Share

6

Author: Ria Abdullah
last update Last Updated: 2025-03-07 06:16:49

Melihat belanjaanku yang masih teronggok di atas meja, aku terpaku. Aku ingin menyusunnya tapi masalah dan pikiran-pikiran yang menumpuk dalam benakku membuatku hanya bisa berdiri sambil menahan air mata. Angka-angka yang terus saling tumpang tindih dalam pikiranku, pertanyaan-pertanyaan yang belum menemukan jawabannya ...aku masih bingung juga sampai sekarang.

Jika selama ini aku dan dia memiliki tabungan bersama, berarti suamiku juga punya tabungan pribadi yang jumlahnya sangat banyak, bahkan aku pun menyadari bahwa aku sama sekali tidak tahu jumlah pendapatan dan bonusnya.

"Uhm, sebaiknya kita bicara, Aku ingin kau dan aku bicara baik-baik tanpa ada emosi. Bisakah?"

Aku melirik ke arahnya, menatap lelaki dengan celana pendek dan kacamata yang membingkai wajah manisnya, bagiku dia pusat dunia dan cinta sejatiku tapi sekarang aku bias tentang pendapatku sendiri.

"Aku belum ingin bicara pada siapapun pikiranku masih kacau dan aku khawatir Itu akan menimbulkan emosi!" Aku membalikkan badan mencoba untuk tidak terlihat meneteskan air mata di hadapannya, percuma aku menangis, toh itu tidak akan memunculkan empati apalagi membuat dia meninggalkan Rania.

Lelaki itu telah bersamanya, mereka berumah tangga dan memiliki anak. Bagaimana aku akan bertindak dan membuat pernikahan orang lain menjadi hancur, jujur saja, itu bukan gayaku.

Hanya saja aku butuh kepastian apakah dia masih mencintaiku ataukah sebaiknya kami berpisah saja.

"Aku tidak tahu aku harus memulai dari mana, tapi, kurasa aku benar-benar malu padamu. Aku merasa bersalah telah membohongimu dan ini adalah perasaan terburuk yang kurasakan," ucapnya perlahan.

"Syukurlah kalau kau masih memiliki rasa malu tapi bagaimana kau akan mengatasi semua ini?" Tanyaku sambil menahan sensasi rasa sakit yang mulai menjalar di sekitar perutku. Aku lupa minum obat jadi itu membuat sakitnya makin nyeri.

"Apa kau sudah minum obat?"

Pria itu nampak prihatin padaku dia mendekat sambil mengulurkan tangannya tapi aku segera mengisyaratkan agar dia tidak perlu membantuku. Aku mencegahnya dengan tanganku agar dia terus menjaga jaraknya.

"Uhm, Aku hanya ingin membantumu!"

"Aku baik-baik saja, mulai sekarang aku baik-baik saja."

"Tapi kau sakit, Sayang."

"Jika kau tahu bahwa aku sangat menderita dengan penyakitku, Kenapa tak kau gunakan waktu dan tenagamu untuk mencurahkan cinta padaku, agar aku bisa bersemangat untuk sembuh. Kenapa di belakangku kau bahagia dengan wanita lain sementara kau pura-pura perhatian padaku!"

"Tidak ada yang pura-pura! Semua ekspresi dan perlakuanku adalah sikap yang jujur! Kau istriku dan aku mencintaimu. Permasalahan hadirnya Rania dan Aisyah itu hanya tambahan dalam hidupku!"

"Tambahan? Seperti bonus misalnya?"

"Bukan begitu?"

"Seperti juga bonus dari kantormu yang tidak kuketahui jumlahnya?"

"Jangan mulai lagi, Alya!"

"Apalagi yang kau sembunyikan dariku? Jumlah gaji, istri anak, serta keluargamu yang membungkam, semuanya menghianatiku!" ujarku yang tak sanggup lagi menahan air mata. Pecah tangisanku hingga membuatku makin merasa kesakitan.

