Share

CHAPTER 2: Jiwa Lain

“CIH. Pemaksaan.”

Gugahanku untuk menggiling muka si pria rupawan itu menjadi kertas dan memampangkannya luas-luas di dinding kamar begitu besar.  Pria yang baru saja kutahu namanya sebagai Remus Valez, secuil pun tidak sudi menaruh kepercayaan dalam setiap kata yang kututurkan. Ia menuduhku sebagai penggerak utama suku apalah-itu-namanya, bahkan berhasil mengintimidasiku dengan sebuah anak panah runcing di tangan.

“Masih tidak mau jujur?” tanyanya, untuk sekian ratus kali.

Keningku mengerut tidak senang. Ingin rasanya, selain menggiling muka tampan pria itu, aku juga tergugah berat untuk mengebiri lidahnya—menjual di pelelangan seharga miliaran dolar. Sungguh, aku hampir muak menghadapi pria jelek satu ini jika bukan karena tampangnya melampaui ketampanan aktor papan atas.

Lihat saja, satu alis rapinya tertarik naik secara mengesalkan, belum lagi terselip nada menantang setiap kali ia berbicara dengan suara maskulin itu.

“Aku mengatakan sebenarnya, pria jelek!”

Kukedipkan netra hitamku yang terasa panas bukan main—hampir berair, malah. Uh, aku tidak bisa menahan pelototanku lebih lama, tetapi aku tidak sudi kalah. Kami memang sudah berperang tatap semenjak aku diseret masuk oleh dua prajuritnya ke dalam sel paling ujung dan terasing. Aku sengaja memantapkan pertahanan sorotku seperti tiang kukuh, berjuang meyakinkan pria itu bila aku tidak tahu-menahu tentang apa pun; penggerak utama, suku, keberadaanku saat ini, dan lain-lain.

Aku terdampar, sama sekali tidak memiliki ide untuk semua hal aneh itu.

“Kau betul-betul menghabiskan waktuku, Chryssant.”

Remus menegakkan punggung dari sandaran dinding bebatuan, berhenti memainkan anak panah semudah memutari bolpoin. Lampu obor menggantung persis di samping kepala Remus, cukup membuat ketajaman netra hitamnya tampak mencolok. Pada permukaan dinding, siluet pria itu terlihat berayun-ayun.

Entah mengapa, sorotan dari obor membuat perawakan gagahnya sedikit lebih mengerikan bagi indra penglihatku.

“Mau bagaimana lagi? Aku hanya bisa menggunakan cara kasar untuk membuatmu membuka mulut.” Remus menginstruksikan sesuatu melalui gerakan bibir ke samping kanan. Ia berbicara dengan udara kosong? Atau makhluk halus? Pria itu indigo? Impresif sekali.

Tolong tandai sarkasmenya.

Aku masih sempat membulatkan bibir ranumku begitu seorang prajuritnya—yang tidak terjangkau oleh pandanganku tadi, memelesat ke depan pagar besi sel dan menggeser pintunya. Namun, belum sampai lima detik, kututup bibirku dan menggantikannya dengan pelototan lebar. Ia memutari tempatku tersimpuh karena kakiku masih lumpuh, seenaknya berdiri di belakangku dan meringkus kedua tanganku.

Lancang! 

Karena kesal, aku mencitrakan acungan jari tengah di dalam benakku selagi menyoroti Remus. Afek datarnya tidak sedikit pun melunak begitu ia memasuki sel dan berdiri tepat di depanku. Tidak lama, Remus menekukkan satu kakinya ke bawah. Ia bertelut tanpa melepaskan tatapan kami. Aku juga tetap mempertahankan pelototan, kekesalanku terasa memuncak.

Kamus perbendaharaan kata yang terpatri sangat indah dalam memori jangka panjangku baru ingin kuteruskan dari bibir, tetapi semua terkubur begitu saja ketika suara baret merangsek ke telinga. Aku berani taruhan, kilat keberanian netraku langsung meredup dalam kecepatan cahaya.

Jemari itu mengukir ujung anak panah ke pipiku, tidak cukup dalam untuk menciptakan pedih, namun lebih dari cukup untuk membangkitkan perasaan lama yang telah kukubur sampai mampus. Suatu perasaan yang tidak sudi kuakui secara pribadi, tetapi tidak dapat kutolak jika itu sudah hadir dalam bentuk memori.

Ingatan yang telah kutekan mati-matian sampai ke alam bawah sadarku, kembali naik dengan begitu entengnya hanya berbekal satu buah goresan di sana. Mereka mengerubungi otakku kembali, menutup akses oksigen menyebar dan memasuki daerah kepalaku. Sepintas, di balik pandangan mengaburku, kutemukan refleksi diriku bersama dia di dalam sepasang manik hitam itu.

