Vanesha terbangun di sebuah kamar hotel yang sederhana di Negara Diamond. Hari itu adalah hari terakhirnya berada di negara tersebut karena mengikuti pertukaran pelajar sebagai perawat di Rumah Sakit Brain.
“Oh shit di mana ini? Duh, kepalaku pusing sekali," ucap gadis itu sambil mengamati keadaan ruangan yang asing di sekelilingnya. Lalu, ia berdiri untuk membuka tirai jendela kamar tersebut. Namun, gadis dengan rambut lurus sebahu itu terpeleset jatuh ke lantai sebelum sempat untuk berdiri. Tersadar saat selimutnya tersibak, tak ada sehelai benang pun yang ia pakai. Vanesha langsung berteriak. “Astaga, apa yang terjadi padaku?” pekik Vanesha lalu kembali ke atas ranjang dan menyelimuti dirinya. “Tunggu dulu, ini punggung siapa, ya?” Wanita itu menyentuh punggung seseorang yang terbaring di hadapannya. “Jangan-jangan aku lagi mimpi nih tidur sama Tae.” Wanita itu terkekeh sambil mencubit punggung seorang pria di hadapannya. Pria itu menggeliat dan berbalik badan lalu menarik Vanesha menuju ke dekapannya. “Sayangku,” ucap pria berbadan tegap itu sambil memeluk wanitanya dengan erat. “Aaaaa!"Vanesha mendorong pria itu jatuh ke lantai saat tersadar itu bukan suara Tae, tunangannya. Tae merupakan pria yang sudah dua tahun ini menjalin hubungan dengannya. “Aduh, apa yang kau lakukan, ini sakit tau!” Pria tersebut mengusap bokongnya yang kesakitan sambil menggerutu. Vanesha memandangi tubuh polos pria itu dengan saksama. Tubuhnya atletis dengan perut kotak-kotak yang terpampang sempurna di balut kulit yang kuning langsat dan bersih. Tubuh polos itu semakin jelas memperlihatkan otot-otot yang menunjukkan kalau ia pekerja keras. Wajah oriental yang tampan, hidung mancung, dengan senyum memikat pasti membuat banyak wanita tergila-gila padanya. “Ya ampun Jaehyung kau tampan sekali . Hah, tunggu, apa dia Jaehyung?”Gumam Vanesha dengan mulut yang tak sengaja menganga. Pria tersebut buru-buru menutup rapat mulut wanita itu dan menyapanya.“Pagi, Vanesha!" sapa pria dengan bibir merah merekah itu tersenyum manis dengan posisi kembali duduk di lantai. “Jae, apa kita?” Tanya Vanesha dengan raut wajah heran. “Tentu saja. Ummm, apa kita bisa melakukannya lagi sekarang?” Jae langsung masuk ke dalam selimut tempat Vanesha berada. Wanita itu mengingat kembali apa yang terjadi semalam dan tak memperdulikan cumbuan dari si pria di seluruh lehernya yang sedang memberi tanda kissmark di sana. “Astaga Cassie, gara-gara kau aku sampai," menghela napas sejenak, "apa yang aku lakukan?” Vanesha menghentikan cumbuan dari Jae kala mengingat kejadian semalam dan bergegas masuk ke kamar mandi. Wanita itu melihat cincin yang melingkar di jari manis sebelah kirinya dan langsung menangis. Kehormatan seorang wanita yang sangat ia jaga dan akan dia serahkan pada suaminya nanti, kini hilang sudah. Seorang pria yang baru dikenalnya merenggut atas ijinnya pula, karena kondisinya yang tengah mabuk semalam. Vanesha menangis sejadi-jadinya diiringi kucuran air yang mengalir membasahi tubuhnya. Tok, tok!Jae mengetuk pintu kamar mandi.“Vanesha, apa kau baik-baik saja?” tanyanya. Wanita itu membuka pintu kamar mandi tersebut tanpa menjawab pertanyaan Jae. Pria itu menahan Vanesha dan membawanya masuk ke dalam kamar mandi untuk menyerangnya kembali.