"Duduklah, nak! Kita sudah lama tidak ngobrol antara ayah dan anak. Selama ini, papa terlalu sibuk di perusahaan. Sehingga jarang memperhatikanmu." Ucap Cipta dengan nada lembut layaknya seorang ayah.
Sementara Silvi bersikap seperti layaknya seorang istri penyayang suami dengan duduk di sebelahnya, sambil memeluk lengan Cipta.
Sesuatu yang terasa aneh bagi Awan saat ini.
Bagaimana tidak?
Setelah pernikahan ayahnya dengan Silvi, ayahnya sudah berubah total. Awan bahkan merasa asing dengan sosok ayahnya sendiri.
Bahkan, setelah kematian ibunya, Cipta sesekali masih menanyakan kabarnya. Meskipun hanya obrolan singkat, tapi itu masih bermakna dan membuktikan bahwa mereka masih satu keluarga. Namun, semenjak ayahnya menikah dengan ibu tirinya, Cipta tidak lagi pernah berinteraksi dengan Awan.
Jangankan sekedar menanyakan kabar, bertemu pun hampir tidak pernah.
Meskipun mereka tinggal satu rumah, mereka seperti berada di dunia yang berbeda.
Sekarang, mendengar ucapan penuh perhatian ayahnya, hati Awan tergerak dan merasa senang. Awan menganggap, ayahnya masih peduli pada dirinya.
Awalnya, obrolan mereka berjalan hangat layaknya antara seorang ayah dan anak. Awan masih belum sadar jika itu merupakan bagian dari rencana Cipta dan Silvi untuk memperdaya dirinya.
Saat Awan sudah mulai larut dengan pembicaraan mereka, Cipta mulai mengalihkan topik dengan menyinggung keadaan perusahaannya saat ini.
Mendengar perusahaan ayahnya sedang bermasalah dan melihat raut wajah tidak berdaya ayahnya, Awan merasa kasihan. Meski begitu, apa yang bisa ia lakukan?
Andai dirinya memiliki uang sepuluh milyar di tangan, Awan tidak akan ragu untuk memberikan semuanya pada ayahnya. Hanya saja, jangankan sepuluh milyar, seratus ribu saja ia tidak punya. Itu karena ibu tirinya tidak pernah memberinya uang sepersenpun untuk belanja selain hanya onglos angkot. Itupun sudah disunat terlebih dahulu. Itu pula alasan kenapa Awan hanya bisa separuh naik angkot dan separuhnya lagi harus jalan kaki untuk bolak-balik ke sekolahnya setiap hari.
Sayangnya, Cipta Mahendra tidak tahu jika selama ini semua uang belanja yang telah ia berikan pada Awan selama ini telah ditilap oleh istrinya.
"Sayangnya, aku tidak bisa membantu Papa untuk urusan ini." Ujar Awan lirih dan merasa bersalah.
Cipta tersenyum melihat ketulusan Awan. Yah, meski Awan bukan anak kandungnya, Awan tidak pernah sekalipun membantahnya selama ini. Itu sebabnya, ia begitu menyayangi Awan dulunya. Hanya saja, setelah kematian istrinya, perasaan sayangnya mulai terkikis. Ditambah, dengan pandainya Silvi menaklukan hatinya dan mengalihkan perhatiannya dari Awan, membuat perasaan sayang Cipta pada Awan menguap begitu saja.
Silvi begitu pandai meyakinkan Cipta, bahwa semua perhatiannya pada Awan hanyalah sebuah kesia-siaan belaka. Bagaimanapun, Awan bukanlah darah daging Cipta dan kelak, tidak ada alasan bagi Awan untuk berbakti pada dirinya.
Sugesti yang ditanamkan Silvi ke dalam kepalanya, membuat Cipta mempercayai begitu saja semua ucapan Silvi. Sehingga, ketika melihat ketulusan Awan, bukannya simpatik, justru diam-diam Cipta menertawakannya. Karena tujuan Cipta yang sebenarnya adalah menarik simpatik Awan dan lalu membuat Awan menuruti permintaannya.
"Nak, apa kamu sungguh-sungguh ingin membantu Papa mengatasi masalah ini?"
"Tentu saja, pa. Apa yang bisa Awan lakukan untuk bisa membantu kesulitan perusahaan Papa?" Tanya Awan tulus tanpa curiga dengan motif ayahnya.
Seketika, Cipta memasang wajah sedih di wajahnya. Semuanya sudah ia rencanakan dengan istrinya sedemikian rupa. Bahkan, termasuk bagaimana mereka berekspresi. Tidak ada satupun yang terlihat janggal.
