##BAB 49 Dendam Rosa“Saat aku merasakan sakitnya melahirkan dan bertaruh nyawa. Aku kembali ingat wajah Syailendra yang tengah tega membiarkanku menjalani ini semua sendirian. Hatiku seperti dihujam dengan belati tajam saat Vano lahir dan tumbuh tanpa kehadiran seorang Ayah. Apalagi setelahnya, Bapak menjadi penyakitan, tubuhnya semakin ringkih dan kurus karena memikirkan beban berat yang dia pikul. Bapak meninggal karena terlalu banyak mikir dan itu adalah kesalahanku. Dari situ aku berjanji, akan membalaskan semua dendam ini demi Bapak dan juga anakku, Vano. Aku ingin keadilan, agar semua yang terlibat denganku turut merasakan sakit yang aku rasa. Aku ingin semua yang telah menyakitiku, mendapatkan balasan yang lebih parah dari apa yang telah aku alami. Setelah kepergian Bapak, tekadku untuk menghancurkan mu semakin dalam. Aku rela bekerja serabutan mengambil cucian dari rumah ke rumah demi mengumpulkan uang untuk berangkat merantau kembali ke kota ini. Aku rela meninggalkan Ibu, A
##BAB 50 BuktiAku turun dari taxi dengan langkah terburu-buru, hingga lupa membayar argo yang tertera di dalam layar.Untung saja Ayah memaklumi dan mau mengerti. Aku sungguh tak peduli dengan sekitar. Yang ada dalam pikiranku saat ini hanya kondisi Cahaya.Dengan mengambil langkah lebar aku memasuki lorong rumah sakit, menuju lift yang akan membawaku ke lantai atas, di mana ruang ICU berada.Carissa tampak khawatir, wajahnya berurai air mata. Di sebelahnya ada Gilang yang turut menenangkan.“Bagaimana kondisi Cahaya? Dia baik-baik saja ‘kan?” tanyaku sembari memeluk Carissa.“Dokter masih menganalisa di dalam, Mbak. Ayo, kita saling berdoa! Cahaya pasti dalam keadaan yang Baik.” Carissa menuntunku untuk duduk di depan ruang.Ayah turut bersedih, aura wajahnya yang sendu terpancar dengan sangat jelas. “Apa aku boleh masuk?” tanyaku sembari menengok ke dalam pintu ruang ICU yang tertutup rapat.Tak seperti yang dikisahkan dalam sinetron biasanya, ruang ICU tembus pandang yang bisa di
##BAB 51 Keputusan DokterKembali lututku dibuat lemas oleh pernyataan Dokter mengenai kondisi Cahaya. Haruskah aku membawanya ke Singapura? Tapi tak mungkin, aku belum siap untuk semua, selain itu juga kemungkinan berhasil hanya sekitar 50%. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan?Aku akan segera memberi tahu hal ini kepada Mas Frengky, lelaki biadab itu harus tahu, bagaimana fatalnya kesalahan yang sudah dia buat.Iya ... aku harus segera ke sana. Tapi, sebaiknya aku menunggu kedatangan Ayah dan Ibu saja dulu. Aku tak tega jika harus meninggalkan Carissa sendirian di sini. Carissa sama terpukulnya sepertiku. Bukan hanya kami, pasti semua orang yang mendengar kisah pilu Cahaya akan berlaku simpati. Kenapa takdir Cahaya harus serumit ini?Aku terduduk dengan lemas, hingga satu suara dari notifikasi ponsel mengagetkanku.Gilang memanggil ....Ada apa, ya?Tak menunggu lama, segera aku geser lambang hijau ke kanan. Menempelkan daun telingaku ke arah ponsel.“Ya ... Waalaikumsalam, ada
##BAB 52 Mimpi Nayla“Mbak ... Mbak Nayla ... bangun dulu, Mbak,” ujar seseorang yang suaranya samar terdengar di telingaku.“Heh?” Aku menggumam, masih asyik bergelut dengan mimpiku.“Bangun, Mbak!” seru seseorang itu lagi. Kali ini sembari mengguncang-guncang tubuhku sedikit lebih keras.“Ah!” Aku tersentak saat membuka mata kudapati Gilang sedang memandangku dengan wajah aneh.“Loh, kok?” Mataku menatap sekeliling, aku mengucek mataku sekali lagi.Ah ... ternyata hanya mimpi. Syukurlah, ujarku dalam hati.“Kenapa, Mbak?” tanya Gilang penasaran.“Ah ... oh, nggak. Nggak papa,” jawabku sembari bergidik ngeri.Sungguh, serangkaian kejadian yang terputar di dalam mimpiku berasa nyata.“Kamu kok di sini?” tanyaku dengan alis mengkerut.“Maaf, aku lancang, Mbak. Tadi aku gedor Mbak Nayla nggak dengar. Kebetulan pas aku coba buka, pintunya nggak dikunci. Mungkin Mbak Nayla kelupaan. Ini aku bawakan teh hangat sama sandwich, mungkin Mbak belum makan. Ada apa, Mbak? Kamu mimpi buruk?” tanya
