Share

Hari yang Kelabu

Pagi ini, aku dan Bunda dikejutkan dengan sebuah berita buruk. Beberapa menit lalu, ada seorang petugas BPBD yang menghubungi kami. Mereka memberikan kabar bahwa Ayah mengalami kecelakaan saat sedang bertugas.

Ayah memang tadi bergegas pamit dari rumah setelah mendapat panggilan darurat dari kantor. Katanya ada seorang anak kecil yang hanyut terbawa arus yang meluap saat sedang bermain di tepian sungai bersama kakeknya. Ayah sebagai salah satu petugas BPBD yang lokasinya paling dekat, tentu segera ditugaskan ke lokasi kejadian.

Alhamdulillah, anak itu dapat diselamatkan oleh Ayah. Namun, nahasnya Ayah malah terbawa arus tersebut sampai terseret beberapa ratus meter. Beruntung petugas yang tadi menguhubungi kami berhasil menyelamatkan Ayah. Dan kini, Ayah sudah dibawa ke rumah sakit untuk diberikan penanganan darurat.

Aku dan Bunda tentu begitu kaget dengan kejadian ini. Segera kami berangkat menuju rumah sakit tempat Ayah dirawat. Namun, sampai saat ini Ayah sama sekali belum sadarkan diri dan masih berada di ruang UGD.

Tentu, aku dan Bunda amat terpukul. Aku tak tahu, sudah berapa banyak air mata yang keluar dari kedua bola mata Bunda, pun demikian denganku. Aku sungguh takut terjadi apa-apa dengan Ayah.

Kami berdua duduk di depan ruang tunggu UGD bersama beberapa orang petugas yang mungkin adalah rekan kerja Ayah. Tanganku masih setia merangkul punggung Bunda. Memberikan kekuatan kepada wanita yang telah melahirkanku ini. 

Beberapa menit kami menunggu, tetapi tak jua ada kabar dari dokter atau pun perawat yang keluar dari ruang UGD. Berbagai pikiran buruk terus datang menghantuiku. Aku sungguh takut Ayah tak bisa diselamatkan. Apalagi, Ayah tadi dibawa dari lokasi kejadian dalam kondisi yang begitu memprihatinkan. Tubuhnya begitu lemas dan basah kuyup. Beberapa luka memar juga tampak di tubuh Ayah. Mungkin karena menghantam bebatuan atau ranting-ranting pohon.

Kucoba berkali-kali menghubungi nomor ponsel Mba Huma untuk memberitahukan kabar ini. Namun, selalu gagal. Ponselnya sama sekali tak aktif. Entah apa yang sedang dilakukan Mba Huma di saat-saat genting seperti ini.

Kleek!

Pintu ruang UGD tiba-tiba terbuka. Seorang laki-laki paruh baya memakai setelan jas warna putih keluar dari ruangan. Aku yang menyadari itu, segera menuju ke arahnya.

“Bagaimana keadaan Ayah saya, Dok?” ucapku buru-buru. Aku sudah begitu khawatir dengan Ayah. Begitu pula dengan Bunda. Ia kini sudah berada tepat di sebelahku.

“Suami saya baik-baik saja, 'kan, Dok?” tanya Bunda penuh dengan kekhawatiran. Kedua bola matanya masih sembab. Menahan isak tangis.

“Tenang dulu, Mas, Bu. Alhamdulillah Pak Darmawan sudah sadar. Namun, tubuhnya masih amat lemas. Beliau kini kami pasang alat bantu pernapasan karena paru-parunya terlalu banyak kemasukan air,” papar laki-laki yang kuketahui dari jasnya itu bernama dr. Danu.

Aku begitu bersyukur karena Ayah sudah sadar. Namun, rasa khawatir juga masih meliputiku, mendengar penjelasan dr. Danu tentang keadaan Ayah yang masih seperti itu. “Boleh kami masuk, Dok?”

“Iya, silahkan. Tapi jangan terlalu lama, ya. Pasien butuh waktu untuk istirahat. Dan jangan mengganggu kenyamanan pasien juga,” pesan Dokter Danu.

“Baik, Dok.” Aku dan Bunda segera masuk ke ruang UGD diantar oleh Dokter Danu. Tampak di sana, Ayah tengah tergeletak lemas di atas ranjang rumah sakit. Aku sungguh tak tega melihat keadaan Ayah.