Tatapanku hampa, kesadaranku hampir habis tak bersisa. Sampai tremor itu datang dan mengingatkanku kembali kepada Ysee yang malang.

*

Pengap. Tidak ada angin … dan bau apak. Aroma yang jauh dari kata sedap, tetapi aku berhasil menebak bila tempatku saat ini masih sama seperti tadi; sel bawah tanah. Bedanya, ada rasa dingin menggerayangi pergelangan kaki kananku yang sempat terluka. Kepalaku cukup berat bagaikan habis dihantam tamparan pahitnya kehidupan.

Perlu cukup lama bagi otakku memerintahkan netraku untuk membuka dan ketika itu berhasil, kudapati tubuhku bersandar di dinding sel dengan kehadiran seorang pemuda sepantarku di depanku. Ia tengah membebat kakiku dengan perban. Otakku lekas  mengirimkan sinyal bahaya, aku spontan menekukkan kaki kanan. Mulanya sedikit terkagum karena aku tidak jadi lumpuh, tetapi kekaguman itu lekas raib mendapati si pemuda berhasil menahanku dengan satu tangan.

Sekitar satu senti lagi sebelum ibu jari kakiku persis menyentuh tulang hidung bangirnya.

Kami bertatapan sesaat dan aku masih belum melucutkan kewaspadaan. Lalu, dengkusan terdengar dari arah si pemuda. Ia baru melepaskanku begitu aku menarik jauh tungkaiku, meluruskannya lagi di bidang datar lantai sel.

“Siapa kau?” tanyaku, melipat tangan di depan dada, sebisa mungkin melemparkan tatapan paling mengintimidasi yang pernah kutunjukkan kepada siapa pun. “Di mana pria jelek dan berengsek

itu?”

“Pria jelek dan berengsek?”

“Ya, si Remus-Remus itu!” teriakku, terlalu menggebu-gebu, namun aku tidak acuh. Kalau bisa, sekalian saja kujeritkan betapa jelek dan berengseknya pria itu sampai ke atom-atom tubuh gagahnya. “Katakan kepada dia, aku akan menguliti setiap inci dari tubuhnya, termasuk aset berharganya!”

Pemuda di depanku mengerutkan keningnya, sedikit bergidik mendengar penuturanku. Ia mendeham sekilas dan menyibukkan diri sebentar untuk menggulung sisa perban yang tidak terpakai. Lalu, ketika selesai, ia mulai angkat bicara, “Kau ingin mati di tangan Putra Mahkota, ya?”

“Putra Mahkota?” ulangku, terdiam sebentar dengan hidung kempas-kempis—kemudian bersin. Sungguh, tidak adakah penyaring debu di sekitaran sel sini?

“Kenapa penggerak utama sepertimu bisa bertingkah semenjijikkan itu?”

“Siapa Putra Mahkota?” selatku, tidak berniat menanggapi pertanyaan si pemuda asing tersebut. “Dan, hell! Aku bukan penggerak utama suku-suku apalah itu, dungu!”

“Putra Mahkota—Remus Valez. Siapa lagi memang?”

Hah? Remus-Remus itu? Putra Mahkota? Keterkejutanku berganti menjadi gelak tawa, sampai-sampai aku memegang perutku yang terasa menggelitik bukan main. Ekor netraku bahkan mengeluarkan setitik air mata. Mengusapnya sejenak, aku kembali mendaratkan pandangan menuju si pemuda dengan rasa humor menggelikan itu.

Kutemukan bibirnya melengkung ke bawah dan membuatnya sedikit terlihat menggemaskan.

Hah … kurasa sangat percuma berbicara dengan makhluk sinting sepertimu.” Pemuda itu menaikkan tatapan datarnya, kemudian meneruskan, “Aku Stuart, omong-omong. Kurasa tugasku untuk membereskan luka kakimu sudah selesai. Ada lagi yang kauinginkan?”

“Tentu ada.” Aku menegakkan tubuhku dari sandaran, mencondongkan kepala di dekat pemuda bernama Stuart itu. “Manis, bawa aku keluar dari sini.”

Stuart berdecak kesal. “Baru kali ini aku dianggap manis

alih-alih tampan, cih.” Ia berpura-pura meludah, melengos tepat aku menarik kerah kemeja putihnya untuk menahan tatapan kami. “Jangan harap kau bisa pergi dari sel ini, Nona,” imbuhnya.

Wah, cara ia mengucapkan kata 'Nona' sungguh sarat akan ejekan.

Aku menggulirkan netraku, mengentakkan kerahnya ke belakang, berharap ia akan jatuh terjengkang, tetapi keseimbangannya lumayan. Stuart mendengkus selagi merapikan kemejanya—kemudian tatapanku jatuh kepada semacam lambang berbentuk 'tambah', mengingatkanku tentang statistika dan pelajaran menghitung lainnya di kampus.

