MasukSilvi masih uring-uringan di dalam kamarnya.
Setelah melampiaskan kekesalannya terhadap Awan, nyatanya itu tidak mengurangi emosinya sama sekali. Ia masih belum puas untuk menghukum Awan dan kalau bisa, ia berharap dapat mengusir Awan dari rumah ini.
Semua kebencian Silvi terhadap Awan, bermula dari penolakan Awan terhadap dirinya.
Penolakan Awan sempat membuat rencana pernikahannya dengan Cipta Mahendra jadi tertunda. Semenjak itu, Silvi selalu memendam kebencian pada Awan.
Ditambah, kenyataan bahwa Awan sebenarnya bukanlah anak biologis dari Cipta Mahendra, membuat Silvi semakin ingin untuk menyingkirkan Awan dan membuatnya bisa menguasai semua kekayaan Cipta Mahendra.
Sekarang, setelah berhasil mengendalikan suaminya. Silvi bisa lebih leluasa menindas Awan. Hanya saja, sikap Awan yang tidak pernah membalas ataupun mengeluh, bukannya membuat Silvi senang, justru membuatnya malah semakin membenci Awan.
Saat Silvi sedang memikirkan cara lain untuk menyiksa Awan, Cipta Mahendra pulang dengan wajah kusut. Suaminya pulang lebih cepat dari biasanya. Namun, ketika melihat raut lelah suaminya, Silvi segera tahu jika sang suami sedang banyak masalah di perusahaannya.
Seminggu lagi adalah batas tenggat proyeknya. Sementara aliran dana perusahaan lagi tersendat dan membuat proyek yang sedang digarap oleh perusahaan Cipta terancam mangkrak. Jika itu sampai terjadi, perusahaannya bukan hanya akan rugi, tapi juga akan dipaksa untuk membayar kerugian klien mereka.
Jika sudah begitu, kerugiannya bukan lagi masalah modal semata. Tapi, juga akan berdampak pada citra perusahaannya.
Cipta Mahendra sudah berupaya mengajukan pinjaman ke beberapa Bank untuk mendapatkan kucuran dana. Hanya saja, beberapa pinjaman perusahaan yang sempat macet membuat pihak Bank tidak mau meminjamkan uang pada perusahaannya.
Melihat ekspresi suram sang suami, Silvi dengan cepat merubah penampilan dan raut wajahnya. Dengan sedikit rayuan dan tingkah manja-manja nakal yang selama ini menjadi senjata andalannya untuk menaklukan sang suami, membuat Cipta bisa melupakan masalahnya untuk sementara waktu. Tanpa diminta, Cipta sudah menceritakan sendiri semua masalahnya.
Mendengar keluhan suaminya, Silvi seketika mendapatkan ide.
"Kenapa mas harus pusing memikirkannya. Aku punya solusi untuk masalah yang sedang mas hadapi."
"Pertanyaannya, mas mau tidak melakukannya?" Ujar Silvi dengan senyum yang dipenuhi oleh maksud tersembunyi.
"Maksudmu apa, sayang? Cepat katakan padaku! Aku sudah pusing memikirkan masalah ini seminggu ini. Proyeknya hampir jatuh tempo, jika sampai mangkrak, perusahaan akan mengalami kerugian yang sangat besar." Ucap Cipta Mahendra tidak berdaya.
Melihat respon suaminya, Silvi tahu jika rencananya pasti akan berhasil kali ini.
"Mas, bukankah kamu hanya kekurangan uang sepuluh milyar untuk suntikan dana proyek?"
"Ya, apa kamu tahu darimana aku bisa mendapatkannya?" Tanya Cipta berharap.
Cipat berpikir, jika istrinya memiliki banyak relasi dan siapa tahu, ia bisa memanfaatkan relasi istrinya itu sebagai penyuntik modal sementaranya.
Silvi tersenyum licik dan berkata, "Jual saja rumah ini, mas!"
Mendengar usulan istrinya, kening Cipta berkerut tajam. Ada sedikit keengganan dalam dirinya dan Silvi sangat paham apa alasan yang membuat suaminya enggan untuk menjual rumah yang sedang mereka tempati sekarang.