Jujur, aku tak habis pikir kenapa Ayah mau bekerja sebagai petugas di Kantor BPBD. Padahal menurut Bunda, Ayah berasal dari keluarga yang cukup berada. Orang tua Ayah memiliki perkebunan yang cukup luas di daerah kami. Namun, kata Bunda, Ayah tak mau hanya mewarisi kekayaan yang dimiliki keluarganya. Ayah lebih senang berusaha dengan jerih payahnya sendiri.

Sebenarnya, Ayah dan Bunda sudah merintis usaha perkebunan milik mereka sendiri. Pegawainya pun kini sudah di atas sepuluh orang. Namun, memang sejak dahulu Ayah memiliki jiwa besar dan kepedulian terhadap sesama, Ayah pun lebih melilih untuk bekerja di kantor BPBD. Membantu orang-orang yang terkena musibah.

Pekerjaan yang sangat mulia memang. Namun, penuh dengan resiko. Ayah harus menghadapi ancaman dan bahaya setiap kali menjalankan tugas. Bahkan tak jarang Ayah harus mempertaruhkan nyawa untuk menolong korban bencana atau musibah. Seperti saat ini.

“Ayah ...” ucapku sesaat setelah sampai di dalam ruangan. Aku segera menuju ke samping ranjangnya. Begitu pula dengan Bunda. Bunda kini duduk di sebuah kursi di samping ranjang Ayah. Tangan kanannya tampak menggenggam erat tangan Ayah. Aku tahu Bunda amat terpukul dengan kejadian ini.

“Uqi, Bunda. Ayah nggak papa, kok. Kalian nggak perlu khawatir,” ucap Ayah seraya tersenyum. Suaranya terdengar begitu parau. Wajah yang selama ini selalu tampak gagah dan penuh semangat, kini tampak amat pucat.  

“Ayah yang kuat, ya,” balas Bunda seraya menahan isak tangis. “Ayah harus segera pulih.” Keadaan Bunda tak lebih baik dari Ayah. Wanita yang setiap hari selalu ceria itu kini di wajahnya tampak begitu sendu, penuh dengan kesedihan.

Ayah hanya tersenyum menatap Bunda. Tangannya kini beralih ke wajah Bunda. Mengusap air mata yang sesekali turun membasahi pipi belahan hatinya itu.

“Sauqi, sini Ayah mau bicara sama kamu.” Tampak Ayah mengalihkan tatapannya ke arahku. Tangan kanannya sedikit ia lambaikan ke arahku. Tanpa banyak waktu, aku pun segera mendekat.

“Iya, Ayah. Ada apa, Yah?” Kedua tanganku kini menggenggam lengan Ayah. Kutatap leka-lekat kedua bola mata laki-laki yang selama ini sudah merawatku sampai sebesar ini. 

“Kamu kan anak laki-laki Ayah satu-satunya, dan kamu kini sudah besar. Kamu harus janji satu hal, ya, sama Ayah. Kamu harus selalu menlindungi Bunda dan Kakak kamu.” Ucapan Ayah membuat kedua mataku tiba-tiba terbelalak. Suaranya begitu lemah, tetapi aku dapat mendengar dengan jelas setiap kata yang ia ucapkan. 

“A-apa maksud Ayah berkata seperti itu?” tanyaku. Aku menatap ke arah Bunda. Tampak Bunda juga mengernyitkan dahinya mendengarkan perkataan Ayah. 

“Ayah pengin kamu benar-benar jadi jagoan Ayah. Kamu harus jagain Bunda dan Mba Huma. Apa pun yang terjadi, jangan sampai terjadi apa-apa sama mereka,” ucap Ayah, masih dengan suara yang lemah. Kedua bola matanya menatap lekat-lekat ke arahku.

“A-Ayah kenapa ngomongnya gitu!” sahut Bunda dengan suara yang sedikit bergetar.

Ayah kembali tersenyum. “Yang namanya umur kan siapa yang tahu, Bunda. Bisa saja sekarang, nanti, atau besok, Ayah dipanggil oleh Allah—” 

“Ayah nggak boleh ngomong kayak gitu. Ayah pasti baik-baik aja!” ucapku memotong kalimat Ayah. Jantungku kini berdetak tak keruan. Sungguh, aku amat takut apa yang dikatakan Ayah akan terjadi.

