Wajah Bunda seketika berubah kaget. Ia sedikit mengerutkan kening saat Ayah menyarankanku belajar olahraga bela diri. “Ayah, Uqi kan masih kecil. Belum saatnya belajar begituan,” ucap Bunda, tak sependapat dengan Ayah. Wanita berwajah ayu itu tampak mengerutkan dahi putihnya menatap wajah Ayah.
“Nggak kok, Bunda. Sepertinya Uqi sudah siap. Nanti biar Ayah bilang sama Pak Slamet buat ngajarin jurus-jurus yang mudah saja dulu. Uqi mau, 'kan?” ucap Ayah. Ia tetap kekeh dengan keputusan awalnya ingin mulai mengajariku ilmu bela diri. Pria berwajah tegas itu tersenyum seraya menatap wajahku.
“Iya, Ayah. Uqi mau belajar bela diri. Uqi pengin jago berantem kayak Ayah dan Mas Fatir,” ucapku penuh semangat.
“Hush! Bukan buat berantem, Sayang. Tapi buat melindungi diri sendiri dan orang lain,” ucap Ayah seraya mengelus rambut jambulku.
“Ooh, berarti Uqi nggak boleh berantem ya, Yah?” tanyaku. Jujur aku masih merasa bingung dengan perkataan Ayah. Kutatap wajah pria yang selama ini menjadi idolaku itu.
“Nggak, Sayang. Kamu hanya boleh memukul orang lain kalau orang itu memukul kamu terlebih dahulu. Nggak boleh kalau jurus yang kamu miliki itu buat berantem sama orang lain apalagi buat nakalin mereka,” terang Ayah.
Aku hanya mengangguk. Mencoba memahami setiap penjelasan Ayah. “Berarti kalau ada yang nakalin Bia lagi, Uqi boleh mukul dia, Ayah?”
“Emm ... kalau dia mukul kamu, ya nggak papa. Tapi kalau kamu bisa nasehatin dia tanpa harus memukul, itu lebih baik,” nasihat Ayah.
“Ya udah, Uqi mau belajar bela diri, Ayah. Biar bisa ngelindungi Bia dan temen-temen Uqi yang lain,” tegasku penuh semangat.
Ayah tersenyum. “Bagus. Anak Ayah memang benar-benar seorang jagoan.” Ayah mengacungkan kedua jempol kepadaku. Membuatku tersenyum sumringah, tak sabar ingin segera belajar bela diri.
“Nggak papa kan, Bunda?” tanya Ayah seraya tersenyum lebar ke arah Bunda. “Uqi juga mau, kok.”
Bunda menghela napas panjang. “Hmm ... ya sudah. Tapi Uqi janji harus hati-hati, ya. Jangan sampai terluka lagi seperti ini.” Bunda menatapku tajam. Tampak sekali di kedua bola matanya, ia sangat khawatir kepadaku.
“Siap, Bunda,” ucapku seraya tersenyum ke arah wanita yang sudah melahirkanku ini. Aku harus meyakinkan Bunda.
“Mmm ... Bia juga pengin belajar bela diri, Om ... boleh?” ucap Bia tiba-tiba.
Ayah tampak mengerutkan kening mendengar ucapan Bia. Begitu pula denganku. Kami sama-sama tak percaya mendengar ucapan gadis kecil ini. “Bia mau belajar bela diri juga?” tanya Ayah.
“I-iya, Om. Bia pengin jadi kuat juga kayak Uqi. Bia nggak mau dinakalin terus sama anak-anak lain. Bia nggak mau nangis terus,” jawab Bia.
“Bia yakin mau ikut?” Kali ini giliran Bunda yang bertanya kepada Bia. Raut wajahnya tampak khawatir dan tak percaya dengan ucapan Bia.
“Iya, Bunda,” jawab Bia pelan.
Bunda dan Ayah tampak saling berpandangan dengan tatapan bingung satu sama lain. “Ya udah. Bia boleh ikut, kok. Nanti sore ikut sama Om dan Uqi ke padepokannya Pak Slamet, ya,” ucap Ayah.
“Iya, Om.” Senyuman indah merekah di wajah Bia. Wajah yang tadi sempat sembap kini berubah menjadi ceria. Begitupun denganku. Aku sudah tak sabar untuk belajar bela diri bersama Pak Slamet. Aku ingin menjadi kuat seperti Mas Fatir dan Ayah agar bisa melindungi orang lain.
