LOGINHari itu, Awan tidak mood seharian di sekolah. Semua pelajaran hari ini, tidak satupun yang hinggap di kepalanya. Meski semua itu tidak masalah, karena Awan masih bisa belajar sendiri seperti kebiasaannya selama ini.
Gosip tentang dirinya yang membuat seisi sekolah menertawakan dan mencemoohnya, membuat Awan tidak bisa berkonsentrasi belajar. Ia bahkan tidak bisa tidur siang seperti kebiasaannya selama ini. Kondisi ini sangat menganggunya.
Saat ini, Awan tidak bisa berbuat apa-apa. Meski begitu, Awan bukan tipe orang yang akan berdiam diri selamanya ketika dia dihina. Ia bersumpah, begitu menemukan siapa pelaku yang telah menyebarkan fitnah tentang dirinya, ia akan membuat orang itu membayar mahal atas apa yang telah dilakukannya.
"Awan, ini!"
Seorang gadis cantik dengan lesung pipit tipis di sudut pipinya, menyerahkan sebotol minuman mineral ke tangan Awan, saat ia baru saja melewati sebuah warung di jalan samping sekolah. Itu bukan jalur utama dan jarang di lewati oleh siswa dan hanya ada satu warung yang sering dijadikan tempat nongkrong oleh siswa-siswa nakal di sekolah mereka.
Tidak hanya sendiri, ada dua orang cewek dengan seragam SMA yang sama dan secara khusus menanti Awan lewat sana. Tidak hanya seragam, keduanya memiliki kecantikan dan juga tinggi yang sama. Selain orang yang telah lama mengenal keduanya, akan sangat sulit untuk membedakan keduanya.
Mereka tahu, Awan seringkali pulang lewat jalan ini. Sehingga, mereka sengaja menunggu Awan di sana. Selain itu, tujuan mereka menunggu Awan kali ini, karena kejadian yang menghebohkan sekolah mereka hari ini.
Keduanya satu sekolah dengan Awan, namun beda kelas dan jurusan. Dua dara cantik ini berada di kelas 11 IPS. Meski begitu, berita tentang Awan telah menyebar dan hampir semua orang mengetahuinya.
Mereka melihat banyak orang menggosipkan Awan dan bahkan ada yang terang-terangan menghina Awan secara langsung. Meski begitu, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Sehingga yang bisa mereka lakukan adalah menghibur Awan.
Keduanya khawatir, jika Awan akan terpukul karena berita tersebut. Itu sebabnya, mereka sengaja menunggu Awan pulang dan menghiburnya.
Mereka adalah Kirana dan Karina.
"Terimakasih!" Ucap Awan menerima botol minuman dari tangan Karina dan tanpa sungkan meminumnya.
Melihat dari gelagat keduanya, Awan bisa tahu kalau mereka ingin menghiburnya. Seketika, perasaan Awan menjadi hangat. Tidak salah, sahabat adalah orang yang paling mengerti perasaan sahabatnya.
Di saat semua orang merendahkan dan menghinanya, masih ada sahabatnya yang bersedia untuk menghiburnya.
"Kamu, tidak apa-apa, 'kan?" Tanya Kirana dengan ragu-ragu.
Awan tersenyum dan bersikap seperti ia yang biasanya, "Aku gak apa-apa."
Dua saudara kembar cantik ini bermaksud untuk menghibur Awan. Tapi, melihat Awan baik-baik saja, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Keduanya juga mengajak Awan pergi ke toko buku sebagaimana hobi Awan selama ini atau ke taman hiburan. Namun, semua ide itu di tolak oleh Awan.
"Kalian tahu sendiri, ibu tiriku seperti apa! Aku harus pulang cepat. Kalau tidak, dia bisa berubah menjadi nenek lampir." Tolak Awan seraya bercanda.
Tidak ada rahasia yang ia tutupi dari dua sahabatnya tersebut. Itu sebabnya, ia bisa bercanda lepas dengan mereka.
Tapi, tidak begitu dengan Kirana dan Karina. Meski mereka sempat tertawa karena candaan Awan. Tapi, di saat itu pula, mereka merasa kasihan di dalam hati untuk Awan.
Bagaimana tidak?
Mereka tumbuh bersama dan mereka tahu, jika Awan sangat dimanja oleh ibunya semasa hidup. Segala kebutuhan Awan selalu tercukupi. Bagaimanapun, keluarga Awan termasuk golongan berada.
