Share

7. PERGI TANPA TUJUAN

"Nak..."

Cipta ingin membujuk Awan sekali lagi. Namun, Awan langsung menyelanya dengan kalimat yang lebih tegas, "Tidak, pa. Aku tidak akan pernah setuju untuk menjual rumah ini."

"Kenapa kamu keras kepala begini? Papamu hanya meminta untuk menujual rumah bobrok ini. Lagian, rumah ini dibeli pakai uang papamu. Apa hakmu untuk menolaknya? Hah?"

"Kamu seharusnya berkaca, jika bukan karena papamu, kamu dan ibu pelacurmu itu, tidak akan pernah mendapatkan hidup yang layak dan bergelimang harta. Kamu dan ibumu itu bahkan akan menjadi gelandangan selamanya. Bahkan, jika ibumu mati, ia akan mati seperti anjing liar."

"Kalian berdua bisa hidup dan tinggal di rumah ini, semua itu karena pemberian suamiku, mengerti?"

"Sekarang, sudah seharusnya kamu membalas semua kebaikan papamu."

Melihat Awan yang bersikeras menolak permintaan suaminya, Silvi langsung menyela dengan kalimat tajam.

Awan yang selama ini tidak pernah membalas ucapan tajam ibu tirinya, begitu mendengar kalimat Silvi saat ini, seketika membuat emosinya naik. 

Ibunya adalah batas toleransinya. Tidak ada seorang pun yang boleh menghina ibunya.

Namun, sebelum Awan sempat bicara. Cipta sudah lebih dulu bersuara, "Papa sebenarnya tidak ingin mengatakan ini. Tapi, apa yang diucapkan mamamu, benar! Kapan lagi kamu akan membalas kebaikan papa, jika bukan sekarang!"

"Sebaiknya kamu menurut dan bersikap layaknya seorang anak yang penurut."

Ucapan Cipta semakin membuat Awan tertohok. Ia tidak menyangka, jika ayahnya akan berkata seperti ini padanya.

"Pa, apa papa masih menganggap ibuku? Apa papa masih menghargai masa lalu kalian?" 

"Tentu saja. Tapi, semua itu sudah jadi masa lalu. Semua orang harus melangkah ke depan. Apa yang terjadi antara papa dan ibumu adalah masa lalu dan biarlah terkubur di masa lalu. Tidak ada yang perlu disesali." Ujar Cipta tanpa rasa bersalah sama sekali.

Awan sangat kecewa mendengar ucapan ayahnya.

Selama ini, jika ia hanya diam mendapat semua perlakukan buruk dari ibu tirinya, semua itu semata karena menghargai ayahnya.

Sebelum menikah, Cipta menggunakan alasan cinta untuk bisa menikahi Silvi. Cipta mengatakan, kalau ia butuh Silvi untuk bisa bertahan setelah kehilangan ibunya Awan.

Demi menghargai semua kebaikan ayahnya di masa lalu, Awan mengalah dan menerima pernikahan mereka. Karena alasan yang sama, ia menerima semua sikap buruk Silvi terhadap dirinya tanpa pernah mengeluh sama sekali.

Sekarang, ayahnya sudah benar-benar keterlaluan. Ia sudah benar-benar melupakan ibunya dan bahkan ingin menjual satu-satunya rumah yang menyimpan banyak kenangan Awan dan ibunya.

Rahang Awan mengeras saat berkata, "Tidak. Aku tidak setuju menjual rumah ini."

"Heh, apa hakmu untuk tidak setuju? Apa kamu lupa, siapa yang telah memberimu makan? Siapa yang telah membiayai sekolahmu? Siapa yang telah memberimu tempat tinggal?"

"Jika bukan karena kami, kamu sudah menjadi gelandangan saat ini."

"Sekarang, ayahmu sedang kesulitan, kamu bahkan tidak membantunya sama sekali." Cerca Silvi dengan kalimat tajam dan menyudutkan Awan.

Awan bersikeras dengan pendiriannya. Sementara, ayah dan ibu tirinya terus menekan Awan. Suasana menjadi semakin panas karena tidak ada yang mau mengalah.

"Baik, kalau kamu tidak bersedia menjual rumah ini, sebaiknya kamu keluar dari rumah ini!"

