Share

CHAPTER 3: Manor Putra Mahkota

TABIB Icarus penyelamat hidupku. Lupakan dulu tentangnya yang sempat mengibaratkanku seperti setan. Tanpa sang tabib, aku mungkin terancam mati di tangan pria jelek. Ingin rasanya aku berguru kepada tabib itu. Bagaimana tidak, ia dengan kesabaran besarnya yang tidak mungkin dapat siapa pun punya—kecuali orang kalis, memvalidasi kejujuranku dengan tabah di depan sang Putra Mahkota. 

Uh, aneh juga menyebut si pria jelek dan tidak sabaran dengan gelar sebesar itu.

Omong-omong, semua kejadian ini masih tidak sampai ke otakku. Pasalnya, kata si tabib, jiwaku berpindah ke tubuh lain dan itu melampaui akal sehatku. Kendati semenjak dulu akal sehatku tidak sehat-sehat amat, aku dibuat kelimpungan bukan main. Berpikir tentang nasibku kedepannya membuatku mual, apalagi tubuh yang sedang kutempati sekarang adalah milik si penggerak utama suku Ace. Lebih ironisnya lagi, ia bernama sama dengan milikku. 

Tetapi, sapaan akrabnya adalah Rysa, diambil dari penggalan huruf nama depan—sedangkan aku Ysee, lebih elit dan tidak pasaran.

Akan tetapi, aku tidak menduga bahwa rupa kami juga sama persis. Jeritanku lolos dengan sendirinya kala aku berkaca di ruang kamar tamu dalam manor Putra Mahkota. Ya, aku memang diizinkan oleh Remus untuk singgah sementara di manornya sampai jiwa Rysa kembali dan jiwaku berpindah ke tubuh asliku yang mungkin saja masih berada di kelab. Aku cukup beruntung karena pria jelek itu berbaik hati meminjamkanku tempat nyaman, alih-alih membuatku menginap di dalam sel bawah tanah yang teramat pengap dan berbau apak. 

Kembali lagi sekarang, aku mengatupkan bibir. Mataku menginspeksi cermin. Ada refleksi diriku di sana, tampak menepuk pipi berulang kali karena aku memang sedang memeriksa wajahku. Ketimbang berpindah tubuh, aku lebih seperti berteleportasi. Ini benar-benar tubuhku. Harus kuakui tanpa ada niat meninggikan diri, bentuk tubuhku memang enak untuk dipandang. 

Aku sering mengenakan lingerie di mana pun aku berada. Setiap kali busana ketat itu membebatku, lekukan tercetak jelas. Dan saat ini, aku masih sama moleknya dengan tubuh asliku. Apakah Rysa-Rysa ini memang kembar terpisahku?

Bedanya, aku tidak sedang mengenakan lingerie, melainkan tunik merah dengan model sabrina. Dua pundak mulusku dibiarkan menonjol. Oh, ada satu perbedaan lagi. Rysa memiliki biseps pada bagian lengannya. Aku dapat menduga Rysa terbiasa melakukan aktivitas fisik, tidak sepertiku yang kerjaannya hanya duduk leha-leha di bar, meminum sampanye selagi menikmati aksi perundungan bagaikan menonton film. 

Kuputar pundakku dan mengangkat siku untuk melihat biseps lengan tubuh Rysa lebih jelas. Aku iseng mencubitnya dan … wah, sungguh padat. Mendadak aku tergugah untuk meninju preman-preman jelek yang kerap mengusik para gadis di dekat kampusku.

Daripada melamunkan hal tidak penting, aku harus mempertanyakan kesamaan tubuh kami kepada Remus. Pria itu niscaya tahu apa yang terjadi dan aku dengan senang hati akan menagih ceritanya. Remus sudah memperlakukanku secara buruk selama di sel, jadi aku tidak akan mengizinkan pria itu damai di tempat. Gelar kebesarannya tersebut bahkan tidak sudi kuhiraukan secuil pun. 

Ia mungkin seorang Putra Mahkota, namun aku bukan rakyatnya. Aku tidak akan tunduk begitu saja.

“Pria jelek!” seruku, menggedor tidak santai salah satu dari sekian deret pintu.

