ANAKKU PULANG SEPERTI PEMBANTU
Part 3 Terburu-buru Seperti Ketakutan
“Kamu sudah besar dan bisa menentukan pilihan hidup dengan langkah apa yang kamu tempuh. Jika kehidupan itu tak baik dan kamu tersiksa, jangan takut melawan dan keluar dari belenggu itu. Jika bukan kamu yang bertindak, orang lain tak akan bisa membantu. Jangan sia-siakan hidup dalam kesengsaraan. Kamu masih muda dan berhak cari kebahagiaan lain, Nak.”
Mila langsung beralih menatapku. “Ibu bicara apa sih? Akubaik-baik aja dan nggak ada masalah kok.” Sekali lagi Mila menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi.
Meskipun ia menyangkal beribu kali, namun hatiku tak bisa dibohongi. Aku yang melahirkannya dan tentu tahu sikapnya. Jika ia menyangkal, pasti ada sesuatu.
“Apakah tak ada pakaian lain? Kamu nggak pernah beli baju disana?” Kusentuh lengan bajunya yang entah berwarna putih susu atau krem.
“Oooh, ada kok, Bu. Tadi terburu-buru dan takut ketinggalan pesawat,” jawabnya seperti berusaha tersenyum.
“Kamu udah berencana pulang, masa untuk pakaian tak ada persiapan mau pakai apa? Lagian mengambil di lemari saja apa susahnya.”
“Kan terburu-buru ceritanya, Bu. Lagian yang penting aku selamat balik kampung. Maaf ya, Bu, aku nggak bawa oleh-oleh. Maklumlah, keadaan mertuaku sedang sulit semenjak tokonya terbakar.”
“Ibu nggak berharap oleh-oleh, yang penting kamu pulang dan Ibu bisa melihatmu setiap hari.”
Aku bangkit dari duduk. “Istirahatlah, Ibu sudah siapkan seprai baru di kamarmu. Ganti bajumu, lagian baju masih gadismu masih rapi di lemari, ketimbang pakai baju itu.”
Badan Mila tambah kurus, tepatnya kurus kering dan kusam.Bisa jadi pakaian waktu gadisnya agak longgar. Seharusnya wanita setelah menikah dan melahirkan lebih terlihat berisi. Namun tidak bagi anakku. Justru iaseperti mengalami tekanan hidup sehingga pulang seperti pembantu.
“Iya, Bu, badanku juga capek.” Mila bangkit dari duduk, lalu berlalu ke kamar.
Setelah anakku masuk kamarnya, kutumpahkan tangis dengan sedihnya melihat putri satu-satunya seperti itu. Kupeluk foto almarhum suamiku dengan tetesan air mata dalam tangis tanpa suara. Aku tak boleh terlihat lemah oleh Mila, karena jika aku lemah, siapa yang bisa menolong anakku dalam kesengsaraan hidup. Aku yakin putriku sengsara setelah menikah.
Kulanjutkan membuat dendeng kering untuk dijual. Dengan mengumpulkan uang banyak, aku yakin bisa memberikan bekal buat Mila seandainya aku tak bisa melihatnya lagi. Semakin ke sini, semakin rasa cemas menyelimuti diri, ‘Kalau seandainya aku meninggal, bagaimana dengan nasib putriku.’
Aku menghela napas panjang berusaha tenang. Menata hati agar kuat. Aku tak boleh lemah demi putriku.
Potogan daging itu aku letakkan di napan besar, lalu melangkah ke luar ingin menjemurnya di atas atap. Biasanya memanjat kursi kayu baru bisa menjemur daging ini. Ini adalah rutinitas selain menjual daging dipasar.
“Tapi aku masih kangen Ibu, Mas.”
Langkahku terhenti kala mendengar suara Mila bicara. Kuputuskan mengintip di balik tirai pintu kamarnya, ternyata ia sedang bicaradi telepon. Aku pastikan ia bicara dengan suaminya karena memanggil ’Mas’.Namun, kenapa ia bicara seperti itu?
“Iya, Mas. Aku tau. Tapi aku baru aja datang dan sudah lama nggak ketemu Ibu. Biarkan aku nginap di rumah Ibu. Lagian Ibu juga nanyain Mas.”
Aku menyimak perkataan Mila. Suaranya agak pelan seperti takut terdengar. Namun aku bisa mendengar jelas karena berdiri dekat pintu kamarnya.
“Baiklah, Mas. Aku akan pulang sekarang juga. Mmm, kamu kan udahdi rumah, apa salahnya jemput aku. Apa? Ba-baik Mas.” Lalu Mila memasukan ponselnya ke dalam tas. Ia sudah selesai menelepon. Aku segera melanjutkan langkah ke luar untuk menjemur daging.
“Ibu! Ibu!” teriak Mila kala aku meletakan napan di atasatap.
“Ya, Mil!” sahutku, lalu turun dari kursi kayu.
