LOGIN"Kakak, apa kali ini kita benar-benar akan berpetualang?"
"Kenapa? Kamu sepertinya senang sekali berpetualang dan meninggalkan rumah itu? Apa kamu tidak suka tinggal di sana?"
"Tentu saja! Kita bisa melihat dunia lebih luas dan mencoba banyak tantangan seru kalau di luar."
"Bukan rumahnya, tapi wanita sadis itu. Dia suka sekali menindasmu, aku tidak suka! Jika kamu tidak melarangku, aku sudah memakannya dari jauh-jauh hari."
"Hehehe, aku suka kalau kamu melakukannya. Tapi, tidak usah! Hanya akan menambah bebanku saja."
Entah sudah berapa lama Awan bertukar cerita dengan seorang anak cewek berusia sebelas tahun. Keduanya begitu asik mengobrol di jalanan yang cukup sepi.
Saat itu, sudah pukul dua belas tengah malam dan jalan yang mereka lewati relatif lebih sepi. Sehingga, tidak ada yang memperhatikan keduanya. Jika pun ada, orang-orang hanya akan melihat seorang cowok remaja yang membawa sebuah tas ransel besar sedang berbicara seorang diri.
Saat ini, Awan masih belum mengetahui siapa sebenarnya anak cewek tersebut. Hanya saja, ia selalu ada setiap Awan membutuhkannya. Contohnya, sekarang. Anak cewek yang memiliki mata biru dan bertelanjang kaki tersebut muncul untuk menghibur Awan.
Awan bertemu dengannya, saat ia berusia lima tahun. Semenjak itu, mereka menjadi begitu dekat. Ajaibnya, hanya dirinya yang bisa melihat keberadaan anak cewek tersebut.
Dulu, ia sempat menganggap jika anak cewek tersebut adalah teman imajinernya. Tapi, sampai ke sini, ia menyadari jika sosok anak cewek tersebut sebenarnya nyata. Namun, ia tidak bisa mendefinisikan istilah yang cocok untuk mendiskrpisikannya. Hanya saja, setiap kali Awan berada dalam kesulitan ataupun sedang membutuhkannya, anak cewek tersebut selalu muncul dan ada untuknya.
Mungkin karena saking asiknya bicara, Awan tidak menyadari jika saat itu ada sebuah mobil sport mewah yang sedang mengikutinya.
Pengendara mobil tersebut terlihat ragu awalnya. Namun, begitu memastikan bahwa ia telah menemukan anak cowok yang sedang dicarinya dan memastikan dengan beberapa kali mencocokkan wajah Awan dengan foto yang ada di dalam ponselnya. Ia pun memacu kendaraannya sedikit lebih cepat dan berhenti tepat di samping Awan.
"Kak, wanita tersebut sepertinya sedang mencarimu!" Anek cewek tidak kasat mata tersebut, pertama kali menyadari kedatangan wanita tersebut dan segera mengingatkan Awan.
Diingatkan seperti itu, Awan baru sadar jika ada sebuah mobil berhenti persis di sebelahnya. Tidak lama, seorang wanita cantik dengan tubuh semampai turun dan datang menghampirinya.
Mobil sport mewah dan wanita cantik, adalah perpaduan yang sangat sempurna. Tidak terkecuali Awan, ia bahkan sempat tertegun untuk sesaat dan mengira, jika wanita tersebut adalah bidadari yang sedang menatap dirinya. Namun, Awan segera mengendalikan dirinya.
"Tuan Code?" Sapa wanita cantik tersebut memastikan.
Kening Awan berkerut tajam. Ia tidak mengenal wanita di depannya itu dan tiba-tiba datang dan memanggilnya dengan sebutan 'tuan Code'.
Karena itu, Awan segera mengabaikannya dan memilih untuk melanjutkan perjalanannya.
Namun, baru beberapa langkah, wanita cantik tersebut segera menyusulnya dan memanggilnya dengan panggillan yang sama, "Tuan Code!"
Kali ini, bukan lagi panggilan dengan nada ragu seperti sebelumnya. Panggilannya terdengar tegas, seolah wanita ini sudah sangat yakin kalau ia tidak salah orang.
Sebaliknya, justru Awan yang menjadi gelisah.
"Sky Light, Sanjaya Grup, ingat?" Wanita cantik tersebut menyebutkan dua nama perusahaan yang membuat sudut mata Awan berkedut lebih cepat. Seketika, ia memandang wanita cantik di depannya dengan tatapan penuh waspada.
Siapa yang tidak kenal Sky Light? Itu adalah perusahaan cyber raksasa dunia. Rata-rata perusahaan besar internasional menggunakan jasa mereka. Bahkan, sebagian besar negara dunia juga menjadi pengguna layanan mereka.
