Share

Bab 2

Author: Septianisa C
last update Last Updated: 2021-08-29 14:04:53

***

Untuk menjadi dewasa seorang setidaknya pernah melewati satu kali masa suram yang paling suram. Atau mungkin sekali saja jatuh untuk kemudian merasakan sakit. Katanya menjadi dewasa bukan hanya sekedar tiup lilin untuk menambah angka kehidupan. Melainkan lebih dari itu. 

Raina sedang duduk di depan Indomaret seorang diri. Melihat lalu-lalang kendaraan yang lewat atau silih berganti masuk ke halaman parkir Indomaret. Tak ada kegiatan yang Raina lakukan selain duduk berteman sebotol Pocari Swet berteman wafer tanggo rasa vanila. 

Jadi dewasa itu susah. Lalu kenapa banyak orang yang bertahan dalam keadaan dewasa. Raina lelah, dia muak menjadi dewasa karena rasanya sia-sia. 

Pagi ini kedua orang tuanya kembali bertengkar. Pasal siapa yang lebih memperhatikan Raina selama ini. Raina kadang bingung, kenapa orang tuanya seperti itu. Padahal menurutnya, tak ada satupun diantara mereka yang betulan perhatian dengan Raina. Semua itu omong kosong. 

"Rai, sorry." ujar seorang yang datang tiba-tiba. Kemudian duduk dan menatap Raina dengan tatap sendu. Iya, Raina tahu. Dirinya sangat tak layak disebut hidup dengan penampilannya saat ini. 

"Gue ngantuk, Ka. Numpang tidur di kos lo, dong." 

"Kenapa nggak pulang aja?" 

"Udah. Tapi gue nggak disambut." 

"Rai?" 

"Jangan tanya dulu. Gue cuma mau tidur." 

Namanya Rajendra Ajisaka. Raina biasa memanggil lelaki itu dengan Saka. Saka adalah sepupu jauh Raina. Ada sebuah kejadian yang memaksa Raina harus bercerita banyak hal pada Saka. Jadi dalam keadaan ini satu orang yang paling mengerti Raina hanya Saka. Yah, sejauh ini. 

Motor Saka melaju lambat diantara padat jalanan pagi ini. Hari minggu yang panas. Namun kenapa banyak orang rela keluar rumah hanya untuk panas panasan. Ah, atau mereka sama dengan Raina. Menganggap rumah lebih panas dari menginjak jalan beraspal di siang pukul 12 tanpa alas kaki. Betul. Sakit karena terbakar.

Bersama erat peluk Raina rasanya kantuk itu semakin menjadi. 

"Saka, beli bubur ayam dulu, yok. Gue laper." dan beberapa menit setelahnya motor itu berbelok pada sebuah kedai bubur ayam. 

Dua mangkok tersaji hangat di depan mereka dan tanpa basa basi Raina menyantapnya. 

"Rai. Kok nggak di aduk dulu?" 

"Lebih enak nggak diaduk, Ka." 

"Psikopat, lo? Mana enak makan bubur ayam nggak diaduk dulu?" 

Raina yang jengkel akhirnya menjejalkan dua krupuk sekaligus ke mulut Saka. "Biarin, sih. Suka suka gue. Gitu aja di ributin." 

Pertengkaran kecil itu memancing tawa dari bapak bapak yang jual bubur. 

"Lo udah ketemu Lia?" tanya Saka tiba-tiba. Raina yang masih mengunyah kerupuk tiba tiba terdiam. "Gue khawatir." 

"Khawatir sama Lia atau khawatir sama Arjuna?" 

"Dua duanya." 

Bohong banget. Raina tau Saka hanya khawatir soal Lia. 

"Dia nggak akan kenapa-napa. Juna sama Lia sering berantem kayak gitu. Lo lihat beberapa hari yang akan datang, mereka berdua pasti udah jalan bareng lagi." 

Itu kehebatan hubungan Lia dan Arjuna. Raina juga kadang heran. Arjuna bisa datang ke Raina dengan tubuh lemas, dramatis banget lantas cerita jika dia sedang gonjang ganjing dengan Lia. Namum besoknya biasanya Juna akan dengan terang terangan menggandeng Lia di depan Raina. Seolah melupakan apa yang sudah terjadi. 

