Malam ini, aku, Mas Kenzie dan Ibu makan malam bertiga di rumah Ibu. Karena sedari tadi, Bapak dan Dini tak kunjung pulang dari rumah Anggun. Padahal, tadi Ibu bilang sebentar lagi Bapak dan Dini akan segera pulang. Nyatanya, sudah hampir satu setengah jam lamanya, Bapak dan Dini belum juga sampai di rumah.
Sambil menikmati makan malam, Ibu bercerita banyak hal pada kami. Dari mulai rencana kuliah Dini nanti, dan juga tentang usaha bengkel milik Bapak yang sedang sepi. Bapak memang membuka usaha bengkel motor tak jauh dari rumah. Sedangkan adik iparku Dini memang sebentar lagi akan lulus SMA, dan Ibu bilang, Dini ingin melanjutkan kuliahnya. Sebenarnya, aku tahu alasan Ibu bercerita ini padaku, Ibu ingin aku dan Mas Kenzie membiayai kuliah Dini nantinya.Memang Ibu tak secara langsung mengatakannya padaku dan Mas Kenzie, tapi sebagai seorang anak lelaki satu-satunya di keluarga ini, Mas Kenzie masih bertanggung jawab untuk membantu kebutuhan keluarga ini. Terutama biaya sekolah adiknya, Dini. Selama ini, biaya sekolah Dini aku dan Mas Kenzie yang membiayai, bahkan kami mengkreditkan sepeda motor untuk Dini agar tak perlu lagi mengeluarkan ongkos untuk pergi ke sekolah.Aku sendiri tak keberatan, bagiku keluarga Mas Kenzie adalah keluargaku juga. Tak masalah jika aku ikut membantu mereka bukan? Sedangkan keluargaku termasuk orang mampu, meskipun tak kaya tapi setidaknya cukup. Ibuku sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu, sedangkan ayahku kini tinggal bersama kakak perempuanku yang bernama Keyla. Kak Keyla juga memiliki suami yang mapan, hingga membuat Kak Keyla hidup berkecukupan."Bu, Ibu gak perlu khawatir, untuk biaya sekolah Dini biar aku dan Naya yang nanggung. Iya kan, Sayang?" kata Mas Kenzie akhirnya. Mas Kenzie menoleh dan tersenyum ke arahku."Iya, Bu. Kalau Ibu butuh apa-apa Ibu jangan sungkan, kami pasti bantu," jawabku."Terima kasih ya, Nak. Kalian memang anak-anak Ibu yang paling baik. Sebenarnya, Ibu malu selalu merepotkan kalian selama ini," kata Ibu dengan wajah muram."Bu, kenapa Ibu harus malu? Aku dan Mas Kenzie senang bisa bantu Ibu, kami ikhlas," kataku.Tepat pukul sembilan malam, aku dan Mas Kenzie berpamitan pulang pada Ibu. Saat kami baru keluar dari rumah Ibu, Bapak dan Dini kebetulan juga baru pulang. Bapak bilang, mereka mampir sebentar ke toko buku untuk membeli buku tugas sekolah Dini, makanya mereka pulang terlambat.______Hari ini, aku dan Siska janjian untuk kembali mendatangi rumah Emak Asih. Seperti yang Emak Asih katakan padaku bulan lalu, jika aku terlambat datang bulan berarti aku telah hamil. Jujur saja, jantungku berdetak tak menentu, aku benar-benar gugup. Aku belum mau tespack, takut kecewa seperti yang sudah-sudah. Aku ingin mendatangi Emak Asih dulu, apakah aku benar-benar hamil atau tidak.Sebenarnya, aku ingin datang ke rumah Emak Asih ditemani Mas Kenzie. Tapi saat ini, toko grosir kami sedang ramai pembeli. Banyak pesanan yang harus disiapkan oleh Mas Kenzie. Karena biasanya, para pelanggan hanya menghubungi Mas Kenzie melalui WA saja untuk memesan barang belanjaan. Saat pelanggan datang, mereka hanya tinggal membayar total belanjaannya saja. Sayang jika harus tutup, karena dari pembeli itulah kami memperoleh omset yang lumayan besar."Mbak Naya." Seorang wanita cantik yang sedang hamil menyapaku saat aku dan Siska baru tiba di depan rumah Emak Asih."Dewi ya?" tanyaku