Elina baru saja selesai mandi. Sisa-sisa make up pesta telah lenyap, berganti dengan wajah polos yang terlihat lelah. Pesta tadi menyisakan kelelahan bukan hanya secara fisik, tapi juga batin—terutama karena sikap ibu Radit yang masih dingin terhadapnya.Di balik aroma sabun yang masih melekat di kulit, pikirannya melayang-layang."Bagaimana kelanjutan hubunganku dengan Radit nanti?" gumamnya lirih. Sorot matanya menatap kosong ke arah jendela kamar. Ia terlanjur menyayangi anak Radit, menganggapnya seperti darah daging sendiri. Tak ada yang bisa memisahkan mereka—Elina bersumpah dalam hati.Tiba-tiba, ponselnya bergetar pelan di meja. Nama 'Kina' muncul di layar. Elina mengernyit.“Kina?” ujarnya pelan.Tanpa berpikir panjang, ia menjawab panggilan itu. “Halo, Kina. Ada apa?”“Kamu sudah dengar soal Bela?” suara Kina terdengar agak panik.Elina langsung siaga. “Kenapa dengan Bela?”“Dia benar-benar mengundurkan diri dari perusahaan. Rian bahkan disuruh Dani buat melacak keberadaannya
"Berhenti!!"Gita sedikit kesal ketika melihat dua orang itu malah bermesraan dihadapannya, dia menjadi muak dan kesal. Terlebih setelah dia kaya obat nyamuk sendiri."Kenapa Gita?" tanya Elina yang pura-pura tidak tahu. Dia sengaja menyindir Gita karena memang tahu karakter wanita itu."Iya, Gita. Kenapa?"Radit malah pura-pura polos sekarang, dia sengaja mengatakan itu karena ingin membuat Gita merasa tidak nyaman. "Kalian bermesraan tidak tahu tempat sama sekali," umpat Gita yang akhirnya memutuskan untuk keluar dari mobil ini."Kamu kenapa, Gita? Tidak mau ikut pulang?" tanya Radit."Tidak usah, aku berhenti disini saja," kata Gita sambil mengumpat kesal.Pasangan yang memang tidak tahu tempat sama sekali, membuat dia kesal. Terlebih ketika ekspresi dirinya yang memang sangat kurang. Dia tidak menyangka kalau hal ini akan terjadi.Sampai tak lama kemudian, dia teringat akan sesuatu sekarang. Bahkan dia tidak menyangka dengan semuanya."Jangan pak," kata Radit kepada supirnya sete
"Siapa dia?"Gita memicingkan mata, menatap tajam ke arah wanita asing yang berdiri terlalu dekat dengan Radit. Ada ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan dari suaranya. Sorot matanya tajam, seakan ingin menelanjangi niat wanita itu."Saya pacarnya Radit."Nada Elina terdengar tenang, tapi sarat akan keberanian. Bibirnya melengkung membentuk senyum tipis, seolah menyadari bahwa kata-katanya barusan adalah tamparan bagi lawan bicaranya. Ia tahu siapa Gita—wanita yang selalu dielu-elukan oleh Ibu Radit, wanita yang katanya "cocok untuk jadi menantu".Gita terkesiap, lalu segera menoleh pada Radit. "Apa benar seperti itu?" suaranya pelan, nyaris berbisik. Tapi nadanya mengandung luka dan gugatan.Radit mengangguk pelan. "Tentu saja. Memang kenyataannya seperti itu."Gita menarik napas dalam, mencoba tetap tenang. Tapi suaranya mulai bergetar. "Kak Radit, bukannya kamu pernah bilang akan menikah denganku? Kenapa kamu malah bawa dia ke sini?"Radit menunduk, enggan menatap mata Gita yang
Elina menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun biru malam yang membalut tubuhnya jatuh anggun, mempertegas siluet rampingnya. Rambutnya ditata sederhana namun elegan, dan seulas lipstik merah muda membuat senyumnya kian menawan. Untuk sesaat, dia terdiam. Ini bukan sekadar penampilan—ini adalah keberanian yang baru. Dengan satu helaan napas panjang, ia pun beranjak turun.Di lantai bawah, Radit sudah menunggu di depan pintu. Ia mengenakan jas gelap yang membuat posturnya terlihat semakin tegap. Matanya langsung tertuju pada Elina begitu wanita itu muncul di tangga.“Maaf ya, aku agak lama. Tadi ada sedikit kendala,” kata Radit dengan senyum canggung.Elina tersenyum kecil. “Tidak apa. Aku malah senang kamu datang.”Radit menatap Elina dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ada kekaguman di sana—dan keterkejutan yang tak bisa disembunyikan.“Kamu terlihat… luar biasa malam ini,” katanya pelan.Elina tertawa pelan, mencoba menyembunyikan rona merah yang mulai menghiasi pipinya. “Terimakas
