Saat mobil hampir sampai di rumah ayah Karina, tiba-tiba handphone Karina berdering.
“Dari papa nih. Diangkat jangan?” tanya Karina bingung.
“Angkat aja, Rina,” jawab Norman.
Karina menghela nafas panjang sebelum akhirnya mengangkat telepon dari ayahnya tersebut.
“Yeoboseo?”
“Rina! Kamu kemana aja?! Itu foto kamu sama cowok di semak-semak tersebar kemana-mana! Kamu di mana? Ini tetangga, wartawan, semuanya ngumpul depan rumah, papa nggak bisa keluar! Kamu jual diri sama aktor itu?! Papa malu sama Pak Park Lee Dom, dia nagih utangnya sekarang soalnya kamu udah nggak suci!” seru ayah Karina, bahkan tidak memberikan kesempatan untuk Karina berbicara.
“Lah, itu bandot tua emangnya masih suci?”
Pertanyaan Karina membuat Justin terkejut sambil melirik ke arah Karina. Respon Karina memang tidak bisa ditebak.
“Rina!!!” teriak ayahnya.
“Aku lagi perjalanan pulang sama Justin Kim. Kita ngomong di rumah aja,” jawab Karina.
“Apa?! Kamu sama siapa?” tanya ayahnya.
“Sama Justin Kim, aktor itu. Papa tunggu aja. Bentar lagi kita sampe,” jawab Karina.
“Kamu jangan ngehalu terus, Rina! Mana mungkin aktor itu bener-bener datang sama kamu? Udah pokoknya cepetan pulang! Papa bakalan bujuk Park Lee Dom supaya tetep mau nikahin kamu asal kamu di rumah, dandan yang cantik! Dan…”
Karina mematikan sambungan teleponnya sebelum ayahnya selesai bicara sambil menghela nafas. Justin hanya melirik, memperhatikan situasi yang terjadi, sementara Norman sibuk menelepon kesana kemari soal press conference dan lain-lain di sepanjang sisa perjalanan. Akhirnya, mereka sampai ke depan rumah Karina. Benar kata ayah Karina, wartawan dan para tetangga berkerumun di sana. Begitu melihat mobil Justin mendekat, para wartawan mengerubungi dengan lampu-lampu kamera yang menyilaukan.
“Sialan, mereka kayak semut-semut ganas,” ujar Norman sambil membunyikan klakson.
“Terus kita gimana cara keluarnya?” tanya Karina.
“Tenang, Norman selalu punya persiapan,” jawab Justin.
Norman tersenyum dan semenit kemudian para bodyguard bermotor datang dan membukakan jalan untuk mereka. Karina terkejut sebab ia tidak tahu kapan Norman memanggil para bodyguard ini.
“Ayo!” seru Norman sambil keluar dari mobil.
Para bodyguard membukakan pintu untuk Karina dan Justin dari sisi yang berbeda lalu membawa mereka segera menuju rumah Karina. Melihat apa yang terjadi, ayah Karina segera membuka kunci pintu. Ia segera membukakan pintu dan sangat terkejut melihat Justin Kim yang mengangguk sopan dan masuk ke dalam rumah. Pintu segera ditutup oleh Norman dan para bodyguard segera berjaga-jaga di luar.
“Karina!” seru ayah Karina karena ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Ia nyaris menarik lengan Karina, tetapi Justin segera menghalanginya dengan tubuhnya, tetapi tetap berusaha sopan. Mata Karina membulat karenanya dan jantungnya mulai berdebar. Karina tersipu malu.
“Annyeonghashimnika. Saya Justin Kim, salam kenal,” ujar Justin dengan sopan sambil menundukkan badannya dan mengulurkan tangan kanannya untuk menjabat tangan ayah Karina. Dengan ragu pria setengah tua itu menjabat tangan Justin.
“Annyeonghashimnika, saya Norman, manager Justin. Salam kenal, Pak,” ujar Norman sambil menundukkan badan, ikut menjabat tangan ayah Karina.
“Boleh kami bicara dengan Bapak?” tanya Norman.
“Si-silakan duduk,” ujar ayah Karina. Ia masih tidak percaya kalau putrinya benar-benar membawa aktor sekelas Justin Kim ke rumah mereka.
Justin berjalan menuju sofa sambil melihat-lihat. Rumah Karina tidak buruk. Rumah satu lantai dengan interior minimalis ini menunjukkan kalau Karina bukan berasal dari keluarga yang benar-benar miskin. Hutang dua juta won ayahnya kini menjadi masuk akal, sebab mungkin itu akibat dari ambisi bisnis yang salah sasaran. Pria di hadapannya itu memang terlihat seperti pebisnis kelas menengah. Justin juga melihat sebuah laptop terbuka di atas meja kerja.