Tetapi, tentu saja aku tidak bodoh untuk tidak mengetahui bila itu bukan lambang hitungan, melainkan lambang medis.

“Kau lapar?” tanya Stuart, bersiap untuk berdiri setelah kami diliputi oleh keheningan. “Lapar atau tidak, Yang Mulia sudah menyiapkan hidangan untukmu. Mungkin sebentar lagi seorang pelayan akan da—itu dia.”

Aku menggeser tatapan ke balik tubuh Stuart yang sudah menjulang di depanku, menuju seorang gadis berbusana seperti pelayan kafe di dekat kampusku. Ia mengenakan bando berenda putih yang terbuat dari satin, serta terusan hitam dengan celemek putih yang sama panjangnya, menjuntai hampir mencapai tempurung lutut.

Ada nampan berisikan kudapan yang tidak kutahu apa karena tak terjangkau oleh netraku, tetapi aromanya jelas lebih sedap dari pengapnya sel sekitar sini.

Stuart menggeser pintu sel, menerima nampan itu dari tangan si pelayan dan ia letakkan cukup jauh dariku—mungkin takut jika aku akan melakukan hal nekat, seperti menerobos sel dan melarikan diri, misalnya. Sayang sekali, dungu-dungu begini, aku seorang pemikir rasional dan berorientasi kedepan. Berhasil bebas dari sel ini sama sekali tidak menutup kemungkinan kalau aku akan berakhir dibunuh oleh anak panah sompret milik si pria jelek.

Aku melipat kedua lututku ke depan dada, bertopang dagu malas begitu Stuart undur diri bersama si pelayan. Tanpa tergiur oleh keberadaan nampan di dekat pintu sel, aku tidak menyentuh kudapan itu hingga malam tiba—yah, sepertinya malam karena aku sudah mulai mengantuk—dan yang tidak kutunggu-tunggu pun datang. Pemilik manik hitam itu menurunkan pandangan ke arah nampan, mengerutkan kening begitu kami berperang tatap lagi.

Tidak sedang dalam fase untuk itu, aku tidak ragu memutuskan kontak mata. Rasa kantuk yang menyergap mengendurkan pertahanan netraku untuk tetap dibuka. Aku siap memasuki alam bawah sadarku dengan terlelap, sampai suara maskulin Remus menahanku dengan sebuah kalimat yang kembali mengeritingkan otak.

“Jika kau tidak mengatakan kejujuran, aku akan membuatmu berakhir lebih dari sesak dan kejang-kejang tadi, Chryssant.”

Aku mengetukkan kepala belakangku di dinding sel, mengabaikan suara gedebuk yang sedikit banyak membuatku ketagihan. Bibir ranumku meloloskan tawa—tawa terpahit yang pernah kulontarkan kepada siapa pun. Mengusap kasar wajahku, aku mempertahankan dua telapak tanganku tetap di sana. Entah dampak dari rasa kantuk atau aku memang kembali menangis, aku tidak peduli.

Dari sela jemariku, bisa kulihat netranya memancang lurus kepadaku. Aku bisa menangkap sorot keheranan yang sangat kental di binar manik hitamnya.

“Berikan aku waktu untuk tidur,” gumamku, masih terdengar jelas meski teredam oleh telapak tangan. “Jika kau memang tidak memercayaiku, setidaknya tolong lebih sadar dengan situasi, Putra Mahkota Yang Terhormat.”

Bila bukan karena kejadian tadi, aku akan dengan senang hati bersilat lidah dengan pria yang katanya, sih, ‘Putra Mahkota’ itu. Tetapi, tidak sekarang. Kehadirannya cukup memicu ingatan itu kembali dan butuh waktu tidak singkat bagiku memulihkan diri. Kutarik napas dalam-dalam, menurunkan kedua tanganku dari wajah, dan meluruskan tatapan kepadanya seorang.

“Besok,” kataku, tiba-tiba. “Besok, kau bisa menginterogasiku sepuasnya … dan bunuh aku jika perlu.”

Kupelankan nada bicaraku di bagian akhir kalimat. Namun, menilik dari reaksi pria itu—yang sepintas tertangkap oleh indra penglihatku, ia mendengarnya. Kabar baiknya, Remus patuh. Ia tidak berusaha untuk kembali mengeritingkan otakku dan mencincangnya sampai tak berbentuk. Alih-alih, ia mulai beringsut dari jangkauan netraku dan menyisir jalan depan sel yang sempat kulintasi sebelum berakhir di sini.

Mungkin ia hendak kembali ke tempat persinggahannya, siapa yang peduli?

Sedikit merasa lega, akhirnya kurapatkan netra kembali—sebelum derap langkah menjauh Remus tergantikan oleh suara maskulinnya, merangsek kembali ke telinga. “Isi perutmu, aku tidak ingin kau mati sebelum membuka mulutmu.”

