Damar duduk sendirian di sudut bar hotel mewah di kawasan Sudirman. Jasnya masih rapi, dasi dilonggarkan, dan gelas ketiganya baru saja datang. Matanya menatap kosong ke layar ponsel—tak ada pesan dari Nada.
Sudah seminggu sejak terakhir mereka bicara. Ia tahu ada yang berubah. Nada menjauh, seperti ada benteng tak kasat mata yang membuatnya tak bisa lagi menyentuh perempuan itu. Tapi Damar tidak bodoh. Ia tahu perubahan itu datang sejak Reza kembali muncul dalam orbit mereka. Ia tahu siapa Reza sebenarnya. Lebih dari yang Nada tahu. Dan ia menyimpan rahasia yang bahkan bisa menghancurkan pria itu… jika ia mau. ** “Kau minum lagi, Dam?” Suara itu datang dari perempuan yang duduk di sebelahnya—Amara, sekretaris baru yang terlalu cantik untuk posisi terlalu sederhana. Damar tahu niat wanita itu sejak awal, dan biasanya ia tak terlalu peduli. Tapi malam ini, sesuatu di dalam dirinya ingin melukai sesuatu… atau seseorang. "Temani aku. Jangan tanya apa-apa," katanya singkat. Amara tersenyum. “Tentu.” Malam itu, mereka tak hanya minum. Mereka tenggelam di ranjang hotel, tubuh saling menyalurkan amarah dan kehampaan. Tapi bahkan saat Amara menggeliat di pelukannya, Damar menutup matanya… dan yang ia lihat adalah Nada. ** Paginya, Damar duduk di balkon dengan sebatang rokok di tangan. Angin pagi Jakarta masih lembab, menyisakan kabut tipis. Ia membuka laptopnya, mengetik kata kunci rahasia: Gama & Reza Investasi — tahun 2019. Data muncul. Laporan keuangan. Rekaman sidang internal. Dan satu dokumen P*F rahasia: Reza Setiawan — Tersangka Utama dalam Penarikan Dana Fiktif Proyek Timah Selatan. Damar menyandarkan tubuh. Senyum dingin muncul di wajahnya. “Kamu pikir kamu bisa main bersih setelah semua ini, Reza?” gumamnya pelan. Ia lalu membuka email baru. Menulis satu kalimat pendek: > “Kamu yakin lelaki itu nggak menyembunyikan sesuatu darimu, Nad?” Dan menyisipkan file itu di bawahnya. Tapi jari Damar ragu saat hendak menekan kirim. Antara ingin menyelamatkan Nada… atau menghancurkan semuanya. ** Namun sebelum ia mengambil keputusan, teleponnya berdering. Nama di layar membuat dadanya terasa aneh. Mira. "Sudah lama kita nggak main bareng ya, Dam," suara Mira terdengar manis di telinga, tapi mengandung racun. "Apa yang kamu mau?" "Aku? Nggak banyak. Cuma pengen kita kerja sama… lagi. Karena kamu dan aku tahu, Reza bukan sekadar mantan kita. Dia… adalah musuh kita yang sama." Damar terdiam. Lalu matanya menatap ke kejauhan, dingin. "Aku dengar kamu sudah mulai mengganggu dia lewat perempuan itu," ujar Damar. Mira tertawa kecil. “Aku cuma membuka mata mereka. Dan sebentar lagi, kamu juga akan dapat bagianmu. Tapi untuk itu… kamu harus pilih sisi, Damar.” ** Dan malam pun kembali turun di Jakarta. Tiga hati, satu rahasia lama, dan permainan baru yang jauh lebih berbahaya baru saja dimulai. (POV Mira) Sudah tujuh hari sejak aku menjejakkan kaki di apartemen Reza. Dan belum ada satu pun momen yang tak memuaskan. Melihat wajah Nada memucat, melihat Reza kebingungan antara mengusirku atau memelukku, dan melihat betapa cepatnya retak-retak