##BAB 5 Wanita dan Bocah Asing
Apa tak ada kata selain sabar yang bisa sedikit saja menenangkan pikiranku saat ini.
“Sekarang gini, boleh aja kamu usir Rosa, tapi apa kamu udah menemukan pengganti Rosa yang sekiranya cocok dengan Cahaya? Tolong, Bun. Pikirkan anak kita, anak satu-satunya yang kita miliki saat ini.” Mas Frengky seakan-akan menekankan kata satu-satunya, membuatku teringat lagi akan Pelangi.
“Gampang, asal Rosa pergi dulu dari sini. Aku nggak mau, Mas, Cahaya jadi anak yang rusak!” ketusku.
“Rusak bagaimana, sih, Bun? Jangan berlebihan, bukankah selama ini kamu juga cocok dengan Rosa, malah berulang kali aku dengar kamu membangga-banggakannya, kenapa sekarang nggak lagi?” tanya Mas Frengky tajam.
“Sekarang udah beda, semenjak dia meracuni pikiran Cahaya, aku udah nggak sudi melihatnya!” sahutku tak kalah tajam.
“Oke, aku ada satu ide. Hal ini harus dilakukan demi kenyamanan bersama, kalau memang kamu bersikeras ingin mengusir Rosa dari sini,” kata Mas Frengky.
“Apa? Aku nggak suka basa-basi!” tegasku mengingatkan.
“Kalau memang keputusan mengusir Rosa sudah bulat, baiklah. Tapi dengan satu syarat, kamu harus berhenti mengurusi pekerjaanmu, bekerjalah dari rumah dan temani Cahaya sepanjang waktunya!” kata Mas Frengky membuatku tercekat.
Mana bisa begitu, aku dan butik sudah seperti tulang dan tubuh yang menyatu. Untuk meninggalkan butik rasanya tak mungkin, biar bagaimanapun aku tetap harus ikut andil dalam segala sesuatu urusan butik dan itu mengharuskanku untuk datang langsung, belum lagi jika ada jadwal tentang kontrak kerja sama dengan designer, model, dan beberapa klien lain. Bukankah dia juga tahu, jika butik merupakan sumber penghasilan selama ini, lalu bagaimana bisa dia seenaknya menyuruhku untuk tak ikut campur dalam urusan butik, dan sepenuhnya beralih fokus menemani Cahaya.
“Aku nggak bisa, kita udah sering ngomongin ini, kamu juga sudah tau ‘kan alasannya?” kataku memandang lelaki di depan dengan sinis.
“Ya sudah, jadi tak ada alasan untuk mengusir Rosa. Sudahlah ini sudah larut, besok aku harus bekerja keras memutar otak untuk kemajuan Resto, selamat beristirahat!” kata Mas Frengky seraya merebahkan tubuhnya membelakangiku.
Aku pun memutuskan memejamkan mata, mengistirahatkan tubuh dan pikiranku agar esok bangun dengan keadaan yang fresh.
Besok aku harus datang ke butik pagi-pagi sekali, karena rencananya akan diadakan meeting dengan klien yang terlibat untuk melancarkan launching bulan depan agar bisa maksimal.
Karena tujuanku mengundang klien dari kalangan pejabat, abdi negara tentu saja untuk menaikkan citra butikku di kalangan atas.
Jika satu orang saja mengakui kualitas yang diberikan butik, bisa jadi dia akan merekomendasikan kepada setidaknya lima orang rekan lainnya. Bisa dilihat dari situ bukan? Keuntungan yang akan aku dapatkan, itulah sebabnya banyak pengusaha memanfaatkan kolega atau perkumpulan tertentu untuk menggaet target market mereka.