Bisa kurasakan ada berpasang-pasang netra menikam punggungku, itu berasal dari para pelayan yang sedang melintasi lorong manor di sana sini.  Mereka besar kemungkinan memikirkan aku tidak waras dan tidak beraturan. Yah, kenapa juga aku harus mengikuti peraturan orang lain, sedangkan aku memiliki peraturanku sendiri? Lagi pula, Remus hanya seorang pria jelek yang kebetulan menyemat gelar 'Putra Mahkota'. 

Di luar itu, aku berani taruhan, ia cuman seorang bocah ingusan. 

Pintu tidak kunjung dibuka. Aku hilang kesabaran—kedepannya aku mungkin benar-benar akan berguru kepada tabib—jadi, kuputar knop pintu tersebut dan membukanya dalam satu kali lemparan. Netra hitamku mengedari sekitar kamar pribadi Remus, tidak bisa untuk tidak terkesiap. Luas ruangannya tidak terkira. Aku seperti sedang menginjakkan kaki di sebuah kamar apartemen elit. 

Bergeser tatapan dari kiri, ada sebuah pintu yang tertutup rapat. Sedikit ke kanan, terdapat ruangan berisikan dipan raja dan properti umum yang biasanya memang disediakan untuk sebuah kamar. Lanjut lebih kanan lagi, itu tersusun seperti ruang tamu. Ada sofa hitam panjang dengan meja marmer putih membentang, tidak lupa juga ada empat bantalan empuk yang bisa kaubawa ke dalam dekapan untuk menuju alam mimpi. 

Di samping sofa, ada semacam pintu transparan yang kuyakini sebagai akses menuju teras. Kamar Putra Mahkota memang ada di tingkat tiga, sama sepertiku. Bedanya, kesenjangan kasta antara kamarku dengan kamar pria itu cukup berbeda jauh—tetapi tentu lebih baik daripada kamar pribadi di dunia asliku.

Menilik lagi ke sudut paling kanan, ada sebuah dapur pribadi yang terbatasi oleh separasi. Ya, dapur. Entah apa kegunaan dapur manor yang penuh dengan pelayan bila Remus sendiri bisa menggunakan dapur kecilnya itu. Kulihat-lihat isi raknya juga lengkap—penuh dengan piringan dan alat makan. Tetapi untuk bahan, entahlah, aku tidak bisa menjangkaunya mengingat masih ada lebih dari satu rak yang tidak transparan dan tertutup rapat. 

Derit pintu kemudian terdengar dari arah samping kiri. Refleks, aku menggeser tatapan menuju arah sana. Itu berasal dari kamar kecil … dan keluarlah sosok pria yang sudah kucari sedari tadi. Beruntung, Remus sudah mengenakan kaos rumahannya, sehingga tidak ada drama kami saling berteriak. Aku menggulirkan netra, tidak bersikap sopan secuil pun meski tahu pria jelek di depanku sekarang adalah Putra Mahkota, si calon kaisar

Remus sendiri menatap kedatanganku masam. Ia menekan saklar di dinding sampai lampu kamar kecilnya padam. Dalam diam, aku mencuri pandang ke balik sana. Wah, impresif. Kamar kecil rumahku pasti cemburu jika tahu ada yang lebih baik darinya. Helaan napas Remus kemudian terdengar, seketika memecah lamunanku dari pukauan ruangan untuk membersihkan diri itu. Hell, kenapa aku seperti mempunyai fetisisme dengan kamar mandi?

“Apa semua manusia begini?” tanya Remus, mengusap helaian hitamnya yang basah dengan handuk. “Selain seenaknya menggedor kamar orang, kau juga masuk kemari dengan lancang.”

“Masalah?" tanyaku, retorik. 

Sudut bibirku sedikit terangkat naik. Ada kepuasan tersendiri mendapati kejengkelan pria itu. Yah, kaum betina memang suka sekali mencari masalah. Terkadang dunia memang lucu. Karena pada akhirnya, masalah kaum betina itu niscaya tercurah kepada kaum jantan. Jadi, aku sama sekali tidak merasa bersalah, melainkan Remus—uh, indahnya menjadi bagian dari kaum betina.

