Melihat banyak orang sedang membicarakannya, Awan tidak terima masalah pribadinya menjadi konsumsi publik. Apalagi mereka membuat penilaian yang terkesan sangat merendahkan dan menghakimi kehidupan pribadinya.
Jika satu atau dua orang saja, ia mungkin bisa membuat perhitungan dengan mereka.
Tapi, sekarang yang membicarakannya hampir seluruh siswa di sekolahnya?
Apa ia harus menghajar mereka semua untuk melampiaskan kemarahannya?
Tidak! Awan cukup sadar diri dengan posisinya.
"Nak, ibu ingin melihatmu meraih impianmu di masa depan."
"Apapun cita-citamu, ibu ingin melihatmu menjadi orang yang sukses dan bahagia!"
Ucapan ibunya masih terngiang di dalam kepalanya dan terasa masih hangat. Seolah, ibunya baru mengucapkan kalimat itu beberapa hari yang lalu.
Karena mengingat pesan ibunya, Awan terpaksa harus menahan semua kemarahannya.
Untuk itu, Awan menarik napas beberapa kali untuk meredam emosinya. Ia meyakinkan dirinya, bahwa orang-orang ini tidak layak untuk membuatnya emosi. Bagaimanapun, mereka hanya mengetahui kehidupan pribadinya secara sepihak dan membuat penilaian sesuai dengan imajinasi liar mereka sendiri.
Jika seandainya seluruh dunia pun tahu tentang kehidupan pribadinya, terus kenapa? Mereka semua hanya bisa menilai. Tidak ada yang benar-benar tahu tentang kehidupannya selain dirinya sendiri.
Meski begitu, Awan sangat penasaran, siapa orang yang telah menyebarkan gosip tentang kehidupan pribadinya pada semua orang?
Apa sahabatnya, Kirana dan Karina?
Keduanya adalah teman Awan sedari sekolah dasar hingga sekarang. Namun, Awan sangat mengenal keduanya, tidak mungkin mereka akan menyebar gosip yang akan menjatuhkan citra Awan, seperti sekarang ini.
Atau Clara, adik tirinya? Meski Clara adalah anak ibu tirinya, ia memiliki karakter yang sangat berbeda dengan ibunya. Jadi, tidak mungkin Clara pelakunya.
Awan memikirkan beberapa nama dalam kepalanya. Tidak banyak orang yang mengetahui tentang kehidupan pribadinya dan Awan tidak bisa memikirkan siapa yang paling memungkinkan untuk menjadi biang gosip negatif tentang dirinya.
Akhirnya, Awan pun memutuskan untuk menyerah karena tidak menemukan satu pun nama yang mungkin menjadi 'musuh' tersembunyinya.
Karena itu, Awan memutuskan untuk lebih cuek dan mengabaikan semua orang yang sedang menggosipkan dirinya.
Awan terus berjalan ke ruang kelasnya. Namun, baru saja ia membuka pintu, hawa panas langsung menerpa wajahnya. Hal itu disebabkan oleh semua siswa sedang menatapnya dengan tatapan penuh hinaan.
Rupanya, sebelum Awan datang, semua orang di kelasnya sedang membahas dirinya dan mereka juga mendapat informasi tentang latar belakang Awan.
Isu tentang kehidupan pribadi Awan dengan cepat menyebar, seperti api yang membakar hutan.
Gosip ini semakin diperparah oleh mereka yang memang tidak menyukai Awan.
Siapa lagi kalau bukan dua orang peringkat dua dan tiga di kelasnya, Rania dan Farhan.
Mereka telah tiga semester sekelas dengan Awan dan selama itu pula, keduanya selalu menjadi langganan peringkat dua dan tiga. Bagi mereka, Awan adalah satu-satunya siswa yang menghambat mereka untuk meraih peringkat satu.
Dengan adanya isu tentang latar belakang Awan, membuat keduanya memiliki senjata untuk menyerang personal Awan dan merendahkan citranya.
"Lihat, orang yang dibicarakannya sudah datang!" Ujar Farhan dengan nada sarkas sambil melirik Awan dengan senyuman licik di wajahnya.