Perusahaan terakhir, bahkan jauh lebih mengerikan. Grup Sanjaya tidak lagi menggunakan nama Sanjaya sebagai identitas mereka. Tapi, jangan salah mengira bahwa mereka adalah grup sembarangan. Grup perusahaan ini merupakan konsorsium raksasa yang mengendalikan lebih dari separuh perekonomian dunia. Bisa dikatakan, perusahaan ini adalah perusahaan dengan kekayaan peringkat pertama di dunia.
"Tenang saja, aku tidak berniat buruk. Aku secara khusus datang mencarimu, justru karena ingin memberimu sesuatu yang pastinya akan menguntungkanmu." Lanjut wanita tersebut dengan santai dan memamerkan barisan gigi putihnya yang tertata rapi dan semakin menambah pesona kecantikannya.
Sekarang, Awan jadi sulit untuk menghindar. Mengingat, lawan bicaranya menyebut nama perusahaan besar dan panggilan rahasianya dengan begitu fasih. Hal itu menunjukkan, jika wanita di depannya itu sudah menyelidiki dirinya sebelum datang menemuinya.
Tapi, justru di situ letak masalahnya. Ia buta dengan lawan bicaranya. Bukankah itu sama artinya ia berada dalam situasi yang tidak jelas?
Entah apa yang diucapkan wanita itu benar dengan menawarkan keuntungan padanya. Kalau sebaliknya?
Awan khawatir, jika wanita cantik di depanya itu datang untuk membuat perhitungan dengannya. Bagaimanapun, ia telah membuat masalah dengan dua perusahaan yang disebutkan oleh wanita tersebut.
Panggilan Code yang disebut oleh wanita tersebut di awal adalah nama rahasianya di dunia cyber. Selain dirinya, tidak ada yang tahu dengan identitasnya tersebut.
Sehingga, ketika menyadari bahwa ada orang lain yang tahu identitas rahasianya tersebut, Awan seketika merasakan tekanan yang sangat besar menghimpit dadanya.
"Maaf, kakak mungkin salah orang. Saya bukan Code." Balas Awan coba menghindar dan tidak ingin bicara lebih lama dengan wanita tersebut. Kalau bisa, dia ingin segera pergi dari sana.
Melihat respon Awan, sudut bibir wanita tersebut mengembang.
"Aku tidak mungkin salah orang!"
"Namamu, Awan. di KTP usiamu 17 tahun. Tapi, sebenarnya adalah enam belas tahun. Kamu masuk sekolah setahun lebih cepat. Zodiakmu virgo, tinggi 185cm, berat 60kg. bla-bla..."
Hampir setiap detail Awan, bahkan sampai makanan favorit dan ukuran dalamannya diucapkan dengan sangat fasih.
Bagaimana Awan tidak panik? Dibanding harus mengagumi kecantikannya, wanita di depannya itu lebih tepat disebut sebagai medusa. Jika kamu menatapnya terlalu lama, maka kamu akan mati membeku dibuatnya. Tidak hanya kecantikannya yang membunuh, caranya mengumpulkan informasi juga sangat menakutkan.
Bahkan, tanpa bertarung sekalipun, wanita ini sudah bisa membuat Awan merinding ngeri.
"Cukup-cukup. Kakak sudah mendapatkan semua informasi tentang diriku. Apa- apa aku sedang dalam masalah?" Tanya Awan khawatir.
Ya, meski dia pandai berkelahi, ia jelas bukan apa-apa jika dibandingkan dengan dua perusahaan besar yang diwakili oleh wanita di depannya itu. Jika mereka mau, Awan bisa langsung lenyap hanya dengan satu perintah saja. Bagaimana mungkin Awan sanggup menghadapi lawan seperti itu?
"Heh, siapa yang mencari masalah denganmu? Bukankah sudah aku katakan tadi, aku ke sini untuk memberimu keuntungan."
"Keuntungan?" Ujar Awan tidak mengerti.
"Iya, benar sekali! Ingat, kamu pernah membobol server perusahaan Sanjaya enam bulan yang lalu?"
Awan mengangguk dengan senyum canggung. Ia tidak perlu menutupi apapun lagi. Karena wanita ini sudah mendapatkan semua informasi tentang dirinya. Itu artinya, ia juga sudah tahu apa yang sudah dilakukan Awan.
Enam bulan yang lalu, Awan berhasil menembus server perusahaan perusahaan Sanjaya yang di backup oleh Sky Light.
Ini bukan sesuatu yang bisa dianggap main-main. Jika sekedar membobol server data CIA atau FBI mungkin sudah tidak terdengar asing lagi. Salah seorang anak SMP bahkan sempat viral beberapa waktu lalu karena berhasil membobol server lembaga kemananan terbesar negara Amerika tersebut.