Menurutku itu suatu investasi jangka panjang yang lumayan hasilnya. Asal kita percaya, produk yang kita hasilkan memang pantas diperdagangkan. Soal harga biasanya mereka tak akan mempermasalahkan selama kualitas terbukti bagus dan sesuai dengan selera. Inilah pentingnya aku hadir esok hari dalam rapat tersebut. Jika tanpaku, bagaimana mungkin bawahanku bisa meyakinkan mereka untuk datang ke undangan launching prodak terbaruku.
Bukannya aku tak percaya pada bawahan, namun, akan memberikan kesan dan nilai plus untuk citra butikku jika aku ikut terjun untuk mengikuti semua prosesnya. Ah ... sudahlah, memikirkan semua hal membuat kantukku dengan cepat menyerang. Sepertinya juga pikiranku sudah cukup lelah dan minta beristirahat.
Malam berganti dengan pagi lagi, aku sudah mandi dan berpakaian rapi untuk menghadiri meeting hari ini di butik. Sedangkan Mas Fengky juga sudah siap dengan kemeja flanel dan celana levis yang menjadi kebanggaannya. Kulihat di meja makan sudah tersedia cumi tepung dengan saus mentega, tumis kangkung, ikan gurame goreng dan sambal bawang. Rosa memang selalu pandai memadukan menu sehari-hari. Cahaya muncul dengan pakaian seragam khas Taman Kanak-kanak. Rambutnya dicepol lucu sekali, terlihat rapi. Bahkan Rosa juga pandai dan telaten merawat Cahaya.
“Pagi Sayangnya Bunda, yuk, makan dulu, Nak,” sapaku pada Cahaya sembari memeluknya singkat.
Cahaya tak menjawab, hanya tersenyum manis sambil berlalu duduk di sebelahku. Mas Frengky duduk di kursi utama sebagai kepala keluarga bak di sinetron-sinetron yang sering kulihat.
“Bagaimana tidurnya, nyenyak?” tanyaku sambil mengambilkan setengah centong nasi pada piring Cahaya.
“Iya, Bunda,” jawab Cahaya singkat.
Aku melirik Rosa yang masih sibuk mengecek tas sekolah Cahaya. Ia mondar mandir mengisi botol air minum milik Cahaya, lalu memasukkannya kembali ke dalam tas. Setelah bersiap dan rapi, Rosa berpamitan akan mengantar Cahaya ke sekolah, yang berada di ujung komplek berdekatan ke jalan raya.
“Bunda, salim dulu,” kata Cahaya meraih tanganku dan menciumnya.
Kubalas dengan mencium puncak kepalanya, dan membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang.
“Sekolah yang rajin ya, Sayang. Nanti Bunda pulang pengen dibawain apa?” tanyaku menatap bola matanya yang berwarna kecokelatan, turunan dari Mas Frengky.
“Ehm ... nggak usah, deh, Bunda,” jawabnya ragu.
“Oke, deh. Nanti sepulang Bunda bekerja, main sama Bunda, ya, Nak?” ajakku yang dibalas dengan binar kebahagiaan dari sorot matanya.
“Aku juga pamit sekalian berangkat, ya, Bun. Biar Rosa dan Cahaya aku antar sekalian, ‘kan searah,” ujar Mas Frengky sembari menggulung lengan kemejanya.
“Lo, terus nanti mereka pulangnya gimana?” tanyaku heran.
“Biar jalan kaki aja ‘kan bisa, lagian juga dekat,” sahut Mas Frengky enteng.
“Nggak, nggak usah. Biar Rosa pake motor aja, jadi Cahaya nggak perlu capek jalan kaki!” sanggahku.
Aku tidak akan rela putriku jalan kaki panas-panasan. Meskipun tergolong dekat, namun tetap saja bagi bocah berusia enam tahun aku merasa capek. Terlihat Mas Frengky mengedikkan bahu, tak berani membantah. Rosa bergegas keluar menuju garasi untuk mengambil matic yang memang khusus dipakai jarak dekat.
Kulihat wajahnya sedikit masam, bahkan senyum yang ditampilkan terlihat palsu. Aku pun tak peduli, setelah semuanya berangkat, aku menyusul mengeluarkan jazzku menuju ke butik.
