Share

Lihatlah!

Joya dan Agha berjalan berdampingan menuruni tangga jembatan, sesekali Agha mengangkat telapak tangannya mengusap keningnya yang banjir akan keringat. “Oi,” tukas Agha ketika Joya telah berjalan melewatinya, “bagaimana, kau akan menjelaskan tentang ponselku yang kau lempar itu?” Agha kembali bersuara sambil melirik ke arah sisa-sisa serpihan ponselnya yang telah hancur lebur di tengah jalan.

Joya yang menghentikan langkah kaki karena ucapan Agha, dia hanya dapat menggigit kuat bibirnya lalu berbalik menatap Agha sebelum berjalan mendekatinya, “aku tidak memiliki uang,” ungkapnya sambil meraih ponsel miliknya yang ada di saku, “aku tahu, jika ponselku ini … Tidak akan pernah sebanding dengan ponsel milikmu. Tapi, kau bisa memilikinya jika memang aku harus menggantinya. Dan juga-”

Joya menghentikan ucapannya sejenak, dia berjongkok sembari melepas sepatu sekolah yang ia kenakan, “ini sepatu replika murah yang aku beli di pasar tradisional seharga puluhan ribu rupiah. Hanya itu, harta yang aku miliki,” ungkap Joya kembali dengan meletakkan sepatu miliknya berserta ponsel yang ada di tangannya ke atas telapak tangan Agha.

Joya berbalik, melangkahkan kakinya yang hanya beralaskan kaos kaki putih miliknya. Langkah kaki Joya terhenti, telapak tangannya bergerak mengusap belakang kepalanya saat Agha melemparkan sebelah sepatu milik Joya ke belakang kepalanya. “Apa yang kau lakukan?!” bentak Joya, dia berbalik menatap Agha yang telah membuang sebelah sepatu lainnya milik Joya itu ke samping.

“Pakai sepatumu!” perintah Agha seraya berjalan mendekati Joya, “aku akan menunggumu di mobil,” sambungnya kembali sambil tetap berjalan maju melewati Joya yang terlihat bingung menatapnya.

Agha terus melangkah dengan ponsel Joya yang masih berada di genggamannya, langkah kakinya berhenti di samping pintu mobil, dibukanya pintu mobil tersebut seraya masuk ia ke dalamnya. Dia meletakkan ponsel Joya di atas desk mobil diikuti tubuhnya bersandar di jok, menunggu kedatangan Joya.

Agha melirik ke kiri saat pintu mobil miliknya terbuka. Ditutupnya kembali pintu mobil oleh Joya saat dia telah duduk di dalamnya. Mereka berdua lama terdiam tanpa suara sedikit pun yang keluar, “usiamu?” tanya Agha tanpa melirik ke arah Joya.

“Tujuh belas,” jawab Joya padanya. Agha meraih ponsel Joya lalu memberikan ponsel itu kepadanya, “buka password-nya,” tukas Joya saat Joya berbalik menatapnya.

Joya meraih ponsel tersebut, mengetik beberapa angka sebelum memberikan ponselnya itu kembali kepada Agha. Agha tertunduk, dia mengetik beberapa angka di kontak ponsel sebelum dia membuka aplikasi lalu menghubungi nomor yang ia ketik sebelumnya.

“Halo.” Agha bersandar duduk di jok mobilnya saat suara laki-laki terdengar di panggilan, “Dion,” ucap Agha melirik ke arah Joya yang masih terpaku menatapnya.

“Agha?”

“Berapa usia minimal perempuan untuk menikah?”

“Sembilan belas, mengikuti peraturan baru … Jangan katakan!”

“Aku akan menikah, tapi calon Isteriku masih berumur tujuh belas tahun. Apa kau bisa membantu kami untuk mengurusnya?”

“Me-menikah? Tujuh belas tahun? Tapi, bukannya Talita berusia sama sepertimu?”

“Aku, bukan menikah dengan Talita. Tapi aku, akan menikahi pacarku,” jawab Agha, dia menggerakkan jarinya memijat kepalanya sendiri.

“Agha, jangan-jangan kau?”

“Kau benar, aku ingin membalas semua perbuatan mereka. Jadi, bantu aku,” ungkap Agha kepada sahabatnya itu.

Suara helaan napas terdengar dari balik ponsel, “aku mengerti, akan tetapi … Aku membutuhkan izin orangtua kalian berdua untuk mengurus semua berkas.”

“Aku mengerti, aku akan memberikannya kepadamu, secepatnya,” jawab Agha menjauhkan ponsel tersebut dari wajahnya ketika panggilan itu terputus.

Agha melirik kembali kepada Joya yang duduk bersandar dengan kepalanya yang masih menatap lurus ke depan, “karena usiamu belum cukup untuk menikah. Jadi kita memerlukan izin kedua orangtua kita untuk melakukannya,” ucap Agha mengarahkan ponsel yang ada di tangannya itu kepada Joya.

