Kami menggulir kaki di antara bangunan-bangunan besar, kendaraan-kendaraan berlalu lalang di jalanan, dan jurig-jurig Kota Bandung telah bergentayangan di sana berfoto bersama orang-orang yang tak gentar. Ada juga Superhero yang melambai-lambaikan tangan seraya menatap tajam pengunjung yang datang.
“Salma, mau foto sama Pocong?”
“Kalau berdua bareng kamu, aku mau.”
“Kamu takut, ya?” ledekku
“Nggak! Kamu kali yang takut.”
“Kalau gitu, ayo, difotoin sama aku.”
“Tuh, kan, kamu yang takut. Kalau kamu nggak takut, kita foto bareng.”
“Okey, kalau kamu nantangin. Aku mau.” Dadaku busung teracung sengaja.
Akhirnya kami segera mendatangi hantu molen itu dengan semangat. Kami langsung ber-selfie ria bertiga. Lalu aku dan Salma bergantian mengambil gambar. Tidak lupa, kami juga memberi hantunya rupiah pada kotak yang sudah disediakan.
Setelah selesai, kami melanjutkan langkah melewati berbagai macam cosplay jurig di sana. Kami sudah hampir sampai alun-alun. Tapi ketika akan menyeberang, aku teringat sesuatu.
“Kaya ada yang lupa,” kataku bingung sembari memegang dagu.
Salma berhenti melangkah, mundur kembali ke trotoar.
“Kayanya kita lupa sesuatu.”
“Kita, kan, tadi bawa kucing! Kenapa aku bisa lupa, sih?” dia langsung menatap sekeliling.
“Aduh! Pasti ketinggalan di dalam museum.” Mungkin wajah panikku tidak akan enak dipandang, tapi sekarang bukan waktunya untuk tampil ganteng.
“Terus gimana?”
“Aku yang ke sana, kamu tunggu aja di halte.”
“Nggak, aku ikut!” paksanya.
“Jam berapa sekarang?”
“Sebentar lagi jam empat.”
“Gawat!” Aku bergegas melesat. Salma mengimbangi.
Kakiku terus melayang cepat bergantian. Sepertinya Salma sudah tidak kuat berlari, kemudian berhenti. Aku menengok ke belakang, dia sedang terengah-engah. Kemudian tangannya terangkat memberi tanda, jika dirinya baik-baik saja.
Setibanya di sana, pintu museum ternyata terbuka. Aku langsung memeriksa ke dalam, menelusur pinggiran dinding, ternyata tidak ada. Mataku langsung mengamati sekeliling pintu tetap saja nihil. Aku coba ke meja Mbak-mbak resepsionis.
“Permisi, Kak.” Aku sedikit menengadahkan kepala karena mbaknya tinggi menjulang.
“Iya, ada yang bisa saya bantu?”
“Apa tadi Kakak lihat kardus di sebelah pintu masuk?”
“Oh, tunggu sebentar, ya.”
“Siap, Kak.”
Perempuan penerima tamu itu meninggalkan tempatnya. Lalu kembali beberapa detik kemudian.
“Apa ini kardusnya? Isinya anak kucing, kan?”
“Iya, Kak, benar. Terima kasih.” Hela napasku kini ringan seraya mengangkat kardus.
“Sama-sama, Kak,” Resepsionis itu tersenyum ramah.
Aku balas melekukkan bibir.
Salma sedang terduduk di tangga salah satu bangunan, aku segera menghampirinya. Dia membelalakkan mata, hangat.
“Aku kecapean tau. Coba lihat anak kucingnya. Nggak apa-apa, kan?” tanyanya serius.
“Kamu, sih, pasti jarang olahraga. Nih, cuman tinggal kardusnya doang.”
“Masa baru sebentar udah hilang? Ih, kamu bohong, ya. Coba aku lihat!”
“Bercanda. Hehehe.”
“Ih!” dia memajukan bibir sembari mengelus kedua anak kucing.
“Hayu, katanya tadi mau balik.”
Tanpa aba-aba dia bergegas melangkah cepat. Aku berjalan di belakangnya, menatap rambut hitam terurainya. Aku pikir dia cocok jadi bintang iklan sampo.