"Kayaknya yang kali ini bakal kenapa-napa."

Loh, sejak kapan Saka juga bisa berubah dramatis. Efek berteman lama dengan Ecan dan Arjuna?

"Kemaren dia nangis di kos Ecan. Katanya udah nggak betah pacaran lama sama Arjuna. Emang Juna nggak telfon lo, gitu?" 

Raina menggeleng. Tidak. Atau mungkin belum. Raina tak mau berpikir lebih jauh. Itu hubungan mereka, jadi kenapa Raina harus repot-repot berpikir.

***

"Kak, informasi aja. Jam segini mana ada jual sop duren. Agak siang nanti." ujar Aji tiba tiba. Arjuna hanya melengos. Lagipula bukan sop duren yang dia mau. Dia hanya ingin jalan-jalan namun enggan sendirian. Tadi dia telfon Raina, tapi sepertinya cewek itu sedang sibuk. Nomornya tidak bisa dihubungi.

Arjuna justru membelokkan motor pada sebuah warung kopi. Warung kopi yang hampir tiap hari Arjuna kunjungi bersama kawan-kawannya. 

"Jauh banget dari sop duren ke warung kopi. Kalo cuma buat makan mendoan di depan komplek juga ada, kak." 

"Kamu mau makan apa? Kakak yang bayar." ucap Arjuna sambil melenggang masuk ke warung kopi. Aji mungkin kesal, namun Arjuna tetap melenggang. Bodo amat. Nanti juga dia diam jika sudah dibelikan kebab. 

"Woi, bro." sapa Arjuna pada beberapa orang di dalam. 

"Weh, Juna. Apa kabar? Sehat, lo? Lama banget nggak kesini." balas pemilik warung. Namanya Bang Tegar. Cowok usia 20-an yang terjebak di tubuh bapak-bapak. 

Bukan, dia bukan tua. Bang Tegar cuma kuno. Mana ada anak seusia bang Tegar yang lebih milih mengelola warkop. Bukannya lebih baik di perbesar sedikit kemudian diberi nama kafe. Namun setiap Arjuna atau anak-anak lain memberi usul, bang Tegar selalu bilang, kafe mana yang isinya combro sama mendoan. Dan jika sudah begitu, anak anak hanya akan manggut-manggut. Atau mengalihkan pembicaraan lain agar Bang Tegar tidak membicarakan asal usul terbentuknya warkop ini. 

"Dia sibuk kuliah. Anak kuliahan dia." ucap anak lain. 

"Bisa kuliah, lo? Berapa nilai lo, sih? Gue yang bagus aja nggak bisa kuliah." 

"Lo bukan nggak bisa, tapi nggak mau." ujar anak lain. Arjuna hanya mesem. 

"Gue lulus modal nekat, bang. Jurusan aja asal pilih, yang penting kuliah." jawab Juna pada akhirnya. Anak itu nyomot satu tahu isi lantas mengambil cabe dan menggigitnya. "Kopi item dua, bang." 

"Tumben pesen dua. Dateng sama siapa?" 

"Adik gue." ucap Arjuna setelah susah payah menelan tahu isi. "Namanya Aji." 

"Oh, adekmu yang kembar itu?" 

Arjuna mengangguk. Dan itu cukup membuat Aji kebingungan. Wajahnya lucu. Karena Arjuna tahu, Aji tak mudah bergaul dengan sembarang orang. Aji itu anaknya pemalu. Eits, malunya cuma kalo belum kenal, kalo udah kenal dan akrab, ya mungkin sebelas dua belas sama Lucita Luna alias malu-maluin. 

"Kak, ngapain ngajak Aji kesini, sih." bisik Aji pelan. Juna bisa mendengarnya walaupun lebih banyak desah menggelikan di telinganya. 

"Nunggu siangan sampe warung sop durennya buka." Arjuna juga membalas dengan bisik.

Mari bercerita sedikit tentang warkop yang sedang Juna duduki hari ini. Warung kopi sederhana yang Arjuna tahu kala bolos sekolah jaman SMA. Dulu Arjuna anaknya emang bandel. Sering bolos cuma buat nongkrong di warung kopi berteman mendoan dan kopi. Bersama teman temannya. Arjuna tidak merokok seperti yang lain. Dulu Juna pernah coba-coba menghirup batangan nikotin itu namun baru satu hisapan Arjuna sudah terbatuk. Pahitnya seolah tidak cocok dengan selera Arjuna maka hingga sekarang Juna tak bisa merokok. 

