Share

Bab 4

Malam ini, aku, Mas Kenzie dan Ibu makan malam bertiga di rumah Ibu. Karena sedari tadi, Bapak dan Dini tak kunjung pulang dari rumah Anggun. Padahal, tadi Ibu bilang sebentar lagi Bapak dan Dini akan segera pulang. Nyatanya, sudah hampir satu setengah jam lamanya, Bapak dan Dini belum juga sampai di rumah.

Sambil menikmati makan malam, Ibu bercerita banyak hal pada kami. Dari mulai rencana kuliah Dini nanti, dan juga tentang usaha bengkel milik Bapak yang sedang sepi. Bapak memang membuka usaha bengkel motor tak jauh dari rumah. Sedangkan adik iparku Dini memang sebentar lagi akan lulus SMA, dan Ibu bilang, Dini ingin melanjutkan kuliahnya. Sebenarnya, aku tahu alasan Ibu bercerita ini padaku, Ibu ingin aku dan Mas Kenzie membiayai kuliah Dini nantinya.

Memang Ibu tak secara langsung mengatakannya padaku dan Mas Kenzie, tapi sebagai seorang anak lelaki satu-satunya di keluarga ini, Mas Kenzie masih bertanggung jawab untuk membantu kebutuhan keluarga ini. Terutama biaya sekolah adiknya, Dini. Selama ini, biaya sekolah Dini aku dan Mas Kenzie yang membiayai, bahkan kami mengkreditkan sepeda motor untuk Dini agar tak perlu lagi mengeluarkan ongkos untuk pergi ke sekolah.

Aku sendiri tak keberatan, bagiku keluarga Mas Kenzie adalah keluargaku juga. Tak masalah jika aku ikut membantu mereka bukan? Sedangkan keluargaku termasuk orang mampu, meskipun tak kaya tapi setidaknya cukup. Ibuku sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu, sedangkan ayahku kini tinggal bersama kakak perempuanku yang bernama Keyla. Kak Keyla juga memiliki suami yang mapan, hingga membuat Kak Keyla hidup berkecukupan.

"Bu, Ibu gak perlu khawatir, untuk biaya sekolah Dini biar aku dan Naya yang nanggung. Iya kan, Sayang?" kata Mas Kenzie akhirnya. Mas Kenzie menoleh dan tersenyum ke arahku.

"Iya, Bu. Kalau Ibu butuh apa-apa Ibu jangan sungkan, kami pasti bantu," jawabku.

"Terima kasih ya, Nak. Kalian memang anak-anak Ibu yang paling baik. Sebenarnya, Ibu malu selalu merepotkan kalian selama ini," kata Ibu dengan wajah muram.

"Bu, kenapa Ibu harus malu? Aku dan Mas Kenzie senang bisa bantu Ibu, kami ikhlas," kataku.

Tepat pukul sembilan malam, aku dan Mas Kenzie berpamitan pulang pada Ibu. Saat kami baru keluar dari rumah Ibu, Bapak dan Dini kebetulan juga baru pulang. Bapak bilang, mereka mampir sebentar ke toko buku untuk membeli buku tugas sekolah Dini, makanya mereka pulang terlambat.

______

Hari ini, aku dan Siska janjian untuk kembali mendatangi rumah Emak Asih. Seperti yang Emak Asih katakan padaku bulan lalu, jika aku terlambat datang bulan berarti aku telah hamil. Jujur saja, jantungku berdetak tak menentu, aku benar-benar gugup. Aku belum mau tespack, takut kecewa seperti yang sudah-sudah. Aku ingin mendatangi Emak Asih dulu, apakah aku benar-benar hamil atau tidak.