"Mas, rumah ini bernilai empat puluh milyar lebih. Kamu bisa menutup kekurangan modal untuk proyekmu. Sementara sisanya, kita bisa menggunakannya untuk membeli rumah lain yang sama mewahnya dengan rumah ini. Ya, meski rumahnya sedikit lebih jauh dari pusat kota."
Sekilas, rencana Silvi terkesan sangat masuk akal dan bijak. Bagaimanapun, mereka tidak akan kehilangan rumah dan hanya memindahkannya ke lokasi yang agak jauh dari pusat kota, namun dengan nilai yang sama. Hanya saja, rumah yang mereka tempati sekarang atas nama mendiang istrinya Cipta.
Dengan sedikit rayuan maut, Silvi berhasil membuat pendirian Cipta goyah.
"Tapi..."
"Kamu pasti memikirkan Awan, 'kan?"
Sebelum Cipta sempat melanjutkan ucapannya, Silvi seakan sudah bisa menebak isi pikiran suaminya itu. Rumah ini dibeli Cipta atas nama mendiang istrinya. Otomatis, Awan adalah ahli warisnya dan memiliki hak atas rumah ini. Karena Silvi ingin menyingkirkan Awan dan menguasai sepenuhnya harta suaminya, ia berpikir untuk memulainya dari rumah ini. Dengan begitu, ia pasti bisa mengusir Awan dari kehidupan mereka.
"Tenang saja, aku akan meyakinkan Awan agar bersedia menjual rumah ini."
"Dia pasti tidak akan menolaknya. Bagaimanapun, dia berhutang budi padamu, mas. Jadi, dia harusnya tau diri dan membalas semua kebaikanmu."
Silvi begitu pandai mempengaruhi dan meyakinkan suaminya. Sehingga, bukan hanya suaminya terbujuk dengan rayuannya, Silvi juga berhasil meyakinkan Cipta jika tindakan yang mereka lakukan adalah pilihan yang benar.
"Apa Awan mau melepas rumah ini begitu saja? Bagaimanapun, rumah ini menyimpan banyak kenangannya bersama mendiang ibunya. Anak itu begitu menyayangi ibunya."
"Mas jangan khawatirkan hal itu. Kita akan mengajak Awan tinggal di rumah baru kita nanti. Itupun kalau dia mau!" Ujar Silvi dengan santainya.
Tapi, itu hanya sekedar ucapan pemanis belaka. Jika pilihan seperti itu ada, Silvi pasti tidak akan membiarkan Awan tinggal bersama mereka. Karena tujuannya adalah mengusir Awan dalam kehidupan mereka dan menguasai seluruh harta Cipta Mahendra.
Jadi, alasan menjual rumah ini sebenarnya untuk mengusir Awan dari kehidupan mereka. Dengan begitu, tidak akan ada lagi penghalang darei rencana jangka panjang Silvi ke depannya.
"Baiklah, semuanya aku serahkan padamu!" Ujar Cipta menyetujui rencana istrinya.
"Hehehe, tunggu di sini dan percayakan padaku!" Balas Silvi dengan senyum penuh kemenangan.
Di sisi lain, Awan masih sibuk mengepel lantai rumah dan tidak mengetahui apa yang sedang direncanakan oleh ibu tirinya.
DI dekatnya, beberapa pembantu tampak prihatin melihat majikan muda mereka harus mengepel lantai seperti ini. Mereka ingin membantu Awan, tapi ditolak oleh Awan sendiri.
Awan tidak ingin kejadian bulan sebelumnya terulang. Di mana saat itu, pembantu yang coba membantu Awan sampai dimarahi habis-habisan oleh ibu tirinya. Tidak hanya itu, gaji bulanan mereka juga dipotong secara sepihak oleh ibu tirinya.
Awan menghargai perhatian mereka. Hanya saja, ia tidak ingin mereka kena hukuman yang sama atau mungkin yang lebih berat dari ibu tirinya.
Saat Awan sedang fokus membersihkan lantai, Silvi tiba-tiba datang menghampirinya.
Sejenak, Awan mengira jika Silvi akan memarahinya kembali atau mungkin akan menambah pekerjaannya.
"Awan, kamu tidak usah mengerjakan pekerjaan ini. Serahkan saja pada pembantu!"