“Ayah, udah nggak usah bahas seperti itu lagi. Bunda percaya pasti Ayah akan segera pulih. Ayah akan segera pulang ke rumah. Ayah harus yakin itu,” ucap Bunda.

Lagi-lagi, Ayah hanya tersenyum. “Qi? Kamu bawa HP?” 

“Bawa, Ayah,” jawabku dengan segera.

“Coba telpon mbakmu, Qi. Ayah pengin ngomong sama dia.” Aku hanya menurut, mengikuti perintah Ayah. Segera kuhubungi nomor Mba Huma. Namun lagi-lagi, nomornya tak bisa dihubungi. Pesan yang kukirim pun tak juga bercentang dua.

“Uhuk ... uhuk ... gimana, Qi?” tanya Ayah.

Aku menggeleng kepadanya. “Nomor Mba Huma nggak aktif, Yah. Dari tadi Uqi udah berkali-kali telpon tapi nggak berdering,” jawabku.

Ayah tampak menghela napas. “Ya udah. Sampein ke mbakmu ya, Qi. Bilang kalau Ayah sayang banget sama dia. Begitu pula sama kamu dan Bunda. Ayah sangat sayang kalian. Kalianlah satu-satunya harta yang paling berharga bagi Ayah.”

“Yah, Ayah ngomong apa, si!” Tiba-tiba perasaanku jadi tak menentu. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Firasat buruk mulai datang menghampiri.

“Tiba-tiba Ayah rindu Fatir, Qi. Ayah ingin bertemu dengan dia.”

“Ayah! Jangan bilang gitu!” Bunda tampak mulai panik. Wajahnya kian memerah. Air mata Bunda sudah tak mampu lagi dibendung.

“Ayah minta maaf kalau selama ini belum bisa jadi Ayah yang baik buat kamu dan Huma, Qi. Ayah juga minta maaf belum bisa jadi suami yang baik buat kamu, Sayang.” Suara Ayah mulai memelan. Sorot matanya mulai meredup. Begitu pula tubuhnya, semakin lemas seperti tak ada tenaga.

“Ayah nggak boleh ngomong gitu. Ayah adalah Ayah terbaik bagi Uqi. Uqi lah yang harusnya minta maaf sama Ayah karena belum bisa jadi anak yang baik.” Aku mulai panik. Begitu pula Bunda.

Ayah hanya tersenyum. Lalu bibirnya mulai bergetar. “A-ayah pa-pamit,  ya, Qi. Asy ... hadu ... al ... laa ... ilaaha ... illalloh ... wa ... asyhadu ... anna ... muhammadar ... rosu ... lulloh ....”

Tepat setelah mengucapkan kata terakhirnya, tiba-tiba Ayah menutup mata. Tubuhnya terkulai lemas. Senyuman manis terukir di kedua sudut bibirnya. Aku begitu syok. Begitu pula Bunda. Air mata kami sudah tak tertahankan.

“Ayah!” teriakku. Berusaha menggoyang-goyang tubuh Ayah. Namun, tak ada respons. 

“Qi. Cepat panggil dokter, Qi! Cepat!” perintah Bunda dengan suara sedikit histeris. Aku pun segera berlari keluar memanggil dokter atau siapa pun yang bisa memeriksa Ayah.

Setelah menemukannya, aku segera masuk ke ruangan Ayah kembali. Tampak Dokter Danu sedikit memeriksa Ayah. Namun, ekspresi mukanya tiba-tiba memuram.

“Maafkan saya, Mas, Bu. Pak Darmawan memang sudah pergi menghadap-Nya.”

Seketika air mataku tumpah ruah. Terlebih Bunda. Isak tangis mulai bersahutan di ruangam kecil ini. Aku sama sekali tak menyangka, Ayah benar-benar pergi meninggalkan kami. Ayah yang selalu menjadi idolaku. Namun, begitu banyak kekecewaan yang aku ukir kepadanya.

“Ayah, kumohon bangunlah ...” lirihku. 

***

Malam ini juga, jenazah Ayah akan diberangkatkan ke pemakaman. Bunda memang menghendaki jenazah Ayah untuk segera dikubur. Karena sudah sembilan jam sejak Ayah menghembuskan nafas terakhir, dan Bunda tak ingin memperlama proses pemakaman Ayah.