“Jadi, bisa dijelaskan ada apa ini? Saya sudah melihat foto-foto anak saya dengan Anda di semak-semak di ujung jalan sana,” ujar ayah Karina dengan sedikit kesal. Ia mengira Justin hanya akan menyuapnya untuk mengatakan hal-hal yang dapat memulihkan nama baiknya saja. Sedikit uang tidak berarti untuk ayah Karina dibandingkan dengan rasa malunya pada semua orang.
“Jadi begini, Pak. Justin dan Karina tidak sengaja jatuh ke semak-semak itu. Memang mereka mabuk malam itu. Lihat dahi mereka, Pak. Ada memar biru, kan? Mereka pingsan di sana, tidak ngapa-ngapain,” ujar Norman.
“Betul itu, Rina?” tanya ayahnya.
“Apa peduli papa? Papa mau jual Rina sama bandot tua, sekarang nggak usah pura-pura care!” seru Karina.
“Anak kurang ajar!” seru ayah Karina. Ia sudah sangat emosi sehingga mengangkat tangannya untuk menampar Karina. Ia tidak peduli lagi bahwa ada orang lain di hadapannya. Namun, tanpa diduga Justin menahan tangan ayah Karina.
“Mohon sabar, pak. Biarkan kami jelaskan dulu,” ujar Justin.
Ayah Karina menarik tangannya dengan kasar dari pegangan tangan Justin.
“Cepat ngomong kalian mau apa?! Saya masih punya banyak urusan!”
“Jadi gini…” Norman berusaha menjelaskan, tetapi tiba-tiba Justin memotong kata-kata Norman.
“Saya ingin menikahi putri Anda. Mengenai hutang Anda pada pihak lain, saya bersedia membayarnya sekarang juga,” ujar Justin.
Karina melirik ke arah Justin dengan jantung berdebar. Justin memang pria idaman yang sesuai dengan bayangannya selama ini. Ayah Karina terkejut mendengar kata-katanya.
“Kamu… Kamu mau bayar hutang saya?” tanya ayah Karina.
“Iya. Dua ratus juta won, kan? Saya bisa tuliskan cek sekarang juga,” ujar Justin tegas.
Ayah Karina melirik ke arah Karina seolah tak percaya. Karina kini bersidekap lalu tersenyum penuh kemenangan. Justin tidak menunggu lama, ia menyodorkan tangannya pada Norman dan bagai telepati Norman mengerti apa maksudnya. Ia mengeluarkan buku cek milik Justin beserta penanya. Ayah Karina masih termangu ketika Justin menuliskan cek senilai dua ratus juta won dan menandatanganinya.
“Cek ini milik Anda. Anda boleh memeriksanya. Ini kartu nama saya jika Anda butuh sesuatu,” ujar Justin sambil menyodorkan lembaran cek itu. Ayah Karina menerimanya lalu memasang kacamatanya yang ia simpan di saku untuk melihatnya lebih jelas.
“Syaratnya sangat mudah. Karina ikut dengan saya malam ini juga. Anda juga harus bilang sama semua orang kalau saya dan Karina sudah menikah untuk meredam gosip,” ujar Justin.
“Ta-tapi…”
“Anda jangan khawatir. Justin benar-benar akan menikah dengan Karina, kami sedang menyiapkannya,” timpal Norman.
Mendengar semua itu, apalagi dengan selembar cek di tangan, ayah Karina kehabisan kata-kata. Justin tersenyum miring. Meskipun ia tidak menyukai Karina, tetapi ia tidak suka seorang ayah yang tega menjual putrinya demi uang. Wanita bukan barang yang bisa diperjual belikan. Kini Justin sedikit mengerti mengapa Karina langsung menyetujui perjanjian kontrak nikah dengannya. Sebab kontrak itu jauh lebih baik dibandingkan situasi keluarganya sendiri.
Setelah membawa barang-barang pribadinya, Karina tidak mau pamitan pada ayahnya sendiri. Ia masih terlalu marah karena sikap ayahnya itu. Justin tidak menyalahkan, apalagi Norman yang hanya senang karena rencananya berjalan dengan lancar. Kini ia hanya perlu mengatur konferensi pers secepatnya. Mereka kembali ke dalam mobil lalu kembali ke apartemen milik Justin.
