Share

Membuat Kontrak

“Justin,” panggil Karina setelah Norman pergi ke ruangan lain untuk membuat kontrak.

“Hmmm?” tanya Justin tanpa menatap Karina. Matanya terus menatap layar handphone-nya, padahal ia tidak membuka apapun sejak tadi. Ia hanya menghindar, tidak mau berbicara atau dekat-dekat dengan Karina. Situasi menjadi agak canggung.

“Kenapa kamu ngeliatin layar handphone yang mati?” tanya Karina polos.

Mendengar pertanyaan Karina, Justin menjadi malu. Ia berdeham, menutupi rasa malunya itu.

“Suka-suka saku dong mau ngeliatin apaan,” jawabnya akhirnya.

“Ohh… Ganteng-ganteng ternyata kamu aneh juga ya,” ujar Karina lagi.

“Apa kata kamu?!”

“Woy woy! Ditinggal bentar aja udah pada berantem lagi ini kucing sama tikus,” ujar Norman yang tiba-tiba keluar dari ruangan kerja Justin.

“Elo ngapain keluar lagi?” tanya Justin.

“Ya elah, nggak boleh ganggu kucing sama tikus yang lagi berduaan ya?” canda Norman.

“Elo beneran gue sleding tekel juga nih…” ujar Justin emosi.

Norman malah tertawa dan Karina tidak tahan ikut tertawa.

“Santei aja mas bro. Gue kesini karena sebaiknya kalian ikut ke ruangan kerja. Gue lagi ngelist poin-poin apa aja yang harus kita cantumin di sana,” ujar Norman.

“Ya udah, ayo,” jawab Karina sambil bangkit berdiri.

Justin memutar bola matanya, tetapi akhirnya ia juga ikut ke dalam ruangan kantornya itu. Norman duduk di depan laptop, sedangkan Justin mengambil kursi yang paling jauh dari Karina.

“Jadi, syarat-syarat Karina kan bayarin hutang papanya, jumlahnya berapa?” tanya Norman.

“Dua ratus juta won,” jawab Karina.

“Hah? Banyak amat!” protes Justin.

“Kalau nggak banyak, nggak mungkin aku dipaksa nikah sama om-om. Kalau dikit papa aku kan bisa bayar,” jawab Karina.

“Bener itu, Justin. Dah nggak usah pelit. Dua juta buat elo cuma sekali proyekan doang,” timpal Norman.

Justin mendengus sambil memutar bola matanya, tetapi ia tidak bisa bilang apa-apa lagi. Justin membanting dirinya ke sandaran kursi dengan kesal.

“Terus, kamu mau dibayar bulanan juga, ya? Berapa gaji yang kamu mau?” tanya Norman.

“Aku pengen buka usaha sendiri, jadi butuh modal. Gimana kalau dua juta sebulan,” jawab Karina.

“Hey! Gila kamu! Nggak ngapa-ngapain mau dua puluh juta sebulan!” protes Justin lagi sambil melebarkan matanya.

“Kalau kamu mau ngapa-ngapain saya rela, koq. Jadi istri betulan,” jawab Karina sambil tersenyum.

Justin sekarang benar-benar memukul keningnya dengan keras, sementara Norman tertawa terbahak-bahak. Sekarang ada seseorang yang benar-benar bisa membuat seorang Justin Kim yang dingin dan ketus itu menjadi tidak berdaya.

“Karina, kamu yakin mau jadi istri benerannya si Justin? Dia itu lebih dingin dari gunung es, tahu!” seru Norman.

“Tapi aku ngefans banget sama Kak Justin dari dulu,” jawab Karina jujur.

“Astaga! Kamu tuh sakit, tahu nggak sih?” tanya Justin.

Karina hanya diam sambil cemberut. Kedua bibirnya yang merah itu dimajukan, membuat wajahnya terlihat imut. Justin memalingkan wajahnya.

“Udah… udah… Oke aku tulis di sini ya. Nah sekarang, Justin kamu syaratnya apa aja?” tanya Norman.

“Dia nggak boleh nyentuh gue. Kalau duduk atau berdiri harus jaga jarak minimal satu meter. Nggak boleh juga nanya hal-hal pribadi. Nggak boleh tidur di kamar yang sama dengan gue. Kalo melanggar dia harus balikin semua uang yang gue keluarin,” ujar Justin.

“Oke… Karina setuju, kan?” tanya Norman sambil mengetik.

“Ya deh. Liat aja nanti, kamu pasti bakalan jatuh cinta sama aku!” seru Karina.