Sebenarnya, bisa saja Ayah segera dikuburkan tadi sore. Namun, kami harus menunggu Mba Huma pulang dari pesantren terlebih dahulu. Bunda ingin agar proses pemakaman Ayah dihadiri oleh seluruh keluarga, termasuk Mba Huma yang sedang berada di luar kota.

Alhasil, selepas Asar, aku berangkat menuju Pekalongan untuk menjemput Mba Huma. Lima jam menempuh perjalanan pulang pergi, aku dan Mba Huma akhirnya sampai di rumah. Mba Huma sempat syok karena mendengar berita ini. Apalagi ia tak sempat bertemu atau pun berbicara dengan Ayah di saat-saat terakhirnya.

“Bunda ....” Tangis Mba Huma pecah saat melihat Ayah sudah terbujur kaku di tengah ruangan. Ia segera berlari ke pelukan Bunda. Meluapkan segala tangisnya.

Sementara aku, sama halnya dengan Mba Huma, aku sungguh tak sanggup lagi membendung semua air mata ini. Aku masih tak percaya, secepat ini Ayah pergi meninggalkan kami. Ayah yang selama ini selalu menjadi pelindungku, menjadi idolaku, menjadi pahlawanku dan menjadi penyemangat di setiap hari-hariku. Namun, aku sama sekali belum bisa menjadi seperti yang Ayah inginkan

Dengan tubuh gontai, aku mendekat ke samping ranjang tempat jenazah Ayah terbaring. Aku tertunduk lesu di samping jenazah Ayah. Tanganku mengelus tubuh yang kini benar-benar tertutup oleh kain putih.

“Maafkan Uqi, Ayah. Uqi sering membuat Ayah marah, membuat Ayah kesal. Bahkan Uqi selalu menolak saat Ayah minta Uqi masuk pesantren ... Uqi benar-benar anak yang durhaka, Ayah.”

Aku merutuki diri sendiri. Segala penyesalan seketika muncul. Harapan terbesar Ayah agar aku menjadi seorang santri, tak pernah sekali pun aku turuti. Ayah memang seringkali menyarankanku untuk masuk pesantren seperti Mba Huma. Namun, aku merasa belum siap, dan aku pun masih ingin bermain bersama teman-teman klub motorku.

Kini, aku benar-benar menyesal telah mengecewakan segala harapan Ayah. Andai aku tahu Ayah akan pergi secepat ini, tentu akan kulakukan apa pun permintaan Ayah.

***

Setelah melaksanakan salat jenazah dan membaca Surah Yasin, kami segera membawa jenazah Ayah menuju ke pemakaman. Meskipun hari sudah amat gelap dan udara semakin dingin, para warga masih setia mengikuti prosesi pemakaman Ayah. Aku yakin, Ayah memang benar-benar orang yang baik. Ayah adalah seorang pahlawan. Tidak hanya bagiku, tetapi juga bagi seluruh warga kampung.

Bersama beberapa kerabat, aku ikut mengangkat keranda Ayah menuju lokasi pemakaman yang letaknya memang tak begitu jauh dari rumah. Lantunan tahlil mengiringi langkah perjalanan kami. Menggema di jalalan sepanjang kaki Gunung Prau. Sesampainya di pemakaman, jenazah Ayah segera didoakan dan dimasukkan ke liang lahat. 

“Qi, kamu azanin Bapak kamu, ya. Buat mengantar kepergian Beliau,” perintah Kyai Ja'far. Aku pun patuh dan segera melakukan apa yang Kyai Ja'far perintahkan.

Dengan masih menahan segala beban di dada, kukumpulkan suara sebagai persembahan terakhir untuk Ayah sebelum jenazahnya benar-benar dikebumikan.

“Allahu akbar allahu akbar ... Allahu akbar allahu akbar ... Asyhadu alla ilaaha illallah ... Asyhadu alla ilaaha illallah ....”

Tepat pukul 21.30 WIB, prosesi pemakaman Ayah selesai. Semua tetangga tampak berangsur-angsur pulang. Meninggalkan tanah makan yang mulai menyepi. Di ujung makam, tampak Bia juga hadir mengiringi jenazah Ayah. Aku memang sempat melihatnya sejak dari rumah tadi. Namun, tak sempat kuucapkan sepatah kata pun kepadanya. Tampak ia juga merasa sedih atas kepergian ayahku.

“Qi, ayo pulang. Sudah malam,” ajak Bunda seraya mengelus lembut pundakku.

“Bunda sama Mba Huma pulang saja dulu. Uqi masih pengin di sini sebentar,” jawabku.

