yang ada di ruangan ini pindah ke mana?” tanya Ikshan. “