“Ya udah. Bunda mau masak dulu, ya. Sebentar lagi Mba Huma sama Mas Fatir juga mau pulang. Bia mau ikut makan siang sama kita?” ajak Bunda.
“Mmmh. Boleh, Bunda,” jawab Bia.
“Ya udah. Kamu di sini dulu ya sama Uqi. Biar Bunda masak dulu di dapur.”
“Iya, Bunda.”
Bunda segera melangkah menuju dapur. Meninggalkanku, Bia, dan Ayah di ruang tengah. Ayah kini sibuk membaca koran harian yang tadi pagi dibelinya dari penjual koran keliling. Sementara aku dan Bia hanya duduk di atas sofa ruang tengah.
“Uqi mau ke halaman depan. Mau ngasih makan ikan-ikan di kolam. Bia mau ikut?” ucapku yang mulai bosan hanya duduk-duduk saja di ruang tengah.
“Mmmhh, boleh.”
Aku segera bangkit dan mengambil kotak berisi pakan ikan di atas rak kecil di ruang tengah. “Ayo,” ajakku. Kami pun melangkah menuju halaman depan rumah.
Rumahku memang memiliki halaman yang cukup luas. Ada banyak tumbuhan di sana. Bunda yang menanamnya. Di sudut halaman juga ada kolam yang dihuni ikan-ikan kecil. Tiap hari, aku selalu memberinya makan bersama Mas Fatir.
“Bi, kamu mau ngasih makan mereka juga?” Kulihat sedari tadi Bia selalu memperhatikanku. Sepertinya ia juga ingin memberi makan ikan.
“Iya, Qi. Bia mau.” Aku segera menyerahkan segenggam pakan ikan ke tangan Bia. Dengan penuh semangat, ia segera menebarkan pakan itu di atas kolam.
“Memangnya pakan ikan itu enak ya, Qi? Kok ikan-ikan itu pada berebut buat memakannya?” tanya Bia polos kepadaku. Ia menatap ke arah permukaan kolam di depan. Tampak ikan-ikan kecil memang sedang berebut memakan pakan yang ia lemparkan.
“Nggak tau, Bi. Aku juga belum pernah nyoba,” jawabku. Aku mencoba mencium pakan ikan yang ada di genggamanku kini. “Iih, baunya nggak enak, Bi. Kayaknya rasanya juga nggak enak, deh,” ucapku.
Bia pun ikut mencium pakan ikan yang tersisa sedikit di telapak tangannya. “Iya, Qi. Nggak enak. Tapi kok mereka suka ya?” tanya Bia terlihat sedikit bingung.
“Nggak tau, Bi. Apa mereka nggak punya hidung, ya, Bi? Makanya mereka nggak tahu kalau itu bau,” jawabku dengan teori asal yang tiba-tiba melintas di kepala.
“Apa bener ikan nggak punya hidung, Qi?” tanya Bia sedikit tak percaya.
“Coba aja kamu kentut, Bi. Kalau mereka bilang bau, berarti mereka punya hidung. Kalau nggak, berarti mereka nggak punya, hehe,” ucapku.
“Apaan si, Uqi. Emangnya ikan bisa ngomong,” ucapnya. Kami berdua pun tertawa bersama seraya memberi makan ikan-ikan yang menari-nari di kolam.
Tok! Tok! Tok!
Mainan ... mainan. Tiba-tiba terdengar suara abang-abang penjual mainan keliling yang berjalan di jalanan luar gerbang rumahku.
“Eh, Bi. Liat itu ada penjual mainan. Ke sana, yuk,”
Ayuk. Aku dan Bia pun segera berlari ke abang penjual mainan itu.
“Bang, ada pistol-pistolan air nggak?” tanyaku.
“Ada, Dek. Ini,” jawab abang penjual itu seraya menyerahkan sebuah pistol air mainan berwarna biru kepadaku.
“Berapaan, Bang?” tanyaku.
“Sepuluh ribuan.”
“Beli dua ya, Bang. Tapi aku ambil uang dulu di dalem.”
“Oke.”
Aku segera berlari ke rumah dan meminta uang kepada Bunda. Setelah mendapatkan yang kuinginkan, aku segera kembali ke abang penjual itu. “Ini, Bang.” Kuserahkan sebuah uang kertas berwarna biru kepadanya.
