Share

Bab 6 Sekotak Martabak

BAB 6 Sekotak Martabak

Sesampainya di rumah aku bergegas masuk ke dalam, dari ruang tamu Cahaya sudah menyambutku dengan senyum mengembang.

Matanya berbinar saat melihat sekotak martabak di tangan kananku.

“Wah, Bunda bawa martabak, ya?” tanyanya riang.

“Iya, dong kesukaan Cahaya,” jawabku sembari merengkuhnya dalam dekapan.

Mataku menyapu sekeliling, “Ayah mana, Nak?”

Cahaya seperti bingung akan menjelaskan sesuatu. Bibirnya digigit dengan kuat, aku paham betul jika Cahaya melakukan itu, tandanya ada sesuatu yang takut untuk dikatakan.

“Aya, denger Bunda ‘kan, Nak? Ayah di mana?” aku mengulang pertanyaanku.

“Di atas lagi siram bunga, Bunda. Yuk, Bunda main sama Aya, ya. Kan tadi sudah janji!” kata Cahaya sembari menarik tanganku menuju ke ruang keluarga.

Ada yang tak beres, kenapa aku tak melihat juga keberadaan Rosa? Apa dia sedang bersama suamiku?

Ah ... seandainya saja aku tak harus mendengar celotehan Cahaya tempo lalu, tentu pikiranku tak akan menerka hal buruk seperti sekarang.

“Oke, deh. Tante Rosa mana, Nak?” tanyaku sembari celingukan menatap kamar tidur Rosa yang berdekatan dengan ruang keluarga.

Kamar itu tampak tertutup rapat, mungkin dikunci dari dalam. Atau Rosa sedang tidur?

“Tante Rosa tidur, Bunda. Nggak enak badan,” kata Cahaya dengan wajah takut-takut.

“Kamu kenapa, sih? Kok kayaknya aneh?” tanyaku membingkai wajah Cahaya, ia hanya tertunduk.

“Ya udah nggak usah dibahas, ayo kita main. Main apa, nih, enaknya?” tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.

Kami pun larut dalam permainan yang seru, hingga tak sadar Mas Frengky sudah ikut bergabung.

“Wah, seru banget. Kok Ayah nggak diajak?” tanya Mas Frengky sembari menyugar rambutnya yang basah. Sepertinya ia baru saja selesai mandi.

“Iya, nih, Cahaya lagi kangen main sama Bunda,” ujarku datar.

Beberapa saat kemudian, Rosa muncul dari dalam kamar. Ia menenteng handuk dan pakaian ganti yang bersih.

“Loh, Ros, mau ke mana?” tanyaku seraya menghampirinya.

Rosa tampak kikuk dan salah tingkah.

“Eh, anu, Mbak. Mau mandi,” katanya sambil membungkus kepalanya dengan handuk.

“Kata Cahaya kamu sakit, apa demam?” tanyaku menatapnya lekat. Keringat sebesar jagung memenuhi dahi dan lehernya.

“Oh, enggak. Eh, iya, Cuma sedikit pusing aja, Mbak. Sepertinya masuk angin,” katanya.

“Pantas, keringatmu banyak sekali hingga bajumu basah, apa kamu gerah?” tanyaku semakin mendekatkan pandangan. Bisa kusadari bahwa ia mulai risih karena kutatap seperti itu.

“Iya, kurang enak badan aja kok, Mbak. Maaf, Mbak Nay, aku permisi dulu mau mandi,” ujarnya sembari melangkahkan kaki dengan cepat menuju ke kamar mandi.

Aku menggelengkan kepala, bingung melihatnya seakan menutup diri, tak seperti biasanya.

Jam menunjukkan pukul 18:43 WIB, selepas salat Isya’ kami terbiasa melakukan makan malam bersama.

Malam ini Rosa tak kuperbolehkan masak, melihatnya letih dan kelelahan sore tadi membuatku iba juga.

Kami sepakat membeli sate ayam di ujung komplek, Mas Frengky dan Cahaya yang berangkat. Sedangkan aku dan Rosa menunggu di rumah sambil menyiapkan nasi dan alat makan lain.

Rosa tak seperti biasanya, dia seperti menghindariku terus-menerus. Bahkan matanya tak berani menatapku saat berbicara.

“Ros, apa kamu sudah punya pacar atau mungkin calon?” tanyaku hati-hati. Sebenarnya sudah lama aku ingin menanyakan hal pribadi ini padanya, namun tak pernah kesampaian dan baru sekarang aku berani menanyakannya.

“Belum, Mbak,” jawabnya pelan.

“Kenapa nggak cari calon, keburu usianya matang, loh,” ujarku dengan senyum menggoda.

“Belum nemu yang pas dan cocok di hati aja, sih, Mbak,” sahutnya.

“Emang tipe cowokmu kayak gimana, sih?” pancingku.

“Kalau tipe, sih, Rosa pengen yang kaya, baik, pengertian gitu, Mbak. Yang sayang sama Rosa, jelek nggak papa asal banyak duitnya kalau jaman sekarang, Mbak!” tegasnya.

