Share

Rindu yang Mulai Muncul

Hari masih pagi, tetapi Bunda dan Mba Huma sudah sibuk berkutat dengan berbagai peralatan dapur. Bunyi wajan dan sutil saling bersahutan, menggema bak sebuah orkestra di rumah kami. Aroma gurih nan lezat pun sudah merebak ke seisi rumah. 

Bunda dan Mba Huma memang sedang menyiapkan hidangan untuk menyambut kedatangan tamu dari Pekalongan. Rencananya, hari ini keluarga kyai Mba Huma akan datang ke rumah untuk bertakziah. 

Aku sebagai anak laki-laki yang tidak bisa memasak, hanya bisa membantu Bunda dengan bersih-bersih rumah sambil sesekali merecoki mereka dengan mengambil makanan yang sudah jadi. Ya, hitung-hitung sebagai tukang cicip, meskipun tak diizinkan Mba Huma.

“Dih, Uqi! Gangguin aja, si! Bantu beres-beres di depan aja sana! Dari tadi makan mulu!” Mba Huma sepertinya mulai kesal karena sedari tadi aku selalu mengambil kue-kue dan gorengan yang baru saja dimasaknya. Ia yang berpakaian bak seorang chef yang ada di TV dengan celemek tergantung di tubuhnya, kini sedang mengangkat spatula seolah-olah ingin melayangkannya ke arahku.

Aku hanya menyengir kuda, mendengar omelan Mba Huma sambil berusaha menjauh dari spatulanya. Lebih baik aku mendekati Bunda di meja makan untu menghindari amukannya. “Abisnya enak si, Mba. Hehe,” ucapku seraya terkekeh kecil.

Kuakui masakan Mba Huma memang begitu lezat. Tak kalah dengan masakan Bunda. Makanya, sedari tadi aku tak mau pergi menjauhi dapur. “Lagian rumah kan udah Uqi beresin semuanya. Udah disapu, dipel juga. Mau ngapain lagi coba?” kilahku.

Mba Huma mencebik kesal, lalu melanjutkan aktivitas masaknya. “Ya ngapain kek. Nyapu halaman, nyabutin rumput, natain pot, apa nguras kolam ikan. Terserah kamu. Yang penting jangan di dapur terus. Bisa habis makanannya ntar.”

Aku sedikit mengerutkan kening. “Ya kali, masa kolam ikan dikuras. Mana bisa,” sahutku. Ada-ada saja Mba Huma ini. Memangnya kolam ikan seperti kamar mandi apa? Pakai dikuras segala.

“Ya udah, ngapain aja deh terserah kamu. Yang penting jangan makan mulu,” gerutu Mba Huma. Ia kini berjalan ke arah meja makan. Meletakkan perkedel yang baru saja dimasaknya di atas piring. Membuat tangan jahilku ingin segera mencicipinya.

“Siapa juga yang makan mulu, orang aku makannya perkedel,” sahutku sambil berusaha mengambil perkedel yang sudah menggoda salivaku ini. Tanganku pun berhasil mengambil perkedel sesaat sebelum Mba Huma menyadari tingkahku.

“Hissh! Nih anak, udah garing, susah dibilangin juga!” sewot Mba Huma, yang kubalas dengan gelak tawa sambil terus menggigit perkedel yang ada di genggaman tangan.

***

Tepat seusai Zuhur, keluarga kyai Mba Huma sampai di rumah. Setidaknya ada lima orang yang datang. Termasuk putra-putri beliau. Mereka semua saat ini sedang berkumpul di ruang tamu. Sementara itu, aku lebih memilih berada di halaman rumah karena di dalam pun aku hanya akan menjadi obat nyamuk. Tak bisa nyambung dengan obrolan mereka. Alhasil, sepeda motor kesayangankulah yang jadi pelarian satu-satunya. 

Biasanya, saat bosan seperti ini aku selalu pergi ke rumah Bia. Mengajaknya keluar, atau sekedar duduk-duduk di selasar rumahnya. Namun, saat ini tak mungkin aku lakukan. Mana mungkin aku ke rumah Bia sementara hubungan kami sedang renggang seperti ini. Yang ada, malah menambah kecanggungan di antara kami.

Jujur, aku sebenarnya rindu momen-momen kebersamaanku dengannya. Saat kami berangkat dan pulang sekolah bersama, naik gunung bersama, main PS bersama, latihan karate bersama. Semua momen yang kami isi dengan penuh canda dan gelak tawa itu sungguh aku rindukan. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan. 

Tak ada lagi obrolan dan sapaan yang terlontar di antara kami. Tak ada lagi Bia yang sering main selonong datang ke rumah, atau aku yang sering meneriakkan namanya di depan gerbang. Kini, bahkan untuk sekedar berniat mengunjungi rumahnya saja pun aku tak berani.

Kulihat gerbang rumah Bia yang tampak begitu jelas dari halaman rumahku. Masih tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda orang. Jelas Bia belum pulang dari sekolah. Mungkin sebentar lagi.