Jika saja, ada sutradara film yang melihat akting mereka saat ini, mereka pasti dikira sebagai artis profesional karena saking naturalnya ekspresi mereka.
"Nak, papa sama mama mu sudah memikirkannya dengan sangat matang. Saat ini, tidak ada satupun pihak bank ataupun investor yang dapat membantu kita."
"Sementara, tenggat waktu proyeknya sudah sangat dekat. Jika proyek ini gagal, perusahaan kita akan menanggung kerugian yang sangat besar dan mungkin, bisa bangkrut!"
"Satu-satunya jalan keluar yang terpikirkan oleh ayah saat ini adalah dengan menjual rumah ini."
Mendengar kalimat terakhir ayahnya, Awan seketika terkejut, "Tapi,.."
"Tenang saja, nak. Kamu tidak perlu khawatir kalau kita tidak memiliki tempat tinggal."
"Kita akan menggunakan uang penjualan rumah untuk menutupi kekurangan modal proyek. Sementara sisanya, kita bisa membeli rumah baru yang tidak kalah besar dengan rumah ini. Hanya saja, tempatnya mungkin agak sedikit jauh dari pusat kota."
"Ini semua demi ekonomi keluarga kita." Jelas Cipta panjang lebar.
Sekilas, tidak ada yang salah dengan solusi yang dijelaskan Cipta. Hanya saja, Awan tidak mungkin bisa menerima ide ini. Bukan karena ia khawatir tidak memiliki tempat tinggal setelah ini. Melainkan, karena rumah ini memiliki arti yang sangat besar bagi hidupnya, yaitu kenangan dengan ibunya.
Bukan nilai rumahnya, tapi kenangan yang ada di dalamnya.
Bahkan, meski rumah ini hanya gubuk reot sekalipun, Awan tidak peduli. Baginya, kenangan tentang ibunya adalah sesuatu yang sangat penting dan tidak bisa diukur dengan nilai materil sebanyak apapun.
Firasat buruk Awan di awal, sepertinya terbukti. Karena itu, ia segera melirik ibu tirinya yang sedari awal hanya diam di sebelah ayahnya. Tidak perlu menebak, jika ini semua pasti ide dari ibu tirinya itu.
Jika ibu tirinya itu memang memiliki niat membantu ayahnya, apa salahnya ia mengeluarkan tabungannya? Setahu Awan, mendiang suami ibu tirinya adalah orang kaya. Silvi pasti mendapatkan banyak warisan dari mendiang suaminya.
Alasan, kenapa ia tidak mau mengeluarkan tabungannya untuk membantu kesulitan ayahnya, karena wanita seperti Silvi pasti tidak mau rugi.
Setelah menyadari niat mereka yang sebenarnya, ekspresi Awan berubah pahit, "Jadi, ini semua tentang rumah ibuku?"
Rumah ini atas nama ibunya. Menjelang ibunya meninggal, ibunya membuat namanya sebagai ahli waris. Sehingga wajar, jika ayahnya perlu meminta izinnya untuk bisa menjual rumah ini.
Awan tertawa getir, betapa bodohnya ia masih mempercayai ucapan manis ayahnya?
Ayahnya benar-benar telah berubah. Ia sama sekali tidak menghargai kenangannya bersama ibunya. Padahal, seingat Awan, ayahnya itu begitu menyayangi ibunya.
Sekarang, ayahnya meminta izinnya untuk menjual rumah yang memiliki kenangan mereka dengan ibunya. Apa ibunya sudah tidak ada artinya lagi dalam hati ayahnya?
"Nak, apalah artinya sebuah rumah? Kita bisa membeli rumah lain yang tidak kalah besar dari rumah ini. Ayah janji, kamu bisa memiliki kamarmu sendiri nanti. Sebuah kamar yang cukup besar dan dapat bersebelahan dengan kamar adikmu, Clara." Bujuk Cipta tanpa menghiraukan alasan keberatan Awan.
"Pa, sebesar apapun rumahnya, tidak ada artinya bagiku. Karena hanya rumah ini yang memiliki kenangan dengan ibu."
"Selama aku sanggup, aku bisa membantu apapun yang papa minta. Tapi, tidak menjual rumah ini." Balas Awan tegas.