Cih, semestinya aku sudah menduga sikap menjengkelkan pria jelek itu tidak akan raib begitu saja.

Berusaha meredamkan kekesalan, lambat laun alam bawah sadarku menarik paksa kesadaran hingga aku jatuh terlelap. Dan ketika pagi sudah datang, siapa sangka bila pria itu tahu-tahu saja telah berdiri tepat di depan mata?

Apa-apaan dia?

“Kau sungguh tidak sabaran!”

Aku hampir melayangkan satu tamparan ke arah pipinya, tetapi sebelum itu mendarat, tangannya dengan cekatan menahanku. Tanpa kuduga-duga, ia meremas kuat ruas-ruas jemariku sampai aku bisa mendengar gemeretak tulang yang tersusun atas beruas-ruas. Aku spontan mengaduh, mencoba untuk membebaskan tangan kananku dari sana sebelum berakhir remuk.

Remus tidak memedulikan sama sekali, sorotnya jauh lebih dingin dan sadis.

“Aku sudah mencoba bersabar dari kemarin, Chryssant,” ucapnya, entah mengapa berhasil mengaktifkan reseptorku. Roma halusku bergidik ketika wajahnya begitu dekat dan embusan napas menyapu halus milikku. Kesempurnaan yang sempat kukagumi seketika berubah mematikan. “Sekarang, jawab dengan jujur. Apa motif sukumu mengusik kontinenku?”

“Aku tidak tahu!” teriakku, meneguk liur susah payah mendapati pria itu membuatku tersudut. 

Remus menekan punggung tangan kananku ke dinding. Di luar kesadaranku, tangan kiriku juga telah dikunci rapat-rapat di permukaan lantai oleh miliknya. Ia meremas tangan kananku sekali lagi, tanpa sadar netraku sudah berair. Perlu waktu bagiku menyadari satu tetes air sebesar biji jagung jatuh ke pipiku. Remus sadar karena ia langsung mendaratkan tatapan di sana.

Menghela napas kasar, ia segera menarik diri menjauh, memberikanku jarak untuk menenangkan diri. Tentu saja itu tidak mempan. Ketenangan macam apa yang bisa kudapatkan di tengah-tengah kepengapan, pemaksaan, dan penudingan tak berakal ini?

“Jika kau mencoba untuk memanipulasiku dengan air mata itu,” Remus mengintimidasiku lagi melalui kilat tajamnya, “aku juga bisa memanipulasimu lebih dari ini, Chryssant.”

“Aku bersumpah atas nama leluhurku, aku tidak.”

Di luar dugaan, Remus kian menajamkan indra penglihatnya. “Siapa nama leluhurmu?” tanyanya, disertai nada penuh ancaman.

Nama leluhurku? Aku mana tahu! batinku, bingung. Dengan nada skeptis, aku segera menjawab jujur, “Aku tidak hafal.”

Kala itu juga, Remus mengacak surai hitamnya hingga awut-awutan. Kentara sekali ia sudah kewalahan menghadapiku—sama lelahnya dengan aku yang perlu menghadapi si pria pengidap masalah kepercayaan akut itu. “Tabib, urus dia,” titahnya kepada udara kosong.

Keningku hampir berkerut, namun kedatangan seorang kakek berbusana serba putih tepat di depan sel membuatku berhasil menarik kesimpulan. Itu tabib yang sempat dimaksud oleh Remus tadi. Sepasang netra tabib itu mengilat ramah saat ia menjumpai milikku dari balik pagar besi sel. Remus ikut beralih dariku menuju si tabib, mengangguk singkat kepada kakek tua berjanggut putih itu sebelum beringsut keluar dari sel dan bersisian dengan si tabib.

Bisa kubayangkan betapa masamnya parasku sekarang. Keduanya sama-sama menjatuhkan tatapan kepadaku, bagaikan aku barang antik saja. Tabib itu tampak mengarahkan telapak tangan dari kejauhan, mengingatkanku dengan kegiatan eksorsis. Jangan sampai mereka berpikir kalau aku sedang kerasukan.

Jika iya, aku akan betul-betul menggiling wajah Remus menjadi kertas dan kujadikan sebagai tempelan di dinding kamar—atau keset kaki juga lumayan.

“Yang Mulia, berdasarkan hasil terawang saya, tubuh itu memang milik Chryssant Elettra, si penggerak utama suku Ace. Tetapi, yang menempati tubuhnya saat ini, bukanlah jiwa aslinya—melainkan jiwa dari makhluk lain.”

“Hah?” Sepertinya mereka betul-betul mengira aku kerasukan setan! Tetapi … sebentar. Jiwa dari ‘makhluk’ lain, katanya?

.… berarti maksud tabib sompret itu, aku setannya?![]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status