Beranda / Urban / AWAN - THE NEXT SANJAYA / 6. AYAH YANG SUDAH BERUBAH

Share

6. AYAH YANG SUDAH BERUBAH

Penulis: sutan sati
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-26 23:06:21

"Duduklah, nak! Kita sudah lama tidak ngobrol antara ayah dan anak. Selama ini, papa terlalu sibuk di perusahaan. Sehingga jarang memperhatikanmu." Ucap Cipta dengan nada lembut layaknya seorang ayah.

Sementara Silvi bersikap seperti layaknya seorang istri penyayang suami dengan duduk di sebelahnya, sambil memeluk lengan Cipta.

Sesuatu yang terasa aneh bagi Awan saat ini. 

Bagaimana tidak? 

Setelah pernikahan ayahnya dengan Silvi, ayahnya sudah berubah total. Awan bahkan merasa asing dengan sosok ayahnya sendiri. 

Bahkan, setelah kematian ibunya, Cipta sesekali masih menanyakan kabarnya. Meskipun hanya obrolan singkat, tapi itu masih bermakna dan membuktikan bahwa mereka masih satu keluarga. Namun, semenjak ayahnya menikah dengan ibu tirinya, Cipta tidak lagi pernah berinteraksi dengan Awan.

Jangankan sekedar menanyakan kabar, bertemu pun hampir tidak pernah. 

Meskipun mereka tinggal satu rumah, mereka seperti berada di dunia yang berbeda.

Sekarang, mendengar ucapan penuh perhatian ayahnya, hati Awan tergerak dan merasa senang. Awan menganggap, ayahnya masih peduli pada dirinya. 

Awalnya, obrolan mereka berjalan hangat layaknya antara seorang ayah dan anak. Awan masih belum sadar jika itu merupakan bagian dari rencana Cipta dan Silvi untuk memperdaya dirinya.

Saat Awan sudah mulai larut dengan pembicaraan mereka, Cipta mulai mengalihkan topik dengan menyinggung keadaan perusahaannya saat ini. 

Mendengar perusahaan ayahnya sedang bermasalah dan melihat raut wajah tidak berdaya ayahnya, Awan merasa kasihan. Meski begitu, apa yang bisa ia lakukan?

Andai dirinya memiliki uang sepuluh milyar di tangan, Awan tidak akan ragu untuk memberikan semuanya pada ayahnya. Hanya saja, jangankan sepuluh milyar, seratus ribu saja ia tidak punya. Itu karena ibu tirinya tidak pernah memberinya uang sepersenpun untuk belanja selain hanya onglos angkot. Itupun sudah disunat terlebih dahulu. Itu pula alasan kenapa Awan hanya bisa separuh naik angkot dan separuhnya lagi harus jalan kaki untuk bolak-balik ke sekolahnya setiap hari.

Sayangnya, Cipta Mahendra tidak tahu jika selama ini semua uang belanja yang telah ia berikan pada Awan selama ini telah ditilap oleh istrinya.

"Sayangnya, aku tidak bisa membantu Papa untuk urusan ini." Ujar Awan lirih dan merasa bersalah.

Cipta tersenyum melihat ketulusan Awan. Yah, meski Awan bukan anak kandungnya, Awan tidak pernah sekalipun membantahnya selama ini. Itu sebabnya, ia begitu menyayangi Awan dulunya. Hanya saja, setelah kematian istrinya, perasaan sayangnya mulai terkikis. Ditambah, dengan pandainya Silvi menaklukan hatinya dan mengalihkan perhatiannya dari Awan, membuat perasaan sayang Cipta pada Awan menguap begitu saja.

Silvi begitu pandai meyakinkan Cipta, bahwa semua perhatiannya pada Awan hanyalah sebuah kesia-siaan belaka. Bagaimanapun, Awan bukanlah darah daging Cipta dan kelak, tidak ada alasan bagi Awan untuk berbakti pada dirinya.

Sugesti yang ditanamkan Silvi ke dalam kepalanya, membuat Cipta mempercayai begitu saja semua ucapan Silvi. Sehingga, ketika melihat ketulusan Awan, bukannya simpatik, justru diam-diam Cipta menertawakannya. Karena tujuan Cipta yang sebenarnya adalah menarik simpatik Awan dan lalu membuat Awan menuruti permintaannya.

