Memang apa salahnya hubungan persahabatan antara laki-laki dan perempuan? Toh, aku juga punya sahabat laki-laki. Sahabatku tidak hanya Bia. Begitu pula dengan Bia. Ia juga punya sahabat lain selain aku. Memang benar, setiap hari aku dan Bia selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Namun, saat sudah sampai sekolah pun kami akan sibuk dengan teman masing-masing.
Seperti pagi ini. Seperti biasa, aku datang ke sekolah dengan memboncengkan Bia. Tampak di depan sana, kawan-kawan mainku sudah menunggu di parkiran sekolah. Kuyakin mereka pasti akan mengolok-olokku lagi.
“Ciyee pasangan friendzone, makin lengket aja nih,” ledek Ryan—salah satu sahabatku—yang sedang nangkring di atas sepeda motor miliknya.
“Berisik lo!” timpalku sesaat setelah memarkirkan sepeda motor. Segera kulepas helm, lalu menatap kesal ke arahnya.
Sementara itu, Bia kini juga sudah turun dari motor dan sedang berusaha melepas helmnya. “Qi, bantuin. Helmya tiba-tiba macet,” ucap Bia tiba-tiba. Aku pun segera turun dari motor dan berdiri di hadapannya. Kedua tanganku berusaha membantu melepas helm di kepala gadis berambut pendek itu. Memang benar, sedikit macet.
Beberapa saat mencoba, akhirnya helm Bia bisa juga dilepas. Kuangkat helm dari kepalanya. Tampak sedikit peluh menempel di kening Bia yang tak tertutup sehelai rambut pun karena semua rambutnya memang sudah dikuncir ke belakang. Khas seorang Bia.
“Idiih, so sweet banget nih suami istri,” ucap Deni—sahabatku juga—yang baru datang dari arah gerbang mendekati kami. Pemuda berkulit sawo itu sepertinya melihatku tadi sedang melepaskan helm Bia.
“Suami istri!” Bia tampak membulatkan kedua matanya. Gadis berbulu mata lentik itu lantas memberikan bogeman kecil tepat di perut Deni. Si empunya perut pun meringis.
“Ampun, Bi. Ampun. Sakit tau!” ucap Deni seraya memegang perutnya. Bogeman Bia padahal tidak terlalu keras. Namun, entah kenapa Deni sampai kesakitan seperti itu.
“Sakit apanya, orang pelan gitu kok,” jawab Bia santai, “kamu aja tuh yang lemah.” Bia tampak memanyunkan bibir mungilnya. Ia memang tak sungkan-sungkan memberikan bogeman atau jitakan kepada siapa saja yang membuatnya marah. Aku sendiri pun sering sekali dijitak olehnya, meskipun tidak terlalu keras.
“Haha. Cemen lo, Den. Sama cewek aja kalah,” ejek Ryan. Pemuda berparas tampan itu kini tengah tertawa dari atas motornya melihat apa yang dialami Deni.
“Lah emangnya lo berani sama Bia?” tanya Deni. Ia sepertinya tidak terima diejek seperti itu oleh Ryan.
“Enggak juga, si. Mana berani gue sama cewek sabuk hitam kayak dia, hehe.” Ryan meringis, menampilkan deretan giginya yang tersusun rapi. Bia memang jago bela diri. Ia sudah belajar karate bersamaku sejak kami sama-sama masih TK. Kini, kami berdua sudah mendapat gelar sabuk hitam.
“Udah ah, berisik banget si kalian berdua. Aku mau ke kelas dulu. Ini, Qi. Titip helm nya, ya,” ucap Bia. Gadis berkulit putih itu meletakkan helm di atas kaca spion motorku.
“Iya, Bi. Nanti kamu pulang jam dua, 'kan?” tanyaku.
“Iya. Jam dua seperempat.”
“Oke,” balasku.
Gadis berlesung pipi itu pun segera pergi meninggalkan kami bertiga di parkiran.
“Bia itu sebenernya cantik ya, tapi sangar gitu,” ucap Deni seraya menatap kepergian Bia. Memang, sebenarnya Bia gadis yang cantik. Banyak yang mengakuinya. Termasuk aku, sahabatnya sendiri.
“Gue perhatiin juga dia sebenernya manis. Tapi bisa nggak ada cewek-ceweknya tuh anak,” balas Ryan, sependapat dengan Deni. “Lo nggak pernah naksir sama Bia, Qi?” tanya Deni tiba-tiba. Ia kini menatap ke arahku seraya menaik turunkan kedua alisnya.
“Enggak, lah. Gue sama Bia kan cuma sahabatan,” jawabku sesegera mungkin.
