Bab 18: Balita di Lampu Merah
Karin memasuki mobil, menyusul Verous yang sudah bersiap di balik kemudi.
“Yuk, berangkat.”
Verous mengangguk dan memundurkan mobil keluar dari halaman. Bik Asih pembantu mereka segera menutup pintu pagar setelah Verous dan Karin menghilang bersama mobil mereka di ujung jalan.
Tak lama kemudian mobil yang dikemudikan Verous mulai memasuki jalan raya, dan Karin yang duduk di samping mulai melamun. Pikirannya melayang-layang, jauh entah ke mana.
“Oh, iya,” pikir Karin tiba-tiba.
“Tadi malam Olive menelepon aku.”
“Ada apa ya?”
Karin kemudian mengambil ponselnya dari dalam tas jinjing. Cepat ia membuka layar ponsel untuk melakukan panggilan pada Olive. Akan tetapi, sampai beberapa kali menelepon ia tak kunjung mendapat sahutan.
“Ya sudahlah,” batin Karin, mengakhiri panggilan telepon
Bab 19:Buah Jeruk di Atas Meja Aje sampai memutar badan saking bingungnya. Beberapa detik ia terperangah menatap wanita cantik berjilbab yang kini sudah duduk di jok motornya.“Apakah ini penumpangku yang tadi?”“Kok bengong, Bang? Ayo jalan.”“Maaf, Mbak. Embak siapa ya?”“Ya Allah, Bang! Aku penumpang Abang yang tadi!”“Tapi, tapi, yang tadi..,” Aje menunjuk ke arah kepala sang wanita. Maksudnya jilbab yang ia pakai.“Iya, sekarang aku pakai jilbab. Aku masih orang yang sama dengan yang masuk ke toilet tadi.”“Oh, maaf, maaf.” Kata Aje kikuk. “Saya pangling, Mbak. Habis Mbak berubah total kalau pakai jilbab begini.”“Sudah, ah! Ayo jalan.”“Iya, iya, Mbak.”Pantas saja dia lama sekali tadi di toilet. Ternyata dia bersalin, mengganti
Bab 20:Rencana Untuk Hari Ini Pukul sepuluh pagi..,Hekal duduk termangu di sebuah bangku panjang yang ada di bengkel Alvin Jaya Motor. Ia memandangi motor kesayangannya yang sudah dipreteli oleh Bang Alvin.Ada rasa tak tega di dalam hati Hekal, melihat motornya sekarang yang telah telanjang. Ada juga rasa ‘ngenes’, mengingat satu-satunya orang yang ia harap bisa membantunya, ternyata juga sedang dalam kesulitan, yaitu Aje.Hekal bahkan masih memegangi ponselnya setelah menelepon Aje barusan tadi. Kata-kata Aje juga masih mengiang di kepalanya. “Dalam kesusahan, sepertinya kita berada di jurang yang sama, Kal.”Sementara Bang Alvin sendiri hilir mudik. Ia sangat berhati-hati dan tampak bertanggungjawab dalam mengontrol pekerjaan para karyawannya. Sebentar ia menghampiri karyawannya di pojok, yang tengah sibuk
Bab 21:Laki-laki Terakhir “Kamu mikirin apa sih, Dinda? Sedari tadi bengong saja,” tanya Verous di balik lingkar kemudinya.Mobil yang ia kendarai bersama Karin sekarang sudah berada di jalan lintas antar kota, dengan rute yang sedikit berkelak-kelok dan barisan pepohonan di sepanjang tepi jalannya. Sementara Karin sendiri masih diam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab.“Aku mikirin anak balita yang di lampu merah tadi, Kanda.”“Balita? Yang di motor bersama orang tuanya tadi?”“Hem-hemm.”“Kenapa?”“Pengiiiiin.”“Pengin apa nih?”“Pengin punya anak yang seperti itu,” kata Karin dengan nada sedikit merengek.Verous tertawa kecil.“Memangnya Dinda saja yang pengin punya anak? Kanda juga pengin, tahu. Pengin banget malah.”“J
Bab 22:Tiga Wanita DUA BULAN KEMUDIAN..,Hekal merasa menyesal, juga sedih karena belum bisa pulang kampung seperti yang pernah ia janjikan pada Eca dan Eci, kedua adiknya yang sangat ia sayangi itu.“Setiap hari Ibu nanyain Kakak loh,” kata Eci dengan suaranya yang renyah.“Ibu kangen Kakak,” imbuh Eca yang tunarungu, dengan menggunakan bahasa isyarat.Sementara sang Ibu sendiri, dalam obrolan mereka lewat video call, tetap membesarkan hati Hekal, putranya yang telah menjadi tulang punggung keluarga ini.“Ya sudah kalau kamu belum bisa pulang. Tidak apa-apa, yang penting kamu sehat, kerjaan kamu lancar, dan tidak pernah mendapat masalah apa pun juga.”Hekal tersenyum seraya menahan haru. Sekejap ia teringat masalahnya sendiri dengan Olive yang sampai sekarang pun belum mencapai titik temu.Ia sudah beberapa kali mencari ala