“Hih! Amit-amit!” seru Justin.

Norman hanya menggeleng-geleng sambil mengetik surat kontraknya.

“Nah, selesai juga. Aku print terus masing-masing tanda tangan. Aku juga minta fotokopi KTP kamu Karina untuk keperluan surat kontrak. Kamu juga harus menjaga kerahasiaan kontrak nikah ini ya. Nggak boleh ada satupun orang yang tahu. Paham?” tanya Norman.

“Paham, Norman,” jawab Karina.

“Kalau udah, kita bisa ketemu papanya Karina. Minta restu sekalian selesaikan soal hutang,” ujar Norman.

“Sekarang?” tanya Justin. Ia tidak siap menemui orangtua siapapun dan meminta restu. Apalagi sekarang. Semuanya terlalu tiba-tiba.

“Ya iyalah masa tahun depan? Itu bokapnya mungkin udah kena serangan jantung lihat muka anaknya di TV nasional, di semak-semak sama cowok macam elo,” ujar Norman.

Karina mengangguk-angguk di belakang Norman, membuat Justin mendelik tajam.

“Kamu koq nyantei banget sih, Rina? Nggak khawatir nama baik kamu sama keluarga kamu tercoreng gitu?” tanya Justin penasaran.

“Aku seneng, soalnya nggak usah jadi nikah sama om-om tua itu. Seenggaknya, ini jalan keluar buat aku,” jawabnya.

“Kalau gitu nggak usah minta bayaran gede-gede, dong!” seru Justin.

“Eits, kalau nggak setuju, aku bakalan pergi ke media buat nyebarin skandal ini. Lihat nih baju aku ro…,” ujar Karina sambil hendak membuka jaket yang ia kenakan.

“Jangan dibuka! Iya-iya, aku bakalan bayar dua puluh juta sebulan!” cegah Justin.

“Dia nggak pake baju?” tanya Norman.

“Jangan ngeres!” seru Justin kesal.

“Tapi, aku butuh baju baru. Kan nggak mungkin aku pulang pake baju kayak begini,” ujar Karina.

“Tenang, bentar aku beliin. Sesudah itu, kita langsung berangkat ke rumah kamu. Oke?” tanya Norman.

“Makasih, Norman,” ujar Karina sambil tersenyum.

***

Satu jam kemudian, mereka bertiga sudah berada di dalam mobil menuju ke rumah ayahnya Karina. Karina sudah berganti pakaian dengan celana jeans panjang dan kemeja berwarna biru cerah. Justin juga sudah mengenakan kemeja dan celana kain yang rapi, persis seperti sedang pergi untuk melamar. Wajah Justin masam sepanjang jalan sambil melihat keluar jendela.

“Elo dah siap kan, bro?” tanya Norman yang sedang menyetir.

“Siap kepala lo! Gue nggak tahu harus bilang apa,” jawab Justin.

“Bilang aja, om maafin saya sama Rina, tapi saya cinta sama anak om. Saya mau nikahin dia atas ijin om. Tapi saya akan bilang ke awak media kalau kita berdua udah nikah, biar nggak malu. Begitu aja susah,” ujar Norman.

“Heh! Elo kira gampang? Gue mendingan disuruh syuting dari pagi sampe pagi lagi deh dari pada ngomong beginian,” jawab Justin.

“Siapa suruh bikin masalah aneh-aneh,” ujar Norman.

“Papa aku nggak bakalan galak sama kamu, Justin. Dia cuma sayang uang. Jadi selama kamu kasih dia uang, kamu bakalan aman,” ujar Karina.

Mendengar kata-kata Karina, Justin seketika terdiam. Dari kalimat yang diucapkannya, Justin bisa menebak betapa kesepiannya Karina. Ia mungkin tidak mendapatkan kasih sayang orangtua sebagaimana mestinya. Namun, Justin segera memalingkan wajahnya. Ia tidak ingin bersimpati dengan wanita manapun.

“Kalau mama kamu kemana, Rina?” tanya Norman sambil menyetir.

“Mama udah meninggal pas aku masih SMP. Aku anak tunggal. Jadi memang cuma sama papa. Tapi papa sibuk, jadi aku banyaknya sendiri kalau enggak sama pembantu. Pas lulus kuliah, aku dapet kerja terus ngekos deket kantor,” jawab Karina.

Justin berpura-pura tidak mendengarkan dengan melihat keluar jendela, tetapi sebenarnya telinganya menangkap semua cerita Karina.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status