Share

7

Penulis: Ria Abdullah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-08 05:40:55

"Tolong jangan bicarakan Rania dengan konotasi negatif, karena dia adalah wanita yang baik yang tidak pernah meminta waktu dan perhatian untuk dirinya sendiri. Justru dia selalu ingin aku memperhatikanmu dan mencurahkan semua tenagaku untuk fokus pada kesembuhanmu. Rasanya sedih sekali Jika kau salah paham hanya karena kami menikah tanpa sepengetahuanmu."

"Apa?" Aku tercekat mendengar ucapan suamiku. Ingin mencoba mengulas dan mencerna satu persatu kalimat yang terlontar itu tapi semuanya terlalu cepat dan masing-masing seperti anak panah yang melesat menuju rongga dadaku.

Yang pertama ...dia membanggakan Rania sebagai wanita yang pengertian dan perhatian. Yang kedua dia bilang kalau dia sedih sekali karena aku salah paham pada istri keduanya hanya karena mereka menikah!

Ingin sekali berteriak di wajahnya, bahwa, peristiwa yang terjadi sudah masalah yang paling besar di kehidupan rumah tangga kami.

Sudah menikah dan ditutupi pula, kini dia memintaku untuk tidak menghujat istrinya. Sakit mana lagi yang akan memecahkan rekor sakit terburuk di jiwaku. Ucapan mana lagi yang harus terlontar, agar aku mati berdiri dan dia ketawa bahagia, serta puas menyaksikan segalanya.

Aku terdiam, mulutku setengah terbuka tapi aku kehilangan kata-kata. Melawan bukan bagian dari tindakan dan kebiasaanku sebagai istri yang berbakti. Pun aku bukan wanita yang pemarah, tapi pukulan fakta seperti gelombang tsunami yang terjadi dalam dua hari terakhir lalu memporak-porandakan prinsip dan idealismeku. .

Dulu, tugas seorang istri adalah menuruti dan berbakti tapi sekarang, aku harus mengimbangi keadaan, bersabar, menambahkan kelapangan dadaku serta mencoba berdiri diantara penderitaan yang makin bertambah setiap harinya.

Haruskah aku seperti ini sampai akhir ataukah aku akan berakhir gila? Kalau aku diam saja Mungkin aku akan menggantung tak bernyawa di seutas tali, atau mungkin menjadi gelandangan dengan rambut berantakan di sepanjang tol Jagorawi. Aku harus bagaimana?

"Aku minta maaf atas ucapanku tapi penting bagiku untuk bersikap adil dan membela istriku saat seseorang menilainya dengan anggapan yang buruk!"

"Iya, kau benar," jawabku singkat, kendati begitu air mata ini mengalir ke sudut bibir dan membuatku merasakan sensasi asin.

"Rania wanita yang baik, qndai ia tidak baik Aku tidak setuju menikahinya. Dia adalah sepupuku, ibunya adalah bibi kesayanganku, saudara-saudaranya adalah sepupu terbaik yang pernah kumiliki jadi bagaimanakah aku membiarkan seseorang melukainya."

"Penting untuk membuat seorang istri tidak terluka, tapi bagaimana dengan istri lainnya? Aku juga anak dari seorang pria, aku juga seorang putri yang diharapkan kebahagiaan oleh orang tuanya. Aku juga seorang wanita yang ingin sembuh dan membahagiakan suamiku..." Sampai di sana aku tidak sanggup melanjutkan perkataanku, sebab tenggorokan ini seperti tercekik, hanya air mata yang terus menetes dan membuat wajah ini tak berbentuk, bengkak, sembab menyedihkan, serta mengerikan.

"Karena itulah aku meminta keikhlasanmu," jawabnya sambil mendekat dan mencoba memelukku tapi, seperti biasa aku menjauh darinya.

"Jangan terus menghindar!"

"Aku tidak mau Mas, aku sudah tidak kuasa," jawabku lemas, energiku terkuras dan pikiran-pikiran yang menumpuk menjadikan diri ini semakin menderita."