“Kumohon hentikan!” pinta Vanesha dengan suara lirih. “Maafkan aku, bukan maksudku untuk memaksamu.” Jae membiarkan wanita itu pergi ke luar kamar mandi. Wanita yang menahan tangisnya itu meraih pakaiannya yang tergeletak berserakan di lantai lalu memakai pakaiannya kembali. “Vanesha, apa kau yakin itu pakaianmu?” tanya Jae sambil menunjuk.Vanesha langsung memperhatikan pakaian yang ada di tubuhnya. “Astaga aku pakai baju dia.” Vanesha buru-buru mengganti pakaiannya kembali. Sebelum ia pergi, dia menyiapkan pakaian tentara Jae di atas ranjang lalu meninggalkan pria itu segera saat pria itu sedang membersihkan tubuhnya di kamar mandi. “Ku berharap kita tak akan bertemu lagi," gumam Vanesha saat memasuki taxi yang ia pesan menuju asrama tempat ia tinggal selama di negara itu. * Dua tahun sebelumnya. Mentari pagi yang hangat menyambut Vanesha yang dengan semangatnya selalu membawa anak-anak di panti asuhan tempatnya bernaung untuk berolahraga ke tanah lapang. “Ayo dong semangat semuanya, kita pemanasan lari-lari kecil dulu ya anak-anak!" ucap Vanesha pada dua puluh anak panti yang di bawanya kala itu.“Kak, bolehkah aku bertanya?” tanya seorang gadis perempuan yang berkacamata itu.“Boleh, memangnya Tania mau tanya apa?" tanya Vanesha sambil mencubit hidung Tania.“Memangnya Kak Vanesha mau pergi ya dari panti?” tanya Tania. Vanesha terdiam kala mendengar pertanyaan Tania. Dia teringat akan sebuah surat yang datang seminggu lalu. Surat itu berisikan pemberitahuan bahwa pendaftarannya untuk meraih beasiswa sebagai perawat di rumah sakit ternama di ibukota itu di terima.“Kak Vanesha, kenapa tak menjawab pertanyaanku?” Tania menarik ujung kaus yang dikenakan oleh wanita itu. “Ummmm, kita lanjut ya olahraganya, yuk kita lari-lari memutari lapangan ini!" ajak Vanesha berusaha menghindari pertanyaan dari Tania. Rasanya berat sekali untuk mengaku di hadapan anak-anak panti bahwa ia akan pergi. Malam itu, Ibu Rose si pemilik panti asuhan mengamati Vanesha yang sedang memandang langit dari teras belakang. “Kenapa, Nak, apa kau masih bingung dengan tawaran dari rumah sakit tadi?” tanyanya sambil mengelus kepala wanita itu. “Eh Ibu, aku sih mantap menerima tawaran tersebut, Bu. A palagi aku selalu memimpikan diriku sebagai perawat sama seperti ibuku,” jawab Vanesha. “Lalu, kenapa kau terlihat bimbang?” tanya Ibu Rose mengusap lembut kepala gadis itu. “Aku hanya tak tega meninggalkan anak-anak , Bu," sahut Vanesha sambil mendekap foto sang ibu yang selalu menemaninya. Foto seorang wanita berpakaian perawat itu sudah berada di keranjang bayi saat ia di buang dua puluh tahun lalu di halaman panti asuhan. Ibu Rose menduga bahwa sosok wanita di foto itu adalah ibunya Vanesha. Setiap kali Vanesh, nama panggilannya, merasa penat dan jenuh melanda kala sedang belajar, ia selalu memandang foto tersebut sebagai penyemangatnya. Banyak prestasi yang ia torehkan sebagai pelajar terpintar di sekolahnya sedari kecil. Sampai ia yakin dan penuh percaya diri saat mengajukan formulir beasiswa menjadi perawat ke sebuah rumah sakit terkenal di ibukota milik Tuan Jones. “Berjuanglah dengan penuh semangat, buat ibu bangga ya, Nak.” Ibu Rose mengecup kepala Vanesha sebelum ia kembali ke kamar tidurnya. “Terima kasih, Bu, terima kasih kau selalu mendukungku.” Keesokan harinya, Vanesha pamit pada Ibu Rose dan anak-anak panti asuhan sambil berlinangan air mata. “Maafkan Kakak, ya. Kakak janji akan sering berkunjung ke sini," ucapnya. “Kakak jangan pergi! Nanti yang mengajari Tania belajar siapa?” rengek Tania mendekap erat pinggang milik gadis berambut panjang berwarna cokelat sepunggung itu. “Kan ada kakak yang lain sayang. Kak Vanes yakin kok kalau Tania itu pintar. Kakak yakin kau pasti bisa belajar dengan mudah. Sudah, cup cup jangan menangis,” ucap Vanesha menyeka air mata dari pipi gadis kecil di hadapannya itu. Sambil melambaikan tangannya, ia masuk ke dalam sebuah mobil van berwarna hitam yang akan mengantarnya menuju bandara. “Aku harus semangat,” ujar Vanesha meyakinkan dirinya sendiri. “Kita berangkat, Nona?” tanya sang sopir.“Berangkat, Pak!"*****To be continued.Vanesha Angelina, sampai di sebuah rumah sakit yang selama ini ia mimpikan. Rumah Sakit Kota merupakan rumah sakit besar dengan fasilitas lengkap di tambah para dokter yang terkenal dan kompeten di bidangnya. Menjadi perawat di rumah sakit tersebut sangatlah sulit dan harus berasal dari akademi perawat di rumah sakit tersebut.