Share

Bab 3

Aku masih berdiri terpaku sambil memandangi ponsel milikku. Setelah berulang kali aku mencoba menghubungi nomor Mas Kenzie kembali, tapi masih juga tak aktif. Belum juga terjawab tentang acara syukuran di rumah mertuaku, kini ada satu lagi suara wanita yang baru memanggil Mas Kenzie tadi, membuat aku bertanya-tanya. Siapa wanita tadi?

Mas Kenzie bilang, ia masih berada di agen distributor penjual bahan pokok. Tapi setahuku, semua karyawan di agen itu semuanya laki-laki, karena memang agen itu berbentuk bangunan seperti gudang. Semua karyawan disana juga harus memiliki tenaga yang kuat, untuk mengangkut dan memuat barang belanjaan ke dalam mobil. Pemiliknya pun juga seorang laki-laki, karena setahuku istrinya juga jarang berada di sana. Aku jadi ragu, apa benar Mas Kenzie masih berada di agen itu?

Sudah 7 tahun kami menikah, tak pernah ada gelagat Mas Kenzie selama ini yang mencurigakan. Bahkan, aku selalu rutin mengecek ponsel milik Mas Kenzie. Selama ini, tak ada yang aneh, hanya ada chat dariku dan juga dari pelanggan toko grosir kami. Aku bukannya tak percaya, tapi apa salahnya untuk sekedar berjaga. Kami suami istri, tak ada salahnya jika aku ingin tahu isi ponsel suamiku bukan?

Dengan perasaan gelisah, aku duduk di sofa televisi sambil menunggu Mas Kenzie pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 malam, tapi belum juga ada tanda-tanda kepulangan dari Mas Kenzie.

Tin! Tin!

Panjang umur, orang yang sedang aku pikirkan akhirnya pulang juga. Suara klakson mobil itu adalah suara mobil sewaan yang biasa Mas kenzie gunakan. Aku segera bergegas ke depan untuk membukakan pintu.

"Kamu dari mana sih, Mas. Kok baru pulang?" tanyaku setelah Mas Kenzie sudah duduk di kursi.

"Kamu itu lucu, Sayang. Kamu kan tahu, aku baru pulang belanja," jawab Mas Kenzie santai sambil melepas sepatunya.

"Maksud aku, kenapa pulangnya malam banget, Mas? Biasanya, jam sembilan kamu udah sampai rumah. Terus kenapa ponsel kamu gak aktif?" Aku memberondong pertanyaan pada Mas Kenzie. Entahlah, rasanya aku agak kesal karena sulit menghubungi Mas Kenzie tadi.

"Tadi ponsel aku lobet, Sayang. Nih!" kata Mas Kenzie sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Memang benar, ponsel Mas Kenzie tak bisa dinyalakan saat aku sudah mengambil alih ponsel itu.

"Terus, tadi aku denger ada suara wanita manggil kamu sebelum telpon terputus, itu siapa, Mas?"

"Astaga ... jadi si Nyonya Kenzie lagi cemburu nih ceritanya?" Mas Kenzie langsung duduk di sampingku dan merangkul pundak ku.

"Bukan cemburu, Mas. Aku kan cuma tanya?" kataku dengan ekspresi manyun.

Cup!

Satu kecupan, mendarat di bibirku. Perasaan kesal yang tadi sedikit menggebu-gebu kini mulai melunak. Mas Kenzie memang begitu, dia tahu betul cara untuk membuat rasa kesalku hilang.

"Apaan sih, Mas," kataku pura-pura malu, padahal aku senang.

"Tapi kamu suka kan?" tanya Mas Kenzie lalu mencium pipiku lagi.

"Dih, kepedean. Kamu belum jawab, Mas. Siapa wanita yang manggil kamu tadi?"

"Dia itu istri salah satu pelanggan Pak Harto, kebetulan tadi kami ngobrol bareng sama suaminya juga," jawab Mas Kenzie. Pak Harto adalah pemilik agen distributor itu.