“Ada yang mau dibeli lagi, Dek?”
Aku menatap ke arah Bia. “Kamu mau beli, Bi?”
Bia tampak menggeleng. “Uangku udah habis di sekolah, Qi.”
“Nggak papa. Pake uangku aja. Kamu mau beli apa?” tawarku.
“Emm ... aku pengin beli ini aja, Qi.” Bia menunjuk sebuah gelang dengan sebuah gantungan inisial huruf.
“Ya udah. Beli ini dua ya, Bang. Yang hurufnya U sama B,” ucapku.
“Oke, Dek. Ini. Pas sekali. Cuma sisa satu satu.” Abang itu menyerahkan sebuah gelang berwarna merah muda dan biru kepadaku.
“Ini, Bi. Yang ini dipake kamu.” Aku menyerahkan gelang warna merah muda dengan inisial huruf B ke Bia, dan yang ini dipake aku.” Sementara aku memakai gelang warna biru dengan inisial huruf U.
“Ini gelang persahabatan kita ya, Bi. Mulai hari ini dan selamanya kita jadi sahabat ya. Uqi dan Bia,” ucapku seraya memamerkan gelang yang sudah melingkar di tangan kananku.
Bia tersenyum ke arahku. “Iya, Qi. Kita sahabatan sampai jadi kakek-nenek ya. Janji?” Bia mengacungkan jari kelingkingnya ke arahku.
“Janji,” ucapku seraya mengaitkan jari kelingkingku ke jari kelingking Bia.
Kami berdua tersenyum bersama.
Bersambung.
Esok harinya, aku mencoba menemui Bia. Kuhentikan laju sepeda motor di depan rumahnya. Sengaja kusempatkan waktu untuk memberikan bingkisan yang sudah kupersiapkan semalam sebelum aku berangkat ke sekolah. Aku tak mau gadis bertubuh mungil itu sudah telanjur pergi setelah aku pulang dari sekolah.Aku melangkah dengan ragu-ragu memasuki halaman rumah yang dahulu sering kudatangi. Halaman rumah yang cukup asri dengan sebuah pohon mangga yang berdiri tegak di pojok kanan rumah. Saat kecil, aku sering sekali naik ke pohon itu bersama Bia. Kami biasa duduk-duduk di atas dahan sambil menikmati mangga yang kami petik.Bia kecil memang sudah terlihat begitu tomboi. Ia sama sekali tak takut akan terjatuh atau tegigit serangga saat naik pohon bersamaku. Ayahnya pun sampai sering berteriak, memintanya turun. Namun, kami berdua tetap menikmati aktivitas kami seperti seekor monyet yang duduk nangkring di atas dahan pohon.Sekarang, rasanya begitu aneh. Semuanya sungguh
Suara jangkrik yang bersahutan menemani malamku yang kini tengah dilanda perasaan bingung. Kurebahkan tubuh di atas tempat tidur dengan wajah menghadap langit-langit kamar. Sementara kedua telapak tanganku menggenggam erat sebuah ponsel yang kuangkat tepat di atas wajah.Berkali-kali jari-jemariku mengetikkan beberapa kata di aplikasi perpesanan dengan kontak tujuan bertulisakan nama Bia. Namun, kata-kata itu langsung kuhapus sebelum aku sempat mengirimnya. Aku sedikit ragu. Aku takut pesanku ini akan mengganggu atau bahkan membuatnya kembali marah kepadaku.Jujur, sejak pertemuan tak sengaja di toko buku siang tadi, aku sama sekali belum bisa menghilangkan bayangan wajahnya dari pikiran. Melihat wajah ayunya setelah satu setengah tahun tak bersua sungguh mengobati rasa rindu yang selaman ini begitu menyiksa. Aku sangat bahagia. Terlebih ia sudah mau memaafkan semua kesalahanku.Hati yang selama ini sempat redup karena kehilangan sosok sahabat sekaligus ga