"Nak, apa kamu sungguh-sungguh ingin membantu Papa mengatasi masalah ini?"

"Tentu saja, pa. Apa yang bisa Awan lakukan untuk bisa membantu kesulitan perusahaan Papa?" Tanya Awan tulus tanpa curiga dengan motif ayahnya.

Seketika, Cipta memasang wajah sedih di wajahnya. Semuanya sudah ia rencanakan dengan istrinya sedemikian rupa. Bahkan, termasuk bagaimana mereka berekspresi. Tidak ada satupun yang terlihat janggal. 

Jika saja, ada sutradara film yang melihat akting mereka saat ini, mereka pasti dikira sebagai artis profesional karena saking naturalnya ekspresi mereka.

"Nak, papa sama mama mu sudah memikirkannya dengan sangat matang. Saat ini, tidak ada satupun pihak bank ataupun investor yang dapat membantu kita."

"Sementara, tenggat waktu proyeknya sudah sangat dekat. Jika proyek ini gagal, perusahaan kita akan menanggung kerugian yang sangat besar dan mungkin, bisa bangkrut!"

"Satu-satunya jalan keluar yang terpikirkan oleh ayah saat ini adalah dengan menjual rumah ini."

Mendengar kalimat terakhir ayahnya, Awan seketika terkejut, "Tapi,.."

"Tenang saja, nak. Kamu tidak perlu khawatir kalau kita tidak memiliki tempat tinggal."

"Kita akan menggunakan uang penjualan rumah untuk menutupi kekurangan modal proyek. Sementara sisanya, kita bisa membeli rumah baru yang tidak kalah besar dengan rumah ini. Hanya saja, tempatnya mungkin agak sedikit jauh dari pusat kota."

"Ini semua demi ekonomi keluarga kita." Jelas Cipta panjang lebar.

Sekilas, tidak ada yang salah dengan solusi yang dijelaskan Cipta. Hanya saja, Awan tidak mungkin bisa menerima ide ini. Bukan karena ia khawatir tidak memiliki tempat tinggal setelah ini. Melainkan, karena rumah ini memiliki arti yang sangat besar bagi hidupnya, yaitu kenangan dengan ibunya.

Bukan nilai rumahnya, tapi kenangan yang ada di dalamnya.

Bahkan, meski rumah ini hanya gubuk reot sekalipun, Awan tidak peduli. Baginya, kenangan tentang ibunya adalah sesuatu yang sangat penting dan tidak bisa diukur dengan nilai materil sebanyak apapun.

Firasat buruk Awan di awal, sepertinya terbukti. Karena itu, ia segera melirik ibu tirinya yang sedari awal hanya diam di sebelah ayahnya. Tidak perlu menebak, jika ini semua pasti ide dari ibu tirinya itu.

Jika ibu tirinya itu memang memiliki niat membantu ayahnya, apa salahnya ia mengeluarkan tabungannya? Setahu Awan, mendiang suami ibu tirinya adalah orang kaya. Silvi pasti mendapatkan banyak warisan dari mendiang suaminya.

Alasan, kenapa ia tidak mau mengeluarkan tabungannya untuk membantu kesulitan ayahnya, karena wanita seperti Silvi pasti tidak mau rugi.

Setelah menyadari niat mereka yang sebenarnya, ekspresi Awan berubah pahit, "Jadi, ini semua tentang rumah ibuku?"

Rumah ini atas nama ibunya. Menjelang ibunya meninggal, ibunya membuat namanya sebagai ahli waris. Sehingga wajar, jika ayahnya perlu meminta izinnya untuk bisa menjual rumah ini.

Awan tertawa getir, betapa bodohnya ia masih mempercayai ucapan manis ayahnya? 

Ayahnya benar-benar telah berubah. Ia sama sekali tidak menghargai kenangannya bersama ibunya. Padahal, seingat Awan, ayahnya itu begitu menyayangi ibunya.

Sekarang, ayahnya meminta izinnya untuk menjual rumah yang memiliki kenangan mereka dengan ibunya. Apa ibunya sudah tidak ada artinya lagi dalam hati ayahnya?

"Nak, apalah artinya sebuah rumah? Kita bisa membeli rumah lain yang tidak kalah besar dari rumah ini. Ayah janji, kamu bisa memiliki kamarmu sendiri nanti. Sebuah kamar yang cukup besar dan dapat bersebelahan dengan kamar adikmu, Clara." Bujuk Cipta tanpa menghiraukan alasan keberatan Awan.

