Share

Part 2 Anakku Seperti Tertekan

ANAKKU PULANG SEPERTI PEMBANTU

Part 2 Anakku Seperti Terkanan

Innalillahiwainnailaihirojiun ....

Air mataku berhasil berjatuhan mendengar kabar tentang cucusatu-satunya telah meninggal dunia. Ditambah keadaan Mila pulang seperti babuyang memakai pakaian lusuh. Bahkan warna kain lap di dapurku lebih bagusketimbang warna bajunya kini. Apa yang dialami Mila sehingga di seperti ini? Kemana suaminya hingga ia datang sendirian?

“Ayok duduk, Nak.” Kuajak Mila duduk. Air matanya masihberjatuhan dengan isakan tangis. Aku tahu betapa terlukanya ia atas kehilangan anaknya.Aku saja yang sekali saja bertemu langsung dengan cucu, juga sedih teramatdalam.

“Jangan menangis lagi. Ada Ibu di sini.” Aku menyodorkantisu berusaha menenangkan Mila.

“Maaf ya, Bu. Mila baru bisa pulang sekarang.” Suara Mila terdengarparau karena menangis.

“Kamu tak salah, Nak. Jangan merasa bersalah hingga menjadibeban di hati.”

Aku harus menenangkan hati Mila dulu barulah ditanya apayang terjadi sebenarnya. Melihat badannya kurus dan kulit kusam seperti orangkerja kuli angkut pasar, dengan kulit terbakar matahari, itulah gambaran anakkukini. Tak ada Mila cantik primadona kampung yang sering membuatku bangga denganmemiliki putri satu-satunya yang tidak pernah membuat kecewa dalam hidup.Bahkan ia mau berhenti kerja di sebuah bank demi mengikuti suaminya tugas keBekasi.

Apakah aku harus menyalahkan takdir sementara semua telahterjadi. Tidak! Aku akan bertindak demi putriku. Jika almarhum suamikumenyaksikan ini, aku yakin ia juga bertindak demi anak kami satu-satunya.

Ya Allah, melihat putriku seperti ini, rasanya menangis takakan cukup mengobati hati. Rasanya biarlah aku yang merasakan asal Milabaik-baik saja. Kalau bisa sakit fisik dan hati dipindahkan padaku, aku relamenerima asal anakku bahagia.

“Assalamualaikum!” Pandangan tertuju ke pintu yang masihterbuka. Ada Jeni datang sambil menenteng sekantong gorengan. Terlihat karenakantong kresek berwarna transparan. Bahkan bau gorengan tercium.

“Masuk, Jen,” ajakku tak beranjak dari duduk. Sementara Milaberusaha menyeka air matanya seperti malu kelihatan sedang menangis. Iamemalingkan wajah agar matanya tak terlihat Jeni.

“Mila mana? Udah datang belum, Yun?” tanya Jeni sambilmelangkah masuk, lalu meletakkan kantong bawaanya di meja.

Jangankan Jeni, aku saja hampir tak mengenali Mila kala barudatang. Seketika Mila mengalihkan pandangan pada Jeni dengan berusaha senyummeskipun mata sembab menangis.

“Bi Jeni,” sapa Mila, lalu mengulurkan tangan inginbersalaman.

“Hah?” Alis Jeni bertatut seperti heran disapa Mila.

“Ini Mila anakku, Jen,” ujarku menjelaskan.

“Ya Allah, kamu benaran Mila?” Jeni menyambut tangan Mila, Milamencium punggung tangan Jeni bentuk santun bersalaman dengan yang lebih tua.

“Bibi apa kabar?” tanya Mila seperti berusaha meyakinkanJeni.

“Ya Allah, kamu benaran Mila.” Ucapan sama masih dilontarkanseolah Jeni tak percaya kalau di depannya adalah putri cantikku yang duluprimadona kampung.

Bahkan mulut Jeni mangap saking syoknya melihat Mila.

“Jen, ini gorengan buat kami?” Aku berusaha membuat Jenibersikap biasanya saja karena takutnya ini membuat Mila tertekan. Bahkan akumenginjak kaki Jeni memberikan kode.

“Oh, iya iya, ini buat menyambut kedatang Mila. Maaf ya,hanya gorengan aja.” Jeni sepertinya mengerti dengan sikapku sehingga iaberusaha bersikap biasa-biasa saja.

“Alhamdulillah kamu sehat-sehat aja, Mil. Sudah lama tak pulangkampung. Kata ibumu, kamu udah netap lagi di sini ya?”

“Iya, Bi. Tapi bukan di rumah ini, tepatnya di rumah mertuadi kampung sebelah,” jawab Mila seperti berusaha tersenyum.