setelah berusaha mengingat."Iya, Mbak. Aku Dewi," jawab Dewi.Dewi adalah adik kelasku saat SMA dulu. Sudah hampir sepuluh tahun lamanya, akhirnya kini kami bisa bertemu kembali. Aku dan Dewi berpelukan untuk melepas rindu. Dulu, aku dan Dewi sempat akrab karena kami satu permainan. Kami sering jalan dan berkumpul bersama dengan teman-teman satu geng sekolah kami."Mbak Naya berobat sama Emak Asih juga?" tanya Dewi. Setelah melerai pelukannya, aku memperkenalkan Siska pada Dewi. Begitu juga dengan Dewi yang memperkenalkan suaminya padaku. Karena Dewi datang ke rumah Emak Asih ditemani suaminya."Iya, Dew. Kamu berobat disini juga?""Iya, Mbak. Berobat sama Emak Asih ampuh loh, Mbak. Padahal sudah 4 tahun aku menikah, dan sekarang aku udah hamil setelah urut disini," jelas Dewi bersemangat."Wah, Alhamdulillah ya, Dew. Aku ikut senang dengarnya," kataku."Iya, Mbak. Pokoknya Mbak Naya jangan ragu berobat disini, pasti nanti Mbak Naya hamil juga," kata Dewi.Tak lama, Dewi dan suaminya pamit pulang duluan. Sebelum pergi, Dewi meminta nomor ponselku untuk sekedar menjalin hubungan silaturahmi. Aku dan Siska pun segera masuk ke dalam rumah Emak Asih. Melihat Dewi yang berhasil hamil setelah berobat dengan Emak Asih, aku jadi bersemangat dan tak meragukan lagi kemampuan Emak Asih."Wah, benar kan kata Emak, kamu sekarang sudah hamil," ujar Emak Asih saat mulai mengurut perutku. Setelah mengantri selama setengah jam, kini giliranku bertemu dengan Emak Asih."Yang benar, Mak?" tanyaku tak percaya. Pandangan mataku mengabur, menahan tangis haru yang begitu mendalam.Setelah 7 tahun menunggu, kini akhirnya aku bisa hamil juga. Sungguh, aku benar-benar bahagia saat ini. Seandainya disini ada Mas Kenzie, aku pasti akan memeluk suamiku itu dan menangis menumpahkan rasa bahagia yang begitu mendalam ini."Benar, Nak. Masa' Emak bohong," ujar Emak Asih sambil tersenyum.Aku dan Siska saling berpandangan, Siska tersenyum padaku dan mengusap bahuku pelan. Air mata bahagia yang sedari tadi aku tahan akhirnya tumpah juga."Selamat ya, Nay, gue ikut seneng liat Lo bisa hamil," ucap Siska tersenyum."Iya, Sis. Makasih," jawabku"Nah, karena Nak Naya sekarang sudah hamil. Ada satu syarat lagi yang harus Nak Naya penuhi," kata Emak Asih setelah selesai mengurut perutku."Apa itu Mak?" tanyaku."Minggu depan, Nak Naya pergi ke Curug Pengasih. Alamatnya di desa Tarahan, nanti Nak Naya tanya saja dengan orang sana. Pasti mereka tahu," jelas Emak Asih."Kalau sudah sampai di Curug Pengasih, saya harus ngapain, Mak?""Nak Naya harus mandi disana, terus jangan lupa setelah mandi Nak Naya oleskan bubuk ini di perut Nak Naya," ujar Emak Asih. Emak Asih memberikanku sebuah bubuk berwarna kuning yang dimasukan ke dalam plastik berukuran kecil."Baik, Mak. Minggu depan saya ke sana," kataku."Dan ingat, setiap bulan Nak Naya harus rutin datang kemari ya? Dan jangan lupa, untuk tidak memeriksa kandungan Nak Naya pada bidan ataupun dokter, apa lagi sampai USG. Nak Naya harus patuhi aturan dari saya," kata Emak Asih."Baik, Mak, saya akan selalu ingat pesan dari Emak," kataku."Bagus, pokoknya Nak Naya harus yakin dan juga percaya sama saya. Saya jamin, bayi dalam kandungan Nak Naya nantinya pasti akan baik-baik saja. Selama Nak Naya rajin setiap bulannya datang kemari, pasti bayi Nak Naya akan selau sehat dan aman di dalam rahim Nak Naya. Nak Naya juga gak perlu testpack, karena saya