“Gue tinggal dulu karena banyak yang harus gue urus sekarang. Kalian siap-siap untuk konferensi pers besok,” ujar Norman dengan handphone menempel di telinganya. Ia kemudian melambai dan pergi bahkan sebelum mendapat jawaban. Ia sudah sibuk berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon.
Tinggallah Karina dan Justin berdua di dalam apartemen yang luas itu. Justin bersidekap sambil menatap Karina yang merona merah.
“Kamar kamu di sana. Di situ kamar saya. Kamu boleh kemanapun di apartemen ini kecuali kamar saya. Paham?” tanya Justin dengan nada suara yang dingin. Sangat berbeda dengan sikapnya yang gentleman tadi.
“Pa-paham,” jawab Karina.
“Ini kunci duplikat apartemen. Kamu bebas kemanapun tapi saranku kamu nggak usah kemana-mana dulu karena pasti wartawan akan ngebuntutin kamu,” ujar Justin lagi sambil menyodorkan kunci apartemen. Karina menerimanya dengan gugup.
“Aku mau pergi dan mungkin nggak akan pulang. Nggak usah tunggu. Kamu boleh ambil apapun di kulkas dan ini kalau kamu mau beli makanan atau apapun yang kamu butuh,” ujar Justin sambil menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan.
“Kamu mau kemana?” tanya Karina.
“Bukan urusan kamu! Ingat Karina, kita nggak boleh saling tanya urusan pribadi,” jawab Justin ketus.
Justin mengambil kunci mobilnya dan tas kecilnya, lalu berjalan keluar tanpa menoleh lagi. Karina menghela nafas panjang karenanya. Sementara itu, Justin terburu-buru pergi sebelum hari menjadi gelap. Urusannya dengan makhluk yang kemarin belum selesai. Ia harus segera menyelesaikannya sebelum urusan menjadi panjang.
Sepuluh tahun kemudian."Papa!"Suara nyaring ini memenuhi rumah hingga Karina menutup telinganya. "Jangan teriak-teriak, Papa lagi keluar," jawabnya dengan menyiapkan sarapan di meja makan. "Kakek! Lihat Mama, Mama marahin aku terus," katanya dengan berlari memeluk sang Kakek."Timothy! Mama gak marahin kamu kok, habisnya kamu teriak-teriak terus dari tadi. Makan dulu," Karina duduk di sebelah papanya, yang sekarang menjadi kakek dari putranya yang berusia sepuluh tahun.Timothy Kim, putra pertama keluarga kecil Justin dan Karina. Ia mewarisi kekuatan Justin yang bahkan lebih kuat dari Justin. Tanpa Timothy ketahui, ia bisa membuka segala dimensi hanya dengan memikirkannya saja. Di usianya yang kesepuluh, Timothy meraih juara lomba lari di sekolahnya. Karena pada dasarnya kecepatan lari itu ia warisi dari sang papa. Timothy belum bisa mengendalikan kekuatan yang ia miliki. Karena Justin juga belum memberi tahu putranya kalau putranya itu memiliki kekuatan, dan papanya bukan manusia.
Pernikahan sudah usai, malam ini bukan malam yang ditunggu, melainkan malam yang menegangkan, pasalnya tepat setelah pesta pernikahan selesai, Justin harus dengan berat hati bertarung dengan iblis. Iblis itu rupanya sejak tadi menunggu Justin dan Karina keluar dari Chapel. Dia mengincar Justin karena keberadaan Justin membahayakan iblis dan monster di muka bumi.Karina mondar-mandir di kamar menunggu Justin kembali, ia masih dalam balutan gaun pengantin yang indah, bahkan riasannya juga belum terhapus.Di sisi lain, Justin menghadapi iblis tingkat biasa, tapi cukup membahayakan manusia. Ia tidak memanggil Pangeran Biru maupun Alice. Ia ingin terbiasa melawan makhluk jahat sendirian. Karena ia juga tidak mungkin terus menerus memanggil Alice dan Pangeran Biru untuk membantunya.Untung saja iblis itu bisa disingkirkan oleh Justin secara mudah. Karena tingkat kekuatannya yang tergolong sebagai iblis biasa. Berbeda dengan Ruin, Sin Rose, Rubah ekor sembilan, ataupun iblis Norman yang ting