“Tapi sudah malam, Qi.” Bunda tampak mengerutkan kening mendengar jawabanku.

“Cuma sebentar, kok, Bunda.”

“Ya sudah, yang penting jangan kemalaman, ya. Bunda duluan.” Aku hanya tersenyum, menatap kepergian Bunda dan Mba Huma. Kini hanya ada aku seorang diri di pemakaman ini. Bertemankan angin malam yang dinginnya mulai menusuk pori-pori.

Kuusap batu nisan yang tertuliskan nama Ayah. Berkali-kali kuucapkan kata maaf di depan gundukan tanah yang sudah menutupi jenazah Ayah ini. Aku tidak meratap. Tidak. Aku tahu ratapan untuk orang meninggal adalah dilarang agama. Aku hanya sedang meluapkan rasa penyesalanku selama ini yang sudah mengecewakan Ayah.

“Uqi janji, Ayah. Uqi akan selalu menjaga dan melindungi Bunda dan Mba Huma seperti yang Ayah minta. Uqi akan menebus semua kesalahan Uqi dengan memegang teguh janji ini.” 

“Uqi mau jadi laki-laki yang hebat seperti Ayah. Tapi maaf, Ayah. Uqi tidak bisa kalau masuk pesantren. Uqi tidak bisa meninggalkan Bunda sendirian di rumah. Uqi akan selalu menenami dan menjaga Bunda seperti yang ayah inginkan.”

Aku menghela nafas. Mencoba mengumpulkan segala kekuatan. Aku tak boleh terus-menerus larut dalam kesedihan. Aku harus menjadi laki-laki kuat yang bisa diandalkan. Aku harus memenuhi semua janjiku kepada Ayah.

***

Fajar sidik mulai mendatangkan dirinya. Menjadi pertanda mulanya salat Subuh. Tak seperti biasanya, perjalanan ke masjid kali ini terasa berbeda. Tak ada lagi Ayah yang mengiringi langkah kami di tengah dinginnya udara pagi. 

Aku, Bunda, dan Mba Huma mulai hari ini harus membiasakan diri hidup tanpa adanya sosok pemimpin dan kepala keluarga. Aku sebagai satu-satunya lelaki di keluarga ini, harus sebisa mungkin menggantikan peran Ayah, melindungi dan menjaga keluarga.

“Bunda, hari ini Uqi nggak berangkat sekolah dulu, ya,” ucapku saat kami sedang dalam perjalanan pulang dari masjid. 

“Kamu mau bolos, Qi?” sahut Mba Huma seraya menyejajarkan langkahnya di sebelahku. Tampak ia sedikit mengernyitkan kening menatapku.

Aku menanggapi pertanyaan Mba Huma dengan sebuah senyuman. “Ya, nggak bolos juga. Nanti Uqi bisa buat surat izin.”

Bunda tampak menghentikan langkahnya. Ia berbalik ke arahku. “Qi, jangan terlalu larut dalam kesedihan. Ayah di sana pasti nggak suka kalau kamu seperti ini,” tutur Bunda seraya menggenggam erat tanganku.

Aku tersenyum menatap Bunda. “Uqi bukannya bolos karena masih bersedih, Bunda. Uqi hanya mau sedikit menepati janji Uqi ke Ayah. Hari ini Bunda pasti sangat sibuk karena keluarga Kyai Mba Huma akan datang, 'kan? Ditambah nanti sore di rumah juga ada acara tahlil. Uqi mau bantuin Bunda aja, sekalian beres-beres rumah. Nggak papa, 'kan, Bunda?” jawabku.

“Tapi cuma hari ini aja, 'kan?” tanya Bunda. Aku dapat melihat dari wajahnya, ia masih begitu khawatir terhadapku.

“Iya, Bunda. Besok pasti Uqi berangkat lagi,” jawabku seraya tersenyum kepada Bunda. Aku mencoba meyakinkan wanita yang sudah melahirkanku ini, bahwa aku baik-baik saja.

“Ya udah, nggak papa,” balas Bunda.

“Makasih, Bunda.”

Kami pun kembali melanjutkan langkah menuju rumah. Sesekali canda dan tawa terdengar di antara aku dan Mba Huma. Canda tawa yang sekarang jarang terjadi karena Mba Huma lebih sering berada di pesantren dibandingkan di rumah.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status