Bab 23:Ketika Bidadari Sedang Mejeng Tiin..! Tiiiin..! Tiiiiiiin..!Tiin..! Tiiiin..! Tiiiiiiin..!Salak klakson bersahut-sahutan. Mobil-mobil saling tertumpuk di satu titik, berebut ruang yang sangat sempit. Saling tak ingin kalah, dan tak ada yang mau mengalah. Ratusan sepeda motor ikut pula menyemarakkan kemacetan itu.Bagaimana kronologinya?Ada sebuah jalan kecil yang bermuara di jalan Sudirman, yaitu sebuah jalan protokol, di mana titik persimpangannya tidak terdapat lampu merah. Bersambunganlah arus dari jalan kecil itu sampai ke sebuah belokan U-Turn di jalan Sudirman.Sementara dari sisi sebaliknya, terdapat juga sebuah jalan kecil yang bermuara di jalan protokol yang sama.Semua orang tahu bahwa dua jalan kecil yang berseberangan dengan jalan Sudirman i
Bab 24:Dokter dan Tukang LedengAje masih tidur pulas ketika matahari menampakkan dirinya perlahan. Cahayanya yang kuning keperakan menerangi sepanjang garis horizon di beranda timur kota Bandar Baru.Burung prenjak hadir di ranting-ranting pohon, berkicau bersahutan, dengan ritme yang terganggu oleh beberapa sepeda motor yang melintas. Sementara ayam-ayam Bangkok kepunyaan Pak Sali—suami Bu Atik—sejak masih gelap tadi sudah berkokok tak henti-henti.Aje terus saja dibuai oleh kenangan masa lalu bersama almarhumah Diana yang kembali hadir di dalam mimpinya. Seperti lembaran album yang terbuka karena terembus angin, fragmen yang pernah mereka lalui bersama hadir berganti-gantian.Di salah satu kepingan memori itu, Aje melihat Diana yang sedang memasak sesuatu. Aje mengejutkannya dari belakang dengan sebuah pelukan dan bisikan mesra.“Selamat pagi, Cinta.”&ldq
Bab 25:Drama Di Bawah Meja Kompor “Tiara..??”Tiara tidak ada!Cepat Aje bangkit, mengucek-ucek mata dan menoleh kanan kiri. Rasa kantuknya sontak hilang, digantikan dengan rasa panik yang tiba-tiba mengunjam. Aje berjalan ke seantero kamar. Harap-harap cemasnya membubung seiring dengan kenihilannya mendapatkan Tiara.“Ara!” Panggilnya.Aje berjongkok, lalu melongokkan kepala ke kolong ranjang. Barangkali Tiara ada di situ, bermain sesuatu atau apa-lah.Ternyata, tidak ada!Oh, Aje semakin cemas. Ia ingat betul, tadi malam Aje menina-bobokan putrinya itu sembari memeluknya. Ya, Aje ingat sekali, karena tadi malam, tepatnya pukul dua ia mengganti pampers Tiara.“Ara!”“Di mana kamu, Nak?”Aje keluar kamar, berjalan ke ruang tengah terus ke ruang depan. Aje melihat pintu depan masih terkunci. Maka tidak mungkin Tia
Bab 26:Nikahi Aku “Bagaimana mungkin, driver ojek itu memilih satu buah jeruk di atas meja, daripada buah dadaku yang sudah aku tawarkan padanya? Juga keseluruhan tubuhku?”Pertanyaan dalam hatinya itu Lisa bawa menuju ke arah jendela. Masih memakai kimono tidur, gadis cantik berparas sedikit indo ini membuka tirai dan lantas mematung, memandangi lalu lalang kendaraan di jalan raya dari lantai sepuluh hotel tempat ia menginap sejak semalam.Kedua tangannya memegang cangkir keramik berisi teh dengan aroma melati yang harum. Hidungnya mengendus, menangkap aroma teh dan beberapa saat terus menikmati teh lewat indera penciumannya.Ia terpaku pada pemandangan di bawah dengan pikiran yang kosong. Hingga beberapa saat kemudian dering telepon mengejutkannya. Sedikit enggan ia mengambil ponsel yang terletak di atas meja. Sekilas membaca nama sang penelepon, ia pun menerima panggilan.&