kecil mulai muncul dalam hubungan rapuh mereka… itu semua adalah makanan lezat bagiku. Aku bukan wanita jahat. Aku hanya tidak percaya pada cinta yang berpura-pura bersih. Aku tahu bagaimana Reza menyentuh. Karena dulu… dia menyentuhku seperti itu juga. Dan aku tahu cara kerjanya: dia memberi, lalu merebut. Meninggalkan cinta dalam luka. Tapi kali ini, aku tidak akan jadi korban. Aku datang bukan untuk mencintai… tapi untuk menuntut kembali apa yang pernah aku beri. ** Aku duduk di kamar hotel, jendela terbuka lebar, hanya mengenakan kimono satin yang melorot pelan dari bahuku. Di atas meja, ada foto usang. Aku dan Reza. Tertawa. Muda. Naif. Tapi juga mematikan. Kuhapus air mata yang nyaris jatuh. Aku tak boleh lemah. Tidak lagi. ** Nada. Perempuan itu menarik. Bukan karena cantiknya. Tapi karena dia polos. Terlalu bersih untuk dunia yang aku dan Reza tinggali. Dan justru karena itu… dia berbahaya. Dia mengingatkanku pada aku yang dulu—percaya cinta bisa menyelamatkan. Tapi cinta tidak menyelamatkan. Cinta membunuh pelan-pelan, dengan senyum manis dan janji palsu. ** Aku menghubungi Damar bukan karena aku percaya padanya. Tapi karena kami punya musuh yang sama. Dan aku tahu, pria yang patah hati seperti dia… mudah dikendalikan. Tinggal disentuh di tempat yang tepat, dan dia akan menghancurkan segalanya untukmu. Dia butuh alasan. Dan aku akan jadi alasan itu. ** Tapi malam ini, aku ingin menguji batas. Menguji seberapa besar pengaruhku masih ada dalam darah Reza. Aku mengirim pesan pendek: > “Kamu masih suka bau tubuhku di bantalmu?” Tak butuh waktu lama. Balasannya singkat: > “Berhenti, Mir. Aku nggak bisa main kayak dulu.” Tapi dia tak menghapus pesannya. Dan itu sudah cukup. Karena saat seorang pria membaca pesanmu sambil menatap kosong ke langit-langit... kamu masih punya kuasa atas pikirannya. ** Aku tersenyum, lalu turun dari ranjang, menyalakan musik pelan. Lagu Nina Simone mengisi kamar: "I put a spell on you..." Karena itulah yang sedang aku lakukan. Aku menaruh mantra. Dan sampai Nada menyadari siapa Reza sebenarnya… aku akan terus mengupas lapis demi lapis ilusi cinta mereka. Sampai tak ada yang tersisa.Nada duduk di meja makan, memandangi cangkir teh yang sudah dingin. Hujan di luar turun deras, menggantikan suara hatinya yang mulai gaduh. Reza berdiri di depan jendela, menatap gelapnya kota. Sejak semalam, keduanya seperti dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama.Nada bicara duluan. Suaranya pelan, tapi tegas."Kamu sayang sama aku?"Reza menoleh, sedikit kaget. “Tentu. Kenapa kamu nanya gitu?”Nada menggigit bibir. “Kalau iya… kenapa kamu nggak pernah cerita siapa Mira sebenarnya?”Reza menarik napas panjang, lalu duduk di seberangnya. “Dia masa lalu, Nad.”"Tapi dia masih ada di sini. Masuk ke hidup kita. Dan kamu… kamu diem aja."“Aku bingung harus mulai dari mana,” kata Reza pelan. “Dulu, aku dan dia... kita bukan cuma pacaran. Kita partner. Dalam bisnis. Dalam hal lain juga.”Nada menahan napas. “Hal lain?”Reza mengalihkan pandangan. “Aku dulu orang yang nggak kamu kenal, Nad. Ambisius.