Kami telah tiba di halte. Hari sudah semakin berwarna suram, langit telah muram. Salma sesekali melirik jam di tangannya. Kami berdiri di tempat menunggu angkutan umum itu.
“Aduh!”
“Apa lagi? Ada yang lupa lagi?”
“Iya, aku lupa.”
“Tas ada, sepatu ada, baju ada. Apa yang lupa?” dia menyelidik.
“Aku lupa, kalau nggak ada damri jurusan Ledeng yang jalan ke sini.”
“Terus gimana sekarang?”
“Aku juga belum hapal semua jalan di Bandung. Kalau kita jalan pasti jauh, kalau kita naik damri lain dulu ke Terminal Leuwi Panjang pasti ke buru malem.” Kedua kalinya aku hanya ingin mengulur waktu. Sedikit berbohong mungkin tidak apa-apa.
“Udah, kita naik taksi online aja.”
“Mahal, Salma.”
“Terus gimana? Keburu kemaleman, Arka. Giliran aku yang bayarin, kan, sekarang.”
“Tapi ....” Kini, aku jadi merasa bersalah.
“Udah, aku pesan. Lagi ke sini mobilnya.”
Aku menggaruk kepala belakangku yang tak gatal.
Kuda besi mengkilap berwarna merah mendekat ke halte. Tangan Salma melambai. Aku jadi tambah merasa bersalah karena sakuku sekarang sudah kosong.
Kami telah duduk di kursi empuk mobil.
“Nanti, aku ganti ongkosnya, ya.”
“Nggak usah, Arka, kita tadi udah sepakat kalau aku yang bayarin ongkos pulangnya. Aku nggak suka ingkar janji.”
“Tapi ini bukan damri, Salma.”
“Sama aja. Sama-sama kendaraan.”
“Aku ....” Aku langsung berhenti mengoceh saat dia menempelkan jari telunjuknya di bibirku. “Ganti topik pembicaraan, ya, Arka.”
Mataku malah menatap ke jalanan, ada pengendara motor menyelidik mobil kami. Namun, orang itu segera tancap gas setelah tahu, jika aku memperhatikannya. Dahiku mengernyit.
-Bersambung-
“Ka, kamana?” sapa Ardo yang sedang jalan berduaan dengan Sela. Mereka sepertinya sedang menuju parkiran kampus.“Ke fakultas sebelah,” jawabku tanpa ragu.“Asik, apel nih. Okelah urang jalan dulu, Ka.”“Okey, Do.” Aku mengangkat jempol. “Oh iya, Sel, makasih tadi udah ngabarin.” Aku nyengir tak lupa juga memberi jempol.“Kembali kasih,” balas Sela tersenyum ramah.Aku melanjutkan langkah setelah Ardo dan Sela sudah kembali berjalan lebih dulu menuju tujuan mereka. Aku ke arah berbeda.Sambil menyusuri jalan aku teringat kejadian tadi. Tiga senoir cupu yang merundung teman sekelasku. Tadi aku balik kanan karena setelah dipikir-pikir itu bukan urusanku. Sekarang, aku jadi merasa bersalah pada temanku itu. Ah sudahlah, yang terpenting sekarang aku harus mengajak Salma healing.Segera aku duduk pada bangku dari batu di depan Fakultas Bahasa Indonesia. Salma memintaku untuk menunggunya di luar dari balasan SMS-nya barusan.Tak sampai tujuh menit, Salma sudah muncul dari ambang pintu kaca f
“Aka.”Aku tersadar oleh suara gadis yang terlampau merdu, tapi aku tetap melangkah menghiraukannya. Namun, dia segera menyerobot ke depanku sambil cemberut. Langkahku terpaksa berhenti.“Aka, jangan melamun aja, jawab ih pertanyaanku,” gerutu Keysa.“Eh iya, kamu nanya apa barusan?” Aku nyengir sambil mengusap rambut belakangku.Bibir Keysa melekuk indah sambil menatap tajam. “Apa kamu kalah, Aka?”Aku membelalakkan mata. “Apa kamu bilang?”“Arka!” Tiba-tiba tak jauh dari belakang Keysa teriakan seseorang memekakkan telinga. Pandanganku segera beralih ke arah suara itu. Ada seseorang di sana, tapi tampak samar.Aku alihkan lagi pandangan lurus. Kini, Keysa tersenyum licik. “Kamu kalah, Aka!” teriaknya meremehkan. Keningku mengkerut sembari perlahan mundur, tapi keseimbanganku seketika hilang. Pandanganku menggelap.“Arka!”Mataku langsung terbuka. Wajah indah dengan air mata yang masih tertinggal di pelupuknya kini tepat di hadapanku. Aku tersenyum. Salma segera memalingkan wajah semb