“Aku, tidak memiliki orangtua lagi. Mereka berdua telah meninggal,” jawab Joya, dia melirik ke arah Agha diikuti tangannya yang meraih ponsel miliknya.

“Berarti, hanya orangtuaku. Kapan, kau bisa bertemu mereka?”

Kedua mata Joya membelalak, “aku pikir, kau tidak terlalu serius untuk menanggapi ucapan omong kosong yang aku katakan sebelumnya,” sindir Joya kepada Agha, “bisakah, aku mendapatkan sedikit waktu untuk menyiapkan diri? Aku harus menyiapkan diri, jika saja wajahku nanti ditampar, atau rambutku akan dijambak karena aku telah menjadi wanita perebut tunangan seseorang.”

“Ke mana perginya kepercayaan dirimu yang berlebihan sebelumnya,” sindir Agha yang mulai kembali menyalakan mobilnya.

Joya menoleh, memasang sabuk pengaman di tubuhnya, “kepercayaan diriku, hanya akan muncul jika terdapat uang di sekitar,” ungkap Joya menoleh ke arah Agha yang menatap ke belakang saat mobil yang ia kendarai itu bergerak mundur.

“Seharusnya, aku yang bertanya … Bagaimana denganmu? Jika rencana ini gagal, kau mungkin akan kehilangan segalanya.”

“Memang awalnya, aku sudah kehilangan segalanya. Tapi, aku tidak ingin menyerah begitu saja. Walaupun akan gagal sekali pun.” Kedua mata Agha membelalak saat usapan pelan menyentuh kepalanya, “kau sudah melakukannya dengan sangat baik, calon suamiku,” Agha menoleh ke arah Joya saat telapak tangan Joya itu mengusapi kepalanya.

Joya menarik kembali tangannya diikuti kedua matanya yang kembali menatap ke arah jalanan, “aku sering melakukannya dengan tanganku sendiri untuk menghibur diri,” ungkap Joya kepadanya.

“Kenapa kau sangat membutuhkan uang?”

Joya tersenyum kecil ketika dia mendengar pertanyaan Agha, “pertanyaan yang sama seperti, kenapa kau membutuhkan oksigen untuk bernapas.”

Joya mengangkat ponselnya ke samping, “menolehlah sedikit ke arahku,” ungkap Joya sambil tersenyum ke layar ponselnya.

“Aku tidak suka berfoto,” gumam Agha tanpa melirik sedikit pun ke arah Joya.

“Lalu, bukti apa yang harus aku berikan pada perempuan itu nanti,” ungkap Joya dengan wajah pernuh mohon kepada Agha.

Mobil yang dikendarai Agha berhenti, “mendekatlah,” ungkap Joya, dia bergerak menyamping dengan jari telunjuk bergerak di samping pundaknya.

Agha bergerak sedikit maju mengikuti ucapannya, kedua mata mereka saling bertemu saat Joya menoleh ke samping menatapnya, “kau memang terlihat sedikit tampan jika dilihat dari dekat,” ungkap Joya tersenyum menatapnya.

Joya tertunduk menatap foto mereka berdua yang ada di layar ponsel, “apa yang kau lakukan?” Joya sedikit terhentak saat rangkulan di pinggangnya menahan dia untuk beranjak menjauh dari Agha.

Agha mendekatkan bibirnya mendekati telinga Joya, “lihatlah mobil yang ada di sana. Itu mobil kakakku … Dia pasti memerintah supirnya untuk mengawasiku,” bisik Agha pelan terdengar.

Joya melirik ke arah yang Agha maksudkan, Joya menggigit bibirnya saat mobil berwarna hitam yang Agha katakan itu … Jauh terpakir di belakang kami, “jangan konyol,” tukas Joya mencubit kuat lengan Agha yang merangkul pinggangnya, “mobil sejauh itu, mana bisa melihat kita yang ada di sini,” sambung Joya lagi, dia bergerak menjauh dari Agha ketika rangkulan yang Agha lakukan merenggang.

Agha mengangkat wajahnya dengan senyum menyungging di sudut bibir, “tidak buruk,” ucap Agha kembali membenarkan posisi duduknya. “Apa kau, sedang mengujiku?” Joya melirik ke arah Agha yang enggan memalingkan wajahnya dari jalanan.

“Kenapa kau, senyum-senyum tidak jelas dari tadi,” kening Joya mengerut, menatap Agha yang sama sekali tidak menjawab kata-katanya.

“Aku mengembalikan ponselmu, aku juga akan membayar uang nasi kotak itu. Sebelum persiapan pernikahan kita rampung,” ucap Agha menoleh ke arahnya, “belajarlah menjadi istri yang baik. Karena jika kau menyusahkanku, aku tidak akan segan-segan menceraikanmu … Jika kita bercerai, jangan harap kau akan mendapatkan sepeser uang pun dariku. Kau mengerti apa yang aku maksudkan, bukan, calon isteriku,” lanjut Agha, dia tersenyum ke arah Joya sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke arah jalanan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status