(POV Nada)Malam itu aku tidur dalam pelukan Reza. Tapi hatiku tak pernah benar-benar tidur. Mataku menatap langit-langit kamar, dan pikiranku terus mengulang-ulang kata-kata Mira… file yang ia kirimkan… dan cara Reza menjawab.Aku tidak tahu apakah aku lebih sakit karena apa yang ia lakukan, atau karena caranya menyembunyikan semuanya seolah-olah aku terlalu rapuh untuk menerima kenyataan.Aku tidak rapuh. Aku hanya manusia.**Pagi harinya, saat Reza sudah berangkat lebih dulu, aku duduk di depan laptopnya.Ada satu folder yang selalu dikunci password.Folder itu bernama “NYX.”Aku pernah tanya artinya, dan Reza bilang itu cuma nama acak. Tapi sekarang, aku tahu dia berbohong. Karena aku cek di Google… dan Nyx adalah dewi malam dan rahasia dalam mitologi Yunani.Dan Reza memilih nama itu untuk menyembunyikan sesuatu.**Aku mencoba beberapa kata: Mira. Tanggal ulang tahun. Nama ibuny
(POV Mira) Semua orang selalu menganggap aku bayangan. Sekretaris yang cantik, pintar, tahu tempat. Orang yang hadir di setiap rapat, tapi tak pernah benar-benar diperhitungkan. Mereka lupa… bayangan selalu tahu lebih banyak daripada cahaya. Dan sekarang, saat mereka sibuk memainkan permainan, mereka lupa bahwa aku yang dulu menciptakan papan catur ini. ** Aku melihat Reza mulai panik. Nada mulai berubah. Damar kembali muncul. Persis seperti yang kuharapkan. Aku belajar dari masa lalu. Dari saat Damar memilih Nada, meninggalkanku seolah aku hanya batu loncatan. Dari saat Reza menjadikan aku alat, lalu melemparku begitu saja ketika dia mulai jatuh cinta pada "wanita baik-baik" itu. Lucu. Mereka semua berpikir aku lemah karena mencintai. Padahal, aku hanya sedang menunggu waktu. ** Di layar laptopku, ada salinan file—rekaman, dokumen transaksi gelap, jejak digital yang selama ini kusimpan. Semua bisa kuledakkan kapan saja. Tapi belum. Belum sekarang. Aku ingin lebih dari itu
Ponselku diam di meja. Notifikasi pesan dari Reza tak kubuka. Sudah tiga kali ia menanyakan keberadaanku. Tapi kali ini aku memilih diam.Aku sedang duduk di mobil Damar. Parkir di bawah gedung tempat Mira pernah bekerja sebelum masuk ke perusahaan Reza. Kami melacak ke belakang, mencari celah, mencari motif.Damar menatapku. “Kamu yakin mau masuk sejauh ini?”Aku mengangguk. “Aku nggak bisa tidur kalau terus jadi penonton, Dam.”Dia tersenyum samar. Ada rasa bangga di matanya. Tapi juga cemas. Aku tahu, dia takut aku akan terluka lagi.**Kami menemui seseorang—mantan rekan kerja Mira bernama Hana. Perempuan tua yang bicara pelan tapi penuh kepedihan. Ia pernah dipecat secara misterius setelah menyelidiki audit fiktif. Dan satu nama yang selalu muncul saat itu: Reza.“Mira tahu lebih banyak dari siapa pun. Tapi dia diam. Lalu, entah bagaimana, dia dapat posisi strategis di perusahaan kamu sekarang.”Darahku mengalir lebih cepat.Semua... mulai masuk akal.**Saat malam tiba, aku pula