yakin Nak Naya saat ini memang sudah benar-benar hamil," jelas Emak Asih."Baik, Mak. Saya benar-benar berterima kasih sama Emak. Berkat bantuan Emak, akhirnya saya bisa hamil juga," kataku tersenyum haru."Sama-sama, Nak. Ini memang sudah tugas saya," jawab Emak Asih."Iya, Mak. Kami pamit dulu," kataku.Setelah berpamitan pada Emak Asih, aku dan Siska menuju meja administrasi yang memang dijadikan tempat pembayaran bagi pasien Emak Asih yang datang. Biaya nya pun sangat terjangkau, hanya 200 ribu rupiah setiap kali kunjungan.Dengan biaya semurah itu, aku tak menyangka kini aku bisa hamil juga. Padahal sebelumnya, aku telah mengeluarkan banyak uang hingga puluhan juta untuk bisa mendapatkan momongan. Aku pernah menjalani suntik promil, juga mengonsumsi obat-obatan yang harganya jutaan rupiah sekali minum. Belum lagi, aku juga mengikuti setiap saran dari orang-orang untuk mengkonsumsi makanan juga buah-buahan yang bisa menyuburkan kandungan. Harga nya pun tak kalah mahal dari obat-obatan itu. Tapi tetap saja hasilnya nihil.Tapi kini, Tuhan malah membuka jalanku untuk bisa hamil dengan biaya yang cukup terjangkau. Mungkin memang Emak Asih adalah jodoh dari segala ikhtiar yang aku jalani selama ini."Nay, Lo ngerasa aneh gak sih? Maaf ya, Nay, menurut gue pengobatan yang dilakukan Emak Asih musrik deh. Masa' Lo harus mandi di Curup, pakai oles-oles perut segala! Mana gak boleh USG lagi," gerutu Siska saat kami sudah berada dalam mobil."Ya emang aneh sih, Sis. Tapi mau gimana lagi, gue udah pasrah. Yang penting sekarang gue bisa hamil aja udah bersyukur banget," kataku."Iya deh, Nay. Pokoknya selama Lo bahagia, sebagai teman gue juga ikut bahagia," ujar Siska tersenyum.Siska memang sahabat yang paling bisa mengerti diriku. Apapun kelemahanku, Siska selalu bisa menerima. Meskipun benar yang dikatakan oleh Siska, pengobatan yang dilakukan Emak Asih memang cukup aneh, tapi mau bagaimana lagi. Mungkin memang ini adalah jalan yang ditakdirkan Tuhan untukku mendapatkan seorang anak. Bagi wanita yang sudah bertahun-tahun lamanya menanti buah hati sepertiku, apapun akan dilakukan untuk bisa mendapatkan momongan, meskipun seribu jalan harus kutempuh.******Aku memeluk tubuh Mas Kenzie erat setelah aku sampai di toko grosir milik kami. Aku tak peduli dengan tatapan para pengunjung di toko kami dengan aksiku memeluk tubuh Mas Kenzie. Perasaan senang bercampur haru sedang menggebu-gebu untuk diungkapkan. Ini adalah moment salah satu kebahagiaan terbesar dalam hidupku. Sekian lama menanti, akhirnya kini aku telah mengandung benih cintaku bersama Mas Kenzie."Hey, kamu kenapa, Sayang?" tanya Mas Kenzie sambil membalas pelukan dariku.Saking bahagianya, rasanya sangat sulit untukku berkata-kata. Justru kini, air mata mulai keluar dari kelopak mataku. Bukan tangisan sedih, melainkan tangisan haru nan bahagia."A ... aku ... aku hamil, Mas," ucapku dengan suara serak."Hamil? Kamu hamil, Sayang?" tanya Mas Kenzie lalu melerai pelukan dariku. Kini Mas Kenzie menatap mataku dalam, ada sorot binar bahagia di mata Mas Kenzie.Aku tak bisa menjawab, tenggorokan rasanya tercekat karena sulit untuk mengeluarkan suaraku. Aku hanya bisa mengangguk dan t