Hari demi hari berlalu. Aku sudah berada di penghujung kelas XII. Satu minggu lalu Ujian Nasional sudah terlaksana, dan sekarang aku sedang menikmati masa-masa tenang menunggu pengumuman kelulusan dan perpisahan sekolah.Semuanya terasa begitu cepat. Waktu bergulir tanpa kusadari. Namun, hari-hariku tetap terasa hampa. Pagiku tak pernah bersemangat karena tak ada lagi Bia yang biasanya setiap hari selalu ingin kutemui. Tak ada lagi wajah ayu yang senyum riangnya selalu membuatku ikut tersenyum sendiri. Tak ada lagi si pemilik pipi tembam yang meskipun sering marah-marah, tetapi selalu terlihat lucu dan menggemaskan bagiku.Aku benar-benar merindukannya. Setiap momen bersamanya sejak kami masih kecil masih terekam jelas di kepala. Aku rindu momen-momen itu. Saat tak ada jarak di antara kami, saat perasaan ini belum muncul, saat Bia belum berubah, dan saat aku tak pernah melakukan kesalahan fatal yang membuatnya begitu membenciku.Andai bisa memutar waktu, aku leb
Aku menatap kosong halaman sekolah dari balik jendela kelas sembari membayangkan hari-hariku yang kini terasa begitu sunyi. Aku benar-benar kehilangan sosok sahabat sekaligus seseorang yang sangat spesial di hati. Semuanya begitu hampa. Gadis yang sudah mengisi relung jiwaku, tadi pagi benar-benar pergi tanpa memberikan jawaban apa pun atas ungkapan perasaanku. Jangan membalas cinta, memafkan kesalahanku pun tak ia lakukan.Aku benar-benar resah. Segala perasaan begitu berkecamuk di dalam dada. Sejak jam pelajaran pertama aku sama sekali tak bisa fokus mendengarkan penjelasan guru di depan sana. Rasanya aku ingin segera pulang dan merebahkan diri di atas tempat tidur. Ah! Seperti inikah rasanya orang patah hati?Kriiing!Lengkingan bunyi bel istirahat sekolah menggema keras di seantero bangunan sekolah. Kutangkupkan wajah di atas meja. Aku benar-benar tak bertenaga. Seluruh energi tubuhku seolah-olah pergi bersamaan dengan kepergian Bia."Bro!
Aku sudah berada di depan gerbang rumah Bia. Kuhentikan mesin motor dan segera memasang standar dengan perasaan masih ragu-ragu. Jujur, aku sebenarnya masih takut bertemu Bia. Takut ia belum mau memaafkanku. Takut ia akan semakin membenciku. Dan takut aku melakukan hal yang lebih bodoh dari itu. Namun, hal yang lebih kutakutkan adalah jika aku tak sempat mengungkapkan semua perasaanku sebelum ia benar-benar pergi.Kulirik ke dalam halaman rumah Bia. Tampak suasana sangat sepi dan gerbang pun masih tertutup rapat. Sudah dipastikan ayah Bia tidak ada di rumah. Mungkin hanya ada Bia yang sedang berdiam diri di dalam sana.Beberapa kali kuteriakkan namanya dari depan gerbang. Berharap ia mendengar dan mau membukakan pintu untukku. Namun, setelah menunggu selama sepuluh menit, tak ada satu pun tanda-tanda ia mau keluar menemuiku. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke rumah dengan perasaan kecewa.Bruk!!Kujatuhkan tubuh di atas tempat tidur. Rasanya harik
Sudah dua hari aku tak melihat keberadaan Bia. Gadis berpipi tembam itu sama sekali tak kulihat keberadaanya, baik di lingkungan rumah maupun di sekolah. Beberapa kali aku coba menghubunginya. Namun, pesan dan panggilanku sama sekali tak ia balas, bahkan membacanya pun tak ia lakukan, padahal sering kulihat status di kontaknya menunjukkan tulisan online.Aku yakin gadis bermata lentik itu masih sangat marah kepadaku. Aku memang salah. Apa yang kuperbuat begitu fatal. Pantas jika ia membenciku. Aku pun begitu resah memikirkan hal itu. Namun, aku bukan sengaja melakukannya. Semuanya begitu tiba-tiba. Aku tak tahu jika kakiku akan tersandung dan tubuhku jatuh menubruknya.Sampai saat ini aku masih merutuki diri sendiri. Berharap waktu dapat kuulang dan hal itu tidak terjadi. Aku masih ingat bagaimana butiran air mata menetes membasahi pipinya, pun dengan amarah yang meluap di kedua netranya. Aku sudah mengambil ciuman pertamanya. Ciuman yang harusnya ia berikan kepa