(POV Reza)Pukul 05.12 pagi. Dia belum pulang.Nada tidak menjawab pesan. Tidak menelepon. Bahkan lokasi di aplikasiku menunjukkan “tidak tersedia.”Dan aku tahu… apa artinya itu.Aku menggeser jari di layar. Kamera keamanan kantorku masih menyimpan arsip-arsip lama yang tidak pernah kudelete—bukan karena paranoia, tapi karena di dunia ini, orang yang paling kau percaya adalah yang paling berbahaya.Video 4 tahun lalu.Koridor gelap. Mira dan Damar. Mereka berdiri terlalu dekat. Lalu bertengkar. Mira menunjuk wajahnya, dan Damar mencengkeram lengannya. Ada ciuman. Ada penolakan. Lalu Mira kabur.Aku memutar ulang adegan itu tiga kali. Bukan karena ingin melihat, tapi karena ingin mengingatkan diriku sendiri:tidak ada yang benar-benar bersih dalam cerita ini.Ponselku bergetar.Mira.Aku mengangkat. “Iya.”Suaranya dingin. Tak bersisa sisa simpati. “Dia semalam di tempat Damar.”Aku mendiaminya.“Apa kamu marah?”“Kenapa kamu bilang ke aku?” aku balas.Dia tertawa kecil. “Karena kamu
(POV Nada)Tanganku gemetar saat mencolokkan flashdisk itu ke laptop.Aku belum siap. Tapi tidak ada lagi tempat untuk mundur.Folder terbuka:/PRIVATE_RECORDINGS/001-Damar_Mira_RAW.mp4002-Incident_0406.mov003-Audio_RezaConfession.m4aDan satu file teks:READ_ME_FIRST.txtKubuka yang terakhir lebih dulu. Tulisan di dalamnya singkat.Hanya dua kalimat:> “Jika kamu ingin tahu siapa sebenarnya yang menghancurkan siapa, jangan hanya tonton. Dengarkan.”**Aku klik file pertama.Layar menyala.Rekaman dari kamera ruangan kantor tua. Waktu di pojok layar: 4 Juni 4 tahun lalu, 22:43.Mira masuk dengan langkah cepat, ekspresinya murka. Damar sudah di dalam, duduk di depan meja, wajahnya tegang. Ada botol minuman di meja, setengah kosong.“Kenapa kamu berhenti tiba-tiba? Setelah semuanya?” suara Mira keras.Damar berdiri. “Karena aku sadar ini salah.”“Salah?” Mira tertawa getir. “Jadi dua tahun hubungan kita itu... cuma salah langkah buat kamu?”Damar menunduk. Suaranya lebih pelan. “Kamu
Nada, 28 tahun, seorang asisten pribadi di perusahaan kreatif ternama di Jakarta, tampak sempurna dari luar: karier stabil, penampilan elegan, dan kecerdasan yang memikat. Tapi di balik semua itu, ia menyimpan luka masa lalu yang belum sembuh—ayah yang meninggalkannya sejak kecil, ibu yang dingin, dan cinta pertamanya yang berakhir tragis.Hidupnya mulai berubah saat ia terlibat dalam hubungan kompleks dengan atasannya, Reza, seorang duda berusia 38 tahun yang juga menyimpan rahasia besar. Di saat bersamaan, Nada harus menghadapi kemunculan kembali seseorang dari masa lalunya yang membawa kenangan kelam dan pilihan yang sulit.Di tengah tekanan kerja, keluarga yang menuntut, dan cinta yang tak mudah, Nada harus memilih: tetap menjalani hidup seperti topeng yang ia kenakan, atau berani menghancurkan semuanya untuk menemukan dirinya yang sejati.~Langit Jakarta masih gelap saat Nada membuka mata. Jam di ponselnya menunjukkan pukul 04.58. Lima menit sebelum a