“Bu, aku balik sekarang ya. Mm Mas Haris sudah lapar, tadiaku nggak sempat masak karna baru sampai.”
Aku mendekati putriku yang sedang berdiri di ambang pintu.
“Mana Haris? Ia mau jemput kan?” Sebenarnya aku sudah tahu jawabannya.
“Mm Mas Haris sedang kecapekan, Bu. Lain kali kami pasti datang ke sini berdua. Mmm aku bisa minta rendang dan opor ayam nggak, Bu? Sedikit aja buat makan malam.”
Aku terdiam mengerutkan alis setelah mendengar ucapan Mila.
“Mm maksudku, aku nggak sempat masak. Lagian masih capek. Kan masakan Ibu banyak. Ibu juga sendirian, daripada makanan itu basi.”
“Oke, kalau gitu biar Ibu yang antarkan kamu. Bentar Ibu bungkusin dulu.” Aku berlalu masuk.
“Nggak usah antarin aku, Bu. Aku bisa naik ojek atau angkot. Lagian dekat kok. Ibu pasti capek abis bikin dendeng. Besok aku akan datang lagi ke sini.”
Loh? Kenapa Mila seperti berusaha agar aku jangan ikut? Apayang membuatnya khawatir jika aku ikut?
Aku mengambil jilbab dan jaket, setelah itu memasukan masakan ke rantang kecil.
“Ini.” Aku menyodorkan rantang makanan itu ke Mila. “Sayurnya juga?” tanyaku.
Mila menerimanya. “Makasi, Bu. Nggak usah. Besok-besok aja. Lagian aku sangat terburu-buru. Mas Haris kelaparan dan perutnya sakit.” Mila mencium punggung tanganku berpamitan.
“Apa nggak ada orang lain di rumah itu hingga memintamu pulang hanya untuk mengisi perutnya? Kan ada ipar-ipar dan ibu mertuamu.”
Aku tak bisa menghilangkan kekesalan dengan sikap Mila seperti sangat takut. Mila memang anak yang bersikap lemah lembut dan patuh orang tua. Tapibukan seperti ini juga. Dampaknya sekarang, ia tak bisa melawan jika disakiti saking menjadi istri yang penurut.
“Aku nggak enak sama mereka, Bu. Lagian sebagai istri ini tanggung jawabku.”
“Ibu ikut! Lagian hanya motor yang mengantarkan kenapa kamu menolak?” Kuambil kunci motor di meja.
Bersambung
Part 54 Demi KesepakatanPov Mila“Mas mau apa datang ke sini?” Tanyaku tanpa menatap pada mas Haris. Aku justru mengalihkan pandangan ke depan dengan sifat cuek berdiri melipat tangan di perut.“Mila, aku tidak bahagia dengan pernikahanku. Aku mau kita seperti dulu lagi.” Aku mengalihkan pandangan padanya. “Aku tidak bisa!” jawabku tegas.“Tapi, aku bisa menceraikan wanita itu. Dia hanya pelakor di rumah tangga kita.”Enak saja bilang ‘pelakor di rumah tangga kita’ setelah ia dengan senang hati berselingkuh dengan mengatakan kalau aku adalah wanita yang tidak menarik lagi. Bahkan tanpa ragu memperbandingkan aku dengan wanita lain di atas ranjang seolah hati ini terbuat dari batu. Namun, aku suka melihatnya hari ini meminta aku kembali. Bebarti tujuan hampir sampai, yaitu ingin membuat dia terluka hingga merasakan apa yang aku rasakan.“Aku tidak mau ibu dan saudaramu menentang hubungan kita, Mas.”“Itu jangan khawatir. Aku akan bicara dengan Ibuku. Kalau masalah saudara aku jangan k
Part 53 Kedatangan HarisMila terlihat lebih baik setelah ia pulang dari Jakarta dengan perubahan yang bertambah cantik. Bukan saja fisik, sifat pun lebih berani. Aku saja sebagai wanita yang melahirkannya masih tak percaya kalau ia bisa berubah hanya dalam beberapa bulan saja. Ini perawatan yang mungkin tidak ada di kampung ini. Satu hal yang membuat aku bersyukur yaitu, Mila sudah bangkit dari keterpurukan atas kehilangan anak dan apa yang dialaminya selama menikah dengan Haris.“Ibu kok melihat aku gitu?” Tanya Mila sambil memijat kakiku. Ia sadar aku perhatikan.“Ibu ingin kamu segera menikah biar ada yang jagain. Status janda di kampung ini sangat hina.”Mila tersenyum kecil. Tak ada jawaban dan tangannya terus bekerja memijat kakiku tanpa henti.“Kalau belum ada yang dekat, apakah Ibu bisa carikan calon menantu Ibu?” Aku sengaja memancingnya. Mana tahu ia punya seseorang yang sedang dekat atau sekedar ada yang memperhatikan lebih.“Masa iddah aku baru aja berakhir. Aku belum si