"Nak..."Cipta ingin membujuk Awan sekali lagi. Namun, Awan langsung menyelanya dengan kalimat yang lebih tegas, "Tidak, pa. Aku tidak akan pernah setuju untuk menjual rumah ini.""Kenapa kamu keras kepala begini? Papamu hanya meminta untuk menujual rumah bobrok ini. Lagian, rumah ini dibeli pakai uang papamu. Apa hakmu untuk menolaknya? Hah?""Kamu seharusnya berkaca, jika bukan karena papamu, kamu dan ibu pelacurmu itu, tidak akan pernah mendapatkan hidup yang layak dan bergelimang harta. Kamu dan ibumu itu bahkan akan menjadi gelandangan selamanya. Bahkan, jika ibumu mati, ia akan mati seperti anjing liar.""Kalian berdua bisa hidup dan tinggal di rumah ini, semua itu karena pemberian suamiku, mengerti?""Sekarang, sudah seharusnya kamu membalas semua kebaikan papamu."Melihat Awan yang bersikeras menolak permintaan suaminya, Silvi langsung menyela dengan kalimat tajam.Awan yang selama ini tidak pernah membalas ucapan tajam ibu ti
"Kakak, apa kali ini kita benar-benar akan berpetualang?" "Kenapa? Kamu sepertinya senang sekali berpetualang dan meninggalkan rumah itu? Apa kamu tidak suka tinggal di sana?" "Tentu saja! Kita bisa melihat dunia lebih luas dan mencoba banyak tantangan seru kalau di luar." "Bukan rumahnya, tapi wanita sadis itu. Dia suka sekali menindasmu, aku tidak suka! Jika kamu tidak melarangku, aku sudah memakannya dari jauh-jauh hari." "Hehehe, aku suka kalau kamu melakukannya. Tapi, tidak usah! Hanya akan menambah bebanku saja." Entah sudah berapa lama Awan bertukar cerita dengan seorang anak cewek berusia sebelas tahun. Keduanya begitu asik mengobrol di jalanan yang cukup sepi. Saat itu, sudah pukul dua belas tengah malam dan jalan yang mereka lewati relatif lebih sepi. Sehingga, tidak ada yang memperhatikan keduanya. Jika pun ada, orang-orang hanya akan melihat seorang cowok remaja yang membawa sebuah tas ransel besar sedang berbicara seorang diri. Saat ini, Awan masih belum mengetahui
"Jika kamu bersedia bergabung dengan Sky Light, kamu akan mendapatkan gaji tahunan sebesar seratus milyar. Belum termasuk bonus kinerja dan asuransi. Jika ditotal, penghasilan bersihmu dalam setahun bisa mencapai dua ratus milyar rupiah lebih.""Bagaimana?"Saat mengucapkan penawaran itu, ekspresi Florensia terlihat begitu yakin bahwa remaja seperti Awan tidak mungkin bisa menolaknya.Lagian, ini jaman apa? Uang hampir dapat mengendalikan segalanya. Penawaran yang diberikan Sky Light pada Awan, sebenarnya sangat tinggi. Seorang ahli IT profesional di Microsoft saja, belum tentu bisa mendapatkan gaji sebesar ini. Tapi, mereka tidak membuat penawaran yang sia-sia.Perusahaan raksasa sebesar Sky Light begitu menghargai bakat dan kemampuan. Awan termasuk bakat langka yang jarang ada. Dengan usianya yang masih remaja, bisa menembus sistem keamanan Sky Light yang sangat kuat merupakan pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh jeniusnya dari jenius. Semua ahli di Sky Light rata-rata adalah j
Jika dibandingkan dengan siswa jurusan IPA, populasi cewek-cewek cantik di jurusan IPS relatif lebih sedikit. Itu karena cewek-cewek di jurusan IPA terkenal akan kepintarannya dan mereka yang memilih jurusan tersebut, biasanya adalah anak-anak pilihan.Sehingga wajar, begitu seorang cewek cantik berjalan masuk ke salah satu kelas jurusan IPS, kehadirannya langsung menarik perhatian. Terutama dari anak-anak cowok. Tidak sedikit yang coba mendekatinya dan mengajaknya berkenalan. Syukur-syukur bisa menjadikannya pacar.Namun, semua itu hanya harapan semu dan bayangan liar mereka semata. Kenyataannya, cewek cantik berwajah imut tersebut, tidak sedikitpun melirik ke arah mereka. Tujuannya datang ke kelas IPS hari itu cuma satu, mencari keberadaan Awan.Cewek tersebut tidak lain adalah Clara, saudara tiri Awan.Clara yang sedang mencari keberadaan Awan, langsung menghampiri si kembar Kirana dan Karina dan bertanya langsung tanpa basa-basi, "Kak, apa kalian tahu di mana kak Awan saat ini?"