Lorong menuju ruang meeting terasa lebih panjang dari biasanya. Nada melangkah dengan langkah hati-hati, berkas di tangan, dan isi kepalanya dipenuhi kata-kata yang tak bisa ia ucapkan.Reza sudah berdiri di dalam ruangan, setengah membelakangi pintu, tangannya mengatur slide presentasi di layar lebar. Nada masuk dengan napas teratur, mencoba bersikap profesional. Tapi semua itu runtuh dalam hitungan detik saat pintu terbuka kembali.Dan dia masuk.Damar—dengan jas abu gelap, kemeja tanpa dasi, dan tatapan yang tidak berubah sejak dulu: tajam, tenang, dan penuh teka-teki.Mata mereka bertemu. Hanya beberapa detik. Tapi cukup untuk membuat jantung Nada berdegup terlalu keras. Dia menegakkan badan, tidak ingin terlihat rapuh.“Lama nggak ketemu,” ucap Damar, nadanya santai, tapi penuh nada yang terselip. “Ternyata kamu kerja di sini, Nad.”Nada membalas dengan datar, “Kebetulan.”Reza menoleh. Ada sesuatu di wajahnya—tidak
(POV Nada)Tanganku gemetar saat mencolokkan flashdisk itu ke laptop.Aku belum siap. Tapi tidak ada lagi tempat untuk mundur.Folder terbuka:/PRIVATE_RECORDINGS/001-Damar_Mira_RAW.mp4002-Incident_0406.mov003-Audio_RezaConfession.m4aDan satu file teks:READ_ME_FIRST.txtKubuka yang terakhir lebih dulu. Tulisan di dalamnya singkat.Hanya dua kalimat:> “Jika kamu ingin tahu siapa sebenarnya yang menghancurkan siapa, jangan hanya tonton. Dengarkan.”**Aku klik file pertama.Layar menyala.Rekaman dari kamera ruangan kantor tua. Waktu di pojok layar: 4 Juni 4 tahun lalu, 22:43.Mira masuk dengan langkah cepat, ekspresinya murka. Damar sudah di dalam, duduk di depan meja, wajahnya tegang. Ada botol minuman di meja, setengah kosong.“Kenapa kamu berhenti tiba-tiba? Setelah semuanya?” suara Mira keras.Damar berdiri. “Karena aku sadar ini salah.”“Salah?” Mira tertawa getir. “Jadi dua tahun hubungan kita itu... cuma salah langkah buat kamu?”Damar menunduk. Suaranya lebih pelan. “Kamu
(POV Reza)Pukul 05.12 pagi. Dia belum pulang.Nada tidak menjawab pesan. Tidak menelepon. Bahkan lokasi di aplikasiku menunjukkan “tidak tersedia.”Dan aku tahu… apa artinya itu.Aku menggeser jari di layar. Kamera keamanan kantorku masih menyimpan arsip-arsip lama yang tidak pernah kudelete—bukan karena paranoia, tapi karena di dunia ini, orang yang paling kau percaya adalah yang paling berbahaya.Video 4 tahun lalu.Koridor gelap. Mira dan Damar. Mereka berdiri terlalu dekat. Lalu bertengkar. Mira menunjuk wajahnya, dan Damar mencengkeram lengannya. Ada ciuman. Ada penolakan. Lalu Mira kabur.Aku memutar ulang adegan itu tiga kali. Bukan karena ingin melihat, tapi karena ingin mengingatkan diriku sendiri:tidak ada yang benar-benar bersih dalam cerita ini.Ponselku bergetar.Mira.Aku mengangkat. “Iya.”Suaranya dingin. Tak bersisa sisa simpati. “Dia semalam di tempat Damar.”Aku mendiaminya.“Apa kamu marah?”“Kenapa kamu bilang ke aku?” aku balas.Dia tertawa kecil. “Karena kamu
Ponselku diam di meja. Notifikasi pesan dari Reza tak kubuka. Sudah tiga kali ia menanyakan keberadaanku. Tapi kali ini aku memilih diam.Aku sedang duduk di mobil Damar. Parkir di bawah gedung tempat Mira pernah bekerja sebelum masuk ke perusahaan Reza. Kami melacak ke belakang, mencari celah, mencari motif.Damar menatapku. “Kamu yakin mau masuk sejauh ini?”Aku mengangguk. “Aku nggak bisa tidur kalau terus jadi penonton, Dam.”Dia tersenyum samar. Ada rasa bangga di matanya. Tapi juga cemas. Aku tahu, dia takut aku akan terluka lagi.**Kami menemui seseorang—mantan rekan kerja Mira bernama Hana. Perempuan tua yang bicara pelan tapi penuh kepedihan. Ia pernah dipecat secara misterius setelah menyelidiki audit fiktif. Dan satu nama yang selalu muncul saat itu: Reza.“Mira tahu lebih banyak dari siapa pun. Tapi dia diam. Lalu, entah bagaimana, dia dapat posisi strategis di perusahaan kamu sekarang.”Darahku mengalir lebih cepat.Semua... mulai masuk akal.**Saat malam tiba, aku pula