"Kami tidak mau menampung anak haram yang tidak berguna seperti kamu di rumah ini." Teriak Silvi pada akhirnya dengan nada yang menggelegar.

Awan terhenyak, ia di usir dari rumahnya sendiri? 

Awan menatap ayahnya. Tapi, Cipta seakan tidak peduli pada dirinya. Dalam hal ini, Cipta berada di kubu yang sama dengan istrinya. 

"Kamu silakan pergi dari rumah ini." Ujar Cipta dingin tanpa melihat ke arah Awan sama sekali.

Mereka sudah merencanakannya. Jika Awan menolak, mereka akan mengusir Awan. Setelah itu, dengan beberapa kenalan Silvi yang bekerja di bidang notaris, mereka akan memalsukan kesediaan Awan dan mengalihkan hak kepemilikan rumah atas nama mereka. Tentunya, semua itu hanya bisa dilakukan jika Awan tidak ada lagi bersama mereka.

Dengan begitu, tidak akan ada yang bisa menghalangi rencana mereka.

Melihat ayahnya tidak lagi peduli dengan dirinya, Awan pun menyerah untuk mengharapkan pembelaannya.

Dengan gontai, Awan pun bangkit dari duduknya dan berkata, "Baik, aku akan pergi dari rumah. Tapi, kalian akan menyesalinya suatu hari nanti."

Setelah itu, Awan tidak lagi berpaling pada mereka. Ia segera kembali ke kamarnya dan mengemasi barang-barangnya.

Awan telah diusir, ia tidak akan bersikeras untuk bertahan. Meski ia akan menjadi gelandangan setelah ini, ia tidak peduli. Ia masih memiliki dua tangan dan dua kaki, Awan yakin bisa bertahan di luar sana.

Bukankah itu lebih baik? Ia tidak perlu lagi menahan hinaan dan cacian dari ibu tirinya. Pikir Awan coba menghibur dirinya sendiri.

Melihat Awan berkemas, beberapa pembantu coba menahannya dan mereka bermaksud untuk membicarakannya dengan majikan besar mereka. Siapa tahu, hati mereka akan melunak. Namun, Awan menghentikan mereka. Ia sadar, semua itu akan percuma. Jadi, Awan menghentikan para pembantunya agar tidak melakukan sesuatu yang sia-sia.

Ketika Awan melangkah keluar rumah, Clara yang sebelumnya sibuk belajar di dalam kamarnya, tidak tahu situasi yang sedang terjadi.

Clara sangat terkejut, begitu turun dan sudah melihat Awan sudah membawa sebuah tas besar seperti orang yang akan pergi jauh sedang membuka pintu dan bersiap pergi.

"Kak, kak Awan mau ke mana?"

Clara coba menghentikan Awan, karena mengira jika Awan mau kabur dari rumah dan tidak tahan karena perlakuan mamanya yang sudah sangat keterlaluan. 

Di rumah ini, selain pembantu, Clara adalah orang yang peduli padanya. Karena itu, Awan hanya berbicara singkat padanya, "Clara, aku pergi. Mungkin, aku tidak akan kembali. Kamu jaga diri, ya!"

Mungkin, ini adalah kalimat terpanjang yang pernah diucapkan Awan pada Clara. Selama ini, hanya Clara yang lebih banyak bicara padanya. Sementara Awan, hanya membalas sepatah dua patah kata. Semua itu dilakukan Awan, untuk menghargai kebaikan Clara pada dirinya selama ini.

Setelah itu, Awan segera berbalik dan tidak lagi memperhatikan Clara yang masih berusaha menahannya. Awan bahkan mendengar tangisan Clara yang coba untuk menahannya. Tapi, ia sudah membulatkan tekadnya, bahwa ia harus pergi dari sana.

Awan masih terlalu polos, ia berpikir, jika ia tidak memberi izin, maka rumah ini tidak akan bisa dijual. Siapa sangka, jika ayah dan ibu tirinya sudah memiliki rencana lain untuk menjual rumah ini di belakangnya. 

Bahkan, ketika Clara yang sedang meraung karena kepergiannya berbalik masuk ke dalam rumah. Mungkin untuk meminta ayah dan ibunya untuk menahan kepergian Awan, Awan sama sekali tidak peduli. 

Awan sudah melangkah semakin jauh meninggalkan rumah tanpa tujuan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status