Share

6. AYAH YANG SUDAH BERUBAH

"Duduklah, nak! Kita sudah lama tidak ngobrol antara ayah dan anak. Selama ini, papa terlalu sibuk di perusahaan. Sehingga jarang memperhatikanmu." Ucap Cipta dengan nada lembut layaknya seorang ayah.

Sementara Silvi bersikap seperti layaknya seorang istri penyayang suami dengan duduk di sebelahnya, sambil memeluk lengan Cipta.

Sesuatu yang terasa aneh bagi Awan saat ini. 

Bagaimana tidak? 

Setelah pernikahan ayahnya dengan Silvi, ayahnya sudah berubah total. Awan bahkan merasa asing dengan sosok ayahnya sendiri. 

Bahkan, setelah kematian ibunya, Cipta sesekali masih menanyakan kabarnya. Meskipun hanya obrolan singkat, tapi itu masih bermakna dan membuktikan bahwa mereka masih satu keluarga. Namun, semenjak ayahnya menikah dengan ibu tirinya, Cipta tidak lagi pernah berinteraksi dengan Awan.

Jangankan sekedar menanyakan kabar, bertemu pun hampir tidak pernah. 

Meskipun mereka tinggal satu rumah, mereka seperti berada di dunia yang berbeda.

Sekarang, mendengar ucapan penuh perhatian ayahnya, hati Awan tergerak dan merasa senang. Awan menganggap, ayahnya masih peduli pada dirinya. 

Awalnya, obrolan mereka berjalan hangat layaknya antara seorang ayah dan anak. Awan masih belum sadar jika itu merupakan bagian dari rencana Cipta dan Silvi untuk memperdaya dirinya.

Saat Awan sudah mulai larut dengan pembicaraan mereka, Cipta mulai mengalihkan topik dengan menyinggung keadaan perusahaannya saat ini. 

Mendengar perusahaan ayahnya sedang bermasalah dan melihat raut wajah tidak berdaya ayahnya, Awan merasa kasihan. Meski begitu, apa yang bisa ia lakukan?

Andai dirinya memiliki uang sepuluh milyar di tangan, Awan tidak akan ragu untuk memberikan semuanya pada ayahnya. Hanya saja, jangankan sepuluh milyar, seratus ribu saja ia tidak punya. Itu karena ibu tirinya tidak pernah memberinya uang sepersenpun untuk belanja selain hanya onglos angkot. Itupun sudah disunat terlebih dahulu. Itu pula alasan kenapa Awan hanya bisa separuh naik angkot dan separuhnya lagi harus jalan kaki untuk bolak-balik ke sekolahnya setiap hari.

Sayangnya, Cipta Mahendra tidak tahu jika selama ini semua uang belanja yang telah ia berikan pada Awan selama ini telah ditilap oleh istrinya.

"Sayangnya, aku tidak bisa membantu Papa untuk urusan ini." Ujar Awan lirih dan merasa bersalah.

Cipta tersenyum melihat ketulusan Awan. Yah, meski Awan bukan anak kandungnya, Awan tidak pernah sekalipun membantahnya selama ini. Itu sebabnya, ia begitu menyayangi Awan dulunya. Hanya saja, setelah kematian istrinya, perasaan sayangnya mulai terkikis. Ditambah, dengan pandainya Silvi menaklukan hatinya dan mengalihkan perhatiannya dari Awan, membuat perasaan sayang Cipta pada Awan menguap begitu saja.

Silvi begitu pandai meyakinkan Cipta, bahwa semua perhatiannya pada Awan hanyalah sebuah kesia-siaan belaka. Bagaimanapun, Awan bukanlah darah daging Cipta dan kelak, tidak ada alasan bagi Awan untuk berbakti pada dirinya.

Sugesti yang ditanamkan Silvi ke dalam kepalanya, membuat Cipta mempercayai begitu saja semua ucapan Silvi. Sehingga, ketika melihat ketulusan Awan, bukannya simpatik, justru diam-diam Cipta menertawakannya. Karena tujuan Cipta yang sebenarnya adalah menarik simpatik Awan dan lalu membuat Awan menuruti permintaannya.

"Nak, apa kamu sungguh-sungguh ingin membantu Papa mengatasi masalah ini?"

"Tentu saja, pa. Apa yang bisa Awan lakukan untuk bisa membantu kesulitan perusahaan Papa?" Tanya Awan tulus tanpa curiga dengan motif ayahnya.

Seketika, Cipta memasang wajah sedih di wajahnya. Semuanya sudah ia rencanakan dengan istrinya sedemikian rupa. Bahkan, termasuk bagaimana mereka berekspresi. Tidak ada satupun yang terlihat janggal. 