(POV Mira) Semua orang selalu menganggap aku bayangan. Sekretaris yang cantik, pintar, tahu tempat. Orang yang hadir di setiap rapat, tapi tak pernah benar-benar diperhitungkan. Mereka lupa… bayangan selalu tahu lebih banyak daripada cahaya. Dan sekarang, saat mereka sibuk memainkan permainan, mereka lupa bahwa aku yang dulu menciptakan papan catur ini. ** Aku melihat Reza mulai panik. Nada mulai berubah. Damar kembali muncul. Persis seperti yang kuharapkan. Aku belajar dari masa lalu. Dari saat Damar memilih Nada, meninggalkanku seolah aku hanya batu loncatan. Dari saat Reza menjadikan aku alat, lalu melemparku begitu saja ketika dia mulai jatuh cinta pada "wanita baik-baik" itu. Lucu. Mereka semua berpikir aku lemah karena mencintai. Padahal, aku hanya sedang menunggu waktu. ** Di layar laptopku, ada salinan file—rekaman, dokumen transaksi gelap, jejak digital yang selama ini kusimpan. Semua bisa kuledakkan kapan saja. Tapi belum. Belum sekarang. Aku ingin lebih dari itu
(POV Nada)Malam itu aku tidur dalam pelukan Reza. Tapi hatiku tak pernah benar-benar tidur. Mataku menatap langit-langit kamar, dan pikiranku terus mengulang-ulang kata-kata Mira… file yang ia kirimkan… dan cara Reza menjawab.Aku tidak tahu apakah aku lebih sakit karena apa yang ia lakukan, atau karena caranya menyembunyikan semuanya seolah-olah aku terlalu rapuh untuk menerima kenyataan.Aku tidak rapuh. Aku hanya manusia.**Pagi harinya, saat Reza sudah berangkat lebih dulu, aku duduk di depan laptopnya.Ada satu folder yang selalu dikunci password.Folder itu bernama “NYX.”Aku pernah tanya artinya, dan Reza bilang itu cuma nama acak. Tapi sekarang, aku tahu dia berbohong. Karena aku cek di Google… dan Nyx adalah dewi malam dan rahasia dalam mitologi Yunani.Dan Reza memilih nama itu untuk menyembunyikan sesuatu.**Aku mencoba beberapa kata: Mira. Tanggal ulang tahun. Nama ibuny
Nada duduk di meja makan, memandangi cangkir teh yang sudah dingin. Hujan di luar turun deras, menggantikan suara hatinya yang mulai gaduh. Reza berdiri di depan jendela, menatap gelapnya kota. Sejak semalam, keduanya seperti dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama.Nada bicara duluan. Suaranya pelan, tapi tegas."Kamu sayang sama aku?"Reza menoleh, sedikit kaget. “Tentu. Kenapa kamu nanya gitu?”Nada menggigit bibir. “Kalau iya… kenapa kamu nggak pernah cerita siapa Mira sebenarnya?”Reza menarik napas panjang, lalu duduk di seberangnya. “Dia masa lalu, Nad.”"Tapi dia masih ada di sini. Masuk ke hidup kita. Dan kamu… kamu diem aja."“Aku bingung harus mulai dari mana,” kata Reza pelan. “Dulu, aku dan dia... kita bukan cuma pacaran. Kita partner. Dalam bisnis. Dalam hal lain juga.”Nada menahan napas. “Hal lain?”Reza mengalihkan pandangan. “Aku dulu orang yang nggak kamu kenal, Nad. Ambisius.
