Nada duduk di meja makan, memandangi cangkir teh yang sudah dingin. Hujan di luar turun deras, menggantikan suara hatinya yang mulai gaduh. Reza berdiri di depan jendela, menatap gelapnya kota. Sejak semalam, keduanya seperti dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama.
Nada bicara duluan. Suaranya pelan, tapi tegas. "Kamu sayang sama aku?" Reza menoleh, sedikit kaget. “Tentu. Kenapa kamu nanya gitu?” Nada menggigit bibir. “Kalau iya… kenapa kamu nggak pernah cerita siapa Mira sebenarnya?” Reza menarik napas panjang, lalu duduk di seberangnya. “Dia masa lalu, Nad.” "Tapi dia masih ada di sini. Masuk ke hidup kita. Dan kamu… kamu diem aja." “Aku bingung harus mulai dari mana,” kata Reza pelan. “Dulu, aku dan dia... kita bukan cuma pacaran. Kita partner. Dalam bisnis. Dalam hal lain juga.” Nada menahan napas. “Hal lain?” Reza mengalihkan pandangan. “Aku dulu orang yang nggak kamu kenal, Nad. Ambisius. Kejam. Sama sekali nggak peduli soal cinta.” Nada menatap matanya. “Lalu kenapa kamu berubah?” “Karena kamu,” kata Reza. “Kamu bikin aku inget siapa aku sebelum semua itu rusak.” "Tapi kamu nggak pernah benar-benar jujur." Nada berdiri. “Kamu tau Mira ngirimin aku file lama soal kamu? Tentang kasus keuangan itu?” Reza terdiam. Mata mereka bertemu. Sunyi. Tegang. "Apa itu benar?" “Benar. Tapi aku bersih dari itu. Aku dijebak—sama orang yang dulu aku percaya. Mira salah satu dari mereka.” Nada nyaris menangis. “Jadi selama ini aku hidup di rumah... dengan seseorang yang menyembunyikan semuanya dariku?” “Aku cuma takut kamu pergi.” Reza berdiri, mendekat. “Aku takut kalau kamu tau semuanya, kamu bakal liat aku seperti orang lain.” Nada mundur selangkah. “Aku memang lihat kamu beda, Rez. Bukan karena masa lalu kamu. Tapi karena kamu bohong.” Hujan makin deras di luar. Tapi di dalam ruangan itu, yang runtuh bukan langit—melainkan rasa percaya. Reza menarik lengan Nada perlahan. “Kalau kamu mau pergi, aku nggak bisa nahan. Tapi biar aku bilang ini satu kali… dan satu kali saja.” Nada menatapnya, air mata jatuh. “Aku mencintai kamu. Bukan karena kamu bisa menyelamatkanku. Tapi karena kamu satu-satunya alasan aku masih jadi manusia.” Hening. Dan dalam hening itu, Nada melangkah mundur… lalu memeluknya. Tapi hatinya masih belum bulat. Ia ingin percaya, tapi luka sudah telanjur tumbuh. Dan dari balik pelukannya, Nada berkata pelan, “Kamu harus buktiin semuanya, Rez. Atau aku yang bakal ninggalin kamu. Dan nggak bakal balik.” Reza mengangguk. Tapi saat ia memeluknya lebih erat, matanya tak menatap ke arah Nada. Melainkan ke cermin di belakangnya. Dan di sana, bayangan Mira berdiri… menatap mereka… tersenyum tipis. Mereka masih saling memeluk, tapi tubuh Nada terasa kaku. Reza bisa merasakannya. Dekapan yang seharusnya menghangatkan justru terasa dingin. Nada perlahan melepaskan diri, menatap Reza dengan mata yang masih berkaca. "Reza…" suaranya lirih, “kita bisa terus pura-pura kuat… atau kita bisa jujur dan biarkan semuanya jatuh.” Reza mengangguk pelan, menahan napas. “Tanya apa pun. Aku akan jawab semuanya malam ini.” Nada berjalan ke arah sofa, duduk, lalu berkata dengan suara gemetar, “Mira bilang kamu punya... sisi gelap. Lebih dari sekadar kasus itu.” Reza mengangguk pelan. “Waktu aku dan Mira bareng, kami bukan cuma pasangan. Kami bagian dari proyek yang… abu-abu. Kami tahu banyak hal kotor, dan kami… memanfaatkannya.” Nada mendekap dirinya sendiri. “Kalian tidur bareng?” Pertanyaan itu menghantam Reza. “Iya.” Nada menutup matanya, menggigit bibir. “Apakah kamu cinta dia?” Reza menatap lantai. “Waktu