Sebenarnya, aku ingin datang ke rumah Emak Asih ditemani Mas Kenzie. Tapi saat ini, toko grosir kami sedang ramai pembeli. Banyak pesanan yang harus disiapkan oleh Mas Kenzie. Karena biasanya, para pelanggan hanya menghubungi Mas Kenzie melalui WA saja untuk memesan barang belanjaan. Saat pelanggan datang, mereka hanya tinggal membayar total belanjaannya saja. Sayang jika harus tutup, karena dari pembeli itulah kami memperoleh omset yang lumayan besar.

"Mbak Naya." Seorang wanita cantik yang sedang hamil menyapaku saat aku dan Siska baru tiba di depan rumah Emak Asih.

"Dewi ya?" tanyaku setelah berusaha mengingat.

"Iya, Mbak. Aku Dewi," jawab Dewi.

Dewi adalah adik kelasku saat SMA dulu. Sudah hampir sepuluh tahun lamanya, akhirnya kini kami bisa bertemu kembali. Aku dan Dewi berpelukan untuk melepas rindu. Dulu, aku dan Dewi sempat akrab karena kami satu permainan. Kami sering jalan dan berkumpul bersama dengan teman-teman satu geng sekolah kami.

"Mbak Naya berobat sama Emak Asih juga?" tanya Dewi. Setelah melerai pelukannya, aku memperkenalkan Siska pada Dewi. Begitu juga dengan Dewi yang memperkenalkan suaminya padaku. Karena Dewi datang ke rumah Emak Asih ditemani suaminya.

"Iya, Dew. Kamu berobat disini juga?"

"Iya, Mbak. Berobat sama Emak Asih ampuh loh, Mbak. Padahal sudah 4 tahun aku menikah, dan sekarang aku udah hamil setelah urut disini," jelas Dewi bersemangat.

"Wah, Alhamdulillah ya, Dew. Aku ikut senang dengarnya," kataku.

"Iya, Mbak. Pokoknya Mbak Naya jangan ragu berobat disini, pasti nanti Mbak Naya hamil juga," kata Dewi.

Tak lama, Dewi dan suaminya pamit pulang duluan. Sebelum pergi, Dewi meminta nomor ponselku untuk sekedar menjalin hubungan silaturahmi. Aku dan Siska pun segera masuk ke dalam rumah Emak Asih. Melihat Dewi yang berhasil hamil setelah berobat dengan Emak Asih, aku jadi bersemangat dan tak meragukan lagi kemampuan Emak Asih.

"Wah, benar kan kata Emak, kamu sekarang sudah hamil," ujar Emak Asih saat mulai mengurut perutku. Setelah mengantri selama setengah jam, kini giliranku bertemu dengan Emak Asih.

"Yang benar, Mak?" tanyaku tak percaya. Pandangan mataku mengabur, menahan tangis haru yang begitu mendalam.

Setelah 7 tahun menunggu, kini akhirnya aku bisa hamil juga. Sungguh, aku benar-benar bahagia saat ini. Seandainya disini ada Mas Kenzie, aku pasti akan memeluk suamiku itu dan menangis menumpahkan rasa bahagia yang begitu mendalam ini.

"Benar, Nak. Masa' Emak bohong," ujar Emak Asih sambil tersenyum.

Aku dan Siska saling berpandangan, Siska tersenyum padaku dan mengusap bahuku pelan. Air mata bahagia yang sedari tadi aku tahan akhirnya tumpah juga.

"Selamat ya, Nay, gue ikut seneng liat Lo bisa hamil," ucap Siska tersenyum.

"Iya, Sis. Makasih," jawabku

"Nah, karena Nak Naya sekarang sudah hamil. Ada satu syarat lagi yang harus Nak Naya penuhi," kata Emak Asih setelah selesai mengurut perutku.

"Apa itu Mak?" tanyaku.

"Minggu depan, Nak Naya pergi ke Curug Pengasih. Alamatnya di desa Tarahan, nanti Nak Naya tanya saja dengan orang sana. Pasti mereka tahu," jelas Emak Asih.

"Kalau sudah sampai di Curug Pengasih, saya harus ngapain, Mak?"