“Ya barangkali aja. Sahabat kan bisa jadi cinta. Lo nggak pernah deg-degan gitu kalo lagi deket Bia?” tanya Deni lagi.
Aku melotot mendengar pertanyaannya. “Ya deg-degan lah, bego! Kalo nggak deg-degan gue udah mati dong.”
“Hissh bukan itu maksud gue, Qi!” sahut Deni,
“Lah lagian, lo nanyanya aneh-aneh. Udah lah. Yuk masuk kelas aja. PR gue belum selesai,” ajakku kepada mereka berdua. Aku memang belum sempat menyelesaikan tugasku itu di rumah. Entah kenapa semalam mataku sulit sekali untuk terbuka.
“Eh, iya. Gue juga belum selesai.” Deni tampak menepuk jidatnya. Kami bertiga pun segera melangkah menuju kelas kami, XI IPS 3. Kelas yang menjadi saksi bisu persahabatan kami sampai saat ini.
Aku, Ryan, dan Deni memang sudah bersahabat sejak kelas X. Selain karena kami selalu satu kelas, kami juga sama-sama pecinta dunia motor dan sepak bola. Alhasil kami bertiga pun langsung akrab sejak kenal di kelas X.
Ryan Atmojo, anak seorang pemilik perkebunan teh yang cukup luas di daerah ini. Bisa dibilang dia anak sultan, orang tuanya kaya. Namun dia tak pernah memamerkan kekayaannya di depan orang lain. Wajahnya lumayan tampan. Tubuhnya juga tinggi, layaknya seorang atlet. Tak sedikit gadis-gadis yang naksir ke dia. Apalagi gayanya cukup stylish. Namun, anehnya Ryan punya tipe cewek yang entahlah, aku juga bingung sendiri. Kadang ia berpacaran dengan kutu buku, kadang anak tomboi, kadang anak organisasi. Entahlah aku tak paham dengan seleranya.
Deni Saputra. Di antara kami bertiga, mungkin Deni yang paling banyak omong. Dia sebenarnya cukup tampan, tetapi tingkah koplaknya membuat ia sampai saat ini masih menjomlo. Ya, sama sepertiku si, tetapi jomloku bukan karena aku tak laku. Tak sedikit teman perempuanku yang mengungkapkan perasaannya kepadaku. Namun, entah kenapa belum ada satu pun yang menarik hati.
Dan inilah kami, tiga siswa tampan dan keren di sekolah ini. Hahaha. Enggak kok, itu cuma pendapatku saja. Kami tak sepopuler itu. Namun, kalau tampan, itu sudah jelas. Kami memang terkenal tampan. Terserah mau dikata terlalu GR atau apa. Orang tampan mah bebas. Hahaha.
***
“Uqi, ini coklat buat kamu,” ucap seorang gadis saat aku sedang sibuk mengerjakan PR di dalam kelas. Aku menoleh kepadanya. Tampak Elsa—teman sekelasku—sudah berdiri di samping meja. Kedua tangannya menggenggam sebatang coklat yang ia serahkan kepadaku.
“Kemarin ayahku baru pulang dari Batam. Trus beli beberapa oleh-oleh. Ini buat kamu,” ucap gadis berambut panjang itu seraya tersenyum manis kepadaku. Aku melirik sekilas ke arah coklat dengan bungkus warna hitam yang dibawanya. Merk coklat yang belum pernah kulihat sebelumnya. Mungkin itu khas dari Batam.
Aku pun tersenyum. Lalu menerima coklat darinya. “Makasih ya, El.”
“Sama-sama, Qi. Semoga kamu suka, ya.” Gadis berwajah ayu itu tampak memperlebar senyumannya kepadaku. Senyuman yang cukup manis. Aku akui itu. Kedua pipinya membentuk lesung yang indah saat ia tersenyum.
“Cuma Uqi aja nih yang dikasih coklat. Kita enggak, El?” celetuk Deni dari arah belakang. Deni dan Ryan memang duduk tepat di bangku belakangku. Barisan paling belakang. Pojok kelas pula. Deni sebenarnya juga sedang mengerjakan PR. Namun entah kenapa ia tahu kalau aku diberi coklat oleh Elsa. Dasar matanya memang jeli sekali kalau lihat gadis cantik.
“Eh. Maaf ya, Den. Aku cuma bawa coklat satu buat Uqi,” jawab Elsa. Ia sedikit mengerutkan kening. Mungkin tak enak hati kepada Deni.
“Emm, ya deh nggak papa. Yang ada di pikiran kamu kan cuma Uqi. Mana inget sama kita berdua ya, Yan. Haha,” balas Deni seraya menghadap ke arah Ryan.