Awan berbeda. Ia memiliki keterampilan IT tapi hanya ia pergunakan untuk menguji tingkat keamanan suatu server. Targetnya bukan sembarangan. Lembaga-lembaga internasional dan negara superpower sudah sering dilewatinya dan tanpa sekalipun ketahuan.
Jika ia mau, Awan bahkan bisa meluncurkan senjata nuklir negara beruang merah untuk menyerang negara yang diinginkannya.
Meski begitu, Awan tidak merusak ataupun mencuri data mereka seperti yang biasa para hacker lakukan. Ia memiliki hobi untuk mencari celah dan kelemahan dari kemananan jaringan targetnya dan kemudian meninggalkan catatan untuk memperingatkan si pengguna server agar memperbaikinya. Sehingga, Awan lebih pantas disebut sebagai seorang cracker ketimbang hacker.
Terakhir, Awan menguji kemampuannya ke tingkat yang lebih tinggi dengan menargetkan perusahaan Sanjaya. Siapa sangka, langkahnya kali ini ketahuan oleh Sky Light.
Awan hanya sempat beraksi sepuluh menit, sampai ia ketahuan dan terpaksa menyelamatkan diri. Meski hanya sebentar, namun Awan tetap saja berhasil membobol server perusahaan Sanjaya. Bagi Sky Light, itu adalah sebuah aib yang perlu diperbaiki.
Lalu, dengan banyaknya ahli yang mereka miliki, mereka berhasil menemukan Awan dan mendapatkan identitasnya. Meski begitu, mereka dipaksa untuk mengerahkan banyak upaya nuntuk bisa melacak identitas Awan dan mengetahui keberadaannya.
Sky Light sangat menghargai orang berbakat seperti Awan. Apalagi, ketika mereka berhasil menyelidiki track rekor Awan, Sky Light pun berniat untuk merekrut Awan ke dalam perusahaan mereka.
"Perkenalkan, aku Florrensia. Kamu bisa memanggilku Flo atau kak Flo, terserah! Aku adalah manajer umum Sky Light untuk wilayah Asia Tenggara. Tujuanku menemuimu, karena Sky Light ingin merekrutmu."
"Apa kamu bersedia?"
"Eh?"
“Wow, Z1000 Special Edition? Gaji kapten polisi sekarang gede juga, ya?”Awan mengangkat alisnya tinggi, nada suaranya campuran antara kagum dan menggoda.Motor sport besar berwarna hijau hitam itu berdiri gagah di bawah cahaya lampu jalan. Knalpotnya masih beruap, suara mesin yang baru dimatikan terdengar seperti dengusan hewan buas yang belum sepenuhnya jinak. Di atasnya, berdiri seorang wanita berambut hitam yang diikat tinggi, mengenakan jaket kulit dan celana jeans ketat. Dian Saka, selalu dengan gaya tangguhnya.Sejujurnya, Awan cukup terkejut melihat Dian mengedarai motor sport tersebut. Waktu pertama kali datang ke kota Samarda, ia cuma pernah lihat model motor itu di iklan. Belum sempat rilis, tapi di depan matanya sekarang, sudah ada satu dan itupun dikendarai oleh seorang wanita.Dian hanya tersenyum tipis, tidak bangga, tidak pula pamer. Ia menepuk sadel belakang motornya,“Bukan dari gaji polisi. Ini hadiah ulang tahun dari ayahku. Aku bahkan sempat nolak, tapi ya... mere
Langit malam tampak berat. Awan pekat menutupi rembulan, dan hanya sesekali kilat menyambar di kejauhan, menerangi reruntuhan bangunan tempat dua sosok itu berdiri saling berhadapan. Bau darah samar masih tercium di udara, sisa dari pertempuran yang baru saja berakhir.Awan menatap lelaki berpakaian serba hitam di depannya, seorang pria berusia 40an dan tubuhnya setengah berlutut, nafasnya terengah, tapi matanya masih menyimpan perlawanan. Lelaki itu, dikenal di dunia bawah tanah dengan nama 'Spectre', salah satu pembunuh bayaran paling berbahaya yang pernah dikirim untuk menumbangkan siapa pun yang menjadi targetnya. Tapi malam ini, dia gagal.Bukan karena ia lebih lemah dari lawannya, tapi karena lawannya sudah mengetahui semua jurus andalannya dan bahkan lebih baik darinya.Dan lebih dari sekadar gagal, dia terpukul oleh sesuatu yang tidak mampu ia jelaskan dengan logika manusia biasa.“Sekarang, kamu bisa jelaskan darimana kamu mempelajari teknik itu?” tanya Awan pelan, suaranya da