Hanya saja, semenjak ayahnya menikah lagi dan Awan tinggal bersama ibu tirinya, kehidupan Awan seakan berubah seratus delapan puluh derjat. Dari seorang pangeran menjadi seorang budak.
Sungguh miris!
Ibu tiri Awan mengendalikan semuanya dan memperlakukan Awan tidak ubahnya seperti seorang pembantu.
Pernah mereka menanyakan pada Awan, kenapa ia bisa bertahan dengan kehidupan seperti itu?
Saat itu, Awan hanya memberikan dua jawaban yang tidak pernah mereka mengerti, "Aku tidak bisa meninggalkan rumah yang memberiku kenangan bersama ibu dan aku, tidak bisa hidup tanpa keluarga."
Baik Kirana ataupun Karina tidak mengerti, bagaimana Awan masih mengatakan jika keluarganya yang sekarang adalah keluarga. Sementara, orang-orang yang ia anggap sebagai keluarga, malah memperlakukannya dengan kejam.
Mereka berpisah di persimpangan jalan, karena arah rumah mereka berbeda.
Sementara itu, di ujung gang yang di lewati Awan, ada tiga orang siswa yang juga sengaja menunggu Awan. Mereka sengaja tidak menunggu bersama Kirana dan Karina, karena ingin membahas masalah yang sangat pribadi bersama Awan.
Ekspresi ke tiganya tampak seperti orang yang sedang menahan kesal.
Begitu melihat Awan, ke tiganya segera menghampiri dan mencegat Awan, "Bos, kalau lu mau, kami bisa menghabisi anak-anak manja ini untukmu!" Ucap pria yang memiliki badan paling besar tanpa basa-basi.
Mereka sangat kesal ketika melihat semua siswa di sekolah mereka menghina Awan. Tanpa orang-orang itu ketahui, bahwa Awan itu sebenarnya adalah orang yang sangat kuat.
Pria berbadan bongsor yang bicara sebelumnya sudah merasakan kengerian dari sisi lain Awan ini.
Di balik sosok Awan yang cuek dan terkesan pemalas, ada sisi sadis yang membuatnya sangat mengerikan.
Nama pria berbadan bongsor tersebut adalah Teo dan dua rekannya bernama Rinaldy dan Mukhtar.
Ketiganya bukan siswa biasa, Teo sendiri adalah siswa terkuat dan pemimpin dari siswa bengal di sekolah mereka. Rinaldy adalah juara Tae Kwon Do di sekolah mereka. Sementara Mukhtar adalah seorang atlit tinju dan kekuatan tinjunya tidak perlu di pertanyakan.
Ketiganya bisa disebut sebagai pemimpin siswa-siswa badboy di sekolah mereka.
Di hari pertama Awan masuk sekolah, ia sengaja menemui satu per satu dari ketiganya untuk menantang mereka bertarung.
Awan telah mengalahkan ke tiganya. Meski begitu, Awan tidak pernah menyebarkan hasil pertarungan tersebut pada siapapun. Semuanya terjadi di tempat sepi dan selesai begitu saja setelah pertarungan usai. Semenjak itu, Awan sudah dianggap sebagai pemimpin bagi ketiganya.
Melihat Awan dihina dan direndahkan oleh orang-orang dan Awan terlihat hanya diam tanpa berniat membalas mereka, malah membuat Teo dan yang lainnya marah.
Teo hampir saja memerintahkan anggotanya untuk memberi pelajaran pada orang-orang ini. Jika saja, tindakannya tidak akan merusak dan membuat heboh sekolahnya sendiri, ia pasti sudah melakukannya. Selain itu, Teo harus memastikan Awan mengijinkannya terlebih dahulu.
Bagaimana pun, bagi mereka, Awan sudah seperti pemimpin.
"Gak usah, bang! Biarkan saja. Nanti, isunya juga akan hilang dengan sendirinya." Balas Awan dengan tenang.
"Tapi..."
Awan menggeleng dan menahan Teo. Ia tahu, kemampuan Teo dan kawan-kawannya. Mereka sangat mampu untuk memberi pelajaran pada semua orang yang telah menghina dirinya hari ini. Tapi, buat apa? Itu hanya akan membuat suasana menjadi semakin gaduh. Awan tidak mau membuat keadaan menjadi panas karena dirinya. Selain itu, jika pihak sekolah mengusutnya, dirinya pasti akan terlibat.