“Hai, aku Jane!” Seorang gadis berambut pirang dengan poni dan kuncir kudanya mengulurkan tangan pada Vanesha.“Hai, aku Vanesha." Gadis itu menjawab uluran tangan tersebut.“Kau baru datang, ya? Apa kau sudah mengisi buku absensi?” tanya Jane.“Belum, terima kasih sudah mengingatkan.” Vanesha bergegas menuju tempat pengisian absen.Para murid yang diterima menjadi calon perawat di rumah sakit tersebut saling mengenal dan diberi pengarahan mengenai program pendidikan yang akan mereka pelajari selama disana. Kebetulan Vanesha dan Jane berada di satu kamar dalam asrama yang letaknya sekitar lima seratus meter di belakang rumah sakit.“Senang sekali saat aku tahu k
Di sebuah rumah besar di Negara Flower, dua orang pria tampan sedang berbincang-bincang di sebuah kamar luas nan mewah.“Wah, kau keren sekali, Jae!” puji Tae pada kakak sepupunya itu.Pria tinggi 180 cm, bertubuh tegap, kulit kuning langsat, ditambah paras rupawan itu mengenakan pakaian tentara dengan gagahnya. Hari itu, dia memutuskan untuk mengabdi pada negaranya, setelah ia menjalani wajib militer selama dua tahun di negara ayahnya yang juga kakak dari ayahnya Tae.“Iya dong, aku memang selalu keren, kan? Eh, katanya kau mau mendaftar untuk wajib militer juga, apa ibumu sudah tahu?” tanya Jae sambil memandangi tubuhnya di cermin seraya merapikan pakaiannya.“Sssttt ... jangan keras-keras! Aku belum berani bilang pada ibu, tetapi aku sudah menyerahkan formulir pendaftarannya minggu lalu," sahut Tae Min dengan nada suara pelan.“Kau ini aneh, banyak lho yang ingin sepertimu menjadi CEO muda. Tapi, kau malah memilih ikut wajib militer.” Jae terlihat bersungut-sungut. “Daripada saat
Vanesha tak sengaja memergoki Sandra di sebuah tenda kamar seorang prajurit bernama Kim Taemin. Tadinya gadis itu hendak menuju tempat penyimpanan obat-obatan. Namun, dia sempat melihat pakaian kemeja putih yang tergeletak di dekat tirai masuk tenda. Gadis itu menghentikan langkahnya dan memilih untuk bersembunyi sejenak karena penasaran. Sandra terlihat sedang melingkarkan tangannya di leher kekar milik seorang prajurit yang dia kenal saat dia sedang mengintip."Apa-apaan mereka itu, bisa-bisanya mereka mau melakukan tindakan tak terpuji itu," gumam Vanesha yang menatap jijik, dan hampir saja dia pergi saat Tae berbicara dengan nada yang berseru. Gadis itu kembali menoleh."Maaf, lepaskan aku Sandra!" pinta Tae."Kenapa sih susah sekali menggodamu?" Sandra lantas melepaskan tangannya dari tubuh pria itu. Dia meraih pakaiannya yang tercecer karena tadi sempat dia lepaskan sembarangan di lantai untuk menggoda Tae. "Yakin, kau tak mau tidur denganku? Banyak loh prajurit di luar sana y
Beberapa hari berlalu setelah kejadian Vanesha melihat Sandra yang menghilangkan nyawa pasien bersama Dokter Tommy. Namun, wanita itu tahu kalau rekannya itu melihat perbuatannya."Vanesha, aku tahu kau melihatku melakukan hal itu," ucap Sandra."Hal apa?" tanya Vanesh."Kau melihatku dengan Dokter Tommy, kan saat ke tenda Tuan Adhock?" tanya Sandra penuh telisik."Ummm … aku tak tahu apa yang kau katakan," terang Vanesha yang hendak berlalu meninggalkan wanita itu.Sandra kemudian menarik tubuh Vanesha yang mungil sama dia berdiri di depannya. Vanesha hanya bisa menatap wajah wanita di hadapannya itu tanpa bisa mengucap sepatah kata pun."Aku dan Dokter Tommy mempunyai kebiasaan yang diharuskan oleh atasan kami. Kebiasaan yang kami lakukan di tenda kemarin," ucap Sandra."Aku tak tahu maksudmu, Suster Sandra." Vanesha memilih untuk menundukkan wajahnya. "Kami hanya membunuh orang tertentu saja. Hanya orang sekarang yang kami bunuh agar mereka bisa terbebas dari penderitaan di dunia.