“Kenapa nggak di sini aja? Kan ibumu sendirian.”

“Iya, ajak suamimu ke sini, Mil.” Aku berusaha membuat Mila tinggaldi sini biar aku bisa kontrol. Lagian pertanyaan di benakku belum terjawab, kemana Haris suaminya?

“Bukankah setelah menikah aku harus ikut suami ke mana ajaia tinggal kan, Bu?”

Ya Tuhan, aku memang mengajarkan agar patuh suami selagitidak menentang agama. Tetapi melihatnya hari ini ..., apakah ajaranku salah?

“Itu benar, Yun. Mila nggak salah kalau setelah menikahpatuh suami.” Jeni menginjak kakiku seperti memberikan kode agar aku setujusaja dengan ucapan putriku.

“Haris mana, Mil?” tanya Jeni sambil melihat ke arah pintukamar.

“Mas Haris sibuk, Bi.”

“Sibuk apa hingga nggak ngantarin kamu ke sini?” Alasansibuk tak bisa aku terima karena hanya mengantarkan istri ke rumah ibunya masatidak sempat. Kalau pun hanya singgah lalu tak masalah asal ia yangmengantarkan Mila. Tapi aku yakin Mila datang sendirian.

“Sibuk apa? Masa nggak bisa antarin kamu.” Kali ini aku takbisa menghilangkan ucapan ketus. Ibu mana yang tahan melihat putrinya pulangseperti pembantu.

“Lagi ngurus masalah surat mutasi kerja, Bu. Lagian harus lapordan urusan lainnya.”

Dari cara Mila berucap, entah kenapa ia seperti menutupisesuatu. Sebentar lagi akan kutehui. Aku tahu sikap Mila, ia paling tak bisa didesak.Sifat yang sama seperti almarhum ayahnya.

Mas, andaikan kamu masih ada di sini, mungkin semua ini takterasa berat. Aku tak sanggup melihat Mila sperti ini, aku tak sanggup, Mas....

“Kalau gitu aku pulang dulu. Nanti singgah ke rumah ya, Mil.Susi sekarang jualan gorengan di pasar.” Jeni bangkit dari duduk.

“Makan bersama dulu, Jen,” ajakku.

“Nanti aja. Malam aku ke sini lagi.”

“Makasi, Bi. Insya Allah. Aku juga ingin bertemu Susi.”

“Iya, semoga hidupmu selalu bahagia ya.” Jeni menyentuh pipiMila, lalu berlalu pergi.

---

Aku dan Mila makan bersama. Sengaja membiarkan dia makandulu sebelum banyak pertanyaan yang harus dijawabnya. Kali ini ia makan banyakseperti sudah lama tak makan enak. Ya Tuhan, hatiku makin diiris melihatputriku pulang seperti orang kelaparan.

“Yang pelan aja, ini tambahin rendangnya.” Aku meletakansepotong daging rendang ke piring nasi Mila.

“Enak, Bu. Nanti aku minta bungkusin ya, Bu.”

“Iya.”

“Aku lihat di samping rumah banyak sayuran, nanti aku bawa sedikitke rumah mertuaku ya, Bu.”

Astaga, di saat makan pun masih ingat apa yang mau dibawa kerumah mertuanya. Apa ia tak bisa makan dulu.

Selesai makan, wajah Mila tampak cerah. Dua piring nasihabis dan dengan empat potong lauk. Keringatnya bercucuran kekenyangan. Rasahati sedikit terobati melihatnya mulai tersenyum lagi.

“Katakan, kenapa anakmu meninggal dan kenapa tak beritahuIbu?”

Mila terdiam, senyumnya menghilang seketika.

“Mila,” panggilku agar ia menjawab.

“A-anakku demam tinggi, Bu. Makanya tidak tertolong,” jawabnyatanpa melihat mataku. Bahkan suaranya gugup.

“Kenapa nggak beri kabar Ibu?”

“Karna kata Ibu mertuaku, jika diberitahu Ibu, maka Ibu akandatang. Ibu Mertua hanya berusaha tidak merepotkan Ibu karena ongkos pesawatmahal.”

“Urusan meninggal masih memikirkan ongkos? Lagian ini uangIbu, kenapa mertuamu yang repot seolah takut Ibu keluarin duit banyak?” Emositak bisa dibendung mendengar ucapan Mila.

Rasanya alasan Mila tak masuk diakal. Pasti ada sesuatu. Iatampak tertekan menjawab tanpa melihat ke mataku.

Baiklah, jika dengan cara bertanya tidak mendapatkan jawabanyang benar, mungkin dengan berkunjung mendadak ke sana melihat seperti apaputriku di rumah mertuanya.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status