Remus tertawa mengejek. “Apa kau ingin kukembalikan ke dalam sel kekaisaran?” tanyanya, seketika air muka kemenanganku memudar. 

Berdecak kesal, kutatap pria itu melintasiku dengan santai menuju dapur kecil. Tangan kukuhnya menjangkau rak tertutup untuk merenggut sebuah cangkir, lalu ia menuangkan cangkirnya dengan mineral. Meneguk airnya hingga habis, kukira ia akan kembali bersuara, tetapi tidak. Remus bagaikan tidak mempermasalahkan kedatanganku tiba-tiba di dalam kamarnya. Sedikit mengerutkan kening, beberapa hipotesis buruk tentangnya mengerubungi otakku. 

“Kau sering tidur dengan betina, ya?”

Air muka Remus memang terbilang datar, akan tetapi kontras dengan bagaimana ia meletakkan cangkir secara kasar di separasi dapur. Pria itu mengerutkan kening tidak senang ketika ia bertopang dagu selagi meneliti parasku—atau paras Rysa. Remus terdiam cukup lama. Entah mengapa, aku juga menyibukkan waktuku dengan menginspeksi paras tampannya itu. 

Mau bagaimanapun, aku tetap seorang Ysee yang memiliki selera tinggi semata-mata untuk menyukai seorang pria. Dan sedikit mengesalkan, karena Remus Valez termasuk salah satu dari pria itu.

“Bagaimana denganmu?” tanyanya balik, tanpa berminat meresponsku.

“Aku tidak akan menjawab itu.”

“Begitu pun aku.”

Aku meloloskan helaan napas, baru menatapnya kembali untuk menuturkan tujuan utamaku kemari. “Ceritakan aku semua tentang Earthalic—termasuk mengapa Rysa-Rysa ini memiliki wajah dan nama persis sepertiku!” seruku, membuat nadaku seperti tidak menerima bantahan sama sekali.

“Kau sedang menitahkan seorang Putra Mahkota?” Netra Remus menghunusku tajam, namun tidak berlangsung lama. Ia kemudian mendengkus dan memiringkan senyum. “Baru kali ini aku bertemu betina barbar sepertimu, Ysee.”

Perlu diketahui, mendengar suara maskulin itu menyebut sapaan akrabku dengan lancar cukup memengaruhi kecepatan debar jantungku. Sial, aku tidak akan sudi masuk ke dalam pesona mematikan pria itu. Menarik napas sebentar, aku mengubah rautku menjadi lebih dingin, mengindikasikan keenggananku dalam berbicara sebelum apa yang ingin kuketahui belum terpenuhi. 

Lihat saja jika Remus menginginkan kami kembali berperang tatap, aku akan—

“Earthalic berseberangan dengan alam fana, dunia aslimu. Kami makhluk cahaya yang mulanya tidak berwujud. Dewa-Dewi junjungan kami kemudian memanifestasikan tubuh kami sehingga membentuk rupa seperti kaum fana. Mereka juga memberkati penanda identitas—nama—untuk kami. Itulah mengapa Chryssant si penggerak utama suku, bernama dan bertubuh sama sepertimu.”

“Jadi maksudmu, rupamu—dan semua rupa kaummu, hanya sebuah pinjaman? Oh, atau curian?” Telunjukku tertuju lurus ke arah batang hidung Remus, diam-diam aku menikmati tampangnya yang kentara tidak senang. “Yah, maaf sekali, aku menjadi sedikit mual melihat paras curianmu itu. Tampang tampan, kok curian?”

“Ysee, kau benar-benar—” Remus mendesis geram di antara giginya, tetapi secepat cahaya, ia menetralkan kembali raut kesalnya, “—sadarkah saat ini kau sedang berbicara dengan siapa?”

“Denganmu, tentu saja, dungu.”

Pria itu menegakkan tubuhnya dari separasi. Ia meremas pelipisnya sebelum kami berserobok lagi. Sepertinya ia sudah hampir hilang kewarasan atas sikap seenaknya seorang manusia kepada si Putra Mahkota ini. Remus harus terbiasa karena aku sudah berjanji untuk membalas perbuatan buruknya di sel dengan mengisi hari-hari pria itu dengan tidak kalah buruk. Masih menahan netra kami, aku mengulaskan senyum manis, murni tanpa rasa bersalah usai aku menyebutnya 'dungu'.