"Dengar tunggu dulu!" Dia mencoba memberi isyarat agar aku tenang. "Bisakah kita bicara tidak saling berteriak lagi!"

"Tidak perlu ada pembicaraan, aku baik-baik saja dan aku tidak lagi membutuhkanmu. Bila kau masih peduli maka penuhi saja tanggung jawabmu sementara ini sebagai suami."

"Sementara apanya kau adalah istriku dan aku adalah suamimu selamanya! Apa yang sementara?!"

"Sementara aku menata hati dan menegaskan keinginanku. Apakah aku masih tetap ingin jadi istrimu atau kita berpisah saja!"

Dengan tangan gemetar dan kepala pusing susah payah aku meraih pintu kulkas dan mencari obatku, melihatku terseok-seok pria itu ingin menolong tapi dia sangat segan. Kutumpahkan obat di atas telapak tangan lalu menegaknya dengan cepat, kupejamkan mata seiring dengan air dingin yang menjalari tenggorokan dan lambungku. Air mata ini masih terus mengucur sementara pria itu hanya bisa mendecak perlahan sambil menundukkan kepalanya.

"Daripada kau hanya berdiri lebih baik bereskan saja belanjaanku, Aku mau ke kamar dan tidur,", ujarku sambil mengemas air mata lalu perlahan melangkah, tertatih sambil memegangi dinding menuju kamarku.

Jujur saja tumor yang ada di rahimku sangat menyiksa, bulan depan aku akan menjalani operasi dan mencoba bertahan untuk sembuh. Tapi sekarang alasan satu-satunya yang membuatku ingin tetap hidup telah memberikan luka yang begitu dalam dengan pengkhianatannya, jadi aku seperti kehilangan setengah motivasi hidupku.

*

Hujan merintikkan tetesan bening ke atas atap, dedaunan bergoyang, tiupan angin sesekali membuat dahan pohon bergoyang ke kanan dan ke kiri kadang terlihat kadang tidak diantara jendela kamarku. Warna dedaunan hijau dan rintik air, seperti simponi yang saling melengkapi sementara aku masih merana di pembaringanku.

Kutemukan, segelas jus dan kue di nakas sebelahku, begitu terbangun dari tidur ini. Aku yakin itu adalah bawaan dari Mas Husein. Dia selalu mencoba ingin memberiku perhatian-perhatian kecil yang dulunya membuatku tersenyum bahagia. Tapi sekarang segalanya terasa getir.

*

"Kamu sudah bangun sayang?"

"Hmmm."

"Aku siapkan sup ayam dan bakso yang kau sukai di saat dingin-dingin seperti ini!"

"Terima kasih Tapi aku sedang tidak mau makan apapun. Aku baik-baik saja dan aku bisa mengurus makananku sendiri,". balasku.

"Jangan berpura-pura keras sementara kau selalu membutuhkanku, kau manja dan sangat bergantung pada suamimu ini."

"Itu benar sekali tapi itu dulu! Sekarang kau tidak lebih dari anak mertuaku dan suami dari seseorang yang bernama Rania!"

"Dan aku tetap juga suami dari wanita cantik bernama Alya."

"Aku hanya istri tidak berguna wanita penyakitan yang tidak bisa memberimu harapan dan anak!"

"Jangan merendahkan dirimu!"

"Perbuatanmu yang telah merendahkanku! Aku berjuang dengan penyakitku yang mengerikan ini, aku terus berdoa pada Tuhan agar aku bisa sembuh secepatnya dan melahirkan setidaknya seorang putra! Tapi diam-diam kau telah memiliki putri dari wanita lain! Aku merasa jadi wanita paling gagal di dunia ini!" Aku berteriak meninggikan suaraku seiring dengan tetesan yang kembali mengaburkan pandangan mata.

Aku ingin tidur untuk memperbaiki perasaanku tapi bangun tidur masih saja dipenuhi dengan luka-luka. Meski aku tahu Mas Husein berusaha membujuk dan bersikap baik tetap saja aku terluka, sikapnya seperti sebuah sandiwara yang semakin menancapkan duri-duri di hatiku. Aku sudah tidak sanggup lagi.

