3 hari setelah kejadian tersebut, Ara tidak pernah lagi menerima surat atau apapun. Hal itu membuat Ara sedikit lega dan tenang. Sekarang ia sedang berada di dapur untuk memasak karena sebentar lagi Evan, Winda dan Meyra akan datang.
"Assalamualaikum, Ara," teriak seseorang dari luar membuat Ara segera mematikan kompor dan berlari ke arah depan.
"Ayahhh," balas Ara lalu berhambur ke pelukan Evan.
"Kangen ayah?" Ara hanya mengangguk di dalam pelukan Evan.
"Ayah bawa oleh-oleh, ayo dibuka," ajak Evan kepada Ara.
"Ara lagi masak yah, mau makan dulu?" tawar Ara membuat yang lainnya mengangguk sedangkan Ara langsung kembali menuju dapur.
"Wahh, enak sekali makanannya," puji Evan membuat Ara tersenyum senang. Lagi lagi ia mendapat perlakuan baik dari Evan.
Setelah selesai makan, mereka berkumpul di ruang tengah untuk membuka hadiah.
Ara diberikan 5 paper bag oleh Evan.
"Ayah, ban
"Awhhh,""Araaa," Reisya berteriak membuat seluruh atensi murid mengarah padanya."Ra, kamu nggak apa apa kan?" Reisya terlihat khawatir sedangkan Ara mengangguk pertanda tidak apa apa.Reisya berdiri dari duduknya"Plakk"Reisya menampar pipi Meyra membuat sang empu meringis dan temannya merasa tak terima"Heh, lo apa apaan?" teriak Ellen kepada Reisya yang tengah tersenyum sinis."Lo pada, kalo mau cari masalah sama Ara," Reisya berhenti sejenak lalu menunjukkan wajah songongnya."Lawan gue dulu," lanjutnya kemudian membantu Ara berdiri menuju UKS.Tadi, saat Reisya akan menghampiri Ara, ia melihat Ellen, Sisca dan Meyra yang sudah lebih dulu berada di sana. Hingga akhirnya dirinya kaget ketika melihat Ara didorong oleh Sisca."Harusnya kamu tadi nggak perlu nampar Meyra, Sya," ucap Ara kepada Reisya yan
"Awhhh, maa a-ampun m-maa."Disini mereka sekarang. Di kamar mandi yang biasanya digunakan Ara untuk menangkan diri malah menjadi tempat dirinya disiksa. Sedari tadi, Winda tak henti hentinya menyiramkan air panas ke badan Ara. Sudah berkali-kali Ara berteriak kesakitan namun tak digubris juga. Akhhh Ara tidak kuat. Rasanya ingin pingsan saja namun ia harus kuat."Maaa, u-udahh," lirihnya tak tertahan lagi. Sudah hampir 2 jam ia terus disiram oleh Winda, namun tetap saja tak digubris."Ma, udah cukup." Meyra membuka suara membuat Winda mematikan shower air panas itu.Brukk"Shhhh," ringisnya ketika Winda melemparkan gayung ke kepala Ara.Winda dan Meyra pun keluar dari kamar Ara."Kenapa sih, sayang kamu suruh mama berhenti, mama masih belum puas," omel Winda saat mereka berjalan turun ke bawah."Assalamualaikum."Winda me
Pukul 05.00, Ara baru bangun dari tidurnya. Ia terduduk lalu menatap lurus ke arah depan"Akhh, pusing." Ara memegangi kepalanya yang sedikit pusing. Ia mengedarkan pandangannya ke samping namun tidak ada Reisya disana. Dimana dia?"Sya," panggilnya pelan.Karena tidak ada jawaban, Ara segera mandi dan bersiap-siap untuk pulang karena ia tidak membawa seragam ataupun yang lainnya, dan juga ia takut dimarahi ayahnya jika sampai ketahuan ia kabur.Ara keluar dengan badan yang sudah segar dan terlihat Reisya juga sudah keramas pagi-pagi seperti ini."Hey," ucap Ara sembari memeluk Reisya."Kamu mandi di mana?""Oh, aku mandi di bawah tadi. Ya biar kamu nggak telat pulangnya," ucap Reisya membuat Ara tersenyum."Kamu mau aku anter pulang?" tawar Reisya kepada Ara membuatnya menggeleng."Nggak, lah. Ngapain?""