“Intinya begitu. Terserah kau ingin menyebut kami tampang curian atau pinjaman. Persetan dengan itu.”  Remus menuangkan mineralnya lagi ke cangkir, lalu meminumnya sampai habis untuk memuaskan dahaga. “Lagi pula, apa yang telah diberikan oleh Mereka kepada kami, itu sudah menjadi bagian dari garis takdir. Mereka bisa saja murka karena kau sudah mencibir berkat takdir itu, Ysee.”

Bibir ranumku tanpa sadar melengkung ke bawah. “Cih, tidak asyik. Aku hanya berkelakar, bukan bermaksud mencibir Dewa-Dewi kaummu seperti itu," balasku, sedikit terintimidasi mengingat eksistensi Mereka mungkin saja benar-benar ada dan sedang memasang kupingnya di dinding atau langit-langit ruangan. 

“Kalau begitu, sudah? Apa ada lagi yang ingin kautanyakan?” Remus mengulaskan senyum miring dan itu tampak mencurigakan. “Atau, kau menginginkanku menjawab pertanyaanmu tadi?”

Tanpa sadar, aku memiringkan kepala dan mengerutkan kening. Yang mana? Aku tidak merasa bertanya apa-apa lagi selain satu itu.

“Tentang … aku sering tertidur dengan betina?” Ia memainkan alisnya naik dan turun, mengukir seringai ketika air mukaku berganti kesal. Isi pikiran pria itu terlampau terbaca! “Sayang sekali, aku pria selektif.”

Remus menggeser turun tatapannya dari atas kepala sampai ke bawah kakiku. Jangan lupakan, ada sorot bagaikan pria hidung belang di sana. Aku sering mendapatkan tatapan semacam itu jika sedang berada di kelab—dan keinginanku untuk mencungkil netra hitamnya saat ini sebesar gugahanku untuk menggiling wajah rupawannya menjadi kertas.  

Seakan-akan sudah puas menginspeksi tubuhku habis-habisan, ia memakukan manik hitamnya ke arah milikku dengan sarat main-main.

“Jadi, tertarik untuk menjadi salah satu dari betina itu, Ysee?” 

Ketumbar Busuk!

*

Selepas dua puluh menit melangsungkan drama silat lidah di antara kami, akhirnya kakiku berhasil menapak kembali ke kamar singgahanku. Remus tentu memiliki seribu satu cara untuk membuat otakku panas dan mengeriting bagai catok. Demi melepas penat, aku memutuskan untuk berendam di bathtub—saat tahu kamarku juga mempunyai fasilitas menyenangkan ini, aku langsung berjingkrak-jingkrak. Alhasil, perlu sekitar lima belas menit menunggu bak penuh dengan rendaman air hangat. Selama itu juga, kusibukkan diri untuk duduk di dalam sana sambil iseng memainkan ratusan lebih kuntum bunga bebauan harum. 

Tanpa sehelai pun benang, aku bisa merasakan bagaimana air hangat itu mulai mengerumuni tubuh telanjangku—ah, tidak, ini milik si penggerak utama suku. Entah apa yang ia lakukan sampai jiwaku dapat berpindah ke tubuh miliknya. Semestinya, ini bukan waktuku untuk memikul beban di kepala. Rendaman air kuntum hangat harusnya perlu kunikmati sebaik mungkin. Bisa saja setelah aku kembali ke realitas, aku tidak dapat merasakan ini lagi. 

Tetapi, otakku menolak untuk melepas penat. Aku kepikiran soal tubuh asliku. Apa mungkin jiwa Rysa saat ini juga sedang menempati tubuhku itu?

Menghela napas, aku mencelupkan kepala ke dalam air rendaman ketika tingginya sudah mencapai dada. Aku berada di dalam sana cukup lama, menahan napasku dengan tetap menjaga kesadaran. Mungkin ada sekitar satu menit hingga aku kembali mengeluarkan kepala, kemudian meraup udara. Kubasuh wajahku dengan lembut. Tetesan air dari helaian surai hitamku mencuat tanpa henti sepanjang aku menyandarkan kepalaku lagi di permukaan bathtub

Aku begitu menikmati keheningan yang didampingi oleh suara air mengalir. Betapa nyaman—ironisnya, sama nyaman dengan menikmati sampanye di kelab malam.