Acara meeting berjalan dengan baik, semoga saja launching besok berjalan dengan sukses dan membuahkan hasil seperti rencana. Kulirik arloji digital yang berada di pergelangan tangan. Pukul 15:55 WIB. Sudah cukup larut aku berada di sini, sudah waktunya aku pulang untuk menikmati waktu bersama keluarga.
Di perjalanan aku berinisiatif membelikan Cahaya sekotak martabak keju favoritnya. Cukup lama aku mengantre, hingga akhirnya dapat juga martabak kesukaan Cahaya. Hendak masuk ke dalam mobil, aku melihat seorang perempuan setengah baya yang kutaksir usianya tak jauh berbeda dengan ibuku, perempuan itu menjajakan beberapa aksesoris wanita dan air mineral dalam keranjang sambil menggendong batita berjenis kelamin laki-laki, kira-kira berusia satu tahun.
Aku merasa terenyuh, teringat dengan ibu, kuhampiri perempuan tersebut.
“Maaf, Bu. Jual apa ini?” tanyaku sembari tersenyum.
“Oh, ini ada air mineral sama mainan anak kecil, Nak,” jawabnya dengan antusias.
“Saya mau beli, ya, semua berapa?” tanyaku yang tak tega melihat penampilan ibu tersebut, bajunya lusuh seperti baju yang sering dicuci kering pakai.
Ibu itu tercengang, memastikan bahwa telinganya tak salah mendengar.
“Ma-mau beli semua, Nak?” tanyanya dengan bibir yang bergetar.
“Iya, saya beli semua, ya,” ulangku sembari membantunya memasukkan dagangan ke dalam kantung plastik.
“Semua seratus ribu aja, Nak. Terima kasih banyak udah mau melariskan dagangan ibu, Nak,” ujarnya dengan suara bergetar menahan tangis.
“Nggak papa, ngomong-ngomong ini anaknya, ya ,Bu?” tanyaku berusaha sopan.
“Bukan, ini cucu saya, Nak,” ujarnya dengan sumringah.
“Oh, maaf , usia berapa, Bu?”
“Baru tiga belas bulan, alhamdulillah sekarang bisa beli susu, sudah hampir enam bulan ini ia tak minum susu karena ibunya pergi saat Vano berusia tujuh bulan,” ujar ibu itu sembari melamun. Pikirannya seperti menerawang.
“Oh, memang Ibunya ke mana, Bu? Maaf, ya, kalau saya lancang,” tanyaku hati-hati.
Entah kenapa batita bernama Vano ini sungguh menggemaskan dan berhasil mengambil hatiku.
“Ibunya pergi ....”
Kau adalah hatiku ... kau belahan jiwaku ... seperti itu ku mencintaimu sampai ... mati ....
Suara dering ponselku menghentikan percakapan kami berdua.
Tampak ibu itu diam dan mengerti, ia tak menggangguku mengangkat telfon.
“Iya, Sayang. Bunda udah mau sampai kok, Nak. Tunggu, ya!” sahutku di seberang telfon.
Rupanya Cahaya sedang menungguku untuk menagih janjinya bahwa kami akan bermain bersama.
“Bu, maaf, ini uangnya diterima, ya. Saya buru-buru karena anak saya sudah menunggu di rumah,” pamitku seraya menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan yang tak sempat kuhitung.
“Ini banyak sekali, Nak. Semoga Allah selalu melindungimu di manapun kamu berada, berkah, ya, Nak. Biar Allah swt yang akan balas semua,” kata Ibu itu yang terdengar samar di telingaku. Aku hanya mengaamiinkan dalam hati, karena sedang terburu-buru untuk masuk ke dalam mobil.
Aku tak ingin Cahaya menungguku terlalu lama, kasihan.
