Nada, seorang wanita 28 tahun yang bekerja sebagai asisten pribadi di sebuah perusahaan kreatif besar di Jakarta, tampak memiliki kehidupan yang sempurna di luar: karier cemerlang, penampilan menarik, dan kehidupan sosial yang teratur. Namun, di balik senyumannya yang selalu tenang, Nada menyimpan luka dalam dari masa lalu yang kelam. Hidupnya yang tampak biasa berubah saat ia bertemu kembali dengan Damar, mantan kekasih yang meninggalkannya dengan luka emosional yang belum pernah ia sembuhkan. Kini, Damar kembali sebagai bagian dari proyek besar di perusahaannya, membawa rahasia yang tak pernah terungkap—sebuah hubungan yang jauh lebih rumit dari yang Nada kira. Di sisi lain, ada Reza, bosnya yang misterius dan tegas. Reza bukan sekadar atasan; di balik sikap dinginnya, Nada merasakan kedekatan yang tak bisa dijelaskan. Seiring berjalannya waktu, perasaan yang lebih dari sekadar profesional mulai muncul, sementara hubungan mereka pun semakin rumit dengan munculnya rahasia gelap yang terkait dengan Damar dan masa lalu Nada. Tiga orang terjebak dalam jaringan cinta, pengkhianatan, dan masa lalu yang tak pernah bisa benar-benar dilupakan. Di tengah tekanan pekerjaan, cinta yang terlarang, dan rahasia yang mengancam untuk terungkap, Nada harus memilih: terus hidup dalam kebohongan dan ketakutan, atau menghancurkan semuanya untuk menghadapi kenyataan.
Lihat lebih banyakNada, 28 tahun, seorang asisten pribadi di perusahaan kreatif ternama di Jakarta, tampak sempurna dari luar: karier stabil, penampilan elegan, dan kecerdasan yang memikat. Tapi di balik semua itu, ia menyimpan luka masa lalu yang belum sembuh—ayah yang meninggalkannya sejak kecil, ibu yang dingin, dan cinta pertamanya yang berakhir tragis.
Hidupnya mulai berubah saat ia terlibat dalam hubungan kompleks dengan atasannya, Reza, seorang duda berusia 38 tahun yang juga menyimpan rahasia besar. Di saat bersamaan, Nada harus menghadapi kemunculan kembali seseorang dari masa lalunya yang membawa kenangan kelam dan pilihan yang sulit. Di tengah tekanan kerja, keluarga yang menuntut, dan cinta yang tak mudah, Nada harus memilih: tetap menjalani hidup seperti topeng yang ia kenakan, atau berani menghancurkan semuanya untuk menemukan dirinya yang sejati. ~ Langit Jakarta masih gelap saat Nada membuka mata. Jam di ponselnya menunjukkan pukul 04.58. Lima menit sebelum alarm berdering—kebiasaan lama yang sulit hilang, seperti kebiasaan pura-pura kuat. Nada duduk di tepi ranjang apartemennya yang minimalis namun rapi. Matanya menyapu dinding putih, meja kerja dengan tumpukan dokumen, dan blazer abu-abu yang sudah disiapkan sejak semalam. Pagi hari bukan waktu untuk refleksi, tapi pikirannya selalu kembali ke satu titik: hidup yang terlalu cepat berjalan, dan ia masih berdiri di tempat yang sama. Di kantor, ia dikenal sebagai "tangan kanan Pak Reza"—asisten pribadi yang nyaris tak pernah membuat kesalahan. Tak ada yang tahu bahwa di balik sikap tenang dan senyuman sopan itu, Nada menyimpan amarah dan luka. Lift menuju lantai 17 mengantarkannya ke dunia yang berbeda: penuh tekanan, ambisi, dan orang-orang yang pandai menyembunyikan diri di balik jas mahal. Nada menyalakan laptop, membuka email, dan mendapati satu pesan dengan