“Berhenti di sini, Pak.”“Hah? Di sini, Mas? Beneran?” sopir taksi itu menatap lewat kaca spion dengan dahi berkerut. Jalan yang mereka lalui sudah sepi sejak sepuluh menit lalu, hanya ada deru angin malam dan bayangan pepohonan di pinggir jalan. Tak ada rumah, tak ada lampu jalan. Tempat ini benar-benar gelap dan sunyi.Awan hanya tersenyum tipis, “Iya, berhenti di sini saja, pak.”Nada suaranya datar tapi mantap. Tak memberi ruang untuk ditawar.Sopir itu masih ragu, “Tapi, Mas... di sini bahkan nggak ada rumah. Mas yakin ini tempatnya?”Sopir taksi sempat mengira jika Awan sedang bercanda dan bertanya untuk memastikan.“Saya yakin.”Awan menatap keluar jendela. Hanya ada jalan kecil yang bercabang menuju gang sempit. Dari kejauhan, tampak seperti jalur mati. Tapi di mata Awan, tempat itu ideal. Tak ada kamera, tak ada saksi, tak ada suara selain jangkrik dan desir dedaunan. Tempat sempurna untuk untuk sebuah pertarungan, dan yang terpenting, tidak membahayakan keselamatan orang lain
Selepas kepergian Dian dan yang lainnya, malam itu kantor terasa begitu sunyi. Hanya ada suara ketikan keyboard, dengungan pendingin ruangan, dan aroma kopi yang sudah dingin di atas meja. Awan dan Nadya masih di sana, bekerja dalam diam. Wajah mereka sama-sama lelah, tapi tidak ada yang mau menyerah. Meski sekarang hanya ada mereka berdua, tapi tidak ada kesempatan untuk mengulang momen romantis seperti siang tadi. Keduanya larut dalam pekerjaan. Tumpukan dokumen di meja Nadya belum juga berkurang. Puluhan karyawan yang mengundurkan diri bersama Tomi sebelumnya dan ditambah tekanan dari berbagai pihak, membuat beban kerja Nadya naik berkali lipat. Karena tidak tega membiarkan Nadya bekerja seorang diri memeriksa banyak dokumen dan membuat banyak pengaturan, mau tidak mau Awan akhirnya ikut lembur bersama Nadya. Meski perannya hanya sebagai pendukung karena semua pekerjaan utama sudah bisa dihandel dengan baik oleh Nadya.“Sudah jam sebelas lewat, Nad. Kita pulang, yuk!” ucap Awan pe
Suara langkah sepatu hak tinggi bergema di lorong panjang kantor utama. Nadya yang baru saja menatap Awan dengan mata setengah terpejam refleks menegakkan tubuhnya. Aura keintiman yang baru saja terbangun seketika menguap begitu pintu ruangannya terbuka keras.Kali ini, bukan Lona yang datang. Sosok yang muncul di ambang pintu adalah, Dian Saka, gadis dingin, berwajah tegas, dan pernah menjadi rekan ekspedisi Awan sebulan yang lalu. Di belakangnya tampak Lona dengan senyum jail, serta Erika Harsya, putri sulung keluarga Harsya, yang menatap ruangan dengan ekspresi hati-hati namun berwibawa.Awan mendengus dalam hati. Ia tahu, kalau Lona ikut di belakang, pasti tidak akan ada kabar baik. Dan benar saja, melihat wajah puas gadis itu, Awan langsung tahu kalau Lona sedang menikmati perannya sebagai pengganggu waktu romantisnya bersama Nadya. Sial, lagi-lagi gagal di momen terakhir. Satu centimeter lagi. Lona memiringkan kepala, menatap Awan dengan gaya usil. "Aduh, maaf ya! Gak ganggu,
Di saat Tomi dan kelompoknya baru saja selesai diperiksa di ruang security, Awan duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke arah jendela besar. Tapi pikirannya tidak ke mana-mana. Ia tersangkut di satu hal yang sangat menyakitkan bagi harga diri pria sepertinya.‘Jir, tinggal satu senti lagi!’ gumamnya dalam hati. Kalau saja ia bukan pria sejati, ia mungkin sudah menangis bombai sekarang.Ya, hanya satu sentimeter yang memisahkannya dari momen paling berharga bersama Nadya. Sebuah momen yang jarang bisa mereka dapatkan. Apalagi, ia sudah menghilang cukup lama dan sudah sewajarnya bagi sepasang kekasih melepas rindu satu sama lain.Satu sentimeter yang gagal ia taklukkan, gara-gara seseorang datang tanpa diundang, siapa lagi kalau bukan gara sepupu Nadya, Lona.Sekarang gadis itu duduk di depan meja, menangis pelan sambil bercerita panjang lebar. Sudah hampir setengah jam Lona curhat tanpa henti dengan Nadya yang duduk disampingnya sambil menenangkannya, sementara Awan hanya menatap kos







