Share

#5 Kadang Yang Terlupakan Belum Tentu Harus Dilupakan.

Kami menggulir kaki di antara bangunan-bangunan besar, kendaraan-kendaraan berlalu lalang di jalanan, dan jurig-jurig Kota Bandung telah bergentayangan di sana berfoto bersama orang-orang yang tak gentar. Ada juga Superhero yang melambai-lambaikan tangan seraya menatap tajam pengunjung yang datang.

“Salma, mau foto sama Pocong?”

“Kalau berdua bareng kamu, aku mau.”

“Kamu takut, ya?” ledekku

“Nggak! Kamu kali yang takut.”

“Kalau gitu, ayo, difotoin sama aku.”

“Tuh, kan, kamu yang takut. Kalau kamu nggak takut, kita foto bareng.”

“Okey, kalau kamu nantangin. Aku mau.” Dadaku busung teracung sengaja.

Akhirnya kami segera mendatangi hantu molen itu dengan semangat. Kami langsung ber-selfie ria bertiga. Lalu aku dan Salma bergantian mengambil gambar. Tidak lupa, kami juga memberi hantunya rupiah pada kotak yang sudah disediakan.

Setelah selesai, kami melanjutkan langkah melewati berbagai macam cosplay jurig di sana. Kami sudah hampir sampai alun-alun. Tapi ketika akan menyeberang, aku teringat sesuatu.

“Kaya ada yang lupa,” kataku bingung sembari memegang dagu.

Salma berhenti melangkah, mundur kembali ke trotoar.

“Kayanya kita lupa sesuatu.”

“Kita, kan, tadi bawa kucing! Kenapa aku bisa lupa, sih?” dia langsung menatap sekeliling.

“Aduh! Pasti ketinggalan di dalam museum.” Mungkin wajah panikku tidak akan enak dipandang, tapi sekarang bukan waktunya untuk tampil ganteng.

“Terus gimana?”

“Aku yang ke sana, kamu tunggu aja di halte.”

“Nggak, aku ikut!” paksanya.

“Jam berapa sekarang?”

“Sebentar lagi jam empat.”

“Gawat!” Aku bergegas melesat. Salma mengimbangi.

Kakiku terus melayang cepat bergantian. Sepertinya Salma sudah tidak kuat berlari, kemudian berhenti. Aku menengok ke belakang, dia sedang terengah-engah. Kemudian tangannya terangkat memberi tanda, jika dirinya baik-baik saja.

Setibanya di sana, pintu museum ternyata terbuka. Aku langsung memeriksa ke dalam, menelusur pinggiran dinding, ternyata tidak ada. Mataku langsung mengamati sekeliling pintu tetap saja nihil. Aku coba ke meja Mbak-mbak resepsionis.

“Permisi, Kak.” Aku sedikit menengadahkan kepala karena mbaknya tinggi menjulang.

“Iya, ada yang bisa saya bantu?”

“Apa tadi Kakak lihat kardus di sebelah pintu masuk?”

“Oh, tunggu sebentar, ya.”

“Siap, Kak.”

Perempuan penerima tamu itu meninggalkan tempatnya. Lalu kembali beberapa detik kemudian.

“Apa ini kardusnya? Isinya anak kucing, kan?”

“Iya, Kak, benar. Terima kasih.” Hela napasku kini ringan seraya mengangkat kardus.

“Sama-sama, Kak,” Resepsionis itu tersenyum ramah.

Aku balas melekukkan bibir.

Salma sedang terduduk di tangga salah satu bangunan, aku segera menghampirinya. Dia membelalakkan mata, hangat.

“Aku kecapean tau. Coba lihat anak kucingnya. Nggak apa-apa, kan?” tanyanya serius.

“Kamu, sih, pasti jarang olahraga. Nih, cuman tinggal kardusnya doang.”

“Masa baru sebentar udah hilang? Ih, kamu bohong, ya. Coba aku lihat!”

“Bercanda. Hehehe.”

“Ih!” dia memajukan bibir sembari mengelus kedua anak kucing.

“Hayu, katanya tadi mau balik.”

Tanpa aba-aba dia bergegas melangkah cepat. Aku berjalan di belakangnya, menatap rambut hitam terurainya. Aku pikir dia cocok jadi bintang iklan sampo.

Kami telah tiba di halte. Hari sudah semakin berwarna suram, langit telah muram. Salma sesekali melirik jam di tangannya. Kami berdiri di tempat menunggu angkutan umum itu.

“Aduh!”

“Apa lagi? Ada yang lupa lagi?”

“Iya, aku lupa.”

“Tas ada, sepatu ada, baju ada. Apa yang lupa?” dia menyelidik.

“Aku lupa, kalau nggak ada damri jurusan Ledeng yang jalan ke sini.”

“Terus gimana sekarang?”

“Aku juga belum hapal semua jalan di Bandung. Kalau kita jalan pasti jauh, kalau kita naik damri lain dulu ke Terminal Leuwi Panjang pasti ke buru malem.” Kedua kalinya aku hanya ingin mengulur waktu. Sedikit berbohong mungkin tidak apa-apa.

“Udah, kita naik taksi online aja.”

“Mahal, Salma.”

 “Terus gimana? Keburu kemaleman, Arka. Giliran aku yang bayarin, kan, sekarang.”

“Tapi ....” Kini, aku jadi merasa bersalah.

“Udah, aku pesan. Lagi ke sini mobilnya.”

Aku menggaruk kepala belakangku yang tak gatal.

Kuda besi mengkilap berwarna merah mendekat ke halte. Tangan Salma melambai. Aku jadi tambah merasa bersalah karena sakuku sekarang sudah kosong.

Kami telah duduk di kursi empuk mobil.

“Nanti, aku ganti ongkosnya, ya.”

“Nggak usah, Arka, kita tadi udah sepakat kalau aku yang bayarin ongkos pulangnya. Aku nggak suka ingkar janji.”

“Tapi ini bukan damri, Salma.”

“Sama aja. Sama-sama kendaraan.”

“Aku ....” Aku langsung berhenti mengoceh saat dia menempelkan jari telunjuknya di bibirku. “Ganti topik pembicaraan, ya, Arka.”

Mataku malah menatap ke jalanan, ada pengendara motor menyelidik mobil kami. Namun, orang itu segera tancap gas setelah tahu, jika aku memperhatikannya. Dahiku mengernyit.

-Bersambung-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status