subjek yang membuat jantungnya berdetak tak wajar: "RE: Dari seseorang yang dulu kamu lupakan." Tangannya sempat ragu menekan klik. Tapi ia tahu, pagi ini tak akan berjalan seperti biasanya. ~ Nada menatap layar. Email itu masih terbuka. “RE: Dari seseorang yang dulu kamu lupakan.” Isinya kosong. Hanya satu kalimat di bawahnya: “Aku tahu rahasiamu, Nada. Dan aku belum selesai.” Darahnya dingin. Pikirannya langsung melayang ke nama yang selama ini ia kubur: Damar. “Pagi.” Suara berat itu menyentaknya dari lamunannya. Reza berdiri di depan mejanya, membawa dua gelas kopi. Salah satunya dia letakkan di meja Nada—tanpa bicara lebih. “Terima kasih, Pak,” ujar Nada, sedikit gugup. Jarang sekali Reza membawa kopi untuk siapa pun, bahkan untuk dirinya sendiri. “Mulai hari ini kamu ikut saya ke semua pertemuan. Ada proyek dari HighScope International yang sensitif, dan saya butuh kamu jaga ritme komunikasi.” Nada mengangguk. “Baik.” Mata Reza menatapnya lebih lama dari biasanya, seolah ingin berkata sesuatu. Tapi hanya diam, sebelum berbalik dan masuk ke ruangannya. Nada menarik napas panjang. Dan saat ia duduk kembali, Siska lewat sambil melempar senyum manis yang terlalu manis. “Kopi dari bos? Wah… spesial banget.” Nada hanya membalas dengan anggukan datar, mencoba tak terpancing. Tapi dia tahu betul—Siska selalu memperhatikan hal-hal kecil seperti itu, dan tidak pernah tanpa alasan. Flashback (beberapa tahun lalu) Nada, usia 20, di bangku kuliah. Damar—charming, pintar, dan manipulatif. Mereka pacaran diam-diam, tapi hubungan itu berubah gelap. Cemburu, posesif, bahkan ancaman. Suatu malam, dia menghilang setelah insiden yang tak pernah ia ceritakan ke siapa pun… dan sekarang dia kembali. --- Kembali ke kantor Nada membuka email baru dari HRD. Subject: Penyusunan ulang tim kerja proyek HighScope – Koordinator Keuangan: Damar Cakrawala. Gelas kopinya nyaris terjatuh. Nada berdiri mematung. Nama itu—Damar Cakrawala—masih terpampang jelas di email. Lama dia menatapnya, seolah berharap huruf-huruf itu bisa lenyap begitu saja. Pikirannya berputar cepat, seperti film tua yang diputar ulang. Suara Damar yang dulu selalu terdengar lembut, berubah jadi nada penuh kontrol. Ingatan akan tangan dingin yang menariknya terlalu keras di malam penuh hujan. Terakhir kali ia melihat Damar adalah saat pria itu berdiri di depan asrama, wajah penuh amarah karena Nada menolak pulang bersamanya. Dan sekarang, dia akan bekerja bersamanya—lagi. Di proyek penting, di bawah pengawasan Reza. Nada meremas jari-jarinya di bawah meja. Ini bukan hanya proyek kerja. Ini adalah labirin baru—yang penuh pantulan masa lalu. --- Pukul enam sore. Kantor mulai sepi. Nada masih di meja, mencoba menyibukkan diri dengan berkas. Tapi pikirannya terus melayang. Saat itulah Reza keluar dari ruangannya, jas di tangan, langkah tenang seperti biasa. “Nggak pulang?” tanyanya, singkat. Nada menggeleng. “Masih mau beresin ini dulu.” Reza menatapnya beberapa detik. Lalu berkata pelan, “Kalau ada yang bikin kamu nggak nyaman dalam proyek ini… kamu bisa bilang ke saya. Saya nggak suka kejutan.” Nada menatapnya—ada sedikit kehangatan di balik sikap dingin pria itu. Mungkin ia melihat sesuatu. Atau hanya… terbiasa membaca orang. Nada mencoba tersenyum. “Saya bisa atur, Pak.” Reza mengangguk pelan, lalu berjalan pergi. Tapi sebelum pintu lift tertutup, dia sempat berbalik. “Nada,” katanya. “Jaga dirimu.” Lift menutup. Dan Nada sadar—dunia di sekelilingnya pelan-pelan berubah bentuk. --- Sementara itu, di sudut lain gedung, Siska sedang menelepon seseorang. Suaranya rendah dan dingin. “Iya. Dia udah tau Damar balik. Tinggal tunggu dia retak. Setelah itu, gampang.”