Aku baru keluar dari bathtub usai empat puluh lima menit berdiam di sana. Setelah aku membuka penutup lubang saluran, tinggi air kuntum itu semakin rendah hingga habis sama sekali. Kemudian aku membereskan kuntum-kuntum itu lebih dulu dan membuangnya sebelum mengenakan busana. Setelah selesai, tatapanku terpancang lurus menuju sebuah baju handuk yang terlipat rapi di atas wastafel. 

Remus memang belum memberikan pakaian apa-apa untukku. Apa pria itu sengaja ingin membuatku terekspos? Lagi-lagi, aku dibuat kesal hanya dengan membayangkan tampang jeleknya itu. Bersungut-sungut, tapak kakiku mulai melangkahi permukaan lantai yang dingin dan sedikit basah. Segera kujangkau baju handuk tersebut dan baru mengenakannya sesudah menginspeksi modelnya cukup lama. Tidak buruk-buruk amat meski tidak bisa disandingkan dengan lingerie yang biasa kupakai ke mana-mana. 

Aku berkaca sebentar, menyelisik fitur wajahku dan seketika cukup bangga karena semua pakaian yang kukenakan akan selalu terasa cocok di mata.  Seperti orang dungu, bibir ranumku mengembangkan senyum.

Baru aku ingin keluar, pintu kamar kecil tahu-tahu saja sudah terekspos lebar. Aku spontan menjerit dan melompat dari tempat. Pinggangku tanpa sengaja terantuk pinggiran wastafel. Saking kesalnya, aku langsung melemparkan tatapan tajam kepada seseorang yang baru saja dengan lancang membuka pintu. Dari penampilannya, ia seorang pelayan gadis dan aku tentu tidak mengenalnya. Bahkan tanpa merasa bersalah, ia melemparkan sorot aneh usai menginspeksiku dari bawah sampai atas.

Dengan dua tangan melipat ke depan dada, ia mulai berbicara dengan galak, “Apa-apaan kau ini? Kenapa santai sekali?!”

“Hah?” Bukankah aku yang seharusnya lebih galak?

“Ysee! Ini hampir setengah jam sebelum Yang Mulia Putra Mahkota makan malam!”

Lalu, apa urusanku? pikirku dalam hati. “Terus?”

“Duh, pelayan macam apa kau ini?” Gadis bersurai sebahu itu meremas pelipisnya, sebelum kembali menatapku tajam. “Kau, kan, sebentar lagi menjadi pelayan pribadi Yang Mulia. Maka dari itu, beberapa hari ini kau akan kuberi pelatihan—dan juga, kau akan mempersiapkan hidangan untuknya malam ini dan malam-malam berikutnya!”

“Hah?” Itu satu-satunya kata yang terlintas di dalam benakku selagi aku berusaha mencerna kalimatnya.

“Duh, sekarang ganti pakaianmu! Aku sudah membawa satu set atribut pelayan untukmu.” Gadis itu menujuk ke luar pintu. “Kutaruh di atas dipanmu. Bergegaslah, Ysee! Yang Mulia tidak akan menoleransi jika kita melakukan kesalahan! Terlebih, ini merupakan hari pertamamu di sini!”

Ia kemudian memelesat ke luar setelah selesai memerintahkanku panjang lebar. Sementara itu, aku masih berdiam diri di dekat wastafel. Melirik singkat ke luar kamar kecil dan mendapati sepaket atribut pelayan di sana, otakku mulai kepanasan. Perlahan namun pasti, aku mulai bisa menangkap makna dari perintahan panjang lebar yang dituturkan si gadis asing tersebut. 

Mencitrakan wajah jelek pria itu di wastafel, secepat itu juga tanganku mengepal dan kuhunjamkan bogem mentah di sana. Bagaimana bisa ia menjadikanku sebagai seorang pelayan secara sepihak? Hell

Remus Valez … sungguh, aku tidak main-main jika aku mengatakan akan menguliti tubuhmu dan kujadikan kau sebagai santapan lauk-pauk![]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status