"Nona mengenal saya?" Tanyanya dengan dahi berkerut. Dia membungkuk sedikit sebelum melanjutkan, "Maaf atas ketidaksopanannya, tapi saya tidak yakin pernah menemui anda sebelumnya."
Aku tergagap. Sepertinya tanpa sadar aku mengucapkan namanya keras-keras."Aku.. aku.. sebenarnya.."Kruyuk!Perutku kali ini berbunyi sangat keras. Membuatku sangat malu. Tapi Maxwell tidak menampakkan emosi apapun.Ia memandangku dari ujung rambut sampai kaki lalu melepaskan mantel hitam panjang yang dipakainya.Ia masih memakai kemeja biru gelap berlengan panjang dan celana panjang cokelat tua. Sarung pedangnya bertengger di pinggul sebelah kirinya.
"Sepertinya anda lebih membutuhkan ini dari saya. Dahan dan ranting bisa melukai lengan anda."Aku menerima mantel tersebut dan segera memakainya. "Terima kasih."Ia lalu melepas kedua sepatu bots warna kulitnya dan menaruhnya di depan kakiku.
Tentu saja aku menolaknya."Tidak perlu seperti ini.""Saya tak bisa membiarkan seorang perempuan bertelanjang kaki, Nona...""Abigail Montlace. Panggil saja Abby."Mata Maxwell berkedip sekali. "Saya tidak yakin bisa memanggil nama depan anda, Nona Montlace.""Tidak. Tidak apa-apa. Saya sama sekali tidak keberatan.""Baiklah kalau begitu, Nona Mon, ehem, Abby. Anda kelihatannya mengenal saya jadi saya tidak perlu memperkenalkan diri. Mohon ikuti langkah saya setelah anda memakai sepatu itu."Segera kupakai sepatu yang sudah pasti kebesaran untuk kakiku. Secara mengejutkan, aku tak mencium bau keringat. Baik dari mantel atau sepatunya. Sepertinya itu adalah kelebihan yang hanya dimiliki laki-laki tampan."Aku sudah selesai, Maxwell."Alisnya naik sebelah dan kalaupun ia keberatan, ia tak menampakkan apapun di wajahnya.Maxwell mulai berjalan dan aku mengikutinya.Beberapa kali wajahku tertampar dahan dan ranting tapi kutahan diri agar tidak mengeluh. "Bagaimana anda bisa sampai di sini, Nona Abby?" Tanyanya.Oh iya! Bagaimana bisa aku lupa?Aku kan sedang berada di hutan antah berantah. Rumahku mungkin berada ribuan kilometer dari sini. Bagaimana aku bisa lupa betapa mendesaknya situasiku saat ini?
Dasar gila!
Mungkin karena bertemu Maxwell jadi aku tidak begitu panik. Bertemu dengan sesuatu atau seseorang yang familiar di tempat yang asing membuatku agak tenang.
Walaupun tentu saja, Maxwell tidak merasakan hal yang sama denganku. "Saya tidak tahu. Tiba-tiba terbangun begitu saja di sini. Oh, tolong panggil Abby saja. Sepertinya kita seumuran."Ia meliriku sebentar lalu mengalihkan pandangan ke depan. "Begitu, kah?"Ada jeda sebentar sebelum dia bertanya lagi. "Anda berasal dari kerajaan mana? Bagaimana bisa anda mengenal saya?"Aku terdiam dan bertanya-tanya apakah aku harus mengatakan yang sebenarnya. Mana bisa kubilang kalau aku mendengarnya dari dongeng yang diciptakan Nenek?Kecuali...Kecuali semua dongeng itu benar adanya.
Kemudian semuanya masuk akal. Pantas saja, Nenek tidak bisa memberitahukan akhir cerita itu. Dan itu berarti... "Apakah anda belum lepas dari kutukan tersebut?"Kali ini langkah Maxwell berhenti. Seperempat detik kemudian ia mencabut pedang dan mengarahkannya ke daguku.Secara otomatis, aku mengangkat kedua tanganku sebagai tanda bahwa aku tak bersenjata."Siapa kau sebenarnya, Abigail Montlace?" Suaranya mendadak dingin dan ia tak lagi bicara formal padaku. "Apa Raja Albertine yang mengirimmu? Aku tahu sekarang. Ini trik baru. Mengirim gadis yang kelihatannya tidak berdaya lalu mencoba menjebakku. Kalau begitu, komplotanmu bersembunyi di sekitar sini. Mereka menungguku lengah. Begitu, kan?""Tidak. Kau salah paham!"Tapi Maxwell kelihatannya tidak tertarik pada penjelasanku dan bersiap menyerangku.Lalu terjadi sesuatu yang ajaib saat pedang itu nyaris menggores leherku. Amulet yang kupakai tiba-tiba keluar dari balik mantel dan memancarkan cahaya putih yang menyilaukan.Dalam dua detik yang membutakan mata, amulet itu kembali bertengger di leherku. Warna batunya yang tadinya hijau berubah menjadi putih bersih seperti mutiara.
Aku tak mengerti apa yang terjadi. Tapi Maxwell segera mengembalikan pedang itu ke tempatnya semula."Jadi, kau utusan penyihir suci?"Apa dia bilang? Penyihir apa?Wajah Maxwel mengendur. "Kenapa tidak mengatakannya sejak awal?"
Aku ingin bertanya tapi perutku bersuara lebih dulu.Membuatku lebih frustasi dari sebelumnya.Aku memang lapar. Tapi tidak selapar itu! Kalau hanya berjalan selama satu atau dua jam, aku masih sanggup!Untuk pertama kalinya, aku melihat senyum kecil bertengger di wajah lelaki itu. "Kurasa kita harus mengurus perutmu dulu."
Max mengusap dahinya yang penuh keringat sebelum memanggil namaku. "Abby, kau baik-baik saja? Kenapa diam saja?""Maaf, aku nyaris ketiduran." Max menyeringai saat menyadari kesinisan dalam nada bicaraku. "Sepertinya aku terlalu bersemangat. Sini, berjalanlah di dekatku. Aku masih bisa mencium bau mereka dalam sepersekian meter." Aku mengangguk dan memutuskan untuk fokus pada jalan yang kulalui. Mayat-mayat Ogre bersimpah darah jatuh berserakan di atas tanah. Baru beberapa langkah, aku menyadari sesuatu yang aneh pada mereka. "Apa benda hijau di balik lengan mereka ini?" Alis lelaki itu naik sebelah, "Benda hijau?" "Seperti kancing." Kataku sambil mengangguk. Max menggunakan pedangnya untuk menyetuh bagian tubuh yang kumaksud. Untungnya ia masih memakai sarung tangan hitam saat meraih kancing bulat bewarna
"Jadi, ini yang kau bilang keren?" Tanyaku di atas batang pohon.Iya, benar. Max duduk di sebelahku yang memegangi batang pohon besar dengan erat.Lengah sedikit, riwayatku pasti tamat akibat jatuh dari ketinggian sepuluh meter."Dari sini pemandangannya sangat keren bukan. Lagipula, kita bisa melihat keadaan kota." Katanya sambil memegangi dahan pohon yang didudukinya. "Ah, lihat! Ada di sana! Sepertinya masih aman." "Lalu, apa yang harus kita lakukan dengan monster-monster yang ada di bawah kita? Aku bukan pecinta ketinggian, dasar sial!" Kupikir Max akan mengalahkan kumpulan ogre itu dalam sekali sabetan. Tapi aku salah, dia memang menyerang beberapa dari mereka.Setelah dua menit mengayunkan pedang, Max mengangkat tubuhku dan menaruhku di pundaknya sebelum mulai berlari secepat kilat meninggalkan para ogre tersebut.Tidak berhenti disitu, ia
Perjalanan menuju Tusban telah dimulai. Atau setidaknya begitu. Kami meninggalkan rumah si tetua setelah sarapan.Dia sepertinya benar-benar tak ingin merenovasi dindingnya yang hancur tersebut.Max dan aku bukannya menolak ingin membantu. Tapi kami tak bisa melakukan apapun.Meski begitu, sepanjang perjalanan ini, Max menggerutu dan terus mengataiku sebagai penyihir tanpa hati.Kubiarkan saja dia. Ini bukan pertama kalinya ia mengataiku macam-macam. Dan juga, sihir, yang masih belum kukuasai dengan benar ini, lebih mumpuni untuk menghancurkan sesuatu ketimbang memperbaiki.Max menatap langit saat kami berada di area terluar perbatasan hutan timur."Ternyata sudah tengah hari. Perasaanku saja atau kita memang berjalan lebih cepat dari sebelumnya?"Aku membungkuk agak dalam ke arah pegunungan bersalju yang baru kulewati. "Terima kasih, Dewi Fa
Aku berani bersumpah bahwa perempuan itu mengatakan sesuatu padaku. Karena bibirnya bergerak seperti mulut ikan yang megap-megap mencari air.Dikalahkan dengan rasa penasaran, aku mendekatkan telingaku kepadanya hingga jarak diantara kami hanya beberapa senti.Suaranya terdengar jauh dan terpatah-patah, "Kau… harus… temukan… Tusban… segera."Kedua alisku bertautan, "Apa maksudnya? Berarti Tusban adalah tujuan yang benar?"Sosok itu melengkungkan bibirnya membentuk seulas senyuman yang lemah, "Selamatkan… kami."Lalu keluarlah sinar putih yang sangat menyilaukan dan setelah cahaya itu padam, sosok itu kembali ke pose sebelumnya. Diam seperti patung.Berulang kali aku mengucek mata dan mencubit pipiku sendiri untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi.Jantungku, entah kenapa, berdebar sangat cepat dan dengan pani
"Apakah anda tidak suka hidup lebih lama dari kebanyakan orang?" Aku bertanya murni karena rasa penasaran.Kalau hidup lebih lama, bukankah bisa terus makan makanan yang enak, sekaligus melihat keindahan dunia yang tak ada habisnya. Bukankah itu menyenangkan?Dia tersenyum, "Sejujurnya aku bersyukur. Tetapi, bosan adalah salah satu sifat juga kelemahan manusia. Aku ingin menjelajah belahan dunia lain dimana tidak ada tanah beku yang bisa kupijak. Meski mungkin saja, aku takkan bisa puas menjelajahinya dengan punggung dan kaki yang mudah nyeri. Dan bisa saja, kebebasan itu tak bisa kurasakan dalam waktu yang lama," Kali ini pandangannya menerawang ke arah luar jendela. Memandangi pemandangan yang sama selama bertahun-tahun.Baru kusadari, mungkin, lelaki tua ini kesepian atau seperti yang ia barusan katakan, ingin berlari dengan bebas di padang bunga yang bersemi. "Mungkin Farasia memiliki panda
Aku langsung merunduk saat ia berencana terbang ke arahku. Tapi ia langsung terpental begitu jarak kami tinggal beberapa senti."Berkat Farasia! Berkat Farasia!" Pekiknya panik. Akhirnya Lilac si burung gagak, terbang ke arah berlawanan dariku dan kabur dengan menjebol dinding dapur. "Abby? Apa yang terjadi?" Tanya Maxwell yang menghampiriku karena mendengar bunyi yang diciptakan siluman itu. "Max, Lilac berubah jadi burung gagak!" "Ah, Harpie sialan! Jangan-jangan tetua sudah…," "Tolong.." terdengar suara lemah dari dalam salah satu lemari kecil yang berada di bawah cucian piring kotor Maxwell membukanya dan menemukan seorang lelaki tua sekarat di dalam sana. Tubuhnya lemas dan penuh luka tapi dia masih dalam keadaan sadar. "Gawat! Abby, kau bawa kotak obat?" Maxwell nampak jengkel saat melihatku menggelengkan kepala.