Masuk akal juga sih, karena aku sendiri kadang ikut menemani Mas Kenzie kesana. Kenapa aku jadi begitu curiga dengan Mas Kenzie? Padahal aku tahu betul, Mas Kenzie sangat mencintai aku. Tak mungkin Mas Kenzie mengkhianati aku bukan? Mungkin aku yang terlalu parno, karena terlalu sering mendengar cerita tentang peselingkuhan dari teman-temanku.

"Oh ya, Mas. Besok, kita ke rumah Ibu sama Bapak ya, aku gak enak tadi gak datang ke acara syukuran itu. Sekalian aku mau nengok keponakan Ibu dan bayinya itu," kataku.

"Sepertinya gak perlu deh, Sayang. Besok kan kita banyak kerjaan, belum nyusun barang-barang belanjaan yang baru aku beli tadi," kata Mas Kenzie.

"Ya kita kesana sore aja lah, Mas. Kalau tokonya udah tutup."

"Ya udah terserah kamu aja deh, Sayang, aku sih ikut aja. Oh ya, tadi kamu jadi urut sama Siska gak, Sayang?" tanya Mas Kenzie sambil membelai rambutku lembut.

"Jadi, Mas."

"Terus gimana?"

"Ya belum tahu hasilnya, Mas. Masa' baru urut tiba-tiba hamil," jawabku. Mas Kenzie justru terkekeh mendengar jawabanku.

"Iya, Sayang. Semoga kamu bisa cepet hamil ya," ujar Mas Kenzie sambil mencium keningku mesra.

"Aamiin ...."

"Ya udah, kalau gitu aku mau bikin kamu cepet hamil," bisik Mas Kenzie sambil mengedipkan sebelah matanya. Tak lama, Mas Kenzie menggendong tubuhku untuk masuk ke dalam kamar.

Aku tersenyum menatap wajah tampan suamiku yang begitu mempesona. Hampir setiap malam Mas Kenzie tak pernah absen memberikan nafkah batin untukku, kecuali jika aku datang bulan saja. Mas Kenzie selalu memperlakukan aku dengan manis, lembut dan penuh kasih sayang. Itulah sebabnya, mengapa aku begitu percaya dan juga mencintai Mas Kenzie sepenuh hatiku.

________

Sore ini, setelah selesai menutup toko, aku dan Mas Kenzie memutuskan untuk berkunjung ke rumah Ibu dan Bapak. Sebelum sampai di rumah Ibu dan Bapak, aku menyuruh Mas Kenzie mampir ke toko baby shop untuk membeli perlengkapan bayi untuk keponakan Ibu nanti. Tak mungkin aku datang hanya dengan tangan kosong, bukan?

"Mas, bayinya keponakan Ibu itu laki-laki atau perempuan?" tanyaku sambil memilah milih pernak-pernik bayi. Saat ini, kami sudah berada di sebuah toko baby shop.

"Kayaknya sih perempuan, Sayang," jawab Mas Kenzie sambil sibuk memainkan ponselnya.

"Kalau gitu, aku belinya yang warna pink aja," kataku sambil mengambil satu set perlengkapan pakaian bayi yang sudah dikemas cantik dalam kotak transparan.

Dalam kotak itu, berisi gaun bayi berwarna pink yang sangat cantik dilengkapi dengan bandana bayi, sarung tangan dan juga sepatu. Semua lengkap dengan warna serba pink. Rasanya sangat gemas, ingin sekali rasanya aku memiliki seorang bayi perempuan. Lagi-lagi hati ini sesak, meskipun hidupku dan Mas Kenzie selalu terlihat bahagia, tapi selalu saja ada yang kurang tanpa kehadiran seorang anak di tengah-tengah kebahagiaan kami.

"Kok malah melamun, mau beli yang mana?" tanya Mas Kenzie.