Part 52Pov Mila (2)Mas Bayu datang menghampiri. Entah mau apa lagi karena memang kami tak ada urusan sebelumya. Yang terjadi antara kami hanya sebatas berteman baik dari kecil. Ia saja yang menaruh hati yang tidak pernah terbalas dari hatiku. Entah kenapa tak ada getaran sedikit pun padahal ia lelaki yang baik.“Assalamualaikum,” ucap mas Bayu.“Waalaiakuamsalam,” jawabku dan ibu serempak.“Bu Yuni, aku datang mau bertemu Mila.”Seketika Ibu langsung menatapku sesaat. “Maaf, tapi ini ada apa ya, Bayu?” tanya ibu balik.Mas Bayu mengalihkan pandangan padaku. “Aku mau bicara yang menyangkut tentang lamaranku waktu itu, Bu Yuni.” Meski ia menjawab pertanyaan ibu, namun pandangannya tetap mengarah padaku.Aku sama sekali tidak tertarik untuk membahas lamarannya. Apalagi setelah orang tua dia menolak menjual daging pada Ibu dan membuat Ibu terhina ulah kegigihannya mendekati aku. Intinya, kami tidak bersalah malah dibuat bersalah. Jika Ibu dihina yang bukan salah Ibu, rasanya mau membal
Part 51Pov MilaAku yakin akan membuat Mas Haris mencariku. Kejadian menabrak mobil orang dari belakang bisa dilihat betapa ia terpesona, yaitu Mila mantan istrinya yang selalu dihina dan dikatakan bau matahari dan jelek, sekarang tidak ada lagi. Yang ada hanya Mila yang penuh dengan dendam.Anakku, Ibu yakin kamu sudah bahagia di sana. Allah lebih sayang kamu hingga rindu Ibu semakin berat dan hanya bisa menangis memeluk foto, membayangkan saat Ibu menggendongmu, menyuapi makan dan menjagamu kala bermain. Ibu rindu, Nak ..., sangat ....Setiap hari aku terus diselimuti penyesalan. Kenapa aku tak minta bantuan tetangga waktu itu kala tak ada uang buat berobat. Kenapa aku hanya diam menangis karena takut dan menuruti saja kala Mas Haris dan ibunya menyuruh minumkan paracetamol saja. Kenapa aku bodoh sekali sehingga diam ini membunuh anakku. Aku menyesal, sangat. Tekanan hidup dulunya sudah cukup! Aku akan melawan siapa saja yang menghina. Sudah cukup dengan menjadi Mila wanita bersik
Part 50“Astagfirullahalaziim! Ada apa ya, Bu?” Mila terkejut dan lalu mengalihkan pandangan ke arah Haris.“Haris nabrak mobil orang dari belakang.” Aku pun ikut menonton insiden ini dengan senang hati.Aku yakin mantan menantu aku itu terkejut kala melihat Mila sudah berubah cantik. Tidak kusam lagi atau badan kurus kering. Kini badan Mila sudah ideal dengan tinggi badannya. Aku saja yang melahirkan sangat terkejut jika hanya beberapa bulan saja bisa secantik ini.“Hey! Apa kamu nggak punya mata!” Lelaki yang mengendarai mobil bicara berteriak pada Haris.Haris turun dari motornya. Untung ia tidak jatuh karena motor yang tidak melaju kencang kala melihat putriku barusan. Dan bisa dilihat betapa ekor mobil penyok ulah tabrakan. Aku dan Mila sengaja menghentikan langkah menyaksikannya. Lagian, penasaran juga ingin melihat reaksi Haris sekali lagi.“Kamu tu yang salah bawa mobil lambat!” Bukannya mengakui kesalahan, Haris malah balik menyalahkan lelaki itu.“Ini bukan jalan keramaian!
Part 49 Mila Jadi Pusat PerhatianTidak! Kenapa pikiranku mengatakan kalau Mila seperti yang dikatakan Lili, bahwa ia kerja jual diri di Jakarta. Tetapi tidak mungkin anakku seperti itu. Aku membesarkannya dengan didikan agama dan tata krama yang baik. Apakah begitu pendeknya pemikiran Mila hingga melakukan ini?Ya Tuhan, aku mau mati saja jika pemikiran ini benar. Aku tak sanggup, aku tak kuat dan ....“Ibu kenapa?” Mila memegang kedua lenganku kala dada ini sesak dengan pemikiran buruk ini. Saking tak terimanya, hanya air mata yang berjatuhan. Tuhan, aku tak kuat, aku betul-betul tidak kuat.“Hah! Hah! Hah!” Dada ini makin sesak dan ini paling parah yang pernah dirasakan. “Ibu ..., Ibu kenapa?” Mila tampak khawatir dan terus memegangku.“Apa salahku hingga Ibu seperti ini? Kenapa Ibu?” Air mata Mila berjatuhan.Aku menghela napas panjang berulang kali agar bisa mengendalikan diri. Ini tepatnya rasa shock yang berlebihan hingga mengendalikan diri saja sulit. Mengucap di hati, inila