“Eh, bu-bukan gitu kok,” ucap Elsa seraya menundukkan wajah. Kulihat pipinya sudah merah merona karena ucapan Deni tadi. Elsa memang seringkali memberikan perhatian khusus kepadaku. Entah memberikan hadiah, meminjamiku alat-alat tulis, atau hanya sekedar menyapa saat kami bertemu.
Sebenarnya Elsa gadis yang pemalu. Dia bukan tipe gadis yang senang memamerkan kecantikannya seperti gadis pada umumnya. Kuakui Elsa memang cantik. Rambutnya panjang dan selalu tertata rapi dengan jepit rambut yang biasa ia pakai di atas telinganya. Namun, aku sama sekali tak merasakan sesuatu yang lain atas semua perhatian yang ia berikan.
“Nanti aku coba liat di rumah, ya. Barangkali coklatnya masih. Besok aku bawa buat kalian,” ucap Elsa.
“Ehh nggak usah, El. Nanti kita bisa nyicipin aja punya Uqi kok,” balas Ryan.
“Hush. Itu kan spesial buat Uqi. Mana boleh kita minta,” ucap Deni. Aku pun menoleh ke arah mereka berdua. Kubulatkan kedua mata menatap mereka. Mengisyaratkan untuk diam.
“Eng .... Nggak papa, kok. Besok aku bawain buat kalian kalau masih ada,” jawab Elsa.
“Nggak usah repot-repot, El. Jangan dengerin mereka. Mereka mana doyan makan coklat. Mereka doyannya gulali,” ucapku.
Elsa tertawa kecil mendengar ucapanku. “Ya udah, Qi. Aku balik ke mejaku dulu, ya.”
“Iya, El. Sekali lagi makasih, ya,” ucapku seraya mengangkat coklat pemberiannya.
“Sama-sama, Qi.” Elsa tersenyum, lalu kembali ke tempat duduknya di depan.
“Ehm ehm ... jadi mau sama Bia apa sama Elsa, nih?” celetuk Deni. “Kalau milih Bia, biar Elsa-nya buat gue. Kalau milih Elsa, biar Bia-nya buat gue.”
“Diem lo ah, PR gue belum selesai,” jawabku tak pedulikan ucapan Deni. Kuletakkan coklat pemberian Elsa di pojokan meja.
Bersambung.
Esok harinya, aku mencoba menemui Bia. Kuhentikan laju sepeda motor di depan rumahnya. Sengaja kusempatkan waktu untuk memberikan bingkisan yang sudah kupersiapkan semalam sebelum aku berangkat ke sekolah. Aku tak mau gadis bertubuh mungil itu sudah telanjur pergi setelah aku pulang dari sekolah.Aku melangkah dengan ragu-ragu memasuki halaman rumah yang dahulu sering kudatangi. Halaman rumah yang cukup asri dengan sebuah pohon mangga yang berdiri tegak di pojok kanan rumah. Saat kecil, aku sering sekali naik ke pohon itu bersama Bia. Kami biasa duduk-duduk di atas dahan sambil menikmati mangga yang kami petik.Bia kecil memang sudah terlihat begitu tomboi. Ia sama sekali tak takut akan terjatuh atau tegigit serangga saat naik pohon bersamaku. Ayahnya pun sampai sering berteriak, memintanya turun. Namun, kami berdua tetap menikmati aktivitas kami seperti seekor monyet yang duduk nangkring di atas dahan pohon.Sekarang, rasanya begitu aneh. Semuanya sungguh
Suara jangkrik yang bersahutan menemani malamku yang kini tengah dilanda perasaan bingung. Kurebahkan tubuh di atas tempat tidur dengan wajah menghadap langit-langit kamar. Sementara kedua telapak tanganku menggenggam erat sebuah ponsel yang kuangkat tepat di atas wajah.Berkali-kali jari-jemariku mengetikkan beberapa kata di aplikasi perpesanan dengan kontak tujuan bertulisakan nama Bia. Namun, kata-kata itu langsung kuhapus sebelum aku sempat mengirimnya. Aku sedikit ragu. Aku takut pesanku ini akan mengganggu atau bahkan membuatnya kembali marah kepadaku.Jujur, sejak pertemuan tak sengaja di toko buku siang tadi, aku sama sekali belum bisa menghilangkan bayangan wajahnya dari pikiran. Melihat wajah ayunya setelah satu setengah tahun tak bersua sungguh mengobati rasa rindu yang selaman ini begitu menyiksa. Aku sangat bahagia. Terlebih ia sudah mau memaafkan semua kesalahanku.Hati yang selama ini sempat redup karena kehilangan sosok sahabat sekaligus ga