##BAB 53 Kemunculan Hendra“Kenapa kamu ada di sini?” tanyaku dengan suara yang lirih. Oh ... hati, ada apa denganmu? Kenapa kamu selalu saja berdesir seperti ini tiap kali ada lelaki yang mendekat.“Aku di sini? Tentu saja untuk menemui mu gadis pujaan ku,” ujar Hendra dengan senyum mengembang.“Aku serius, apa sekarang kamu sudah berubah menjadi ketua preman?” tanyaku dengan senyum tipis.“Tidak berlaku jika ada kamu, aku akan menjadi pangeran berkuda putih yang selalu setia menjaga dan menemanimu ke manapun engkau mau!” kata Hendra membuatku geli.Bahkan beberapa preman lain yang berada di sini, menatap Hendra dengan tatapan bingung. Mereka sepertinya malu, saat mengetahui tiba-tiba bosnya menjadi seperti remaja yang sedang di mabuk cinta.“Hendra, hentikan semua bualan itu. Saat ini aku tak main-main. Ada hubungan apa kamu dengan suamiku? Oh ... maksudku Mas Frengky,” ralatku dengan segera.Wajah Hendra berubah menjadi sendu, dia menatapku teduh.“Jadi, Frengky lah suamimu? Aku m
##BAB 54 Kepergian CahayaSetelah melalui perdebatan yang sedikit alot, akhirnya pihak dari kepolisian mau juga mengijinkan Mas Frengky untuk menjenguk Cahaya di Rumah Sakit. Tentu saja dengan waktu terbatas, serta pengawasan yang ketat.Mas Frengky juga tak diperbolehkan menumpang di mobil pribadi. Ada mobil khusus yang disediakan dari pihak kepolisian ditemani dengan enam orang petugas sebagai pengawasan.Kalau seperti ini aku merasa seperti sedang berjalan dengan artis ibukota yang dijaga ketat oleh beberapa bodyguard. Ya, anggap saja begitu.Aku menuju parkiran, masuk ke dalam mobil yang disopiri oleh Gilang. Sempat kulihat mata Mas Frengky menatap heran saat melihatku begitu dekat dengan Gilang. Biar saja, sesuka hatinya untuk menerka-nerka apa yang terjadi.Sesampainya di Rumah Sakit, para petugas menunggu di ruang tunggu. Dokter hanya mengijinkan aku dan Mas Frengky untuk menjenguk Cahaya di ruang ICU. Setelah memakai pakaian khusus dan masker medis, serta mencuci tangan denga
##BAB 55 Belajar IkhlasDokter melepas alat medis yang terpasang di tubuh Cahaya. Aku masih syok, tak percaya dengan semua ini.“Kenapa kalian semua diam saja? Kenapa kalian malah melepas semua alat itu? Kalian nggak kasian sama putriku, Cahaya? Dia bisa kesakitan hingga lemas jika kalian menghentikan memberinya obat dan cairan. Kenapa malah saling berpandangan? Kalian mau saya laporkan tak becus bekerja sebagai petugas medis? Iya?” Aku masih saja berteriak bak orang kesurupan.Suster memelukku, membawaku keluar dari ruangan.“Bu Nayla yang tenang, ya. Ikhlas, Bu. Jangan seperti ini, kasihan Adik Cahaya nanti nggak tenang perginya. Ibu yang tabah, sabar dan ikhlas.” Suster yang tak kuketahui namanya itu masih saja menenangkan ku.“Mbak, kenapa, Mbak? Kenapa nangis begitu?” tanya Carissa ketika aku berhasil keluar dari ruang ICU.Aku tak menjawab, hanya air mata yang terus mengalir dari kedua netraku.“Suster, ada apa? Semua baik-baik saja, kan?” Carissa memandang Suster dengan wajah h
##BAB 56 Mencari HendraSayup terdengar dengan merdu lantunan ayat suci di telingaku. Semakin lama semakin jelas hingga mampu membuat mataku sedikit terbuka.“Cahaya, di mana kamu, Nak?” tanyaku lirih sembari membuka mata. Di depanku sebelah kanan, sudah ada Carissa dan Ibu yang tampak cemas menatapku. Mataku beralih menatap ke sebelah kiri.Ada Bu Wak ....Wanita setengah baya itu pun turut cemas memandangku. Tatapannya nanar, tangannya perlahan diulurkan mengelus punggung tanganku.“Kamu yang sabar, ya, Nak. Ibu turut berduka cita atas meninggalnya Cahaya. Ibu nggak nyangka, semua ini tak luput dari tangan putri kandung Ibu sendiri. Ibu minta maaf yang sebesar-besarnya. Kiranya Nak Nayla masih punya kesabaran yang tak ada batasnya.” Mata Bu Wak berkaca-kaca, ada semburat kesedihan di sana.Aku tak tega, bagaimana pun ini bukanlah kesalahan Bu Wak. Tak ada hubungannya Bu Wak dengan kelakuan bejad Rosa kepada Cahaya. Bu Wak orang yang baik, dia sepenuh hati merawat ku dan sudah menga