Seketika, semua orang di kelas memperhatikan Awan.
Selama ini, selain peringkat juaranya, tidak satupun dari Awan yang bisa menarik orang lain untuk memperhatikan dirinya.
Itu karena Awan begitu cuek dengan penampilannya dan selain itu, ia terkenal sebagai tukang tidur di kelas yang membuat orang lain malas untuk memperhatikan dirinya.
"Jadi, ini ceritanya anak haram yang terbuang! Hahaha."
Seorang cowok tiba-tiba semakin memanaskan suasana dan membuat sesisi kelas kompak menertawakan Awan.
Tanpa mempedulikan perasaan Awan, mereka terus membicarakan Awan dengan nada yang begitu merendahkan.
"Jadi, siapa ayahmu sebenarnya, Awan?"
"Anak tidak jelas."
Saat suasana semakin panas, seorang anak cowok lainnya mengambil kesempatan tersebut untuk menanyakan sesuatu yang begitu sensitif. Ekspresinya terlihat begitu bangga bisa mempermalukan Awan di depan teman-temannya.
"Yah, siapa yang tahu jika ibunya hanya berbuat dengan satu pria? Siapa tahu ibunya telah berbuat dengan lebih dari satu pria, hahaha."
"Hahaha."
Kalimat demi kaimat yang dilontarkan mereka sudah semakin keterlaluan dan Awan hampir tidak bisa menahan emosinya. Bagi Awan, ibunya adalah batas kesabarannya. Tidak masalah jika ada orang yang merendahkan dirinya. Tapi, jika mereka juga merendahkan ibunya, Awan siap untuk membuat mereka membayar mahal atas penghinaan yang mereka lakukan.
"Kalian sudah benar-benar keterlaluan!"
Tepat di saat Awan akan bersuara dan mengambil tindakan, seorang cewek sudah terlebih dahulu bersuara untuknya.
'Indah?' Sudut mata Awan melirik Indah yang bersuara lantang dan menegur keras, mereka yang telah menghina Awan.
"Kalian menjudge Awan seolah hidup kalian sudah paling benar?"
"Lagian, bukan pilihan Awan lahir dari rahim siapa dan keluarga mana."
"Perlu kalian ingat, cowok yang kalian hina sebagai anak haram dan tidak jelas ini adalah juara kelas kita dan juara umum sekolah."
"Tidak satupun dari kalian yang bisa menyamainya."
"Farhan, kamu bahkan hanya bisa mengekor Awan selama tiga semester ini. Lalu, apa yang membuatmu merasa lebih baik dari Awan?"
"Kamu?" Farhan yang ditodong pertanyaan seperti itu dari Indah, tidak bisa membela diri. Karena kenyataannya memang demikian. Ia bahkan tidak bisa mengalahkan Rania. Tapi, meski begitu, ia masih bisa menerima dikalahkan oleh Rania, karena Rania adalah pacarnya.
Tapi, siapa Awan? Dia bukan siapa-siapa. Tapi, meski begitu, selama tiga semeter ini, ia dan Rania tidak bisa melewati rangking Awan. Tidak hanya itu, Awan adalah juara umum di sekolah mereka.
Apalagi, setelah tahu latar belakang Awan, membuat kecemburuannya terhadap Awan semakin memuncak. Terungkapnya latar belakang Awan, ingin dijadikan Farhan sebagai senjata untuk menyerang personal Awan.
Namun, kalimat tajam dari Indah barusan, membuat Farhan terdiam dan tidak bisa berkata-kata. Semua ucapan Indah adalah kenyataan yang sebenarnya. Sehingga, Farhan hanya bisa duduk di bangkunya dengan menahan kesal.
Begitupun dengan siswa-siswa lainnya. Begitu Indah bersuara, mereka tampak enggan untuk melanjutkan penghinaan mereka terhadap Awan. Seolah, Awan sudah mendapatkan pendukung yang lumayan kuat sebagai pembelanya.