Melihat Vano tadi membuatku teringat pada Cahaya, bersyukurnya aku masih diberi kesempatan waktu untuk bersama dan bermain dengan putriku. Ah ... jadi rindu dengan Cahaya, tumben dia mau menelefonku. Biasanya ia jarang seperti ini, bahkan hampir tidak pernah. Makanya aku begitu senang saat tahu Cahaya yang menghubungiku hanya untuk menanyakan kapan aku pulang?
Sesederhana kebahagiaan seorang ibu, dicari dan dibutuhkan oleh buah hatinya sudah membuatnya melayang hingga langit ke tujuh.
Benar tak?
***
EPILOGEnam bulan kemudian ....“Pagi Sayang, have a nice day!” Aku sedikit kaget saat Hendra alias pria yang tengah sah menjadi imam ku memeluk pinggangku dari belakang. Sontak wajahku memerah, dia selalu saja berhasil membuat diriku melayang tinggi hingga menembus langit ketujuh.“Ngagetin aja, pagi juga, Mas!” sahutku seraya melanjutkan aktivitas mengiris daun bawang untuk pelengkap telur dadar sebagai sarapan pagi ini.Ya ... setelah menikah dengan Hendra selama hampir enam bulan ini, aku baru tahu bahwa dia suka sekali dengan telur dadar yang dicampur irisan daun bawang. Seakan tak pernah bosan, hampir setiap hari dia menginginkan masakan itu di setiap pagi untuk memenuhi asupan nutrisinya. Terkadang juga aku heran, bagaimana bisa lelaki dari keluarga berada dan bergelimang harta bisa mempunyai makanan favorit berupa telur ayam sederhana. Kenapa bukan masakan ala western atau mungkin makanan dengan gizi lengkap yang seimbang. “Kok diem? Ngelamun, ya?” tanya Hendra yang kini mend
##BAB 91 Akhir KisahBerkali-kali aku menghubungi Hendra, hingga puluhan panggilanku tak ada satu pun yang dijawab. Sampai pusing aku berjalan mondar-mandir bak setrika. Bu Wak bingung melihat tingkahku yang tak karuan. “Kenapa, toh, Ibu lihat dari tadi maju mundur kayak orang bingung. Ada masalah?” tanya Bu Wak terlihat perhatian, seperti biasa.Aku menggeleng, tentu saja hal seperti ini tak mungkin aku sampaikan kepada Bu Wak. Biarlah ini menjadi urusan pribadiku. Aku beranjak menuju ke kamar, tiba-tiba saja air mataku tumpah tanpa sebab. Aku tak tahu, apa yang aku rasakan hingga tiba-tiba menangis tanpa alasan. Masih dalam genggaman, kulihat layar ponsel yang masih sepi, tak ada tanda-tanda Hendra menghubungi ku kembali. Apa yang dia lakukan sebenarnya di sana?Hingga kecapekan menangis, membuatku ketiduran. Entah sudah berapa jam aku tertidur, ketika bangun ponselku sudah dipenuhi panggilan tak terjawab dari Hendra. Aku tak mendengarnya karena ponselku masih berada dalam mode sil
##BAB 90 Suara Wanita MencurigakanSUARA WANITA MENCURIGAKANANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKU (S2)“Kapan kamu siap untuk menikah? Mungkin kamu berkeinginan memilih tanggal yang cantik?” ucap Hendra.“Terserah saja, yang penting jadi menikah. Semua tanggal itu baik, ‘kan?” ujarku sembari tersenyum.“Iya juga, Papa sudah siap memfasilitasi semuanya. Aku hanya perlu menyiapkan mahar beserta mas kawin. Kamu mau apa?” tanya Hendra menatapku intens.Kami bertemu kembali di rumahku, setelah tiga hari dari rumah Ayah kemarin. Hendra pulang ke rumah Papanya untuk mengabarkan keputusanku tempo lalu. Alhamdulillah akhirnya Tante Sofia pun ikut menyetujui walaupun aku tahu mungkin dia terpaksa.“Yakin nih, aku bebas pilih sendiri mas kawinnya?” tanyaku dengan senyum menggoda.“Dengan senang hati!” Hendra menaik-turunkan alisnya memandangku.“Aku hanya bercanda, terserah kamu saja, deh!” ucapku seraya tertawa.“Bagaimana kalau pabrik usahaku saja yang kujadikan mahar?” tawar Hendr