Radit sudah berada di sebuah butik elegan milik temannya. Hari ini ia datang bersama Elina, wanita yang telah merebut perhatiannya belakangan ini. Setidaknya, semuanya berjalan sesuai rencana. Tidak ada yang canggung. Tidak ada yang terlalu dipaksakan. Hanya dua orang yang sedang menikmati waktu bersama.Ia tahu, momen ini bukan lagi sekadar kebetulan. Ini sudah menjadi bagian dari hidupnya. Bagian yang ingin ia jaga."Senang sekali," gumam Elina sambil melihat-lihat sekeliling butik."Tapi kamu suka dengan butik ini, kan?" tanya Radit sambil menatap wajah Elina, mencari raut puas di balik senyumnya. Ia ingin memastikan, Elina nyaman.Elina menoleh dan mengangguk pelan. "Bagus banget. Aku malah bingung pilih yang mana."Radit tersenyum kecil. Ia tahu, Elina memang orang yang tidak mudah puas. Dan itu membuatnya justru semakin menarik. "Coba kamu pakai yang ini... dan yang ini. Aku ingin lihat kamu memakainya."Elina mengangguk sambil mengambil dua gaun yang ditunjuk Radit. Rona bahagi
Elina berdiri di dapur dengan senyum puas. Aroma harum masakan menguar memenuhi rumah, membangkitkan selera siapa pun yang menciumnya. Hari ini bukan sekadar makan malam biasa—mereka merayakan dua hal sekaligus: keberhasilan bersama dan ulang tahun Jio. Semua sudah Elina rancang dengan baik.Dengan gerakan luwes, ia melepas celemek, menepuk tangan pelan, lalu memanggil, "Ayo semuanya, makan malam sudah siap!"Suasana rumah mendadak ramai. Tawa dan langkah kaki memenuhi ruang makan yang sudah dihias sederhana namun hangat."Iya, ayo!" seru Kina yang muncul dari dapur membawa beberapa gelas berisi minuman segar. Matanya berbinar, semangat menyambut malam yang istimewa.Walau masih belajar, Kina telah membantu Elina menyiapkan beberapa hidangan. “Biar nanti bisa masak buat diri sendiri juga,” katanya tadi, saat mereka sama-sama mengaduk sayur di dapur."Wah, dari baunya aja udah bikin lapar!" seru Radit sambil masuk ke ruang makan dan langsung duduk di samping Elina. "Kayaknya bakal enak
Elina masih duduk di tepi ranjang kamar Radit. Jemarinya membelai lembut kotak beludru biru tua yang baru saja diterimanya. Di dalamnya, berkilauan sebuah kalung emas putih dengan liontin mungil berbentuk bulan sabit bertabur berlian kecil. Bukan hanya indah, tapi juga perhiasan edisi terbatas yang hanya diproduksi lima buah di dunia. Ia bahkan masih sulit percaya Radit menghadiahkannya sesuatu seistimewa ini."Jadi kamu memintaku untuk datang ke pesta itu?" tanya Elina, menatap Radit dengan campuran rasa bahagia dan gugup."Tentu saja," jawab Radit seraya mendekat. "Apa kamu keberatan?"Elina menggeleng, lalu tersenyum kecil. "Terima kasih banyak. Kapan acaranya?""Dua hari lagi. Aku ingin kamu datang bersamaku, Elina. Aku tidak mau menyembunyikan hubungan ini lagi."Hati Elina berdegup lebih kencang. Ada rasa haru dan juga keraguan yang belum sepenuhnya hilang. “Apa ibumu juga akan hadir?”Radit mengangguk. "Iya, dan aku ingin kamu bertemu dengannya. Aku harap kamu bisa mengenalnya…
Rian berdiri di sudut ruangan sambil memandangi Kina yang sedang sibuk merapikan pita berwarna emas di sisi meja. Di tengah kerlap-kerlip lampu hias dan aroma manis dari kue cokelat yang baru saja diletakkan di atas meja, suasana rumah Radit berubah hangat dan penuh kehidupan.Mereka berdua kini berada di rumah Radit, dan tak bisa dipungkiri, Rian merasa terkesan dengan hasil kerja keras Kina.“Aku sudah mendekorasi tempat ini sejak pagi,” ujar Kina sambil menoleh dengan senyum bangga.Rian mengangguk sambil memandangi sekeliling—balon warna-warni menggantung di langit-langit, dan foto-foto kecil Jio ditempelkan manis di dinding dalam bentuk kolase berbentuk hati.“Kamu memang punya sentuhan ajaib. Aku gak sabar lihat wajah Radit dan Jio nanti,” ujar Rian.“Mereka sudah berangkat dari rumah sakit?” tanya Kina sambil merapikan bunga segar di vas.“Dani baru saja bilang mereka sudah di jalan,” jawab Rian.Kina hanya mengangguk, namun sorot matanya menyiratkan rasa lega sekaligus haru. I
Elina berdiri diam di hadapan dua batu nisan yang berdampingan. Hembusan angin sore membelai rambutnya yang terurai, membawa aroma bunga tabur yang masih segar. Matanya sembab, pipinya basah oleh air mata yang belum sempat mengering. Di sinilah jasad mantan suaminya dan anak mereka dimakamkan. Dua nyawa yang pernah begitu berarti dalam hidupnya, kini hanya tinggal nama yang terukir di atas marmer."Sudah Elina, ayo kita pergi dari sini," suara lembut Radit memecah keheningan. Nada suaranya pelan, penuh pengertian.Elina mengusap pipinya, mengatur napas yang masih sesenggukan. "Aku masih belum bisa percaya semua ini sudah berakhir.""Anggap saja ini takdir, dan balasan bagi orang-orang yang menyakitimu. Kamu sudah cukup kuat, Elina. Sekarang waktunya pulang," ujar Radit menatapnya dalam.Dia tahu ini akan datang. Kepergian, kehilangan, dan akhirnya... kebebasan dari rasa sakit. Segalanya memang sudah berakhir. Orang-orang yang menghancurkan hidupnya telah menerima ganjarannya. Tapi luk