"Pa, sebesar apapun rumahnya, tidak ada artinya bagiku. Karena hanya rumah ini yang memiliki kenangan dengan ibu."

"Selama aku sanggup, aku bisa membantu apapun yang papa minta. Tapi, tidak menjual rumah ini." Balas Awan tegas.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Yudi Ardiansyah
ini ada kaitannya dengan Saktiawan Sanjaya tidak ya ceritanya?
goodnovel comment avatar
Adelia
lanjut uda
goodnovel comment avatar
Muhammad Sholihin
lanjutkan hu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • AWAN - THE NEXT SANJAYA   211. PENUMPANG RASA PACAR

    “Wow, Z1000 Special Edition? Gaji kapten polisi sekarang gede juga, ya?”Awan mengangkat alisnya tinggi, nada suaranya campuran antara kagum dan menggoda.Motor sport besar berwarna hijau hitam itu berdiri gagah di bawah cahaya lampu jalan. Knalpotnya masih beruap, suara mesin yang baru dimatikan terdengar seperti dengusan hewan buas yang belum sepenuhnya jinak. Di atasnya, berdiri seorang wanita berambut hitam yang diikat tinggi, mengenakan jaket kulit dan celana jeans ketat. Dian Saka, selalu dengan gaya tangguhnya.Sejujurnya, Awan cukup terkejut melihat Dian mengedarai motor sport tersebut. Waktu pertama kali datang ke kota Samarda, ia cuma pernah lihat model motor itu di iklan. Belum sempat rilis, tapi di depan matanya sekarang, sudah ada satu dan itupun dikendarai oleh seorang wanita.Dian hanya tersenyum tipis, tidak bangga, tidak pula pamer. Ia menepuk sadel belakang motornya,“Bukan dari gaji polisi. Ini hadiah ulang tahun dari ayahku. Aku bahkan sempat nolak, tapi ya... mere

  • AWAN - THE NEXT SANJAYA   210. SATU PENGIKUT BARU

    Langit malam tampak berat. Awan pekat menutupi rembulan, dan hanya sesekali kilat menyambar di kejauhan, menerangi reruntuhan bangunan tempat dua sosok itu berdiri saling berhadapan. Bau darah samar masih tercium di udara, sisa dari pertempuran yang baru saja berakhir.Awan menatap lelaki berpakaian serba hitam di depannya, seorang pria berusia 40an dan tubuhnya setengah berlutut, nafasnya terengah, tapi matanya masih menyimpan perlawanan. Lelaki itu, dikenal di dunia bawah tanah dengan nama 'Spectre', salah satu pembunuh bayaran paling berbahaya yang pernah dikirim untuk menumbangkan siapa pun yang menjadi targetnya. Tapi malam ini, dia gagal.Bukan karena ia lebih lemah dari lawannya, tapi karena lawannya sudah mengetahui semua jurus andalannya dan bahkan lebih baik darinya.Dan lebih dari sekadar gagal, dia terpukul oleh sesuatu yang tidak mampu ia jelaskan dengan logika manusia biasa.“Sekarang, kamu bisa jelaskan darimana kamu mempelajari teknik itu?” tanya Awan pelan, suaranya da

  • AWAN - THE NEXT SANJAYA   209. PERTARUNGAN DALAM SENYAP

    “Berhenti di sini, Pak.”“Hah? Di sini, Mas? Beneran?” sopir taksi itu menatap lewat kaca spion dengan dahi berkerut. Jalan yang mereka lalui sudah sepi sejak sepuluh menit lalu, hanya ada deru angin malam dan bayangan pepohonan di pinggir jalan. Tak ada rumah, tak ada lampu jalan. Tempat ini benar-benar gelap dan sunyi.Awan hanya tersenyum tipis, “Iya, berhenti di sini saja, pak.”Nada suaranya datar tapi mantap. Tak memberi ruang untuk ditawar.Sopir itu masih ragu, “Tapi, Mas... di sini bahkan nggak ada rumah. Mas yakin ini tempatnya?”Sopir taksi sempat mengira jika Awan sedang bercanda dan bertanya untuk memastikan.“Saya yakin.”Awan menatap keluar jendela. Hanya ada jalan kecil yang bercabang menuju gang sempit. Dari kejauhan, tampak seperti jalur mati. Tapi di mata Awan, tempat itu ideal. Tak ada kamera, tak ada saksi, tak ada suara selain jangkrik dan desir dedaunan. Tempat sempurna untuk untuk sebuah pertarungan, dan yang terpenting, tidak membahayakan keselamatan orang lain