Siapa Indah? Dia hanyalah teman semeja Awan. Tidak memiliki prestasi yang menonjol selain kecantikan dan tubuhnya yang montok. Di kelas mereka, Indah termasuk salah satu cewek tercantik bersama Rania dan dua orang lainnya.
Di sisi lain, ketika melihat semua orang diam, Awan pun memilih untuk menahan diri.
Hanya saja, ia tidak berniat untuk berterimakasih pada Indah karena telah membelanya.
Awan dengan ekspresi datar melangkah ke bangkunya. Hanya saja, kejutan lain sudah menunggunya. Di atas meja dan bangkunya, terdapat banyak coretan yang sebagian besar adalah kalimat hinaan terhadap dirinya.
Anak haram!
Anak zina!
Anak buangan!
Anak tidak jelas!
Awan menatap seluruh orang di kelas untuk mencari tahu siapa pelaku yang telah merusak meja dan bangkunya. Hanya saja, semua orang terlihat seolah tidak peduli pada dirinya.
Indah yang berada di sebelah mejanya, hanya berkata, "Maaf ya, Awan! Aku benar-benar gak tahu siapa yang menulis semua ini."
"Kalau kamu mau, aku akan melaporkannya pada pihak sekolah. Biar sekolah mengusut dan menghukum pelakunya!" Ujar Indah dengan ekspresi tampak prihatin.
"Huft!"
Awan menghela napas beberapa kali untuk menahan amarahnya.
"Sudah, biarkan saja!"
"Tapi..." Indah tampak seolah tidak rela.
Tapi, ketika melihat bahwa Awan tidak berniat untuk melanjutkan masalah ini, Indah pun tidak bisa berbuat banyak.
"Beneran, kamu gak mau melaporkan hal ini, Awan? Bagaimanapun, ini sudah termasuk pembulian. Kamu..."
"Sudah. Aku tidak ingin membahasnya." Ujar Awan datar.
Awan memutuskannya untuk menyudahinya dan menganggap semua coretan itu tidak ada. Sekarang, ia tidak bisa mempercayai siapapun, termasuk Indah.
Dibanding mengusut siapa yang menulis coretan penuh hinaan seperti ini, Awan lebih marah pada pelaku yang telah menyebarkan kehidupan pribadinya dan menyebabkan kegaduhan seperti sekarang.
Melihat Awan hanya diam, Indah pun menjadi canggung dan tidak tahu bagaimana harus menghibur Awan saat itu.
Hari itu, Awan tidak mood seharian di sekolah. Semua pelajaran hari ini, tidak satupun yang hinggap di kepalanya. Meski semua itu tidak masalah, karena Awan masih bisa belajar sendiri seperti kebiasaannya selama ini. Gosip tentang dirinya yang membuat seisi sekolah menertawakan dan mencemoohnya, membuat Awan tidak bisa berkonsentrasi belajar. Ia bahkan tidak bisa tidur siang seperti kebiasaannya selama ini. Kondisi ini sangat menganggunya. Saat ini, Awan tidak bisa berbuat apa-apa. Meski begitu, Awan bukan tipe orang yang akan berdiam diri selamanya ketika dia dihina. Ia bersumpah, begitu menemukan siapa pelaku yang telah menyebarkan fitnah tentang dirinya, ia akan membuat orang itu membayar mahal atas apa yang telah dilakukannya. "Awan, ini!" Seorang gadis cantik dengan lesung pipit tipis di sudut pipinya, menyerahkan sebotol minuman mineral ke tangan Awan, saat ia baru saja melewati sebuah warung di jalan samping sekolah. Itu bukan jalur utama dan jarang di lewati oleh siswa dan