Alkohol? Warkop ini tidak menjual alkohol dan Bang Tegar tegas melarang ada alkohol di warkopnya. Alasannya sederhana, bang Tegar tidak mau kehilangan mangkok, piring dan gelas jika mereka mabuk. Tapi bukan berarti Arjuna tak pernah meneguk minuman itu. Arjuna sering, ketika stres sudah menguasai otak dan jiwanya rasanya alkohol adalah satu-satunya hal yang bisa meredakan semua stres Arjuna. Tentu saja tanpa sepengetahuan Bang Banyu dan Mas Abim. 

"Jun, Rio sama dua orang temennya bakal bebas hari ini." ucap salah seorang. Arjuna yang sedang nyeruput kopi hitamnya terhenti sejenak kemudian menarik senyum. Kisahnya baru dimulai. 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ARJUNA   After Arjuna Bag 5

    Arjuna PoV"Kabar gue baik," katanya.Gue tersenyum canggung. Cowok tadi berdiri, ke tempat yang gue lihat seperti dapur umum lantas mulai sibuk dengan dua gelas disana. Gue masih mengamati, bagaimana cowok itu yang tudak berubah sama sekali. Masih hobi mengenakam celana pendek dan kaos kebesaran. Perutnya masih sedikit menggbul seperti dulu, dan rambut sedikit ikal coklatnya juga tidak berubah sama sekali. Gue menelan saliva ketika cowok itu menyajikan kopi hitam untuk gue."Nggak usah canggung," ujarnya. Membuat gue yang tadinya ingin menyesap kopi jadi urung. Meletakkan itu kembali."Lo sendiri juga canggung." Gue berkata pelan. Mencoba menjadi tenang seperti gue yang dulu. Gue beberapa tahun lalu. "Sorry, mungkin karena gue.""Iya. Semua emang karena lo. Seandainya enggak, lo tau kita bakal jadi apa sekarang?"Gue diam. Meski jujur gue nggak paham dengan apa yang barusan gue dengar."Gue m

  • ARJUNA   After Arjuna Bag 4

    Arjuna's PoVSemarang tidak buruk. Atau gue akan bilang cukup menarik. Lebih panas dari Jogja dan sedikit lebih ramai. Rumah nenek Jeli ada di bagian atas Semarang. Daerah Tembalang atas. Perjalanan kesana tidak jauh, hanya sedikit menanjak. Namun suguhan pemandangan Semarang cukup menarik.Kami sampai di sebuah rumah tua bergaya klasik. Dengan joglo dan ukiran tiang rumah yang masih kental jaman dulu. Gue tebak, kalo rumah ini di jual, bisa menghasilkan milyaran rupiah untuk beberapa pecintanya. Belum bagaimana pemandangan semarang yang bisa sedikit terlihat dari sini."Mau teh atau sirop, Jun?" Jeli bertanya pada gue. Gue memang sedang duduk di bawah pohon mangga dimana dibawahnya ada seperti dipan kayu yang sudah cukup berumur. Tapi sejuk dan pemandangan Semarang tetap menarik bagi gue."Sirop ada? Pake es batu juga ada?""Ada. Tunggu aja situ."Semarang dan bagaimana cerita itu akan dimulai. Gue menghela napas pan

  • ARJUNA   After Arjuna Bag 3

    Arjuna PoVJogja menyenangkan. Ada banyak hal yang membuat gue lupa tentang rasa sakit. Banyak juga hal positif yang bisa gue dapat. Gue menjadi mahasiswa seni rupa sekarang. Iya, sebelum DO gue memang bukan mahasiswa seni. Tapi sekarang gue menyukai seni. Kalian tau, melakukan hal yang kita sukai jauh lebih indah dari melakukan hal yang bisa dapat banyak uang. Wait. Gue jadi kasihan sama Ali.Gue sedang berdiri di depan sebuah tembok kosong. Banyak cat di sekitar gue juga banyak orang, banyak teman."Arjuna, tembok yang itu lo urus ya? Gue sama Kevin ke tembok sebelah. Peserta yang disana mendadak out. Kosong. Kan sayang kalo nggak digambar."Gue ikut mural. Karena gue mahasiswa seni? Enggak juga. Setelah masuk seni, gue jadi suka gambar. Kata temen gue, gambar itu bisa disebut healing. Wait. Kawan gue. Sebentar."Kevin misah. Sekarang kampus jadi dua tim yang ikut. Gue sama lo dan Kevin sama Rangga berdua." Jeli berkata tenang.&