"Eh, sepertinya yang ini aja deh Mas, cantik," jawabku sambil memperlihatkan kotak berisi set bayi itu pada Mas Kenzie.

"Bagus, ya udah yuk kita bayar, sebentar lagi magrib," kata Mas Kenzie.

Kami pun segera bergegas ke kasir untuk membayar. Setelah selesai, kami melanjutkan perjalanan menuju ke rumah Ibu dan Bapak.

______

"Bagaimana kabarmu, Nduk?" tanya Ibu saat kami sudah sampai di rumah Ibu. Tepat adzan Maghrib berkumandang, aku dan Mas Kenzie sampai di rumah Ibu.

"Aku sehat, Bu. Ibu sendiri gimana? Maaf, kemarin aku gak kesini. Mas Kenzie gak kasih tahu aku, Bu, kalau ada acara syukuran disini," kataku sambil melirik ke arah Mas Kenzie. Mas Kenzie sendiri hanya tersenyum kikuk sambil menggaruk rambutnya.

"Ibu juga sehat, Nduk. Gak papa, Ibu ngerti kok. Tadi Kenzie sudah telpon Ibu ngejelasin kenapa kamu gak datang, emang dasar si Kenzie ini kebiasaan. Kalau disuruh apa, pasti lupa," jawab Ibu lembut. Ibu mertuaku memang begitu, sikapnya mirip dengan Mas Kenzie. Ibu selalu bicara lembut dan tak pernah kasar ataupun membentak. Itulah mengapa, aku begitu menghormati beliau.

"Iya nih, Bu. Oh ya mana keponakan Ibu dan bayinya, aku pengen lihat, Bu," kataku.

"Wah, kamu telat, Nduk. Barusan aja Bapakmu sama si Dini nganterin ponakan Ibu ke rumah barunya. Kebetulan, keponakan Ibu sudah dapat rumah kontrakan," jelas Ibu.

"Oh gitu, kok cepet banget perginya? Padahal aku udah bawain kado loh, Bu," kataku sambil menunjuk kotak yang sudah di bungkus rapi dengan kertas kado.

"Kamu taruh disini saja, Nduk. Biar besok si Dini saja yang nganterin kadonya," kata Ibu.

"Gimana kalau kita nyusul kesana aja, Mas?" kataku pada Mas Kenzie.

"Eh, apa, Sayang?!" Mas Kenzie seolah terkejut dan melirik ke arah Ibu.

"Kita nyusul Bapak sama Dini, Mas. Ke rumah ponakan Ibu, aku pengen banget lihat bayinya," kataku sedikit memaksa.

"Kayaknya gak perlu, Nduk. Sebentar lagi juga Bapakmu dan Dini pulang. Lagian Kenzie kan belum tahu rumah baru keponakan Ibu," ujar Ibu.

"Yah, padahal aku pengen banget liat bayinya. Oh ya siapa nama keponakan Ibu itu?"

"Eh, hmmm .... namanya Anggun, Nduk," jawab Ibu dengan ekspresi wajah yang sulit aku artikan.

"Sudahlah, Sayang. Kita gak perlu repot-repot kesana, biar Dini aja besok yang nganterin kadonya. Nanti kapan-kapan juga pasti kita ketemu dia," kata Mas Kenzie.

"Iya, Nduk, kapan-kapan saja lihat bayinya si Anggun. Yowes, Ibu mau siapkan makan malam dulu, nanti kita makan malam bareng ya? Sudah lama loh kita gak makan bareng," kata Ibu, lalu beranjak ke dapur.

Aku sedikit aneh melihat sikap Ibu dan Mas Kenzie, yang seolah-olah menghalangiku untuk melihat keponakan Ibu yang bernama Anggun itu, serta bayinya. Lagi pula, baru juga kemarin acara syukuran di rumah Ibu usai, kenapa si Anggun itu cepat sekali pindah?

*****

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Putri Leo
Istri muda Kenzie
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status