Setelah bertemu teman-temannya, Awan langsung pulang ke rumah.Seperti alasan yang ia ucapkan pada Kirana dan Karina sebelumnya, ia harus segera pulang ke rumahnya. Jika tidak, ibu tirinya bisa mengamuk dan semakin mempersulitnya. Belum lagi masalah yang ia dapatkan di sekolahnya hari ini, semua itu semakin membuat kusut pikiran Awan.Awan bisa memastikan jika orang yang menyebarkan berita tentang dirinya dan penyebab kegaduhan hari ini bukanlah si kembar Kirana dan Karina.Begitupun dengan Teo dan dua temannya. Meski baru mengenal dekat ketiganya baru-baru ini dan mereka adalah tipe orang yang banyak akal dan nakal. Tapi, bukan berarti mereka licik dan suka menghalalkan cara kotor untuk menyerang dirinya. Teo dan dua rekannya adalah tipe orang yang gentel. Mereka bisa menerima kekalahan mereka dari Awan dan sikap ketiganya juga sangat menghargai Awan setelah pertarungan mereka.Bagaimanapun, pertarungan mereka dilakukan dengan adil.Sikap Teo dan dua rekannya hari ini yang menunjuk
Silvi masih uring-uringan di dalam kamarnya. Setelah melampiaskan kekesalannya terhadap Awan, nyatanya itu tidak mengurangi emosinya sama sekali. Ia masih belum puas untuk menghukum Awan dan kalau bisa, ia berharap dapat mengusir Awan dari rumah ini. Semua kebencian Silvi terhadap Awan, bermula dari penolakan Awan terhadap dirinya. Penolakan Awan sempat membuat rencana pernikahannya dengan Cipta Mahendra jadi tertunda. Semenjak itu, Silvi selalu memendam kebencian pada Awan. Ditambah, kenyataan bahwa Awan sebenarnya bukanlah anak biologis dari Cipta Mahendra, membuat Silvi semakin ingin untuk menyingkirkan Awan dan membuatnya bisa menguasai semua kekayaan Cipta Mahendra. Sekarang, setelah berhasil mengendalikan suaminya. Silvi bisa lebih leluasa menindas Awan. Hanya saja, sikap Awan yang tidak pernah membalas ataupun mengeluh, bukannya membuat Silvi senang, justru membuatnya malah semakin membenci Awan. Saat Silvi sedang memikirkan cara lain untuk menyiksa Awan, Cipta Mahendr
"Duduklah, nak! Kita sudah lama tidak ngobrol antara ayah dan anak. Selama ini, papa terlalu sibuk di perusahaan. Sehingga jarang memperhatikanmu." Ucap Cipta dengan nada lembut layaknya seorang ayah.Sementara Silvi bersikap seperti layaknya seorang istri penyayang suami dengan duduk di sebelahnya, sambil memeluk lengan Cipta.Sesuatu yang terasa aneh bagi Awan saat ini. Bagaimana tidak? Setelah pernikahan ayahnya dengan Silvi, ayahnya sudah berubah total. Awan bahkan merasa asing dengan sosok ayahnya sendiri. Bahkan, setelah kematian ibunya, Cipta sesekali masih menanyakan kabarnya. Meskipun hanya obrolan singkat, tapi itu masih bermakna dan membuktikan bahwa mereka masih satu keluarga. Namun, semenjak ayahnya menikah dengan ibu tirinya, Cipta tidak lagi pernah berinteraksi dengan Awan.Jangankan sekedar menanyakan kabar, bertemu pun hampir tidak pernah. Meskipun mereka tinggal satu rumah, mereka seperti berada di dunia yang berbeda.Sekarang, mendengar ucapan penuh perhatian ay
"Nak..."Cipta ingin membujuk Awan sekali lagi. Namun, Awan langsung menyelanya dengan kalimat yang lebih tegas, "Tidak, pa. Aku tidak akan pernah setuju untuk menjual rumah ini.""Kenapa kamu keras kepala begini? Papamu hanya meminta untuk menujual rumah bobrok ini. Lagian, rumah ini dibeli pakai uang papamu. Apa hakmu untuk menolaknya? Hah?""Kamu seharusnya berkaca, jika bukan karena papamu, kamu dan ibu pelacurmu itu, tidak akan pernah mendapatkan hidup yang layak dan bergelimang harta. Kamu dan ibumu itu bahkan akan menjadi gelandangan selamanya. Bahkan, jika ibumu mati, ia akan mati seperti anjing liar.""Kalian berdua bisa hidup dan tinggal di rumah ini, semua itu karena pemberian suamiku, mengerti?""Sekarang, sudah seharusnya kamu membalas semua kebaikan papamu."Melihat Awan yang bersikeras menolak permintaan suaminya, Silvi langsung menyela dengan kalimat tajam.Awan yang selama ini tidak pernah membalas ucapan tajam ibu ti