"Mas!" panggilku pada Mas Kenzie."Eh, iya ada apa, Sayang?" tanya Mas Kenzie seolah terbangun dari lamunan. Mas Kenzie yang sedari tadi melihat kepergian Anggun, kini langsung menoleh ke arahku dengan tersenyum kikuk."Kamu ngapain, Mas, liatin si Anggun sampai gak kedip gitu? Kamu suka sama Anggun?!" tanyaku penuh penekanan.Jujur saja, ini kali pertama aku melihat Mas Kenzie melihat wanita dengan tatapan seperti itu. Aku merasa, Mas Kenzie seperti terpukau dengan pesona Anggun. Wajar saja, karena aku yang seorang wanita saja begitu kagum melihat wajah ayu Anggun yang begitu manis itu. Wajahnya khas wanita Jawa yang terkesan manis dan juga kalem. Cara berbicara Anggun juga begitu lembut dan juga kalem. Tapi melihat suamiku yang seolah terpesona dengan Anggun, jelas saja aku cemburu."Kamu ini ngomong apa sih, Sayang? Anggun kan sepupu aku, masa' aku suka sama sepupu sendiri. Lagian, istri aku aja cantik begini," jawab Mas Kenzie sambil membelai kepalaku lembut. Ku akui, aku memang j
"Hei, kamu kenapa, Sayang, kok nangis?" tanya Mas Kenzie saat ia baru keluar dari kamar. Mas Kenzie langsung ikut duduk di sampingku."Mas, aku ... aku ..." Tenggorokan rasanya tercekat, aku tak mampu mengatakan ini pada Mas Kenzie.Melihat wajah Mas Kenzie, ada rasa bersalah dalam hati. Mas Kenzie begitu bahagia dan antusias menyambut hadirnya calon bayi kami. Seandainya benar janin bayi dalam rahimku tak ada, bagaimana perasaan Mas Kenzie? Pasti sama hancurnya denganku, atau mungkin ia akan marah padaku."Kamu kenapa? Apa ada masalah, cerita sama aku?" ujar Mas Kenzie sambil memeluk dan membelai punggungku lembut. Pelukan dan belaian dari Mas Kenzie perlahan membuat hatiku sedikit tenang."Ada apa? Ayo cerita, kalau ada masalah jangan di pendam sendiri," ujar Mas Kenzie lembut. Aku melerai pelukan dari Mas Kenzie dan menatap wajah Mas Kenzie dengan tatapan nanar."Mas, aku takut ....""Takut? Takut kenapa, Sayang?"Pelan-pelan, aku menceritakan pada Mas Kenzie tentang hilangnya Emak
Tepat pukul 16.00 sore, Mas Kenzie akhirnya sampai di rumah. Raut wajah lelah terukir jelas di wajah pria yang sudah lebih dari tujuh tahun itu menemaniku."Kok kamu baru pulang, Mas?" tanyaku setelah aku mencium punggung tangan Mas Kenzie."Iya nih, Sayang. Maaf ya, tadi toko kita ramai. Aku kewalahan ngelayani pembeli sendirian. Aku juga belum dapat karyawan buat bantu kita di toko," ujar Mas Kenzie sambil melepaskan sepatunya."Kamu kenapa, Sayang? Kok matanya bengkak gitu, kamu nangis lagi?" ujar Mas Kenzie sambil membelai rambut panjangku."Mas, tadi siang Dewi nelpon aku," kataku lesu.Aku pun menceritakan pada Mas Kenzie tentang kandungan Dewi yang kosong setelah melakukan USG di dokter kandungan."Kamu yang sabar ya, Sayang. Ikhlaskan, jika seandainya memang tidak ada janin bayi dalam perut kamu. Yang penting kamu sudah berusaha, kamu harus tetap semangat. Banyak jalan menuju Roma, kamu gak perlu khawatir dan sedih. Jika memang sudah waktunya, kamu pasti akan hamil," kata Mas
Hari ini, aku janjian dengan Dewi untuk urut perut kami yang mulai rata dan terlihat normal. Meskipun perut kami sudah terlihat normal, tapi ini adalah urut untuk yang terakhir kalinya agar perutku dan Dewi bisa normal seutuhnya."Mbak Naya, ternyata benar suami Mbak Naya itu, memang teman Mas Harun suami aku," ujar Dewi saat kami sedang berada dalam mobil menuju ke rumah tukang urut yang kami tuju."Aku malah gak tahu, Dew. Selama ini, Mas Kenzie jarang banget kenalin aku ke temen-temennya. Lagian, selama ini kami selalu sibuk di toko, jadi jarang main keluar. Paling sesekali aja, itupun kami cuma jalan berdua," kataku sambil tetap fokus menyetir mobil."Iya, Mbak. Kata Mas Harun juga dia jarang ketemu sama Mas Kenzie. Mereka cuma sering chat an lewat WA aja. Dan setelah aku ingat-ingat, ternyata memang benar, aku pernah lihat foto Mas Kenzie di daftar chat WA Mas Harun. Makanya waktu nelpon Mbak Naya waktu itu, aku ngerasa gak asing lihat foto profil Mak Naya ada foto Mas Kenzie," j