  • AWAN - THE NEXT SANJAYA   208. DIUSIR DARI RUMAH SENDIRI

    Selepas kepergian Dian dan yang lainnya, malam itu kantor terasa begitu sunyi. Hanya ada suara ketikan keyboard, dengungan pendingin ruangan, dan aroma kopi yang sudah dingin di atas meja. Awan dan Nadya masih di sana, bekerja dalam diam. Wajah mereka sama-sama lelah, tapi tidak ada yang mau menyerah. Meski sekarang hanya ada mereka berdua, tapi tidak ada kesempatan untuk mengulang momen romantis seperti siang tadi. Keduanya larut dalam pekerjaan. Tumpukan dokumen di meja Nadya belum juga berkurang. Puluhan karyawan yang mengundurkan diri bersama Tomi sebelumnya dan ditambah tekanan dari berbagai pihak, membuat beban kerja Nadya naik berkali lipat. Karena tidak tega membiarkan Nadya bekerja seorang diri memeriksa banyak dokumen dan membuat banyak pengaturan, mau tidak mau Awan akhirnya ikut lembur bersama Nadya. Meski perannya hanya sebagai pendukung karena semua pekerjaan utama sudah bisa dihandel dengan baik oleh Nadya.“Sudah jam sebelas lewat, Nad. Kita pulang, yuk!” ucap Awan pe

  • AWAN - THE NEXT SANJAYA   207. ANCAMAN KELUARGA PURNAMA

    Suara langkah sepatu hak tinggi bergema di lorong panjang kantor utama. Nadya yang baru saja menatap Awan dengan mata setengah terpejam refleks menegakkan tubuhnya. Aura keintiman yang baru saja terbangun seketika menguap begitu pintu ruangannya terbuka keras.Kali ini, bukan Lona yang datang. Sosok yang muncul di ambang pintu adalah, Dian Saka, gadis dingin, berwajah tegas, dan pernah menjadi rekan ekspedisi Awan sebulan yang lalu. Di belakangnya tampak Lona dengan senyum jail, serta Erika Harsya, putri sulung keluarga Harsya, yang menatap ruangan dengan ekspresi hati-hati namun berwibawa.Awan mendengus dalam hati. Ia tahu, kalau Lona ikut di belakang, pasti tidak akan ada kabar baik. Dan benar saja, melihat wajah puas gadis itu, Awan langsung tahu kalau Lona sedang menikmati perannya sebagai pengganggu waktu romantisnya bersama Nadya. Sial, lagi-lagi gagal di momen terakhir. Satu centimeter lagi. Lona memiringkan kepala, menatap Awan dengan gaya usil. "Aduh, maaf ya! Gak ganggu,

  • AWAN - THE NEXT SANJAYA   206. MERATAPI SATU SENTIMETER

    Di saat Tomi dan kelompoknya baru saja selesai diperiksa di ruang security, Awan duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke arah jendela besar. Tapi pikirannya tidak ke mana-mana. Ia tersangkut di satu hal yang sangat menyakitkan bagi harga diri pria sepertinya.‘Jir, tinggal satu senti lagi!’ gumamnya dalam hati. Kalau saja ia bukan pria sejati, ia mungkin sudah menangis bombai sekarang.Ya, hanya satu sentimeter yang memisahkannya dari momen paling berharga bersama Nadya. Sebuah momen yang jarang bisa mereka dapatkan. Apalagi, ia sudah menghilang cukup lama dan sudah sewajarnya bagi sepasang kekasih melepas rindu satu sama lain.Satu sentimeter yang gagal ia taklukkan, gara-gara seseorang datang tanpa diundang, siapa lagi kalau bukan gara sepupu Nadya, Lona.Sekarang gadis itu duduk di depan meja, menangis pelan sambil bercerita panjang lebar. Sudah hampir setengah jam Lona curhat tanpa henti dengan Nadya yang duduk disampingnya sambil menenangkannya, sementara Awan hanya menatap kos

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status