“Idih, udah mirip lagu aja kriteriamu,” kataku sambil terkekeh.

“Iya, dong, Mbak. Rosa serius, aku Cuma nggak mau aja setelah nikah malah updatean storynya jual cireng, jual seblak, atau open order keju mozarella. Pinginnya sih, Rosa kalau udah menikah jadi nyonya sultan gitu, mau apa bisa beli, pengen apa tinggal hayuk, serba ada dan keturutan deh pokoknya. Rosa pengen bahagia,” ujarnya menerawang.

“Walau tanpa cinta?” kataku memastikan.

“Untuk sekarang Rosa sudah nggak butuh cinta, Mbak. Asal duitnya ada, cinta bisa nyusul belakangan,” katanya sembari cengengesan.

“Ya ... kalau kamu mau yang kayak gitu dan serba instan sih, kebanyakan suami orang, Ros, yang banyak duitnya. Apalagi yang udah tua, sukses, pasti banyak tuh duitnya,” isengku mencoba menggodanya.

“Sikat, Mbak. Rosa mah nggak peduli, asal duit mengalir, Rosa bahagia. Jaman sekarang nggak ada duit rasanya mao meninggal, Mbak. Serius, deh!” katanya sungguh-sungguh.

“Gitu, ya? Emang sepenting itu uang di mata kamu?” tanyaku penasaran.

“Iyalah, Mbak. Penting banget! Makanya harusnya Mbak Nayla bersyukur udah punya suami kaya raya, baik, bonus ganteng lagi. Enak ‘kan Mbak Nayla diberi butik tinggal ngelola aja?” katanya sedikit menyindir.

“Siapa yang bilang kalau Mas Frengky kaya raya? Dan apa itu tadi, diberi butik tinggal kelola?” aku mencebik, lalu terkekeh, sungguh lucu perkataan Rosa barusan.

Dia tak tahu aku menahan bersenang-senang demi tercapai keinginanku, dia juga tak tahu apa saja yang sudah aku korbankan untuk membuat butik itu berdiri seperti sekarang.

“Mas Frengky yang cerita, dia bilang pengen bahagiain Mbak Nayla, asal Mbak Nayla seneng, semua akan dilakukan dan dituruti, banyak-banyak bersyukur, Mbak, sebelum menyesal,” katanya sarkasme.

“Menyesal maksud kamu?” tanyaku memicingkan mata.

“Ya, takut aja digondol maling, Mbak. Jaman sekarang ‘kan banyak tuh wanita penggoda yang suka duit suami orang,” kekehnya sambil menutup mulut.

“Wah, termasuk kamu, nih?” godaku ingin melihat reaksinya.

Benar saja, wajahnya memerah bak kepiting rebus.

“Nggak gitu juga kok, Mbak,” sahutnya salah tingkah.

“Santai aja kali, aku Cuma bercanda kok, nggak mungkin juga sih, kamu merebut Mas Frengky dariku, kamu juga sadar diri dong kamu siapa? Apalagi Mas Frengky, aku tahu banget selera dia kayak gimana!” tegasku seolah menekankan kata demi kata untuk menyadarkannya.

“Hehe, iya, Mbak!” sahutnya dengan mimik wajah yang tak bisa aku jelaskan.

Seperti kecewa, marah tapi ditahan.

Emang enak, lagian pede banget sih, sok sokan mau rebut, tapi, ya, silakan sih kalau mau, ambil aja. Aku mah santuy!

Keasyikan kami ngobrol, hingga tak sadar Mas Frengky dan Cahaya sudah pulang.

“Wah, akrab banget nih kalian, sepertinya seru ngobrolnya. Aku seneng deh lihat kalian akrab!” kata Mas Frengky dengan wajah berseri-seri.

“Maksud kamu?” tanyaku tak suka.

Sedangkan Rosa seperti tak mengindahkan kami yang sedang beradu argumen.

“Canda dong, Bunda. Tapi bener kok, aku seneng kalau di rumah ini saling menyayangi dan kompak!” kata Mas Frengky seperti kebingungan merangkai kata-kata.

Aku malas menanggapi ocehannya yang mulai ngelantur.

Kami melanjutkan makan malam dengan hening dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

Setelahnya kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat.

Keesokan harinya, ibu mertua datang bersama kedua adik ipar, siapa lagi kalau bukan Rini dan Reno.

Ya ... kepalaku bakalan makin puyeng kalau udah kedatangan mereka. Belum lagi celoteh ibu mertua yang semakin hari semakin berkicau seperti beo, ada saja yang salah di matanya. Semua yang kulakukan hampir tak pernah benar.

Aku berencana ingin mengajak Cahaya dan Mas Frengky untuk makan di Resto milik suamiku. Sekalian aku ingin terjun langsung melihat lapangan, ada apa gerangan yang kurang sehingga membuat Resto semakin sepi dari hari ke hari.