"Kamu pasti capek, 'kan? Seharian belajar. Apa kamu sudah makan? Nanti biar mama suruh bi Narti buat masakin makanan kesukaan kamu." Ucap Silvi dengan lembut, layaknya seorang ibu. Sangat jauh dari kesan ibu tiri kejam yang melekat dalam diri Silvi selama ini.
Awan yang sudah menyiapkan mental untuk kena marah, jadi bengong.
Apa dia masih ibu tirinya? Pikir Awan saking bingungnya.
Tidak hanya Awan, para pembantu yang berada tidak jauh dari Awan juga dibuat bingung dengan perubahan sikap Silvi yang begitu tiba-tiba.
Mereka sempat mengira, jika yang biocara barusan bukan Silvi, tapi orang lain.
"Eh?"
Awan bahkan tidak tahu harus berkata apa.
Lebih lanjut, Silvi bahkan menarik tangan Awan lembut.
"Sini, ikut ibu sebentar. Ada yang mau ibu bicarakan dengan kamu."
Melihat sikap Silvi yang berubah lembut, Awan seharusnya merasa senang. Tapi, tidak!
Kenyataannya, Awan justru merasakan perasaan tidak enak. Ia menebak, perubahan sikap ibu tirinya itu pasti ada maksud terselubung.
“Wow, Z1000 Special Edition? Gaji kapten polisi sekarang gede juga, ya?”Awan mengangkat alisnya tinggi, nada suaranya campuran antara kagum dan menggoda.Motor sport besar berwarna hijau hitam itu berdiri gagah di bawah cahaya lampu jalan. Knalpotnya masih beruap, suara mesin yang baru dimatikan terdengar seperti dengusan hewan buas yang belum sepenuhnya jinak. Di atasnya, berdiri seorang wanita berambut hitam yang diikat tinggi, mengenakan jaket kulit dan celana jeans ketat. Dian Saka, selalu dengan gaya tangguhnya.Sejujurnya, Awan cukup terkejut melihat Dian mengedarai motor sport tersebut. Waktu pertama kali datang ke kota Samarda, ia cuma pernah lihat model motor itu di iklan. Belum sempat rilis, tapi di depan matanya sekarang, sudah ada satu dan itupun dikendarai oleh seorang wanita.Dian hanya tersenyum tipis, tidak bangga, tidak pula pamer. Ia menepuk sadel belakang motornya,“Bukan dari gaji polisi. Ini hadiah ulang tahun dari ayahku. Aku bahkan sempat nolak, tapi ya... mere
Langit malam tampak berat. Awan pekat menutupi rembulan, dan hanya sesekali kilat menyambar di kejauhan, menerangi reruntuhan bangunan tempat dua sosok itu berdiri saling berhadapan. Bau darah samar masih tercium di udara, sisa dari pertempuran yang baru saja berakhir.Awan menatap lelaki berpakaian serba hitam di depannya, seorang pria berusia 40an dan tubuhnya setengah berlutut, nafasnya terengah, tapi matanya masih menyimpan perlawanan. Lelaki itu, dikenal di dunia bawah tanah dengan nama 'Spectre', salah satu pembunuh bayaran paling berbahaya yang pernah dikirim untuk menumbangkan siapa pun yang menjadi targetnya. Tapi malam ini, dia gagal.Bukan karena ia lebih lemah dari lawannya, tapi karena lawannya sudah mengetahui semua jurus andalannya dan bahkan lebih baik darinya.Dan lebih dari sekadar gagal, dia terpukul oleh sesuatu yang tidak mampu ia jelaskan dengan logika manusia biasa.“Sekarang, kamu bisa jelaskan darimana kamu mempelajari teknik itu?” tanya Awan pelan, suaranya da
“Berhenti di sini, Pak.”“Hah? Di sini, Mas? Beneran?” sopir taksi itu menatap lewat kaca spion dengan dahi berkerut. Jalan yang mereka lalui sudah sepi sejak sepuluh menit lalu, hanya ada deru angin malam dan bayangan pepohonan di pinggir jalan. Tak ada rumah, tak ada lampu jalan. Tempat ini benar-benar gelap dan sunyi.Awan hanya tersenyum tipis, “Iya, berhenti di sini saja, pak.”Nada suaranya datar tapi mantap. Tak memberi ruang untuk ditawar.Sopir itu masih ragu, “Tapi, Mas... di sini bahkan nggak ada rumah. Mas yakin ini tempatnya?”Sopir taksi sempat mengira jika Awan sedang bercanda dan bertanya untuk memastikan.“Saya yakin.”Awan menatap keluar jendela. Hanya ada jalan kecil yang bercabang menuju gang sempit. Dari kejauhan, tampak seperti jalur mati. Tapi di mata Awan, tempat itu ideal. Tak ada kamera, tak ada saksi, tak ada suara selain jangkrik dan desir dedaunan. Tempat sempurna untuk untuk sebuah pertarungan, dan yang terpenting, tidak membahayakan keselamatan orang lain