itu, kupikir iya. Tapi sekarang aku tahu... aku cinta karena kami sama-sama rusak. Dan kami nyaman dalam kerusakan itu.” Nada menghela napas, lalu dengan suara pelan, tapi dalam: "Lalu kenapa kamu milih aku?" Reza menatapnya. Matanya jujur—atau setidaknya ingin terlihat begitu. “Karena kamu bikin aku ingin sembuh.” Nada bangkit, berjalan ke arah jendela. Hujan mulai reda. Tapi di dalam dadanya, badai masih berkecamuk. Ia berbalik. "Kalau suatu hari aku ternyata nggak sesuci yang kamu pikir, Rez… kamu masih bisa cinta aku?" Reza mengerutkan alis. “Maksud kamu?” Nada hanya menatap. Lama. Dalam. Dan tidak menjawab. Karena dalam hatinya, ia tahu… ia juga punya rahasia. Sesuatu yang belum siap ia buka. Sesuatu yang berhubungan dengan Damar… dan malam yang tak pernah ia akui pada siapa pun. ** Di kamar sebelah, telepon Reza bergetar. Pesan masuk dari nomor tanpa nama. > “Permainan sudah dimulai. Dan kamu, Reza, bukan satu-satunya pemain yang tahu aturan.” Reza menatap layar itu lama, sebelum mematikan ponsel dan memasukkannya ke dalam laci. Ia tahu… malam itu bukan akhir. Malam itu adalah awal dari sebuah jatuhan panjang yang tak bisa dihentikan.(POV NADA)Pagi itu seperti pagi biasa—matahari naik malas dari timur, embun tersisa di ujung daun, dan suara radio kecil tetangga yang menyetel lagu nostalgia terlalu keras. Tapi tubuhku tidak biasa.Mual.Pusing.Dan dada yang terasa penuh seperti menahan gelombang kecil yang enggan reda.Sudah tiga minggu aku menunda menyadari ini. Mungkin karena tidak siap, atau mungkin karena tidak ingin terbukti benar. Tapi pagi ini aku berjalan ke apotek kecil di ujung jalan, membeli satu hal yang selama ini hanya kulihat di film-film drama malam hari.Tes kehamilan.**Aku kembali ke kamar. Sunyi.Wastafel kecil menampung air putih, dan tanganku gemetar saat membuka bungkusnya.Satu menit pertama, aku duduk di lantai, menunduk.Dua menit berikutnya… aku menatapnya.> Dua garis.Satu garis kehidupan.Satu garis kenyataan.Aku tidak menangis. Tidak marah. Tidak panik.Tapi dadaku sesak.Bukan karena takut. Tapi karena tahu: aku tidak bisa berpura-pura lagi.**Aku berdiri, berjalan pelan ke jend
Langit Jogja pagi itu cerah tanpa ampun.Kereta berhenti perlahan di Stasiun Tugu, dan bersama embusan udara panas yang menyambut, aku turun dengan langkah ringan. Ransel di pundak, mata lelah, tapi hati—untuk pertama kalinya sejak lama—terasa lapang.Aku menginap di rumah singgah milik seorang teman seniman. Di pinggiran kota, dekat sawah, jauh dari suara klakson dan ritme hidup Jakarta yang menyesakkan. Tidak ada lift. Tidak ada ruangan kaca. Tidak ada Reza.Hanya suara jangkrik, harum tanah, dan waktu yang terasa lambat.**Di dinding kamar kecil itu tergantung lukisan cat air—potret seorang perempuan memejamkan mata di tengah angin.Seperti aku.Perempuan yang akhirnya belajar… bahwa untuk mencintai dunia, ia harus kembali mencintai dirinya sendiri lebih dulu.**Aku duduk di beranda, menggambar.Tanganku bergerak pelan di atas kertas. Sketsa wajah. Lembut, tajam, hidup.Itu wajahku sendiri. Bukan karena narsis—tapi karena aku ingin tahu siapa yang selama ini kulupakan.Lalu terde