Mas Frengky pun menyetujuinya, kubiarkan ibu mertua dan kedua adik ipar singgah di rumah, sementara kami pergi.

Toh, ada Rosa yang akan menemani mereka, jadi tak akan sepi.

Sesampainya di Resto, aku bergegas menemui Gilang, Manager di sini yang dulu sempat kutegur perihal pesanan yang tidak sesuai. Dari sana juga kami bisa saling mengenal dan akrab sampai sekarang.

“Loh, ada Bu Nayla, udah lama, ya, nggak ke sini. Dari tadi?” tanya Gilang berbasa-basi sejenak saat melihat kedatanganku.

“Iya, kebetulan lagi sengang, ini pengen mampir sekalian refresing. Lama nggak makan masakan Resto ini,” jawabku sambil tersenyum.

Jam menjelang makan siang, Resto tampak ramai. Alhamdulillah, hari ini Resto terlihat ramai. Kata Mas Frengky beberapa hari belakangan ini sepi. Namun, rupanya hari ini sudah kembali normal. Terlihat dari meja yang hampir terisi penuh. Karyawan juga nampak sibuk mondar-mandir sedari tadi.

Aku menatap Gilang yang sedang asyik menatap layar komputer. Sedangkan Mas Frengky entahlah, sudah berkeliaran bersama Cahaya, untuk melihat kolam ikan mungkin.

Menurutku, Restoran ini sudah bagus. Fasilitas juga lengkap, seperti kolam ikan, tempat bermain anak, musholla dan toilet. Bangunannya pun terlihat rapi dan bersih. Makanan juga tak ada yang salah, semua enak dan sesuai kantong.

Tapi entah kenapa, kata Mas Frengky pengunjung jarang datang ke sini.

Aku masih mengamati Gilang yang tak mengalihkan pandangan dari layar monitor. Jari-jarinya dengan cekatan mengetik sesuatu, matanya juga bergantian menatap file di tangan dan mengecek kembali di layar.

Aku menghampirinya, siapa tahu bisa sedikit membantu atau setidaknya menghibur sejenak dengan bersenda gurau, dari pada dia jenuh dengan deretan angka dan file yang terlihat menumpuk.

“Pak Manager sibuk banget kerja, sampai lupa cari jodoh, nih!” kataku sembari mengambil kursi di sebelahnya.

“Eh, Bu Nayla lagi. Iya, nih, jodoh nggak usah dicari nanti juga datang sendiri,” ujarnya tersenyum simpul.

“Pasti puyeng, ya, kerjaan lagi banyak, gaji mentok segitu aja. Maklumin aja, ya, kondisi Resto memang sedang sepi. Doakan aja Resto kembali ramai seperti dulu, biar gajimu juga cepet naik!” sahutku sembari menepuk pundaknya pelan.

“Ha? Malah kita di sini sedang kewalahan, Mbak. Ya gitu, gara-gara Resto terlalu ramai, tapi gaji tetap, nggak ada bonusan. Uang lembur pun juga Cuma dijanjikan, Mbak. Eh, maaf, loh, Mbak. Aku Cuma nyampein uneg-uneg karyawan di sini, karena aku tahu Mbak Nayla orang yang bijak,” kata Gilang sembari menggaruk tengkuknya.

“Apa? Bukannya Resto sepi pengunjung, ya, akhir-akhir ini?” tanyaku untuk memastikan bahwa pendengaranku tak salah.

“Iya, Mbak. Dari bulan ke bulan omset Resto semakin naik, malah akhir-akhir ini puncaknya. Pengunjung sering datang ke sini untuk makan siang, kopi darat atau bahkan family time. Nih, lihat, laporan segini banyaknya, duit semua, tuh!” ujar Gilang menggodaku.

Aku hanya tersenyum kebingungan seperti orang bodoh.

Apa benar Mas Frengky membohongiku? Tapi kenapa?

Kenapa Mas Frengky bilang Resto sedang sepi-sepinya?

Lalu ke mana uang omset selama ini, bahkan ia sering meminjam uangku yang jumlahnya tak sedikit.

Ke mana perginya pundi-pundi uang suamiku?

Rahangku mengeras, satu kebohongan telah terbongkar.

Atau masih banyak kebohongan lain yang tertutup dengan rapat?

Kenapa bisa aku seceroboh ini, sebagai seorang istri aku bahkan tak mengerti apa-apa soal bisnis suamiku?

Dan anehnya dia masih saja kekurangan uang untuk ini untuk itu dan untuk semua hal.

Apa mungkin uangnya untuk mertua dan adik iparku?

Ah ... aku akan segera mencari tahu.

Lihat saja, Mas!

***

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Kasrumi
ayo Bu Nayla cepat cari info dan cepat gep tuh pelakor
goodnovel comment avatar
Nurli Eriza
terlalu percaya diri, padahal sebenarnya nayla bodoh.
goodnovel comment avatar
Nurli Eriza
masih aja dinayla begoknya nggk ketulungn.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status