Hari ini adalah hari pernikahan tanpa persiapan. Papa Karina membuka acara itu dengan membuka identitas Karina sebagai putrinya di depan semua pegawai kantornya. Hana sangat terkejut mendengar itu, karena ia pernah memarahi Karina saat Karina membuat Justin benjol tempo hari itu. Kalau tahu dia anak dari pemilik perusahaan, tentu saja Hana akan diam saja."Saya akan menjadikan Karina sebagai pemimpin, menggantikan saya di Moon interior ini. Saya menaikkan jabatan bukan karena dia putri saya, tapi karena keberhasilannya dalam bekerja yang luar biasa, peningkatan produk dan penambahan produk itu sangat mampu menarik perhatian dari para pecinta interior classic modern. Dan untuk Park Hana, saya ucapkan terima kasih karena telah membantu perkembangan perusahaan ini. Untuk semuanya, saya berterima kasih karena kalian bekerja dengan baik dan jujur, saya harap akan tetap seperti ini meski pemimpin Moon interior akan berganti. Akan ada beberapa orang yang naik jabatan karena memiliki potensi
Karina dan Papanya saling menatap, tak lama kemudian ada suara ketukan pintu yang membuat keduanya berhenti menatap. "Permisi," ujar seseorang dari luar ruangan. "Masuk," balas Karina. Ternyata itu adalah asisten dari papanya. Saat ia masuk, suasana sangat canggung karena raut wajah papanya sangat aneh."Ada apa?" tanya papanya pada sang asisten."Produksi interior jenis vintage dan classic sedang dalam peningkatan, bagaimana dengan kerja sama dengan perusahaan HS Eksterior? Apa perlu diberhentikan?""Tidak perlu, bahas ini di luar saja," balas papanya berjalan keluar dari ruangan, diikuti asistennya yang membawa sebuah dokumen berisi beberapa produk perusahaan yang akan mengalami peningkatan atau pembaruan.Karina langsung menutup pintu saat mereka pergi, lantas mondar-mandir di depan pintu dengan perasaan takut. Karina ingin menjelaskan semuanya saat nanti makan malam, karena ia tahu, kalau papanya akan marah jika tiba-tiba Justin kembali setelah meninggalkan Karina.***Sore datang
Karina masuk ke mobil, begitu juga dengan Martin. Ia membawa mobilnya ke tepi jalan. Karina masih dalam keadaan yang sama, ia terus menanyakan perihal identitas pria bermarga Kim itu."Rin," Martin menghela nafasnya."Apa?""Maaf aku udah bohongin kamu."Karina merasa dunia seperti sedang berhenti, meski tidak ada yang menghentikannya. Netranya menahan genangan air yang menumpuk di pelupuknya. "Jadi, kamu beneran Kak Justin?" tanya Karina, memastikan kalau apa yang ia dengar dari bibir Martin adalah kebenaran.Beberapa detik selanjutnya, pria itu mengangguk. Karina ingin pingsan sekarang. "Tega kamu Kak, bohongin aku kayak gini. Puas kamu?!" Karina membuka pintu, menutupnya dengan keras hingga mobil itu terguncang.Sosok Martin yang ternyata adalah Justin itu keluar, mengejar Karina, karena Karina berjalan dengan langkah cepat. "Rin!" Justin meneriaki Karina, tapi Karina tidak mau tahu, karena ia sudah merasa sedang dipermainkan.Setelah berlari mengejar Karina cukup jauh, Justin berh
Setelah suara misterius di kamar Karina, sontak Karina menyalakan lampu kamarnya, dan orang yang ada di kamarnya saat ini membuat Karina benar-benar terpaku karena kehadirannya yang sangat tidak mungkin."Kak Justin!!!" Karina tentu saja histeris. Ia melotot sampai matanya hampir terlepas. Bahkan Karina menampar pipinya sendiri.Mata Karina mencoba terbuka, dan Karina sadar, itu hanyalah mimpi. "Jadi, ini cuma mimpi?" Karina menyalakan lampu kamarnya, ia melihat ke arah di mana di dalam mimpi itu ia melihat Justin berdiri di sana.Dengan berat hati, Karina mematikan lagi lampunya, meratapi kenyataan yang benar-benar menyakitkan. Harapannya bertemu Justin dalam mimpi terwujud, tapi itu justru membuat hati Karina semakin terkoyak dan tersayat.Kenyataan macam apa ini? Di ambang keputusasaan yang membuatnya menggila. Sejauh tujuh hari ini, ia sudah bisa perlahan terbiasa, tapi sejak ia bertemu Martin, ia gagal lagi untuk melupakan Justin. Mungkin Karina memang membutuhkan waktu yang lama