"Hei tenanglah, Jangan berteriak, itu membuat sakitmu makin parah."

"Peduli apa saat aku sedang berada di puncak kemarahanku! Dan ini... Apa semua ini! Aku tidak lagi menghargainya!"

Prang!

Nampan berisi segelas jus mangga dan croisant itu terlempar ke lantai dan pecah berkeping-keping.

Pria itu terkejut tapi aku hanya memandangnya dengan dingin.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ANTARA AKU DAN RANIA    63

    Sore berlalu dengan cepat menuju senja yang menggantung di langit seperti bara api yang nyaris padam. Angin sepoi bertiup ke arah balkon di mana aku dan Mas Fadli berdiri sambil memandang pemandangan sore. Ini hari pernikahan kami, hari yang harus kami rayakan dengan segelas minuman dan makanan-makanan yang lezat. Ada begitu banyak kue dan puding juga buah-buahan tertata di meja yang diperuntukkan untuk pengantin, dan dibawakan langsung oleh pelayan ke balkon kamar kami. Suasana tambah romantis dengan dekorasi bunga dan lilin yang menyala. Aku masih berada dalam pelukannya, dia berdiri di belakangku lalu merangkulku, mendekatkan wajahnya ke arah leherku, memberiku sentuhan yang membuat nyaman sekaligus menciptakan desir-desir yang tak menentu di dalam dada. Aku dan dia kemudian menikmati makan malam sambil berbincang tentang rencana pekerjaan dan kehidupan kami. Di rumah yang mana kami akan tinggal dan bagaimana kami akan melalui hari-hari. Tak lupa juga kami akan memboyong putriny

  • ANTARA AKU DAN RANIA    62

    Atas ide dari ibu mertua, pernikahan kami dilangsungkan di sebuah garden venue, di pinggir kota. Sebuah hotel mewah dengan lapangan rumput yang luas, memiliki taman cantik serta berdekatan dengan pantai. Di atas rumput hijau yang terbentang luas banyak pohon rindang yang membentuk kanopi alami. Aku dan Mas Fadli sepakat memilih tempat itu karena lebih asri dan menenangkan daripada di dalam gedung. Ribuan mawar dari berbagai warna terurai membentuk pagar bunga yang megah menuju meja akad pernikahan. Tempat akad dihiasi dengan rangkaian bunga-bunga putih yang memberikan kesan elegan dan alami, kursi kayu jati yang diukir dihiasi bantal sutra berwarna ivory. Tak jauh dari sana ada air mancur kecil menyemburkan air jernih yang berkilauan di bawah cahaya matahari menciptakan efek menawan yang magis.Dekorasi meja tamu juga tak kalah memukau, ratusan meja bundar tertata rapi dengan taplak putih. Vas-vas kristal berisi bunga segar menghiasi setiap meja menciptakan suasana romantis yang mew

  • ANTARA AKU DAN RANIA    61

    Tatapan mata kami beradu di puncak percakapan itu, aku terdiam sementara perlahan ia menyentuh tanganku dan menggenggamnya. Untuk pertama kali Mas Fadli menggenggamnya begitu lama. "Aku ingin kita menikah secepatnya, Aku tak sabar satu rumah denganmu dan menghabiskan hari-hariku. Menceritakan apa yang aku alami dan apa harapanku."suara Mas Fadli terdengar lembut namun penuh keyakinan. Mendengarnya mengatakan itu aku begitu terharu. Telah lama aku mendambakan momen ini, mendapatkan seorang lelaki yang lebih baik dari seseorang yang pernah ada sebelumnya. Merasakan jatuh cinta lagi lalu menuju sebuah pernikahan yang didasari cinta dan kebahagiaan, bukan karena paksaan atau landasan penderitaan. "Baik, Mas. Sehabis bulan puasa, apa kau setuju?""Aku suka, menikah di bulan Syawal memang disarankan, agar pernikahan kita menjadi rumah tangga yang sakinah mawaddah dan warahmah.""Terima kasih ya, kau memberiku impian baru dan bayang-bayang pernikahan yang indah. Terima kasih sudah hadir d