Kini Ara dan Satria sudah berada di rumah sakit. Ya, laki-laki itu adalah Satria. Entah kenapa bisa dia ada di sekolah Ara, nanti akan Ara tanyakan."Ara harus beristirahat ya, jaga kesehatan lalu salepnya jangan lupa dipakai secara rutin," ujar dokter Rinda membuat Ara tersenyum sambil mengangguk.Setelah dokter Rinda pamit keluar, kini di dalam ruangan hanya tersisa Ara dan Satria saja."Masih sakit, Ra?" tanya Satria membuat Ara menggeleng."Makasih, ya kamu udah nolongin aku," ucapnya."Sama-sama.""Oh iya, kamu kok bisa ada di sekolah aku?" Ara akhirnya mengeluarkan pertanyaannya itu. Satria hanya tersenyum menanggapi."Aku pindah sekolah, Ra," ucapnya membuat Ara kaget."Masuk kelas mana?""12 IPA 3," ucapnya membuat Ara mendesah pelan. Ia pikir Satria akan satu kelas dengannya. Tapi tidak apa lah."
"suaranya kayak nggak asing, pernah denger tapi dimana ya?"Kini jam sudah menunjukkan pukul 9 namun Ara tak kunjung tidur. Ia masih memikirkan siapa yang meneleponnya tadi.Handphone Ara kembali berbunyi membuatnya menatap ke arah nakas."Siapa lagi, ya," gumamnya lalu mengambil handphonenya."Ga ada namanya lagi, tapi kayaknya nomornya beda dari yang tadi deh."Dengan ragu, Ara menggeser tombol hijau ke arah atas lalu mendekatkan handphonenya ke arah telinga."Halo?""Halo Ara," "Satria,""Iya ini aku, kamu udah sehat?" "Udah kok, Alhamdulillah. Kamu dapat nomor telepon aku dari siapa?""Rahasia dong," jawabnya sembari terkekeh dari arah sana. Ara yang mendengarnya hanya mendengus. Membuat Satria kembali terkekeh."Tadi
"Heh!" Seseorang menarik rambut Ara dari belakang membuat sang empu hampir saja terjengkang jika tidak berpegangan pada tiang."Lo pake pelet apa? Hah?" hardik Ellen kepada Ara. Ara yang tidak tahu maksudnya hanya mengerutkan kening."Gak usah pura-pura nggak tau. Lo itu ganjen banget sama si anak baru itu ya," tuduh Sisca makin-makin."Siapa? Awhh, Satria?" Ara mulai membuka suaranya dan berusaha melepas cengkraman tangan Ellen."Berani-beraninya lo berangkat bareng gebetan gue, mau lo apa sih, dasar anak pembantu,"PlakMeyra menampar keras pipi kanan Ara membuat sang empu meringis hingga menimbulkan bekas merah."WOY APA-APAAN LO," teriak seseorang dari arah sana. Semuanya menoleh dan mendapati, Reisya? Apakah itu Reisya?"Sya?" Ara juga tak kalah terkejut sama seperti siswa-siswi lain. Reisya yang, berbeda. Ya, rambutnya yang ia potong
Sesampainya di rumah, Ara merebahkan dirinya di kasur empuk miliknya. Ingatannya masih terbayang tentang kejadian tadi saat ia melihat Reisya bersama Reino di hotel.Ara terduduk. Ia berinisiatif akan menelepon Reisya agar memastikan gadis itu baik-baik saja.Sudah hampir 10 kali namun Reisya tak menjawab panggilannya padahal jelas-jelas disitu sedang berdering. Ara semakin khawatir dengan apa yang dialami Reisya. Semoga saja tidak terjadi apa-apa.Tok tok tok"Masuk,"Masuklah Meyra yang langsung duduk di ranjang milik Ara."Kenapa?" tanya Ara sembari mendudukkan dirinya."Lo bisa jauhin Satria?" ucapnya dengan tatapan tajam membuat Ara bingung."Untuk?""Gue suka sama Satria!!" bentak Meyra membuat Ara berjingkat kaget. Apakah iya?"Aku sama Satria cuman sebatas teman aja, nggak lebih. Kamu boleh suka sa
"Makasih, Sat." Ara menurunkan dirinya dari motor milik Satria dan melepas helm milik laki-laki itu."Sama-sama, besok berangkat sekolah aku yang anter ya?" tawar Satria membuat Ara dengan cepat menggeleng."Loh, kenapa?" tanya Satria bingung sedangkan Ara berpikir keras untuk mencari alasan."Ra, ayah kamu lagi sakit, gak mungkin juga kan anterin kamu,""Reisya juga, akhir-akhir ini dia berangkat telat kan? Kamu juga cerita katanya Reisya nggak bisa dihubungi," ucap Satria membuat Ara semakin bingung."Nggak, aku nanti sama pak supir aja, mungkin berangkat bareng sama Meyra," ujar Ara membuat Satria mengernyit."Bukannya kamu bilang supir kamu lagi cuti, ya?""Astaga," batin Ara menepuk dahinya pelan."Ra, segitu nggak maunya kamu berangkat sama aku?" ucap Satria lirih."Ah nggak, Sat. Aku dengan senang hati mau berangkat sama kamu kok, tapi untuk besok nggak dulu, ya," ucap Ara