Hari demi hari berlalu. Aku sudah berada di penghujung kelas XII. Satu minggu lalu Ujian Nasional sudah terlaksana, dan sekarang aku sedang menikmati masa-masa tenang menunggu pengumuman kelulusan dan perpisahan sekolah.Semuanya terasa begitu cepat. Waktu bergulir tanpa kusadari. Namun, hari-hariku tetap terasa hampa. Pagiku tak pernah bersemangat karena tak ada lagi Bia yang biasanya setiap hari selalu ingin kutemui. Tak ada lagi wajah ayu yang senyum riangnya selalu membuatku ikut tersenyum sendiri. Tak ada lagi si pemilik pipi tembam yang meskipun sering marah-marah, tetapi selalu terlihat lucu dan menggemaskan bagiku.Aku benar-benar merindukannya. Setiap momen bersamanya sejak kami masih kecil masih terekam jelas di kepala. Aku rindu momen-momen itu. Saat tak ada jarak di antara kami, saat perasaan ini belum muncul, saat Bia belum berubah, dan saat aku tak pernah melakukan kesalahan fatal yang membuatnya begitu membenciku.Andai bisa memutar waktu, aku leb
Aku menatap kosong halaman sekolah dari balik jendela kelas sembari membayangkan hari-hariku yang kini terasa begitu sunyi. Aku benar-benar kehilangan sosok sahabat sekaligus seseorang yang sangat spesial di hati. Semuanya begitu hampa. Gadis yang sudah mengisi relung jiwaku, tadi pagi benar-benar pergi tanpa memberikan jawaban apa pun atas ungkapan perasaanku. Jangan membalas cinta, memafkan kesalahanku pun tak ia lakukan.Aku benar-benar resah. Segala perasaan begitu berkecamuk di dalam dada. Sejak jam pelajaran pertama aku sama sekali tak bisa fokus mendengarkan penjelasan guru di depan sana. Rasanya aku ingin segera pulang dan merebahkan diri di atas tempat tidur. Ah! Seperti inikah rasanya orang patah hati?Kriiing!Lengkingan bunyi bel istirahat sekolah menggema keras di seantero bangunan sekolah. Kutangkupkan wajah di atas meja. Aku benar-benar tak bertenaga. Seluruh energi tubuhku seolah-olah pergi bersamaan dengan kepergian Bia."Bro!
Aku sudah berada di depan gerbang rumah Bia. Kuhentikan mesin motor dan segera memasang standar dengan perasaan masih ragu-ragu. Jujur, aku sebenarnya masih takut bertemu Bia. Takut ia belum mau memaafkanku. Takut ia akan semakin membenciku. Dan takut aku melakukan hal yang lebih bodoh dari itu. Namun, hal yang lebih kutakutkan adalah jika aku tak sempat mengungkapkan semua perasaanku sebelum ia benar-benar pergi.Kulirik ke dalam halaman rumah Bia. Tampak suasana sangat sepi dan gerbang pun masih tertutup rapat. Sudah dipastikan ayah Bia tidak ada di rumah. Mungkin hanya ada Bia yang sedang berdiam diri di dalam sana.Beberapa kali kuteriakkan namanya dari depan gerbang. Berharap ia mendengar dan mau membukakan pintu untukku. Namun, setelah menunggu selama sepuluh menit, tak ada satu pun tanda-tanda ia mau keluar menemuiku. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke rumah dengan perasaan kecewa.Bruk!!Kujatuhkan tubuh di atas tempat tidur. Rasanya harik
Sudah dua hari aku tak melihat keberadaan Bia. Gadis berpipi tembam itu sama sekali tak kulihat keberadaanya, baik di lingkungan rumah maupun di sekolah. Beberapa kali aku coba menghubunginya. Namun, pesan dan panggilanku sama sekali tak ia balas, bahkan membacanya pun tak ia lakukan, padahal sering kulihat status di kontaknya menunjukkan tulisan online.Aku yakin gadis bermata lentik itu masih sangat marah kepadaku. Aku memang salah. Apa yang kuperbuat begitu fatal. Pantas jika ia membenciku. Aku pun begitu resah memikirkan hal itu. Namun, aku bukan sengaja melakukannya. Semuanya begitu tiba-tiba. Aku tak tahu jika kakiku akan tersandung dan tubuhku jatuh menubruknya.Sampai saat ini aku masih merutuki diri sendiri. Berharap waktu dapat kuulang dan hal itu tidak terjadi. Aku masih ingat bagaimana butiran air mata menetes membasahi pipinya, pun dengan amarah yang meluap di kedua netranya. Aku sudah mengambil ciuman pertamanya. Ciuman yang harusnya ia berikan kepa