Selepas kepergian Dian dan yang lainnya, malam itu kantor terasa begitu sunyi. Hanya ada suara ketikan keyboard, dengungan pendingin ruangan, dan aroma kopi yang sudah dingin di atas meja. Awan dan Nadya masih di sana, bekerja dalam diam. Wajah mereka sama-sama lelah, tapi tidak ada yang mau menyerah. Meski sekarang hanya ada mereka berdua, tapi tidak ada kesempatan untuk mengulang momen romantis seperti siang tadi. Keduanya larut dalam pekerjaan. Tumpukan dokumen di meja Nadya belum juga berkurang. Puluhan karyawan yang mengundurkan diri bersama Tomi sebelumnya dan ditambah tekanan dari berbagai pihak, membuat beban kerja Nadya naik berkali lipat. Karena tidak tega membiarkan Nadya bekerja seorang diri memeriksa banyak dokumen dan membuat banyak pengaturan, mau tidak mau Awan akhirnya ikut lembur bersama Nadya. Meski perannya hanya sebagai pendukung karena semua pekerjaan utama sudah bisa dihandel dengan baik oleh Nadya.“Sudah jam sebelas lewat, Nad. Kita pulang, yuk!” ucap Awan pe
Suara langkah sepatu hak tinggi bergema di lorong panjang kantor utama. Nadya yang baru saja menatap Awan dengan mata setengah terpejam refleks menegakkan tubuhnya. Aura keintiman yang baru saja terbangun seketika menguap begitu pintu ruangannya terbuka keras.Kali ini, bukan Lona yang datang. Sosok yang muncul di ambang pintu adalah, Dian Saka, gadis dingin, berwajah tegas, dan pernah menjadi rekan ekspedisi Awan sebulan yang lalu. Di belakangnya tampak Lona dengan senyum jail, serta Erika Harsya, putri sulung keluarga Harsya, yang menatap ruangan dengan ekspresi hati-hati namun berwibawa.Awan mendengus dalam hati. Ia tahu, kalau Lona ikut di belakang, pasti tidak akan ada kabar baik. Dan benar saja, melihat wajah puas gadis itu, Awan langsung tahu kalau Lona sedang menikmati perannya sebagai pengganggu waktu romantisnya bersama Nadya. Sial, lagi-lagi gagal di momen terakhir. Satu centimeter lagi. Lona memiringkan kepala, menatap Awan dengan gaya usil. "Aduh, maaf ya! Gak ganggu,
Di saat Tomi dan kelompoknya baru saja selesai diperiksa di ruang security, Awan duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke arah jendela besar. Tapi pikirannya tidak ke mana-mana. Ia tersangkut di satu hal yang sangat menyakitkan bagi harga diri pria sepertinya.‘Jir, tinggal satu senti lagi!’ gumamnya dalam hati. Kalau saja ia bukan pria sejati, ia mungkin sudah menangis bombai sekarang.Ya, hanya satu sentimeter yang memisahkannya dari momen paling berharga bersama Nadya. Sebuah momen yang jarang bisa mereka dapatkan. Apalagi, ia sudah menghilang cukup lama dan sudah sewajarnya bagi sepasang kekasih melepas rindu satu sama lain.Satu sentimeter yang gagal ia taklukkan, gara-gara seseorang datang tanpa diundang, siapa lagi kalau bukan gara sepupu Nadya, Lona.Sekarang gadis itu duduk di depan meja, menangis pelan sambil bercerita panjang lebar. Sudah hampir setengah jam Lona curhat tanpa henti dengan Nadya yang duduk disampingnya sambil menenangkannya, sementara Awan hanya menatap kos