(Pov NADA)Pagi itu aku terbangun di tempat yang asing.Bukan karena tempatnya benar-benar asing. Tapi karena untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir… aku tidak perlu buru-buru bersiap untuk kantor, atau khawatir dengan pesan singkat dari Reza yang menuntut waktu, atau menghindari sorot mata Mira yang tajam.Pagi ini… hanya aku, dan napasku sendiri.**Aku menatap langit-langit kamar kos kecil yang kusewa seminggu sebelumnya. Sederhana. Catnya mulai mengelupas. Tapi di sini, aku merasa lebih tenang dari apartemen mewah manapun yang pernah aku tinggali.Ponselku sudah kupasang mode senyap sejak kemarin.Puluhan pesan dari Reza belum kubuka.Ada juga beberapa dari Mira. Dan bahkan satu dari Damar. Tapi aku belum siap.Bukan karena aku takut. Tapi karena aku masih menyusun kembali diriku—bagian-bagian yang sudah terlalu lama kutinggalkan demi menyenangkan semua orang kecuali diri sendiri.**Aku berjalan ke meja kecil dan membuka buku catatan.Sesuatu yang dulu selalu kulakuk
POV REZAAku memutar gelas kosong di atas meja makan. Jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi, dan apartemen ini lebih dingin dari biasanya—bukan karena suhu ruangan, tapi karena tak ada suara dari kamar sebelah.Nada pergi.Dan yang lebih menyakitkan dari kepergiannya… adalah aku tahu dia benar untuk pergi.**Laptopku menyala. Halaman presentasi terbuka tapi tak satu pun kata yang masuk akal.Yang muncul di layar pikiranku hanyalah bayangan wajahnya:Saat ia membaca isi flashdisk itu. Saat matanya berubah dari lembut menjadi penuh luka.Lalu suara pintu tertutup.Lalu… hening.**Aku membuka pesan yang kukirim ke Nada.Masih centang dua. Belum dibaca.Tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal di leherku. Bukan fisik. Tapi semacam kegelisahan yang tumbuh dari perasaan tertahan terlalu lama.Aku bangkit, membuka lemari, dan menarik kotak tua dari laci bawah.Kotak itu berisi berkas lama: foto-foto, catatan kantor… dan sepucuk surat dari Mira yang belum pernah kubuka sejak tahun lalu.Tanganku
Kafe makin sepi. Waktu berjalan pelan.Hanya suara sendok beradu dengan gelas, dan detak jantungku sendiri.Lalu pintu terbuka.Damar masuk. Basah kuyup. Jaketnya menggantung setengah, napasnya terburu.Mataku langsung bertemu matanya. Dan semuanya hening.Tak ada lagi ruang untuk berpura-pura.Dia duduk di depanku, tanpa banyak bicara.Tangannya gemetar, tapi bukan karena dingin.“Terima kasih udah datang,” kataku pelan.“Harusnya aku yang minta maaf.” suaranya rendah, serak.Aku memandangi wajah yang dulu pernah aku hafal luar kepala.Kini terasa asing, tapi tetap membuat jantungku sakit saat menatapnya terlalu lama.“Aku lihat rekamannya. Kamu dan Mira.”Damar mengangguk. Tidak membela diri.“Aku salah, Nad. Aku biarin semuanya jadi rumit. Aku pikir aku bisa... keluar tanpa menyakiti siapa-siapa.”Aku tersenyum tipis. “Tapi justru itu kesalahanmu. Kamu mencoba jadi orang baik di cerita yang kotor.”Damar menunduk.Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari saku—sebuah foto kecil yang su
(POV Nada)Tanganku gemetar saat mencolokkan flashdisk itu ke laptop.Aku belum siap. Tapi tidak ada lagi tempat untuk mundur.Folder terbuka:/PRIVATE_RECORDINGS/001-Damar_Mira_RAW.mp4002-Incident_0406.mov003-Audio_RezaConfession.m4aDan satu file teks:READ_ME_FIRST.txtKubuka yang terakhir lebih dulu. Tulisan di dalamnya singkat.Hanya dua kalimat:> “Jika kamu ingin tahu siapa sebenarnya yang menghancurkan siapa, jangan hanya tonton. Dengarkan.”**Aku klik file pertama.Layar menyala.Rekaman dari kamera ruangan kantor tua. Waktu di pojok layar: 4 Juni 4 tahun lalu, 22:43.Mira masuk dengan langkah cepat, ekspresinya murka. Damar sudah di dalam, duduk di depan meja, wajahnya tegang. Ada botol minuman di meja, setengah kosong.“Kenapa kamu berhenti tiba-tiba? Setelah semuanya?” suara Mira keras.Damar berdiri. “Karena aku sadar ini salah.”“Salah?” Mira tertawa getir. “Jadi dua tahun hubungan kita itu... cuma salah langkah buat kamu?”Damar menunduk. Suaranya lebih pelan. “Kamu