Mas Husein memelukku, membuatku menangis di antara dadanya yang bidang. Aku menjerit dan memukul tapi dia bergeming dan hanya terus mencoba untuk memelukku.

Aku tahu ini puncak penderitaan dan hari terburuk dalam hidupku, namun ke mana aku harus berlari, dulu pelukannya adalah tempat pulang dan bagian ternyaman dari diriku, tapi sekarang aku kehilangan segalanya.

Dalam tangisanku yang pilu aku mulai menyadarkan diriku bahwa, aku sudah harus mulai berkemas dari hati suamiku, aku harus membingkai kenangan, melipat semua harapan, menggulung mimpi-mimpi lalu menyimpannya rapat-rapat untuk diriku sendiri. Mungkin saat hatiku terkunci kembali, aku bersedia melangkah untuk membiarkannya bahagia bersama Rania.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • ANTARA AKU DAN RANIA    63

    Sore berlalu dengan cepat menuju senja yang menggantung di langit seperti bara api yang nyaris padam. Angin sepoi bertiup ke arah balkon di mana aku dan Mas Fadli berdiri sambil memandang pemandangan sore. Ini hari pernikahan kami, hari yang harus kami rayakan dengan segelas minuman dan makanan-makanan yang lezat. Ada begitu banyak kue dan puding juga buah-buahan tertata di meja yang diperuntukkan untuk pengantin, dan dibawakan langsung oleh pelayan ke balkon kamar kami. Suasana tambah romantis dengan dekorasi bunga dan lilin yang menyala. Aku masih berada dalam pelukannya, dia berdiri di belakangku lalu merangkulku, mendekatkan wajahnya ke arah leherku, memberiku sentuhan yang membuat nyaman sekaligus menciptakan desir-desir yang tak menentu di dalam dada. Aku dan dia kemudian menikmati makan malam sambil berbincang tentang rencana pekerjaan dan kehidupan kami. Di rumah yang mana kami akan tinggal dan bagaimana kami akan melalui hari-hari. Tak lupa juga kami akan memboyong putriny

  • ANTARA AKU DAN RANIA    62

    Atas ide dari ibu mertua, pernikahan kami dilangsungkan di sebuah garden venue, di pinggir kota. Sebuah hotel mewah dengan lapangan rumput yang luas, memiliki taman cantik serta berdekatan dengan pantai. Di atas rumput hijau yang terbentang luas banyak pohon rindang yang membentuk kanopi alami. Aku dan Mas Fadli sepakat memilih tempat itu karena lebih asri dan menenangkan daripada di dalam gedung. Ribuan mawar dari berbagai warna terurai membentuk pagar bunga yang megah menuju meja akad pernikahan. Tempat akad dihiasi dengan rangkaian bunga-bunga putih yang memberikan kesan elegan dan alami, kursi kayu jati yang diukir dihiasi bantal sutra berwarna ivory. Tak jauh dari sana ada air mancur kecil menyemburkan air jernih yang berkilauan di bawah cahaya matahari menciptakan efek menawan yang magis.Dekorasi meja tamu juga tak kalah memukau, ratusan meja bundar tertata rapi dengan taplak putih. Vas-vas kristal berisi bunga segar menghiasi setiap meja menciptakan suasana romantis yang mew

  • ANTARA AKU DAN RANIA    61

    Tatapan mata kami beradu di puncak percakapan itu, aku terdiam sementara perlahan ia menyentuh tanganku dan menggenggamnya. Untuk pertama kali Mas Fadli menggenggamnya begitu lama. "Aku ingin kita menikah secepatnya, Aku tak sabar satu rumah denganmu dan menghabiskan hari-hariku. Menceritakan apa yang aku alami dan apa harapanku."suara Mas Fadli terdengar lembut namun penuh keyakinan. Mendengarnya mengatakan itu aku begitu terharu. Telah lama aku mendambakan momen ini, mendapatkan seorang lelaki yang lebih baik dari seseorang yang pernah ada sebelumnya. Merasakan jatuh cinta lagi lalu menuju sebuah pernikahan yang didasari cinta dan kebahagiaan, bukan karena paksaan atau landasan penderitaan. "Baik, Mas. Sehabis bulan puasa, apa kau setuju?""Aku suka, menikah di bulan Syawal memang disarankan, agar pernikahan kita menjadi rumah tangga yang sakinah mawaddah dan warahmah.""Terima kasih ya, kau memberiku impian baru dan bayang-bayang pernikahan yang indah. Terima kasih sudah hadir d