Ini adalah hari ketiga Awan pergi dari rumah dan mendapat rejeki nomplok satu triliyun dari Florensia. Sebenarnya, ia bisa saja berfoya-foya dengan membeli rumah mewah ataupun kendaraan megah edisi terbaru dan berlagak layaknya anak-anak orang kaya. Toh, itu tidak akan berpengaruh banyak terhadap saldo rekeningnya.Hanya saja, mendiang ibunya selalu mendidik Awan untuk bijak mengatur keuangannya.Entah saat menasehatkan itu, ibunya sudah berfirasat akan meninggalkan Awan untuk selamanya, sehingga ia ingin anaknya bisa berhemat dan merencanakan masa depannya dengan hati-hati. Karena tidak lama setelah itu, ibunya mengalami kecelakaan tragis dan pergi untuk selamanya.Karena teringat dengan nasehat ibunya tersebut, Awan berencana menggunakan uangnya untuk investasi.Pertama-tama, ia memikirkan untuk membeli sebuah ruko yang nantinya akan ia gunakan sebagai kantor dan juga tempat tinggal sementara. Di samping itu, Awan juga membutuhkan perangkat komputer super canggih untuk menunjang pe
Nadya Wongso yang sedang terbaring di atas ranjang, perlahan membuka matanya. Ini adalah kali pertama ia minum-minum. Meski hanya dua gelas, sudah membuatnya mabuk."Eh, di mana ini?"Nadya melihat sekeliling, lalu memijat keningnya dan mulai berusaha mengingat apa yang terjadi.Dia minum banyak alkohol di bar, kemudian dia lupa apa yang terjadi setelahnya dan tahu-tahu, sekarang ia sudah berada di dalam kamar hotel.Ekspresi Nadya seketika menegang, apakah dia telah dinodai oleh seseorang?Dia segera membuka selimut untuk memastikan dan menemukan bahwa pakaiannya hilang. Hanya satu set pakaian dalam yang tersisa.Segera setelah merasakan bagian intimnya, muncul perasaan aneh.Nadya benar-benar panik, mungkinkah ia telah kehilangan kesuciannya yang telah ia jaga selama dua puluh satu tahun hanya karena sekali mabuk?Nadya melompat dari atas ranjang dan melihat memang ada noda warna merah yang menyilaukan di atas sep
"Kemarilah!""Apa yang kamu inginkan?" Tanya Awan waspada.Ia khawatir, jika Nadya masih menyimpan dendam padanya dan kembali menyerangnya. Melihat kenekatanya terakhir, Awan tidak ragu jika wanita ini akan membunuhnya jika sampai ia lengah.Awan sudah mengganti baju dan memandang Nadya dengan waspada.Sayangnya, Awan berpikir terlalu jauh. Nadya awalnya berniat memita maaf pada Awan. Namun, melihat tatapan penuh waspada Awan terhadap dirinya, dia tiba-tiba menjadi kesal, "Apa maksudmu? Apa kamu pikir aku akan menodaimu?"Bukankah terbalik? Seharusnya wanita yang lebih waspada saat berduaan dengan lawan jenis yang bukan keluarganya dalam kamar hotel seperti ini? Sekarang kesannya, kenapa malah dia yang jadi penjahatnya?"Mungkin saja. Kamu kan sudah melihat tubuhku?""Kamu..."Entah darimana kepercayaan diri bocah ini berasal. Karena itu, ia berkata dengan kesal dan nada memerintah, "Sekarang, kamu pergi keluar dan belika
Mata Awan seketika terbelalak tidak percaya. Apa yang salah dengan wanita di depannya ini?"Ini bukan kompensasi. Tapi, kamu sengaja memanfaatkanku, 'kan?"Konyol, dia bahkan belum sampai tujuh belas tahun. Sementara wanita di depannya itu berusia 21 tahun. Kalaupun mencari pacar, Awan tidak mungkin memacari wanita yang lebih tua lima tahun darinya."Apa maksudmu? Apa aku tidak pantas untukmu?" Balas Nadya membelalakan matanya.Nadya merasa sangat kesal. Di luar sana, banyak pria yang berbondong-bondong mengejar cintanya dan berharap bisa menjadi pasangannya. Apa maksud cowok ini? Dia malah menunjukkan kesan seolah dia sedang dimanfaatkan oleh dirinya.Melihat ekspresi Nadya, Awan tertawa getir dan berkata, "Kakak, aku yang tidak pantas untukmu. Lupakan saja masalah kompensasi. Kamu tidak perlu bertanggung jawab apapun. Lupakan saja masalah ini, oke?"Awan merasa ngeri ketika membayangkan dirinya menjadi pacar Nadya. Wanita licik seperti ini, akan sangat menyusahkan dirinya. Jadi, seb