“Aka!” Dari arah tribune suara Keysa memecah hiruk pikuk orang-orang di lapangan. Bodohnya aku masih tergoda panggilannya tanpa sadar melirik ke arah tribune.Tidak diduga, si Mantan mengambil kesempatan dalam kelengahan. Aku melihat dari ujung mata, dia berlari sembari mengacungkan pisaunya siap menyabet. Refleks, aku ngeles ke samping sedikit melompat. Namun, tak diduga ada musuh menerjang dari kanan, tapi dengan cepat orang itu terhempas terhantam tinju.“Yow, Bos, ulah lengah,” ledek Satria sembari meniup kepalan tangannya yang besar.“Eheheh. Nuhun, Sat.” Aku membenarkan topi.Satria beralih melihat si Mantan dengan serius, sebelah alisnya terangkat. “Butuh bantuan, Bos?”“Di sini urusan urang, mending maneh bantu yang lain,” jawabku tanpa ragu.Tak banyak bicara Satria segera menjaga area belakangku, menghalangi setiap orang berjaket abu yang mendekat.Aku kembali menatap si Mantan yang terus menyeringai. Aku harus memikirkan bagaimana cara mengalahkannya dan segera menolong Sal
“Hahaha. Apa lo nggak inget gue, Arka? Liat sini, apa lo kaget liat gue?”Aku menunduk tak percaya kalau Salma juga akan mengkhianatiku seperti perempuan di tribune yang sekarang sedang teriak terbahak.“Cuma segitu mental lo, Arka?”“Jangan dengerin dia, Bang, coba liat Salma dia nangis,” bisik Ferdi.Pandanganku kembali lurus. Wajah Salma tampak sembab, tetesan tetap muncul meski dia mencoba menahan air mata. Aku terus menatapnya, tapi Salma malah berpaling menyembunyikan tangisan.Aku beralih melirik pria berambut agak ikal cepak itu. Aku menghela napas panjang. “Lo ngapain dia, Rusdi?!”“Ternyata lo masih inget gue. Gue kir
“Kita harus secepatnya ke sana,” tutur Alan sambil berjalan tergesa-gesa. Kami telah melangkah cukup jauh dari gang masuk rumah kontrakan Wini berniat menuju tempat Alan tinggal. Kami tadi bergegas berpamitan dengan Wini setelah mendapat panggilan telepon, meski raut wajahnya kecewa karena kami tak jadi memakan moci, tapi dia tetap melambai dan tersenyum. Alan juga tadi memasang muka masam, mungkin karena belum sempat berkenalan dengan Wini. Aku juga sedikit resah tak bisa merasakan makanan kenyal itu. Aku dan Alan masih melangkah cepat. Kami tak menyangka kalau hari pertaruhannya dimajukan secara sepihak oleh kelompok l
“Gue hajar lagi lo nanti!” Si Mantan telah menaiki macan besinya dengan sekujur muka yang babak belur. Ternyata dia masih belum menyerah. Kulihat ketujuh temannya masih tetap bergeming di tempat. “Beri tahu ketua Anda, jangan ganggu ketua kami sebelum hari penyerangan,” tutur Alan sambil memakai kacamatanya lagi setelah kusodorkan. Si Mantan langsung tancap gas dengan penuh amarah. Tanpa berpikir panjang tujuh pria lainnya buru-buru mengikuti dengan motor mereka masing-masing. D