  • ANTARA AKU DAN RANIA    60

    Setelah pembicaraan dengan Rania... Selang 2 jam setelah kepergian wanita itu dari kantorku tiba-tiba ayah dan ibuku juga menelepon, mereka memintaku untuk segera datang karena ada tamu yang sedang menungguku. "Siapa yang sedang menungguku Bunda?""Aku rasa kau juga ingin bertemu dengan mereka karena ada beberapa hal yang harus diselesaikan dan harus diklarifikasi.""Siapa sih bunda?""Keluarga mertuamu... Orang-orang yang pernah menyakitimu.""Katakan saja kalau aku sedang sibuk. Aku tidak bisa bertemu dengan siapapun karena aku sedang mengerjakan naskah untuk film.""Tapi mereka akan bertahan di sini kalau kau tidak datang. Mereka tidak akan pergi tanpa pengampunan.""Ada apa dengan orang-orang hari ini ya lBunda ... tadi Rania sudah mendatangiku dan sekarang aku harus menemui mantan mertua. Sungguh itu membuatku malas.""Kalau kau tidak mau menemui mereka, maukah kau bicara di telepon?""Iya, berikan saja."Tak lama aku dengar suara Bunda mempersilakan mantan ibu mertuaku untuk bi

  • ANTARA AKU DAN RANIA    59

    Dalam kisah kehidupan dan prahara rumah tanggaku, dimulai dari penghianatan, konflik hingga sampai ke titik perceraian aku tidak banyak melakukan perlawanan pada mas Husein, balas dendam pada rania atau keluarga mertuaku. Saat itu aku sedang sakit dan sekarat oleh tumor rahim yang benar-benar merenggut setengah dari ketentraman hidupku. Melawan rasa sakit saja sudah setengah mati rasanya apalagi ditambah aku harus bertengkar dengan orang-orang dan meluapkan energi. Aku lemah saat itu dan tidak berdaya. Jika ditilik kembali, jujur saja aku sangat marah. Luka-luka di hati entah kapan sembuhnya, tapi aku kembali memetik pelajaran bahwa itu mungkin cara Tuhan mendidik kesabaran dan kepasrahanku, mengajarkan agar aku tidak putus asa dan terus berdoa. Fase 6 bulan yang terlewati itu, bener-bener masa paling suram dalam hidupku. Di sisi lain aku bersyukur pada tuhan bahwa aku masih memiliki keluarga dan sahabat, orang-orang yang mendukung dan tidak pernah meninggalkanku. Adek aku tidak pu

  • ANTARA AKU DAN RANIA    58

    Aku tercengang mendengar tawarannya, harusnya langsung kuiyakan saja tapi pemikiran tentang keluarga dan Mas Husain membuatku bimbang. Ragu menerima apa ini tawaran yang baik ataukah jebakan yang akan membawaku pada kesulitan berikutnya. Menikah dengan pria kaya yang terkenal bukan perkara mudah yang bisa kulakukan begitu saja, ada keluarganya yang harus cocok menerima aku, juga aku harus beradaptasi pada aturan an kebiasaan keluarga mereka."Kenapa kau diam?" tanyanya dengan tatapan mata teduh."Hanya sedang berpikir...apakah aku bisa mengimbangimu atau tidak. Aku sedikit khawatir mengingat status kita yang berbeda.""Status apa Alya...aku hanya lelaki biasa yang kebetulan di beri amanah untuk memimpin perusahaan milik ayahku. Selebihnya aku hanya pria biasa yang ingin mendapatkan wanita terbaik dan jodoh yg telah lama aku nantikan." Dia kembali tersenyum, ucapannya yang tenang serta kata-katanya yang penuh makna membuatku semakin mengaguminya. "Biar aku diskusikan ini dengan kelu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status