"Nak Naya harus mandi disana, terus jangan lupa setelah mandi Nak Naya oleskan bubuk ini di perut Nak Naya," ujar Emak Asih. Emak Asih memberikanku sebuah bubuk berwarna kuning yang dimasukan ke dalam plastik berukuran kecil.

"Baik, Mak. Minggu depan saya ke sana," kataku.

"Dan ingat, setiap bulan Nak Naya harus rutin datang kemari ya? Dan jangan lupa, untuk tidak memeriksa kandungan Nak Naya pada bidan ataupun dokter, apa lagi sampai USG. Nak Naya harus patuhi aturan dari saya," kata Emak Asih.

"Baik, Mak, saya akan selalu ingat pesan dari Emak," kataku.

"Bagus, pokoknya Nak Naya harus yakin dan juga percaya sama saya. Saya jamin, bayi dalam kandungan Nak Naya nantinya pasti akan baik-baik saja. Selama Nak Naya rajin setiap bulannya datang kemari, pasti bayi Nak Naya akan selau sehat dan aman di dalam rahim Nak Naya. Nak Naya juga gak perlu testpack, karena saya yakin Nak Naya saat ini memang sudah benar-benar hamil," jelas Emak Asih.

"Baik, Mak. Saya benar-benar berterima kasih sama Emak. Berkat bantuan Emak, akhirnya saya bisa hamil juga," kataku tersenyum haru.

"Sama-sama, Nak. Ini memang sudah tugas saya," jawab Emak Asih.

"Iya, Mak. Kami pamit dulu," kataku.

Setelah berpamitan pada Emak Asih, aku dan Siska menuju meja administrasi yang memang dijadikan tempat pembayaran bagi pasien Emak Asih yang datang. Biaya nya pun sangat terjangkau, hanya 200 ribu rupiah setiap kali kunjungan.

Dengan biaya semurah itu, aku tak menyangka kini aku bisa hamil juga. Padahal sebelumnya, aku telah mengeluarkan banyak uang hingga puluhan juta untuk bisa mendapatkan momongan. Aku pernah menjalani suntik promil, juga mengonsumsi obat-obatan yang harganya jutaan rupiah sekali minum. Belum lagi, aku juga mengikuti setiap saran dari orang-orang untuk mengkonsumsi makanan juga buah-buahan yang bisa menyuburkan kandungan. Harga nya pun tak kalah mahal dari obat-obatan itu. Tapi tetap saja hasilnya nihil.

Tapi kini, Tuhan malah membuka jalanku untuk bisa hamil dengan biaya yang cukup terjangkau. Mungkin memang Emak Asih adalah jodoh dari segala ikhtiar yang aku jalani selama ini.

"Nay, Lo ngerasa aneh gak sih? Maaf ya, Nay, menurut gue pengobatan yang dilakukan Emak Asih musrik deh. Masa' Lo harus mandi di Curup, pakai oles-oles perut segala! Mana gak boleh USG lagi," gerutu Siska saat kami sudah berada dalam mobil.

"Ya emang aneh sih, Sis. Tapi mau gimana lagi, gue udah pasrah. Yang penting sekarang gue bisa hamil aja udah bersyukur banget," kataku.

"Iya deh, Nay. Pokoknya selama Lo bahagia, sebagai teman gue juga ikut bahagia," ujar Siska tersenyum.

Siska memang sahabat yang paling bisa mengerti diriku. Apapun kelemahanku, Siska selalu bisa menerima. Meskipun benar yang dikatakan oleh Siska, pengobatan yang dilakukan Emak Asih memang cukup aneh, tapi mau bagaimana lagi. Mungkin memang ini adalah jalan yang ditakdirkan Tuhan untukku mendapatkan seorang anak. Bagi wanita yang sudah bertahun-tahun lamanya menanti buah hati sepertiku, apapun akan dilakukan untuk bisa mendapatkan momongan, meskipun seribu jalan harus kutempuh.

******

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status