"Kakak, apa kali ini kita benar-benar akan berpetualang?" "Kenapa? Kamu sepertinya senang sekali berpetualang dan meninggalkan rumah itu? Apa kamu tidak suka tinggal di sana?" "Tentu saja! Kita bisa melihat dunia lebih luas dan mencoba banyak tantangan seru kalau di luar." "Bukan rumahnya, tapi wanita sadis itu. Dia suka sekali menindasmu, aku tidak suka! Jika kamu tidak melarangku, aku sudah memakannya dari jauh-jauh hari." "Hehehe, aku suka kalau kamu melakukannya. Tapi, tidak usah! Hanya akan menambah bebanku saja." Entah sudah berapa lama Awan bertukar cerita dengan seorang anak cewek berusia sebelas tahun. Keduanya begitu asik mengobrol di jalanan yang cukup sepi. Saat itu, sudah pukul dua belas tengah malam dan jalan yang mereka lewati relatif lebih sepi. Sehingga, tidak ada yang memperhatikan keduanya. Jika pun ada, orang-orang hanya akan melihat seorang cowok remaja yang membawa sebuah tas ransel besar sedang berbicara seorang diri. Saat ini, Awan masih belum mengetahui
"Jika kamu bersedia bergabung dengan Sky Light, kamu akan mendapatkan gaji tahunan sebesar seratus milyar. Belum termasuk bonus kinerja dan asuransi. Jika ditotal, penghasilan bersihmu dalam setahun bisa mencapai dua ratus milyar rupiah lebih.""Bagaimana?"Saat mengucapkan penawaran itu, ekspresi Florensia terlihat begitu yakin bahwa remaja seperti Awan tidak mungkin bisa menolaknya.Lagian, ini jaman apa? Uang hampir dapat mengendalikan segalanya. Penawaran yang diberikan Sky Light pada Awan, sebenarnya sangat tinggi. Seorang ahli IT profesional di Microsoft saja, belum tentu bisa mendapatkan gaji sebesar ini. Tapi, mereka tidak membuat penawaran yang sia-sia.Perusahaan raksasa sebesar Sky Light begitu menghargai bakat dan kemampuan. Awan termasuk bakat langka yang jarang ada. Dengan usianya yang masih remaja, bisa menembus sistem keamanan Sky Light yang sangat kuat merupakan pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh jeniusnya dari jenius. Semua ahli di Sky Light rata-rata adalah j
Jika dibandingkan dengan siswa jurusan IPA, populasi cewek-cewek cantik di jurusan IPS relatif lebih sedikit. Itu karena cewek-cewek di jurusan IPA terkenal akan kepintarannya dan mereka yang memilih jurusan tersebut, biasanya adalah anak-anak pilihan.Sehingga wajar, begitu seorang cewek cantik berjalan masuk ke salah satu kelas jurusan IPS, kehadirannya langsung menarik perhatian. Terutama dari anak-anak cowok. Tidak sedikit yang coba mendekatinya dan mengajaknya berkenalan. Syukur-syukur bisa menjadikannya pacar.Namun, semua itu hanya harapan semu dan bayangan liar mereka semata. Kenyataannya, cewek cantik berwajah imut tersebut, tidak sedikitpun melirik ke arah mereka. Tujuannya datang ke kelas IPS hari itu cuma satu, mencari keberadaan Awan.Cewek tersebut tidak lain adalah Clara, saudara tiri Awan.Clara yang sedang mencari keberadaan Awan, langsung menghampiri si kembar Kirana dan Karina dan bertanya langsung tanpa basa-basi, "Kak, apa kalian tahu di mana kak Awan saat ini?"