Teo, Rinaldy dan Mukhtar mungkin tidak akan masalah. Mereka memiliki dukungan dari orang tua mereka yang masing-masing memiliki jabatan penting. Separah-parah hukuman yang akan mereka terima, paling cuma skorsing.
Sementara dirinya?
Bisa-bisa, ia akan langsung dikeluarkan dari sekolah jika terdapat bukti dirinya terlibat atau menjadi penyebab dari kerusuhan yang terjadi.
Sebelum semua itu terjadi, ia menekan Teo dan yang lainnya agar tidak melakukan usulan mereka barusan.
"Daripada memberi pelajaran mereka, aku lebih suka kalau abang-abang bisa menemukan siapa orang yang telah menyebar fitnah ini."
"Hmn, benar juga!" Ujar Teo mengangguk dan memahami maksud Awan.
"Baik, gue akan kerahkan anak-anak buat nyari pelakunya."
"Tapi, lu beneran gak apa-apa, 'kan?" Tanya Teo memastikan untuk terakhir kalinya.
"Iya, gue gak apa-apa."
"Baguslah! Gue senang mendengarnya."
"Ngomong-ngomong, si Bram udah jawab tantangan lu. Dua hari lagi, malam minggu di ruko Polo Gebang."
Mendengar kalimat terakhir Teo, Awan tersenyum senang dan mengangkat jempolnya.
“Wow, Z1000 Special Edition? Gaji kapten polisi sekarang gede juga, ya?”Awan mengangkat alisnya tinggi, nada suaranya campuran antara kagum dan menggoda.Motor sport besar berwarna hijau hitam itu berdiri gagah di bawah cahaya lampu jalan. Knalpotnya masih beruap, suara mesin yang baru dimatikan terdengar seperti dengusan hewan buas yang belum sepenuhnya jinak. Di atasnya, berdiri seorang wanita berambut hitam yang diikat tinggi, mengenakan jaket kulit dan celana jeans ketat. Dian Saka, selalu dengan gaya tangguhnya.Sejujurnya, Awan cukup terkejut melihat Dian mengedarai motor sport tersebut. Waktu pertama kali datang ke kota Samarda, ia cuma pernah lihat model motor itu di iklan. Belum sempat rilis, tapi di depan matanya sekarang, sudah ada satu dan itupun dikendarai oleh seorang wanita.Dian hanya tersenyum tipis, tidak bangga, tidak pula pamer. Ia menepuk sadel belakang motornya,“Bukan dari gaji polisi. Ini hadiah ulang tahun dari ayahku. Aku bahkan sempat nolak, tapi ya... mere
Langit malam tampak berat. Awan pekat menutupi rembulan, dan hanya sesekali kilat menyambar di kejauhan, menerangi reruntuhan bangunan tempat dua sosok itu berdiri saling berhadapan. Bau darah samar masih tercium di udara, sisa dari pertempuran yang baru saja berakhir.Awan menatap lelaki berpakaian serba hitam di depannya, seorang pria berusia 40an dan tubuhnya setengah berlutut, nafasnya terengah, tapi matanya masih menyimpan perlawanan. Lelaki itu, dikenal di dunia bawah tanah dengan nama 'Spectre', salah satu pembunuh bayaran paling berbahaya yang pernah dikirim untuk menumbangkan siapa pun yang menjadi targetnya. Tapi malam ini, dia gagal.Bukan karena ia lebih lemah dari lawannya, tapi karena lawannya sudah mengetahui semua jurus andalannya dan bahkan lebih baik darinya.Dan lebih dari sekadar gagal, dia terpukul oleh sesuatu yang tidak mampu ia jelaskan dengan logika manusia biasa.“Sekarang, kamu bisa jelaskan darimana kamu mempelajari teknik itu?” tanya Awan pelan, suaranya da