##BAB 89 Keputusan NaylaKeesokan harinya, Hendra benar-benar serius dengan ucapannya. Pagi-pagi sekali dia sudah menjemputku, kami berencana akan pergi ke rumah Ayah. Berdua saja dan kali ini menggunakan mobilku.“Udah siap? Berangkat sekarang, ya?” tanya Hendra yang kini sudah berpakaian rapi, yakni kemeja lengan panjang, celana bahan dan sepatu pantofel. Menurutku dia lebih mirip seperti orang yang akan melakukan interview di perusahaan besar dari pada bertemu calon mertua. Eh ....Ah, membayangkan Hendra akan menjadi menantu Ayahku saja sudah membuatku berdetak hebat tak karuan begini. Aku benar-benar dibuat mabuk kepayang dengan pesonanya.“Yuk!” seruku bersemangat.Kami menempuh perjalanan sekitar dua jam, aku sengaja tak menghubungi Ayah dan Ibu jika ingin ke sana. Biar ini menjadi surprise nantinya. Hendra tampak gusar, beberapa kali mengusap wajahnya dengan handuk kecil berwarna hijau muda. Padahal tak ada peluh yang menetes, tapi ... entahlah apa yang dia bersihkan.“Kamu ke
##BAB 88 Melamar Nayla“Gimana, Nay? Kapan aku bisa menemui orang tuamu?” tanya Hendra membuatku terperangah. Rupanya dia serius dengan niatannya. Aku pun tampak berpikir, tak ada salahnya untuk mencoba. Lagian, bukankah ini memang tujuan awalku untuk memberikan balasan pada Rosa? Aku tersenyum menyeringai.“Kalau kamu serius, bisa temui orang tuaku besok. Di sana aku akan memberimu keputusan,” kataku dengan senyum mengembang. Hendra terlihat antusias, dia melirik ke arah Papanya yang diangguki dengan senyuman merekah. Sorot bahagia sangat terpancar dari netranya.“Oke, besok aku akan menemui kedua orang tuamu untuk meminta restu. Aku serius ini, Nay. Jangan pernah anggap niat baik ku sekedar main-main,” kata Hendra terdengar mengintimidasi. Aku hanya merespon dengan anggukan. Aku juga serius, meskipun niat sampingan juga karena iseng untuk balas dendam kepada Rosa. Setelah mengobrol banyak hal, aku memutuskan untuk mengajak Hendra pulang. Sebelum ke rumah, aku ingin mampir ke butik
##BAB 87 Pernikahan GladysHari ini Hendra akan menjemput ku untuk menghadiri pesta pernikahan Gladys. Sengaja aku tak mengajak Vano dan Bu Wak, tentu saja malas jika harus berhadapan lagi dengan Tante Sofia. Untuk sementara ini, aku akan menghindarinya terlebih dahulu. Aku mengenakan gamis bertajuk glamor mirip yang dipakai salah satu artis membahana. Tak lupa perhiasan dan cincin berlian tersemat manis di jari-jariku. Aku pun memakai hijab yang senada dengan warna gamisku. Tas bermerek dengan harga puluhan juta tak lupa bertengger manis di lenganku. Perfect sekali. Aku sengaja ingin tampil mewah agar tak selalu direndahkan, apalagi di mata Tante Sofia. Sudah cukup dia menghina diriku serta keluarga kecilku.Aku menaiki mobil Hendra dengan hati-hati. Berpakaian mewah seperti ini memang sedikit ribet dan harus tampil dengan elegan. Hendra menatapku takjub hingga tak berkedip. Kami menuju ke arah lokasi dengan ditemani obrolan renyah dan santai. Hendra tampaknya mulai kembali ceria dan