Aku menghela napas, kembali menatap sepeda motor warna biru yang berdiri gagah di depanku. Sedikit kuotak-atik mesinnya. Mencari kesibukan agar tak bosan.

“Kamu Sauqi adiknya Humairoh, kan?” Tiba-tiba salah satu tamu Mba Huma datang menghampiriku. Seorang pemuda dengan pakaian khas seorang santri yang terlihat cukup rupawan. Aku tahu pasti itu salah satu putra kyai Mba Huma. Kalau tidak salah, aku pernah melihatnya dulu waktu berkunjung ke pesantren. Namanya Gus Alka.

“Eh. Iya, Gus. Saya Sauqi.” Aku segera berdiri, menghadap Gus Alka. Lalu kusalami ia dengan sedikit menunduk. Tak lupa kucium punggung tangannya. Meskipun aku bukan seorang santri, aku tahu bagaimana bersikap santun kepada keluarga kyai. Almarhum Ayah yang mengajarkan.

“E-e-e, nggak usah cium tangan segala,” ucap Gus Alka sambil berusaha menarik pergelangan tangannya yang berusaha kucium, “kayak sama siapa aja.” Tampak Gus Alka tersenyum ramah kepadaku.

“Kan jenengan putranya abah kyainya Mba Huma, Gus. Jadi saya juga harus hormat ke jenengan,” tuturku sedikit kikuk.

“Yang kyai itu Abah saya, bukan saya. Jadi hormatnya ya ke Abah saya aja, bukan ke saya,” tegasnya. Jujur aku sedikit kagum kepada Gus Alka. Sudah tampan, saleh, baik hati, pintar ilmu agama pula. Andai saja sejak dahulu aku menuruti perintah Ayah untuk menjadi santri, mungkin aku sudah menjadi seperti Gus Alka kini. “Kamu suka otak-atik motor, ya?” tanya Gus Alka.

“Iya, Gus. Sudah jadi hobi dari dulu. Sepeda motor ini sudah seperti belahan jiwa saya, hehe,” jawabku sambil sedikit tertawa.

“Oh ya? Berarti bisa benerin motor kalau mogok, dong?” tanya Gus Alka lagi. Sepertinya Gus Alka mulai penasaran dengan sepeda motorku. Kini ia sedikit berjongkok melihat-lihat mesin motor yang sedang kuotak-atik ini.

“Ya sedikit-sedikit si, Gus. Kalau masalah ringan aja,” balasku.

Gus Alka tampak menganggukkan kepala. “Kalau mesin mobil bisa?” tanyanya lagi.

“Eh? Kalau mobil mah saya nggak bisa, Gus. Ngendarain aja nggak bisa,” jawabku seraya terkekeh kecil.

“Kirain bisa,” jawab Gus Alka seraya tersenyum. “Tadi mobil yang saya bawa, tiba-tiba mogok. Untung di depan rumah kamu ada bengkel. Kira-kira sekarang udah jadi apa belum, ya?” papar Gus Alka.

“Loh, mogok kenapa, Gus?”

“Nggak tahu loh, padahal di perjalanan tadi baik-baik aja. Tiba-tiba mogok. Untung udah sampai di depan rumah kamu,” jawab Gus Alka. “Biasanya kalau benerin di sana lama nggak ya, Qi?”

“Emm, tergantung si, Gus. Kalau lagi banyak yang benerin ya lumayan lama. Maklum, di kampung kayak gini cuma ada beberapa bengkel saja, Gus,” ucapku.

“Tadi si kayaknya lumayan rame. Berarti lama ya.” Gus Alka tampak kecewa. Mungkin karena perjalanan mereka jauh dan tak mungkin menunda kepulangan hanya gara-gara mobil yang mogok. Apalagi mereka memiliki pesantren yang harus diurus.

“Emm, mau saya temenin ke bengkel, Gus? Biar saya bilang ke Bang Tono buat benerin mobil Gus Alka dulu,” tawarku. Mencoba mencari solusi.

“Eh, emangnya bisa?” 

“Insyaallah bisa, Gus,” jawabku seraya tersenyum. 

Aku pun segera mengajak Gus Alka menuju bengkel seberang rumahku. Tepat di samping rumah Bia. Tampak bengkel memang sedikit ramai. Banyak sepeda motor milik pelanggan yang mungkin hendak diperbaiki olehnya.

Setelah merayu Bang Tono dengan berbagai cara, akhirnya mobil Gus Alka pun diperbaiki lebih dahulu. Aku bersyukur karena Bang Tono mau memahami tamuku ini yang seorang anak kyai dan berasal dari luar kota. Tampak Gus Alka pun begitu senang dan berkali-kali mengucapkan terima kasih kepadaku. Kami memutuskan untuk menunggu di depan bengkel sembari melihat Bang Tono mengotak-atik mesin mobil.