Dokter Tommy berdehem lalu berkata, "biasanya kondisi para korban dan mungkin dia juga diperparah dengan kepanikan, bisa bahaya juga jika tensi darah naik,” ungkap Dokter Tommy yang mendekat.Robin memang mengalami luka ringan yang dialami biasanya karena benturan ringan seperti terbentur dinding atau panik saat berupaya keluar rumah sehingga membentur sesuatu.“Kalau sekadar luka ringan seperti memar benjol biasa atau lecet bisa ditangani di posko-posko atau rumah warga lain yang lebih aman. Karena itu hanya luka di kulit dan otot,” kata Dokter Tommy.Namun, dia kembali memeriksa kondisi Tae Min yang ternyata mengalami patah tulang pada bagian kaki. Ketika korban tertimpa reruntuhan puing akibat gempa, tentu resiko patah tulang bisa terjadi. Apalagi jika sudah terjadi perubahan bentuk tulang. Vanesha tampak khawatir pada pasien itu.“Patah tulang ini tidak bisa ditangani di sini. Dia harus segera dilarikan ke rumah sakit. Apa ada ambulans yang bisa kita gunakan?" tanya Tommy ketika m
Vanesha mengunjungi Tae Min di rumah sakit. Di dalam ruang perawatan itu dia mengamati pria di hadapannya dengan saksama. Tubuh tinggi tegap dibalut dengan pakaian pasien rumah sakit bermotif garis vertikal yang senada dengan celana kulot yang dikenakan itu malah membuat pria itu terlihat sangat tampan. Pria itu benar-benar menggemaskan untuk dilihat. Dipandangnya sosok Tae Min dari ujung kaki sampai ujung rambut rambut sambil berdecak kagum di dalam hati. "Wah, dia tampan juga ya?" gumam gadis itu saat mendekatkan diri ke wajah Ta Min.“Kenapa melihatku seperti itu? Aku tampan, ya?” Sosok Tae Min tiba-tiba terbangun dan membuka kedua matanya.Gadis itu tersentak dari lamunannya dan tak sadar berkata, “iya.”“Hahaha … kau lucu sekali. Jangan lakukan hal itu pada pria manapun,” ucap Tae Min yang tak sengaja mengintip dua bukit kembar milik Vanesha dari belahan kaus V neck yang gadis itu kenakan saat gadis itu membungkuk menatapnya. Vanesha langsung tersadar dan menutupi bagian tubuh
Bab 8 AIL GN"Iya, ini milik Tae Min. Sebentar saya panggilkan," ucap Vanesha lalu bergegas memanggil Tae Min."Tae, ada telepon!" seru Vanesha."Angkat saja, Sayangku!" seru Tae Min dari dalam kamar mandi."Apa-apaan itu masa sudah panggil-panggil aku sayang," gumam Vanesha yang menyentuh icon hijau bergambar gagang telepon. Di layar ponsel milik Tae Min tertera nama "Jaehyung My Bro" di layar ponselnya."Halo!" Sapa Vanesha."Halo, bukankah ini ponsel milik Tae Min? Kau tidak sedang mencuri ponsel miliknya, kan?" tanya pria bernama Jaehyung dari seberang sana."Sembarangan saja kau bilang aku pencuri. Namaku Vanesha, aku temannya Tae Min," ucap Vanesha."Van apa? Siapa tadi namamu?Van apa katamu?" tanya Jae.Vanesha tak menjawab. Dia hanya mendengus kesal. Tae Min sudah keluar dari kamar mandi dan mendekati Vanesha. Gadis itu langsung membantu pria tersebut untuk berbaring. Dia menyerahkan ponsel milik pria itu seraya menggerutu."Ada apa denganmu?" tanya Tae Min."Dia menuduh ku me
Terdengar para penumpang yang mulai tenang. Tae Min tampak menolehkan kepala untuk membalas tatapan Vanessa yang telah terarah lurus padanya. Dia tak menyangka kalau dua orang itu dipertemukan dalam situasi tak terduga beberapa waktu lalu. Keduanya masih saling bertatapan dengan jarak yang cukup dekat. Vanessa menggantung tawa di sudut bibirnya karena merasa terhibur."Bagaimana kau dengan mudah sekali mengumbar janji, terutama untuk aku yang telah mendengar kata-kata yang sama untuk beberapa hari belakangan ini?" tanya Vanesha.Gadis itu berkata tanpa berniat memprovokasi pria itu."Ayolah, Vanesha … apa kau masih tak percaya ke padaku?""Hmmm, sudah berapa janji ya yang kau berikan padaku sejak sebulan lalu?" tanya gadis itu.Si pria itu padahal selalu bersungguh-sungguh dan serius terhadap setiap perkataan. Apalagi keinginannya untuk menikahi Vanesha. Sebab memang seperti itulah yang terjadi karena semenjak pertama kali mereka ber