##BAB 86 Persepsi NaylaSaat aku membuka mata, rupanya sudah hampir sampai di rumah. Cukup lama juga aku tertidur, mungkin efek banyak pikiran membuatku susah tidur dari kemarin. Baru sekarang aku bisa tidur nyenyak meskipun sebentar, mungkin karena pikiranku yang plong. Sebelum turun, Hendra sempat mengingatkan untuk mengajak diriku hadir di acara pernikahan Reno dan Gladys yang akan diselenggarakan minggu depan. Aku belum mencari tahu bagaimana informasi perkembangan dari hukuman Mas Frengky. Mungkinkah Gladys tetap pada pendiriannya untuk membebaskan Mas Frengky? Atau berpura-pura tak peduli lagi, entahlah. Yang pasti, menurut pengacaraku bukti yang aku berikan beberapa waktu lalu sudah cukup kuat dan akurat untuk kembali memberikan hukuman tambahan buat Mas Frengky. Aku ingin lelaki durjana itu menerima hukuman yang pantas. Selain kedua kakinya yang tak berfungsi tentunya. Aku belum puas jika hanya kakinya saja yang tak berfungsi. Dia layak mendapatkan hukuman yang lebih parah dar
##BAB 85 Mengobrol dengan Rosa“Nayla ... maafkan aku,” ujar Hendra lirih. Terdengar menyayat di telingaku. Aku benci orang meminta maaf, aku bosan memberikan maaf terus-menerus.“Nggak usah dibahas, fokus sama menyetirmu, agar kita segera sampai!” Aku memalingkan wajahku menghadap ke jendela, tak ingin Hendra melihat bagaimana ada gurat kesedihan di sana.“Iya!” Hendra kembali fokus menyetir.Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di kantor polisi, di mana Rosa menghabiskan sisa waktunya. Seorang petugas yang biasa menerimaku, menuntun kami masuk ke dalam ruangan berukuran 3x4 meter. Lima menit menunggu, seorang petugas berjenis kelamin wanita membawa Rosa menghadap padaku dan Hendra. Kami hanya diberi waktu lima belas menit untuk mengobrol. Ada bangku panjang menghadap ke dinding, aku duduk di sana. Sedangkan Hendra duduk berhadapan dengan Rosa yang disekat dengan triplek sebatas dada.“Akhirnya kamu datang juga. Nayla ternyata serius menepati janjinya padaku!” ujar Rosa dengan
##BAB 84 Menemui Rosa“Apa kau ingin bertemu dengan Rosa?” tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Padahal di dalam dada muncul rasa gejolak yang begitu aneh.“Iya, cepat atau lambat, aku harus menemuinya, Nay ... kenapa aku menjadi pria pengecut seperti ini?” Hendra menggeleng sembari menarik rambutnya dengan kedua tangan.“Sudah, jika kamu terus-terusan begini, nggak akan menyelesaikan keadaan. Hidup harus maju ke depan, tak baik hidup terbayang dengan kenangan,” ujarku seraya mengulas senyum.“Terima kasih, Nay ... kamu selalu bisa menjadi penyejuk untukku,” kata Hendra membuatku melayang tinggi. Namun, dengan cepat kutepis semua perasaan itu, aku tak boleh terlarut dalam rayuan Hendra sebelum pria itu memberiku kepastian.“Sama-sama. Kapan pun kamu mau ke sana, kamu bisa hubungi aku. Dengan senang hati aku pasti akan mengantarmu ke sana.” “Baiklah, biarkan aku menenangkan hatiku terlebih dahulu, aku ingin menemuinya dalam keadaan siap. Aku tak ingin menghancurkannya lagi, kasihan d