  • ARJUNA   After Arjuna Bag 2

    Saka PoV***"RAJENDRA!! KATA IBUK KAMU DISURUH PULANG. CEPETAN KATANYA!" itu teriakan yang gue dengar. Sumpah, nyaring banget."BENTAR!!" dan itu jawab gue nggak kalah ngegas. Gue masih asik nguyah jambu biji ketika cewek yang tadi berteriak menyodokkan gagang sapu kearah gue."Eh, sianjing. Jangan gitu. Nanti gue jatuh.""Kamu tuh disuruh beli bawang. Balik dulu baru maling jambu."Informasinya gue nggak lagi maling. Pohon jambu yang sekarang gue panjat tidak berpemilik. Atau, sebenernya ada, tapi goib. Soalnya di depan rumah kosong.Oh iya. Bawang. Gue belum beli. Gue turun dari pohon setelah metik satu buah jambu lagi, lantas berjalan ke toko kelontong yang jual bawang. Cewek bersuara nyaring tadi masih ngikutin."Kamu betulan nggak mau ke Jakarta?"Pertanyaan secara tiba-tiba. Gue menggigit jambu kecil kemudian mengunyahnya singkat."Kan gue udah jadi karyawan tetap disini.

  • ARJUNA   After Arjuna Bag 1

    Raina PoVHalo, gue Raina. Diluar hujan dan cukup dingin. Gue hanya ingin bertanya bagaimana kabar kalian. Semoga baik. Setelah pada akhirnya gue pergi sangat jauh, gue menemukan banyak hal baru. Tentang pertemanan, tentang luka, tentang cinta dan sesuatu yang paling gue cari, tentang pulang. California tidak begitu buruk. Gue melewati hari dengan baik-baik saja. Gue bahkan bisa jalan-jalan, sengaja tertidur di teras minimarket atau keliling dengan angkutan umum hingga gue lupa dimana gue berada.Makanan di negara ini berbeda dengan Indonesia, itu salah satu hal yang gue rindu. Iya, salah satu doang. Yang lainnya? Gue merindukan seseorang.Penerbangan gue di jam 10 pagi, dan disini gue berada. Duduk seorang diri menatap tiket penerbangan dan, oh, ponsel gue bergetar. Dari Mama."Halo, Ma." Gue menyapa dengan riang. Suara diujung sana tak kalah riang. Ah, gue jadi rindu."Udah mau terbang?" tanyanya."Bentar lagi. De

  • ARJUNA   Bab 51

    ***"Ati-ati, Rai. Kabar kabar ke kita kalo ada apa-apa." Saka berkata pelan. Menatap mata Raina yang berkaca meski dengan sekuat tenaga dia menyembunyikannya."Jangan lupa sama gue. Apalagi seblak jeletot buatan gue. Kalo lo kangen, bilang aja. Nanti gue kesana." Ecan ikutan berkomentar."Halah, kayak punya duit aja lo." Saka mengejek. Sedang Raina malah terkekeh kecil."Jual ginjal dulu nanti." Kelakarnya."Ngaco, lo." Raina memukul ringan bahu Ecan. "Cuma sampe selesai kuliah. Nanti gue langsung pulang.""Lebaran pulang, dong. Nanti gue bawain nastar dari Bandung.""Bedanya nastar Bandung sama Jakarta apa?" Lia bertanya."Sama kayaknya. Kalo yang di Bandung sih buatan nyokap."Raina tersenyum. Iya, dia akan rindu.Jam keberangkatan pesawat Raina masih satu jam lagi. Dia masih harus menunggu hingga waktu itu tiba. Dan waktu menunggu yang orang orang lakukan menjadi beda

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status