Aku mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang setelah mengantar Dewi pulang ke rumahnya. Entah kenapa, hati ini jadi sedikit bimbang setelah mendengarkan saran dari Dewi tadi. Meskipun aku percaya dengan Mas Kenzie sepenuhnya, tapi tiba-tiba ada sedikit keraguan dalam hati.Jam tangan yang terpasang di pergelangan tangan kiriku kini sudah menunjukkan angka pukul 16.00 sore. Sebenarnya aku ingin segera pulang ke rumah, tapi entah mengapa tiba-tiba aku ingin ke toko grosir milikku dan Mas Kenzie. Akhirnya, aku memutuskan untuk memutar arah mobilku menuju toko.Setelah sampai di toko, aku sedikit terkejut karena ternyata toko grosir kami tutup. Padahal, masih ada sisa satu jam lagi biasanya toko kami akan tutup. Apakah Mas Kenzie sudah pulang? Dengan perasaan gelisah, aku kembali melajukan mobilku untuk pulang ke rumah.Lima belas menit kemudian, aku tiba di rumah. Namun tak ada tanda-tanda Mas Kenzie ada di rumah. Pagar rumah masih terkunci, itu artinya tak ada orang di rumah kami. Jik
Hari ini, aku dan Mas Kenzie sudah mulai menyicil membangun rumah. Kami mulai untuk membuat pondasinya dulu, sesuai saran dari Ibu mertuaku. Kami membuat pondasi rumah tepat di samping rumah orang tua Mas Kenzie yang memang sudah di siapkan untuk kami. Daerah rumah mertuaku memang masih masuk daerah perkampungan. Tapi, akses menuju kota cukup dekat dari sini, apalagi jalan aspal disini juga sudah bagus dan mulus.Di kampung ini, jika ada orang yang akan membangun rumah baru, para tetangga berbondong-bondong datang untuk ikut membantu. Yang pria akan ikut membantu mengerjakan bangunan rumah, sedangkan ibu-ibu membantu memasak di dapur untuk makan siang bersama nanti."Nak Naya, kok sekarang perutnya sudah rata? Bukannya dulu hamil ya, atau sudah melahirkan?" tanya Bu Ningsih tetangga Ibu. Saat ini aku sedang bergabung bersama ibu-ibu mengupas bawang untuk memasak.Aku hanya tersenyum dan memilih untuk tak menjawab pertanyaan dari Bu Ningsih. Jujur saja, sesak hati ini setiap kali orang
Malam ini, setelah pulang dari rumah Ibu, Mas Kenzie langsung tertidur pulas dan sedikit mendengkur. Sepertinya, Mas Kenzie kelelahan setelah ikut bergotong-royong membangun pondasi rumah kami. Aku sendiri masih belum bisa tidur, karena masih kepikiran tentang siapa sosok Anggun yang sebenarnya.Mumpung Mas Kenzie tidur, aku tak ingin melewatkan kesempatan untuk mengecek ponsel milik Mas Kenzie. Aku segera meraih benda pipih milik Mas Kenzie yang tergeletak di atas nakas. Pelan-pelan, aku mulai bergerilya memeriksa daftar nomor kontak telepon milik Mas Kenzie. Dari atas hingga bawah, tak kutemui nama Anggun di daftar kontak ponsel milik Mas Kenzie.Aneh! Jika memang mereka bersaudara, harusnya Mas Kenzie punya nomor Anggun, tapi kenapa tak ada nama Anggun di daftar kontak telepon milik Mas Kenzie? Aku membuka WA, dari daftar chat tak ada yang mencurigakan. Semua chat isinya hanya dari para pelanggan toko kami saja. Dan memang seperti itulah, setiap aku memeriksa ponsel Mas Kenzie, tak