(POV NADA)Pagi itu seperti pagi biasa—matahari naik malas dari timur, embun tersisa di ujung daun, dan suara radio kecil tetangga yang menyetel lagu nostalgia terlalu keras. Tapi tubuhku tidak biasa.Mual.Pusing.Dan dada yang terasa penuh seperti menahan gelombang kecil yang enggan reda.Sudah tiga minggu aku menunda menyadari ini. Mungkin karena tidak siap, atau mungkin karena tidak ingin terbukti benar. Tapi pagi ini aku berjalan ke apotek kecil di ujung jalan, membeli satu hal yang selama ini hanya kulihat di film-film drama malam hari.Tes kehamilan.**Aku kembali ke kamar. Sunyi.Wastafel kecil menampung air putih, dan tanganku gemetar saat membuka bungkusnya.Satu menit pertama, aku duduk di lantai, menunduk.Dua menit berikutnya… aku menatapnya.> Dua garis.Satu garis kehidupan.Satu garis kenyataan.Aku tidak menangis. Tidak marah. Tidak panik.Tapi dadaku sesak.Bukan karena takut. Tapi karena tahu: aku tidak bisa berpura-pura lagi.**Aku berdiri, berjalan pelan ke jend
Langit Jogja pagi itu cerah tanpa ampun.Kereta berhenti perlahan di Stasiun Tugu, dan bersama embusan udara panas yang menyambut, aku turun dengan langkah ringan. Ransel di pundak, mata lelah, tapi hati—untuk pertama kalinya sejak lama—terasa lapang.Aku menginap di rumah singgah milik seorang teman seniman. Di pinggiran kota, dekat sawah, jauh dari suara klakson dan ritme hidup Jakarta yang menyesakkan. Tidak ada lift. Tidak ada ruangan kaca. Tidak ada Reza.Hanya suara jangkrik, harum tanah, dan waktu yang terasa lambat.**Di dinding kamar kecil itu tergantung lukisan cat air—potret seorang perempuan memejamkan mata di tengah angin.Seperti aku.Perempuan yang akhirnya belajar… bahwa untuk mencintai dunia, ia harus kembali mencintai dirinya sendiri lebih dulu.**Aku duduk di beranda, menggambar.Tanganku bergerak pelan di atas kertas. Sketsa wajah. Lembut, tajam, hidup.Itu wajahku sendiri. Bukan karena narsis—tapi karena aku ingin tahu siapa yang selama ini kulupakan.Lalu terde
(Pov NADA)Pagi itu aku terbangun di tempat yang asing.Bukan karena tempatnya benar-benar asing. Tapi karena untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir… aku tidak perlu buru-buru bersiap untuk kantor, atau khawatir dengan pesan singkat dari Reza yang menuntut waktu, atau menghindari sorot mata Mira yang tajam.Pagi ini… hanya aku, dan napasku sendiri.**Aku menatap langit-langit kamar kos kecil yang kusewa seminggu sebelumnya. Sederhana. Catnya mulai mengelupas. Tapi di sini, aku merasa lebih tenang dari apartemen mewah manapun yang pernah aku tinggali.Ponselku sudah kupasang mode senyap sejak kemarin.Puluhan pesan dari Reza belum kubuka.Ada juga beberapa dari Mira. Dan bahkan satu dari Damar. Tapi aku belum siap.Bukan karena aku takut. Tapi karena aku masih menyusun kembali diriku—bagian-bagian yang sudah terlalu lama kutinggalkan demi menyenangkan semua orang kecuali diri sendiri.**Aku berjalan ke meja kecil dan membuka buku catatan.Sesuatu yang dulu selalu kulakuk