  • ANTARA AKU DAN RANIA    60

    Setelah pembicaraan dengan Rania... Selang 2 jam setelah kepergian wanita itu dari kantorku tiba-tiba ayah dan ibuku juga menelepon, mereka memintaku untuk segera datang karena ada tamu yang sedang menungguku. "Siapa yang sedang menungguku Bunda?""Aku rasa kau juga ingin bertemu dengan mereka karena ada beberapa hal yang harus diselesaikan dan harus diklarifikasi.""Siapa sih bunda?""Keluarga mertuamu... Orang-orang yang pernah menyakitimu.""Katakan saja kalau aku sedang sibuk. Aku tidak bisa bertemu dengan siapapun karena aku sedang mengerjakan naskah untuk film.""Tapi mereka akan bertahan di sini kalau kau tidak datang. Mereka tidak akan pergi tanpa pengampunan.""Ada apa dengan orang-orang hari ini ya lBunda ... tadi Rania sudah mendatangiku dan sekarang aku harus menemui mantan mertua. Sungguh itu membuatku malas.""Kalau kau tidak mau menemui mereka, maukah kau bicara di telepon?""Iya, berikan saja."Tak lama aku dengar suara Bunda mempersilakan mantan ibu mertuaku untuk bi

  • ANTARA AKU DAN RANIA    59

    Dalam kisah kehidupan dan prahara rumah tanggaku, dimulai dari penghianatan, konflik hingga sampai ke titik perceraian aku tidak banyak melakukan perlawanan pada mas Husein, balas dendam pada rania atau keluarga mertuaku. Saat itu aku sedang sakit dan sekarat oleh tumor rahim yang benar-benar merenggut setengah dari ketentraman hidupku. Melawan rasa sakit saja sudah setengah mati rasanya apalagi ditambah aku harus bertengkar dengan orang-orang dan meluapkan energi. Aku lemah saat itu dan tidak berdaya. Jika ditilik kembali, jujur saja aku sangat marah. Luka-luka di hati entah kapan sembuhnya, tapi aku kembali memetik pelajaran bahwa itu mungkin cara Tuhan mendidik kesabaran dan kepasrahanku, mengajarkan agar aku tidak putus asa dan terus berdoa. Fase 6 bulan yang terlewati itu, bener-bener masa paling suram dalam hidupku. Di sisi lain aku bersyukur pada tuhan bahwa aku masih memiliki keluarga dan sahabat, orang-orang yang mendukung dan tidak pernah meninggalkanku. Adek aku tidak pu

  • ANTARA AKU DAN RANIA    58

    Aku tercengang mendengar tawarannya, harusnya langsung kuiyakan saja tapi pemikiran tentang keluarga dan Mas Husain membuatku bimbang. Ragu menerima apa ini tawaran yang baik ataukah jebakan yang akan membawaku pada kesulitan berikutnya. Menikah dengan pria kaya yang terkenal bukan perkara mudah yang bisa kulakukan begitu saja, ada keluarganya yang harus cocok menerima aku, juga aku harus beradaptasi pada aturan an kebiasaan keluarga mereka."Kenapa kau diam?" tanyanya dengan tatapan mata teduh."Hanya sedang berpikir...apakah aku bisa mengimbangimu atau tidak. Aku sedikit khawatir mengingat status kita yang berbeda.""Status apa Alya...aku hanya lelaki biasa yang kebetulan di beri amanah untuk memimpin perusahaan milik ayahku. Selebihnya aku hanya pria biasa yang ingin mendapatkan wanita terbaik dan jodoh yg telah lama aku nantikan." Dia kembali tersenyum, ucapannya yang tenang serta kata-katanya yang penuh makna membuatku semakin mengaguminya. "Biar aku diskusikan ini dengan kelu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status