“Berhenti di sini, Pak.”“Hah? Di sini, Mas? Beneran?” sopir taksi itu menatap lewat kaca spion dengan dahi berkerut. Jalan yang mereka lalui sudah sepi sejak sepuluh menit lalu, hanya ada deru angin malam dan bayangan pepohonan di pinggir jalan. Tak ada rumah, tak ada lampu jalan. Tempat ini benar-benar gelap dan sunyi.Awan hanya tersenyum tipis, “Iya, berhenti di sini saja, pak.”Nada suaranya datar tapi mantap. Tak memberi ruang untuk ditawar.Sopir itu masih ragu, “Tapi, Mas... di sini bahkan nggak ada rumah. Mas yakin ini tempatnya?”Sopir taksi sempat mengira jika Awan sedang bercanda dan bertanya untuk memastikan.“Saya yakin.”Awan menatap keluar jendela. Hanya ada jalan kecil yang bercabang menuju gang sempit. Dari kejauhan, tampak seperti jalur mati. Tapi di mata Awan, tempat itu ideal. Tak ada kamera, tak ada saksi, tak ada suara selain jangkrik dan desir dedaunan. Tempat sempurna untuk untuk sebuah pertarungan, dan yang terpenting, tidak membahayakan keselamatan orang lain
Selepas kepergian Dian dan yang lainnya, malam itu kantor terasa begitu sunyi. Hanya ada suara ketikan keyboard, dengungan pendingin ruangan, dan aroma kopi yang sudah dingin di atas meja. Awan dan Nadya masih di sana, bekerja dalam diam. Wajah mereka sama-sama lelah, tapi tidak ada yang mau menyerah. Meski sekarang hanya ada mereka berdua, tapi tidak ada kesempatan untuk mengulang momen romantis seperti siang tadi. Keduanya larut dalam pekerjaan. Tumpukan dokumen di meja Nadya belum juga berkurang. Puluhan karyawan yang mengundurkan diri bersama Tomi sebelumnya dan ditambah tekanan dari berbagai pihak, membuat beban kerja Nadya naik berkali lipat. Karena tidak tega membiarkan Nadya bekerja seorang diri memeriksa banyak dokumen dan membuat banyak pengaturan, mau tidak mau Awan akhirnya ikut lembur bersama Nadya. Meski perannya hanya sebagai pendukung karena semua pekerjaan utama sudah bisa dihandel dengan baik oleh Nadya.“Sudah jam sebelas lewat, Nad. Kita pulang, yuk!” ucap Awan pe
Suara langkah sepatu hak tinggi bergema di lorong panjang kantor utama. Nadya yang baru saja menatap Awan dengan mata setengah terpejam refleks menegakkan tubuhnya. Aura keintiman yang baru saja terbangun seketika menguap begitu pintu ruangannya terbuka keras.Kali ini, bukan Lona yang datang. Sosok yang muncul di ambang pintu adalah, Dian Saka, gadis dingin, berwajah tegas, dan pernah menjadi rekan ekspedisi Awan sebulan yang lalu. Di belakangnya tampak Lona dengan senyum jail, serta Erika Harsya, putri sulung keluarga Harsya, yang menatap ruangan dengan ekspresi hati-hati namun berwibawa.Awan mendengus dalam hati. Ia tahu, kalau Lona ikut di belakang, pasti tidak akan ada kabar baik. Dan benar saja, melihat wajah puas gadis itu, Awan langsung tahu kalau Lona sedang menikmati perannya sebagai pengganggu waktu romantisnya bersama Nadya. Sial, lagi-lagi gagal di momen terakhir. Satu centimeter lagi. Lona memiringkan kepala, menatap Awan dengan gaya usil. "Aduh, maaf ya! Gak ganggu,
Di saat Tomi dan kelompoknya baru saja selesai diperiksa di ruang security, Awan duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke arah jendela besar. Tapi pikirannya tidak ke mana-mana. Ia tersangkut di satu hal yang sangat menyakitkan bagi harga diri pria sepertinya.‘Jir, tinggal satu senti lagi!’ gumamnya dalam hati. Kalau saja ia bukan pria sejati, ia mungkin sudah menangis bombai sekarang.Ya, hanya satu sentimeter yang memisahkannya dari momen paling berharga bersama Nadya. Sebuah momen yang jarang bisa mereka dapatkan. Apalagi, ia sudah menghilang cukup lama dan sudah sewajarnya bagi sepasang kekasih melepas rindu satu sama lain.Satu sentimeter yang gagal ia taklukkan, gara-gara seseorang datang tanpa diundang, siapa lagi kalau bukan gara sepupu Nadya, Lona.Sekarang gadis itu duduk di depan meja, menangis pelan sambil bercerita panjang lebar. Sudah hampir setengah jam Lona curhat tanpa henti dengan Nadya yang duduk disampingnya sambil menenangkannya, sementara Awan hanya menatap kos