POV REZAAku memutar gelas kosong di atas meja makan. Jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi, dan apartemen ini lebih dingin dari biasanya—bukan karena suhu ruangan, tapi karena tak ada suara dari kamar sebelah.Nada pergi.Dan yang lebih menyakitkan dari kepergiannya… adalah aku tahu dia benar untuk pergi.**Laptopku menyala. Halaman presentasi terbuka tapi tak satu pun kata yang masuk akal.Yang muncul di layar pikiranku hanyalah bayangan wajahnya:Saat ia membaca isi flashdisk itu. Saat matanya berubah dari lembut menjadi penuh luka.Lalu suara pintu tertutup.Lalu… hening.**Aku membuka pesan yang kukirim ke Nada.Masih centang dua. Belum dibaca.Tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal di leherku. Bukan fisik. Tapi semacam kegelisahan yang tumbuh dari perasaan tertahan terlalu lama.Aku bangkit, membuka lemari, dan menarik kotak tua dari laci bawah.Kotak itu berisi berkas lama: foto-foto, catatan kantor… dan sepucuk surat dari Mira yang belum pernah kubuka sejak tahun lalu.Tanganku
Kafe makin sepi. Waktu berjalan pelan.Hanya suara sendok beradu dengan gelas, dan detak jantungku sendiri.Lalu pintu terbuka.Damar masuk. Basah kuyup. Jaketnya menggantung setengah, napasnya terburu.Mataku langsung bertemu matanya. Dan semuanya hening.Tak ada lagi ruang untuk berpura-pura.Dia duduk di depanku, tanpa banyak bicara.Tangannya gemetar, tapi bukan karena dingin.“Terima kasih udah datang,” kataku pelan.“Harusnya aku yang minta maaf.” suaranya rendah, serak.Aku memandangi wajah yang dulu pernah aku hafal luar kepala.Kini terasa asing, tapi tetap membuat jantungku sakit saat menatapnya terlalu lama.“Aku lihat rekamannya. Kamu dan Mira.”Damar mengangguk. Tidak membela diri.“Aku salah, Nad. Aku biarin semuanya jadi rumit. Aku pikir aku bisa... keluar tanpa menyakiti siapa-siapa.”Aku tersenyum tipis. “Tapi justru itu kesalahanmu. Kamu mencoba jadi orang baik di cerita yang kotor.”Damar menunduk.Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari saku—sebuah foto kecil yang su
(POV Nada)Tanganku gemetar saat mencolokkan flashdisk itu ke laptop.Aku belum siap. Tapi tidak ada lagi tempat untuk mundur.Folder terbuka:/PRIVATE_RECORDINGS/001-Damar_Mira_RAW.mp4002-Incident_0406.mov003-Audio_RezaConfession.m4aDan satu file teks:READ_ME_FIRST.txtKubuka yang terakhir lebih dulu. Tulisan di dalamnya singkat.Hanya dua kalimat:> “Jika kamu ingin tahu siapa sebenarnya yang menghancurkan siapa, jangan hanya tonton. Dengarkan.”**Aku klik file pertama.Layar menyala.Rekaman dari kamera ruangan kantor tua. Waktu di pojok layar: 4 Juni 4 tahun lalu, 22:43.Mira masuk dengan langkah cepat, ekspresinya murka. Damar sudah di dalam, duduk di depan meja, wajahnya tegang. Ada botol minuman di meja, setengah kosong.“Kenapa kamu berhenti tiba-tiba? Setelah semuanya?” suara Mira keras.Damar berdiri. “Karena aku sadar ini salah.”“Salah?” Mira tertawa getir. “Jadi dua tahun hubungan kita itu... cuma salah langkah buat kamu?”Damar menunduk. Suaranya lebih pelan. “Kamu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen