Share

Bab 7. Bukti

Author: litrcse
last update Last Updated: 2024-09-26 05:47:19

"Setiap hari bersamanya adalah bukti bahwa kebaikan dan perhatian masih ada di dunia ini."

°°°°

“Juara pertama OSDKI tahun 2014 dimenangkan oleh… Alshameyzea Afsheena!”

Suara pengumuman itu menggetarkan ruangan, diikuti oleh tepuk tangan dan sorakan yang meriah. Di tengah keramaian, mataku mencari, berharap menemukan wajah-wajah yang kukenal. Sebuah sorakan pecah dari sampingku, suara salah satu teman sekelasku yang berdiri, ekspresi bangga terpancar jelas di wajahnya.

“Sheena, kamu juara satu!” serunya penuh semangat, suaranya tenggelam di antara tepuk tangan yang semakin riuh.

Dari panggung, MC tersenyum lebar sambil mengarahkan mikrofon ke arahku. “Silakan naik ke panggung, Alsha,” ajaknya dengan nada lembut, seakan ingin berbagi kebahagiaan ini denganku.

Aku berdiri, gemetar sedikit, tapi perasaanku meluap penuh rasa syukur. Langkahku pelan, terasa berat karena bukan hanya tubuhku yang bergerak, tapi juga semua impian dan harapan yang menuntunku ke atas panggung. Saat aku tiba di depan mikrofon, MC kembali bicara, kali ini matanya menyapu kerumunan.

“Orang tua kamu mana, Nak?”

Aku hanya menggeleng perlahan, berusaha menutupi perasaan canggung yang merayap di hatiku. “Mereka nggak datang,” jawabku, suaraku terdengar lirih. Ada sedikit getar, tapi aku tidak ingin itu menjadi tanda kesedihan.

“Oh… kamu datang sendirian?” tanya MC lagi, suaranya berubah lebih lembut, ada empati dalam sorot matanya.

Aku menoleh sekilas ke arah Keenan yang berdiri tak jauh dari pintu masuk. “Aku datang bareng temenku,” jawabku pelan, dengan senyum tipis.

Tatapan MC bergeser, memperhatikan Keenan, lalu senyumnya kembali lebar. “Itu temanmu?” tanyanya takjub.

“Iya,” jawabku singkat, tapi hatiku hangat. MC mengundang Keenan naik ke panggung, dan ketika kami berdiri berdua di sana, kamera menangkap momen itu, sebuah gambar yang dipenuhi kehangatan dan kemenangan.

Setelah acara selesai, Keenan mendekat dengan penuh semangat. “Sheena, kamu luar biasa! Juara satu!” katanya, suaranya menggema dengan kagum, tangannya menyentuh piala yang aku genggam erat. Kami berjalan keluar aula, berbaur dengan kerumunan yang bubar.

“Kamu juga hebat, Keenan,” balasku pelan, mengamatinya dengan senyum. Ada kehangatan di dadaku, karena kehadirannya lebih dari sekadar menemani.

Dia berhenti sejenak, menatapku penuh kebingungan. “Hebat? Aku? Kenapa?”

“Karena kamu udah nemenin aku dari awal sampai akhir. Itu nggak kalah penting,” jawabku sambil menatapnya dengan mata yang bersinar tulus.

Dia tertawa kecil, tapi ada sesuatu dalam tawanya yang terasa berbeda, seperti ada beban yang tak terlihat. “Kalau itu sih pasti. Aku janji, Sheena, aku akan selalu ada buat kamu,” ucapnya dengan suara rendah namun tegas, seperti janji yang disegel oleh perasaan yang dalam.

Waktu seakan berhenti sejenak, ketika janji itu terucap. Dalam keheningan di antara langkah-langkah kami, ada sesuatu yang lebih besar dari kata-kata, ada rasa nyaman yang begitu mendalam. Seolah-olah, tanpa perlu banyak bicara, aku tahu bahwa Keenan adalah sosok yang akan selalu ada untukku. Saat-saat seperti ini, aku menyadari betapa berartinya kebersamaan kami.

Tapi kehangatan itu perlahan-lahan berbalik jadi kekhawatiran ketika aku bertanya, “Emangnya kamu nggak dimarahin sama keluargamu karena nemenin aku seharian?”

Dia tersenyum, tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. “Nggak, nggak ada yang marah.” Jawabannya singkat, dan di balik kesederhanaan itu, ada sesuatu yang membuatku bertanya-tanya.

Aku memandangnya penuh perhatian. “Kamu baik-baik aja kan, Keenan?” tanyaku lagi, mencoba membaca tatapan matanya.

Keenan berusaha tersenyum lebih lebar, meskipun jelas ada beban yang ia coba sembunyikan. “Aku baik-baik aja, Sheena. Udah, jangan khawatir. Yuk, aku traktir makan. Kamu pantas dapat perayaan!”

Dia menggandeng tanganku dengan lembut, menarikku menuju kantin. Suasana ringan kembali, tapi ada sesuatu yang masih mengganjal di benakku.

Di kantin, langkah-langkah kami berjalan bersama dalam keheningan yang terasa akrab. Tapi meskipun Keenan tersenyum, aku tahu ada sesuatu yang dia sembunyikan. Setiap kali aku bertanya tentang keluarganya, dia selalu menghindar, hanya bercerita sedikit tentang adiknya, Apin. Setiap kali ada acara sekolah, Keenan selalu datang sendiri, tanpa ibu, tanpa ayah, hanya dengan Apin yang kadang-kadang ikut.

Aku ingin sekali mengerti apa yang sebenarnya terjadi, ingin tahu kenapa dia selalu sendiri. Tapi di saat yang sama, aku juga takut menekan Keenan terlalu keras. Aku tidak ingin membuatnya merasa tertekan, hanya ingin melihat senyumnya yang tulus, bukan bayangan kesedihan yang dia sembunyikan.

Ketika kami akhirnya duduk di kantin, aku memilih untuk diam, membiarkan pertanyaan itu tetap tersimpan di dalam hati. Ada kalanya, diam adalah cara terbaik untuk menunjukkan kepedulian. Mungkin, suatu hari nanti, Keenan akan bercerita dengan sendirinya. Tapi untuk saat ini, aku hanya ingin menikmati kebersamaan ini, tanpa tekanan, tanpa pertanyaan, hanya kehangatan dua sahabat yang berbagi momen sederhana.

Dan dalam setiap langkah yang kami ambil hari itu, aku tahu bahwa meski kami tak selalu mengungkapkan segalanya, kami tetap saling memahami dengan cara yang tak membutuhkan kata-kata.

Tiba-tiba, kenangan masa SMP bersama Keenan kembali hadir di pikiranku, seolah-olah mengalir dalam alunan musik latar yang lembut.

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 7)

    “E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 6)

    Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 5)

    Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 4)

    Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 3)

    Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 2)

    Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status