Damar duduk sendirian di sudut bar hotel mewah di kawasan Sudirman. Jasnya masih rapi, dasi dilonggarkan, dan gelas ketiganya baru saja datang. Matanya menatap kosong ke layar ponsel—tak ada pesan dari Nada.Sudah seminggu sejak terakhir mereka bicara. Ia tahu ada yang berubah. Nada menjauh, seperti ada benteng tak kasat mata yang membuatnya tak bisa lagi menyentuh perempuan itu. Tapi Damar tidak bodoh. Ia tahu perubahan itu datang sejak Reza kembali muncul dalam orbit mereka.Ia tahu siapa Reza sebenarnya. Lebih dari yang Nada tahu.Dan ia menyimpan rahasia yang bahkan bisa menghancurkan pria itu… jika ia mau.**“Kau minum lagi, Dam?”Suara itu datang dari perempuan yang duduk di sebelahnya—Amara, sekretaris baru yang terlalu cantik untuk posisi terlalu sederhana. Damar tahu niat wanita itu sejak awal, dan biasanya ia tak terlalu peduli. Tapi malam ini, sesuatu di dalam dirinya ingin melukai sesuatu… atau seseorang."T
Nada mulai terbiasa bangun di apartemen Reza. Bukan karena ia ingin menjadikan tempat itu rumah, tapi karena tubuhnya merasa aman di bawah selimut pria itu. Tapi pagi ini, saat ia berjalan ke ruang tamu dengan rambut masih kusut dan mengenakan kaus Reza, ia menemukan seseorang berdiri di sana.Seorang wanita.Tinggi, anggun, dan mengenakan gaun merah pas tubuh yang memperlihatkan bahu dan belahan dada yang terlalu disengaja. Rambutnya terurai panjang, dan matanya menatap Nada dari kepala sampai kaki… dengan senyum kecil yang menyebalkan.“Maaf,” katanya dengan suara lembut namun menusuk. “Aku nggak tahu Reza sekarang suka perempuan biasa.”Nada tercekat. Ia hanya bisa berdiri diam, sementara wanita itu berjalan perlahan ke arah dapur, seolah sudah mengenal tiap sudut rumah itu.Reza muncul dari kamar, wajahnya kaget, lalu berubah jadi kaku. “Mira?”“Hai,” Mira membalas dengan senyum tipis. “Tenang aja, aku nggak datang untuk meru
Angin pagi di Jakarta hanya menyisakan dingin yang samar, tapi dada Nada terasa penuh sesak. Malam tadi ia tidak tidur. Matanya menatap kosong langit-langit apartemen sambil memutar ulang percakapan dengan Damar… dan momen singkat saat ia melihat Reza bersama wanita asing di kafe.Ia datang ke kantor lebih awal, seperti yang diminta. Tapi bukan karena perintah Reza. Nada datang karena ingin jawaban.**Reza menunggunya di ruangannya. Ruangan itu berbeda pagi ini—lampu belum sepenuhnya menyala, hanya cahaya lembut dari jendela besar yang membiaskan bayangan tubuhnya ke lantai marmer. Nada berdiri di ambang pintu, ragu.“Masuklah,” kata Reza, tanpa mengangkat wajahnya dari dokumen yang tengah ia pegang.Nada melangkah masuk, menutup pintu perlahan. Aroma parfum kayu manis Reza samar-samar menyelimuti ruangan. Hangat. Tenang. Tapi membuat jantungnya berdetak tak menentu.“Ini.” Reza menyodorkan secangkir kopi padanya. “Tanpa gula, k