Jika saja, ada sutradara film yang melihat akting mereka saat ini, mereka pasti dikira sebagai artis profesional karena saking naturalnya ekspresi mereka.

"Nak, papa sama mama mu sudah memikirkannya dengan sangat matang. Saat ini, tidak ada satupun pihak bank ataupun investor yang dapat membantu kita."

"Sementara, tenggat waktu proyeknya sudah sangat dekat. Jika proyek ini gagal, perusahaan kita akan menanggung kerugian yang sangat besar dan mungkin, bisa bangkrut!"

"Satu-satunya jalan keluar yang terpikirkan oleh ayah saat ini adalah dengan menjual rumah ini."

Mendengar kalimat terakhir ayahnya, Awan seketika terkejut, "Tapi,.."

"Tenang saja, nak. Kamu tidak perlu khawatir kalau kita tidak memiliki tempat tinggal."

"Kita akan menggunakan uang penjualan rumah untuk menutupi kekurangan modal proyek. Sementara sisanya, kita bisa membeli rumah baru yang tidak kalah besar dengan rumah ini. Hanya saja, tempatnya mungkin agak sedikit jauh dari pusat kota."

"Ini semua demi ekonomi keluarga kita." Jelas Cipta panjang lebar.

Sekilas, tidak ada yang salah dengan solusi yang dijelaskan Cipta. Hanya saja, Awan tidak mungkin bisa menerima ide ini. Bukan karena ia khawatir tidak memiliki tempat tinggal setelah ini. Melainkan, karena rumah ini memiliki arti yang sangat besar bagi hidupnya, yaitu kenangan dengan ibunya.

Bukan nilai rumahnya, tapi kenangan yang ada di dalamnya.

Bahkan, meski rumah ini hanya gubuk reot sekalipun, Awan tidak peduli. Baginya, kenangan tentang ibunya adalah sesuatu yang sangat penting dan tidak bisa diukur dengan nilai materil sebanyak apapun.

Firasat buruk Awan di awal, sepertinya terbukti. Karena itu, ia segera melirik ibu tirinya yang sedari awal hanya diam di sebelah ayahnya. Tidak perlu menebak, jika ini semua pasti ide dari ibu tirinya itu.

Jika ibu tirinya itu memang memiliki niat membantu ayahnya, apa salahnya ia mengeluarkan tabungannya? Setahu Awan, mendiang suami ibu tirinya adalah orang kaya. Silvi pasti mendapatkan banyak warisan dari mendiang suaminya.

Alasan, kenapa ia tidak mau mengeluarkan tabungannya untuk membantu kesulitan ayahnya, karena wanita seperti Silvi pasti tidak mau rugi.

Setelah menyadari niat mereka yang sebenarnya, ekspresi Awan berubah pahit, "Jadi, ini semua tentang rumah ibuku?"

Rumah ini atas nama ibunya. Menjelang ibunya meninggal, ibunya membuat namanya sebagai ahli waris. Sehingga wajar, jika ayahnya perlu meminta izinnya untuk bisa menjual rumah ini.

Awan tertawa getir, betapa bodohnya ia masih mempercayai ucapan manis ayahnya? 

Ayahnya benar-benar telah berubah. Ia sama sekali tidak menghargai kenangannya bersama ibunya. Padahal, seingat Awan, ayahnya itu begitu menyayangi ibunya.

Sekarang, ayahnya meminta izinnya untuk menjual rumah yang memiliki kenangan mereka dengan ibunya. Apa ibunya sudah tidak ada artinya lagi dalam hati ayahnya?

"Nak, apalah artinya sebuah rumah? Kita bisa membeli rumah lain yang tidak kalah besar dari rumah ini. Ayah janji, kamu bisa memiliki kamarmu sendiri nanti. Sebuah kamar yang cukup besar dan dapat bersebelahan dengan kamar adikmu, Clara." Bujuk Cipta tanpa menghiraukan alasan keberatan Awan.

"Pa, sebesar apapun rumahnya, tidak ada artinya bagiku. Karena hanya rumah ini yang memiliki kenangan dengan ibu."

"Selama aku sanggup, aku bisa membantu apapun yang papa minta. Tapi, tidak menjual rumah ini." Balas Awan tegas.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Yudi Ardiansyah
ini ada kaitannya dengan Saktiawan Sanjaya tidak ya ceritanya?
goodnovel comment avatar
Adelia
lanjut uda
goodnovel comment avatar
Muhammad Sholihin
lanjutkan hu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status