Kulirik arloji di tangan kanan. Sudah pukul 14.30 WIB. Tepat jam kepulangan sekolahku. Berkali-kali kutatap jalanan di depan rumah Bia. Menunggunya pulang dari sekolah. Entah kenapa aku ingin sekali melihat wajahnya, meskipun hanya sebentar.

Beberapa menit menunggu. Akhirnya sebuah angkot berhenti di depan rumahnya. Aku yang sedari tadi duduk bersandarkan dinding bengkel Bang Tono, segera bangkit menuju ke depan. Entah kenapa kedua kakiku seolah-olah melangkah sendiri mendekati jalanan, menatap Bia yang sedang turun dari angkot seorang diri.

Pandanganku tak pernah lepas dari gelagatnya. Mulai dari turun, berjalan ke arah sopir, dan membayar ongkos. Semuanya terekam di kedua netra ini. Namun, tiba-tiba aku terkesiap saat Bia berbalik arah dan memergokiku sedang memperhatikannya.

Bia sempat melirik kepadaku. Membuatku sedikit salah tingkah. Pun demikian dengannya, ia tampak sedikit kaget. Namun, entah kenapa kedua netranya tampak seperti ia ingin mengutarakan sesuatu kepadaku. Kedua netranya tampak sedikit sendu saat melihatku. Mungkin ia mampu merasakan kesedihan yang kualami karena ditinggal sosok Ayah.

Perlahan Bia menundukkan kepalanya. Menghindari tatapanku. Namun, aku begitu kaget saat tiba-tiba Bia mulai melangkah ke arahku. Apa yang Bia lakukan? Apa Bia ingin menghampiriku? Mendadak detak jantungku berdebar tak keruan. 

Apa yang akan aku katakan nanti saat ia benar-benar sudah berdiri di sini? 

Ia masih di depan sana saja bibirku sudah kelu, apalagi saat ia nanti sudah tepat berada di hadapanku. Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Detak jantungku saat ini berdegup dua kali lebih cepat dari biasanya. Meskipun gadis berpipi tembam itu sama sekali tak menatap ke arahku, tetap saja ia mampu membuatku saat ini begitu gugup.

Ah! Perasaan macam apa ini?!

Sejak dahulu, aku merasa biasa saja saat bertemu atau berbicara dengan Bia. Namun, mengapa saat ini semuanya begitu berbeda? Rasanya seperti oksigen yang berada di sekelilingku tiba-tiba menghilang, aku kehabisan napas. Apalagi jantungku, seperti ada ribuan petasan yang sedang meledak di dalamnya.

Aku masih berusaha menenangkan diri. Namun, entah kenapa pandanganku tak bisa lepas dari wajahnya. Meskipun dengan wajah yang menunduk, aku masih bisa melihat wajahnya yang begitu ayu. Kedua netranya yang bulat terhias sempurna oleh bulu mata yang lentik. Pun demikian dengan bibir mungilnya, terukir indah dan ranum meskipun tanpa olesan apa pun.

“Ah! Mengapa aku malah memperhatikan wajahnya.” Aku menggelang pelan. Menyadarkan diri dari keterpukauanku kepada Bia. Ya, benar. Aku mengaku bahwa aku memang terpukau dengan wajah ayunya. Entah sejak kapan, aku pun tak menyadarinya. Mungkin baru akhir-akhir ini.

Bia kini semakin dekat. Ia sudah berada beberapa langkah di depanku. Kucoba melekukkan senyum saat Bia sampai di depanku. Pun demikian dengannya, ia tampak membalas senyumanku. Namun, langkah kakinya terus berjalan melewatiku. Aku sedikit tertegun. Menelan salivaku sendiri. Bia bukan ingin menghampiriku.

“Bang Tono,” ucap Bia tiba-tiba. Ternyata Bia ke sini ingin menemui Bang Tono, bukan aku. Ah, percaya diri sekali. Aku merutuk, menahan malu kepada diri sendiri.

“Eh, Bia. Ada apa, ya?” Bang Tono yang sedari tadi masih sibuk memperbaiki mobil Gus Alka kini menoleh ke arah Bia. Sejenak ia menghentikan aktivitasnya untuk menemui anak tetangganya itu.

“Tadi Ayah titip pesan, katanya kartu keluarga Bang Tono yang kemarin diperbaiki sekarang sudah jadi. Kalau mau, Bang Tono bisa ambil hari ini juga di Kantor Kelurahan,” ucap Bia.

“Eh, sudah jadi, ya? Tapi aku lagi banyak job nih. Kayaknya besok deh ambilnya,” balas Bang Tono. 

“Ya udah, Bang. Bia cuma menyampaikan apa yang diucapkan Ayah.”

“Iya, Bia. Makasih banyak ya.”

“Sama-sama, Bang. Bia pulang dulu, ya,” pamit Bia seraya berbalik meninggalkan Bang Tono. 

Bia kini melangkah menuju rumahnya yang tepat berada di samping bengkel Bang Tono. Sementara itu, aku hanya bisa menatap kepergiannya dengan posisi masih berdiri di tempat yang sama.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status