INICIAR SESIÓN“Apa?!” Teriakan Gianna semakin nyaring, menanggalkan wanita yang selalu tampil anggun dengan mata melotot sempurna. “A-apa yang baru saja kau katakan?” suaranya tergagap oleh ketidak percayaan.“Anda mendengarnya.”Gianna semakin berang bukan main. Kembali maju dua langkah untuk menghampiri Rhea. “Wanita lancang. Mulutmu perlu dicuci …”“Apakah Seth tahu kalau dia tidak berhak menjadi pewaris Carlos?”Wajah Gianna memerah seketika memucat kaku. Terkejut bercampur kemarahan yang teramat besar. “Beraninya kau!”“Ya, saya berani. Jika sekali lagi Anda mengusik saya, saya bersumpah ini tidak akan menjadi rahasia di antara kita berdua, Nyonya Carlos.” Rhea mengucapkannya dengan tatapan yang semakin tajam, sebelum melenggang pergi tanpa sedikit pun rasa bersalah. Wanita itu memang butuh diberi sedikit peringatan untuk berhenti mengusiknya. Sudah terlalu banyak hal direnggut wanita dari hidupnya.*** Sebelum pulang ke ap
“Angela Sandjaya, dia wanita paling beruntung yang pernah kuketahui.” Genna membisikkan celotehannya seperti biasa pada Rhea yang sibuk memindahkan catatan-catatan tangan di buku ke tabel di layar komputernya. “Kau tak tahu?”Rhea melirik wanita cantik dengan rambut hitam legam yang lurus sepanjang punggung, mengenakan gaun putih dan berpose layaknya model di karpet merah.“Tunangan tuan Carlos.” Genna menatap layar ponselnya, bergulir ke gambar di sampingnya. Angela dan Dario yang berpose mesra, kali ini pakaian mereka berwarna serasi. “Bukankah tuan Carlos punya keponakan yang seumuran dengan kita? Aku ingin bermimpi menjadi kekasihnya. Kenyataan ini terlalu mustahil untuk terjadi,” kikiknya kemudian.Rhea tetap bergeming, kembali menatap layar komputernya. Seth Carlos, anak dari kakak Dario. Tentu saja ia ingat. Pria manis dengan sejuta pesona dan kebaikannya yang sama sekali tak mirip dengan sang paman atau ibunya. Bahkan tidak dengan Enrio.“Kudengar pertunangan mereka diselengga
Rhea berlari menyusuri lorong rumah sakit yang sunyi tersebut dengan tak sabaran. Jantungnya berdegup kencang dan napasnya terengah begitu langkahnya berhenti di pintu ruangan Orchid 4. Mendorong pintunya dan menemukan May yang langsung mengambus ke arahnya.“Dokter Miller menunggumu di atas.”Rhea mengangguk, menyeberangi ruangan tersebut dan berdiri di samping ranjang pasien Enrio. Menggenggam tangan pria itu dengan air mata yang mulai meleleh. “Keputusanku benar, kan?”May mengangguk. Tatapannya dipenuhi keharuan. “Dokter Miller bilang ini adalah keajaiban. Dan dia mau minta maaf karena tak mencoba berjuang sekali lagi.”Tangan Rhea menyeka air mata yang kembali menggenangi pandangannya. Meremas lembut tangan Enrio yang berada dalam genggamannya. Masih terasa dingin, tetapi tidak sedingin sebelum-sebelumnya.Dan wanita itu bisa merasa lebih lega lagi menemui dokter Miller, yang menjelaskan perkembangan-perkembangan Enrio. Jemari pria itu sudah bergerak-gerak meski masih belum membu
“Maafkan saya atas kecerobohan anak buah saya, Tuan.” Henri menatap Rhea yang baru saja mendapatkan keseimbangan tubuh. “Maafkan saya, Tuan.” Rhea mengangguk dan berjalan ke samping. Dario mengangguk singkat, tentu saja ia menyadari keberadaan wanita itu dari jauh. Ujung bibirnya tertarik sedikit sebelum melanjutkan langkahnya. Meninggalkan Rhea yang berdiri di depan Henri. Langkahnya sempat terhenti melihat tatapan Henri pada Rhea yang mengganggunya. Bukan jenis tatapan teguran yang diberikan atasan pada bawahannya. “Sebelah sini, Tuan.” Asistennya berhenti di depan pintu ganda kaca. Mengalihkan perhatiannya dan membukakan pintu untuknya. Mengabaikan gangguan tersebut, Dario masuk ke dalam ruang pertemuan yang lebih sempit tersebut. Seorang wanita paruh baya beranjak dari tempatnya di balik meja. Terkejut dengan kedatangan sang presdir yang tiba-tiba. “Tuan Carlos,” sapa wanita itu dengan wajah pucat. Mengikuti sang pemilik perusahaan duduk di sofa. “Anda datang tanpa pemberita
Rhea sengaja menyewa dua apartemen yang saling berdekatan. Berjaga-jaga jika Dario mendatanginya dan agar lebih mudah baginya untuk menemani si kembar. Hanya Calvin, Carl, Caleb, dan Caileylah satu-satunya hal yang membuatnya bisa tetap waras di tengah semua masalah hidup yang datang padanya. Yang membuatnya tak bisa menyerah pada Enrio.“Ini tempat yang bagus. Wanita itu tidak akan bisa datang lagi, kan?”Rhea mengangguk. “Aku sudah memastikan keamanan tidak mengijinkan siapa pun datang berkunjung tanpa sepengetahuanku.”“Kecuali ayah mereka?” goda Anin menyenggol pundak Rhea.Ekspresi wajah Rhea seketika membeku. Kemiripan si kembar dengan Dario tentu saja tak terelakkan. Pria itu menidurinya hanya satu kali, tapi lihatnya berapa banyak yang dihasilkan oleh Dario. Tak ada yang bisa Rhea ingat pada malam itu selain hatinya yang terasa diiris. Cara Dario begitu kasar dan menyakitinya. Memang sengaja.Akan tetapi, semua kesakitan itu sudah tak terasa lagi melihat wajah putra dan putrin
Sendirian dan telanjang di balik selimut, pagi itu Rhea bangun dengan pegal di seluruh tubuh. Terutama di bagian pangkal pahanya. Ia belum pernah bangun dengan tubuh separah ini seumur hidupnya. Dario benar-benar tak memberinya jeda untuk beristirahat, memaksanya untuk melayani hasrat pria itu yang tak ada habisnya.Cahaya terang dari dinding kaca di samping mengejutkannya. Tubuhnya terlonjak bangun dan menyambar ponsel di nakas. Jam tujuh, ia harus segera ke rumah sakit dan langkahnya membeku menemukan sebuah kartu di meja. Berwarna hitam dengan inisial DC.Rhea mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dan tak menemukan tanda-tanda keberadaan pria itu. Wanita itu pun bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, mengenakan pakaian di dalam kantong putih yang ada di atas meja, lengkap dengan pakaian dalam dan flat shoes yang pas di kakinya. Tanpa memikirkan bagaimana semua itu pas di tubuhnya, Rhea bergegas turun dan mendapatkan taksi yang membawanya ke rumah sakit.“Maafkan aku, R







