Awal pekan adalah awal semangat baru untuk menyambut hari. Ku lirik jam di pergelangan tangan, menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit masih banyak waktu luang, untuk sarapan dan beres-beres, aku selalu bagi tugas sama Om Doni soal pekerja'an di rumah ini, kecuali Bimo anak manja.
Ku berdiri di depan cermin, sambil menyisir rambut ku yang panjangnya sebahu, ku sematkan jepitan warna silver berbentuk love, di sisi kiri bagian atas kepala.
Aku sudah siap untuk mencari ilmu di SMU Karunia Bakti, ku kenakan baju kebangaga'an ku, seragam putih abu-abu dan sepatu hitam dengan sedikit garis putih menyamping, di setiap sisinya.
Lalu kuraih tas selempang berwarna hitam, yang sudah ku siapkan di atas meja belajar, tempat ku membawa semua alat tulis dan perlengkapan sekolah.
Ku tatap wajah ini, dengan seksama, aku semakin dewasa, tinggi ku juga sudah bertambah, Mungkin tinggi badanku sekitar 158 cm.
Aku baru sadar tak lama lagi usiaku menginjak delapan belas tahun, sebentar lagi aku punya KTP, ku tak sabar ingin segera punya identitas penduduk.
"Bismillah," ucap ku seraya menarik nafas dan keluar kamar, menuju kamar Bimo untuk mengajaknya sarapan, barangkali dia sudah tak ngambek lagi seperti tadi, saat dia melihat ku dengan om Doni.
"Dek, kita sarapan dulu yuk! Nanti ke buru dingin nasinya," ucap ku sambil berjalan ke arahnya. Dia masih duduk bersila di atas tempat tidur dengan bantal di pangkuannya, seraya menopang dagu.
"Gak ah, aku gak laper," jawabnya menggeleng pelan. "Mbak aja sana! Siapa tau pengen makan berdua sama Om Doni,"
"Hm." Aku menarik nafas panjang agak sedikit kesal.
Gemes banget sama ini anak pengen ku plintir ususnya kalau bisa, tingkahnya semakin kesini semakin aneh, masih aja cemburu kepada Om Doni, heran aku.
Ku lihat rambut Bimo masih acak-acakan juga agak sedikit basah bekas keramas, ku ambil sisir berwarna hitam dari atas meja, lalu ku menata rambutnya yang agak gondrong.
Saat aku merapikan rambutnya, dia hanya diam tak bersuara dan tak membantah, seperti biasa ketika moodnya sedang kurang baik.
"Dek, rambut kamu ini udah panjang loh, nanti pulang sekolah, mampir dulu ke pangkas rambut yuk! kita cukur! Biar kamu tambah ganteng," bujuk ku sambil menyisir rambutnya di belah samping.
"Gak mau, Mbak aja yang cukur rambut!" ketus bocah berseragam merah putih, dengan topi masih di tangannya, juga dasi yang terpasang belum sempurna, ku rapikan penampilannya dari baju hingga dasi.
"Hallaah, Mbak kan cewek, masa ke pangkas rambut," sergahku, ku raih kedua bahunya dan menarik tubuh mungil Bimo, ku ajak dia berdiri di depan cermin lemari pakaian.
"Apa sih Mbak, gak jelas amat, kenapa aku di ajak ngaca?" tolak Bimo menggerakan pundaknya dari cekalan tangan ku.
"Dek, liat bayangan kamu di cermin! Ganteng kan, apalagi kalau di rapi'in rambutnya, nanti banyak yang ngefans loh, sama kamu!" ujar ku, seraya mencondongkan tubuh, dan mendekatkan wajahku dengan wajahnya.
"Di bilang gak mau! Ya gak mau, maksa amat, sih,"
"Hm, apa nunggu, Pak guru yang motong rambutnya, biar di botakin sekalian!" ucap ku mencoba mengingatkan, sekaligus menakuti dia supaya mau menurut padaku.
"Ck hah." Bimo berdecak kesal mendengar ucapan ku.
"Bimo, dengerin Mbak! kamu masih inget kan pesan ibu? Ibu bilang kamu harus nurut sama Mbak, kalau kamu nakal, ibu sama ayah nanti sedih loh di alam sana, karena kamu tak seperti yang mereka harapkan!" terang ku panjang lebar, moga aja Bimo mau mendengarkan perkata'an ku.
"Iya, iya, nanti aku mau potong rambut, tapi Mbak yang cariin modelnya! Mana yang cocok buat aku." ucapnya malas.
Aku menghela nafas panjang, ada-ada saja ini bocah. Tinggal potong saja apa susahnya coba, yang penting kan rapi dan enak di lihat.
"Iya, nanti Mbak yang tentuin gayanya kaya apa, biar kamu tambah ganteng,"
"Mbak," ucap Bimo mendongak menatap wajahku.
"Apa Dek?"
"Mbak, beneran gak suka sama Om Doni?" telisiknya, aku tersenyum mendengar pertanyaannya yang tak masuk akal.
Setelah beberapa saat aku membujuk Bimo untuk turun dan bergabung di acara yang begitu penting bagiku, adik lelakiku akhirnya mau juga. Kami berjalan beriringan menuruni tangga menuju ruang tengah, tanpa ada suara dari bibirnya sama sekali. Bimo sepertinya enggan untuk mengeluarkan sepatah kata pun, meski aku mengajaknya ngobrol, untuk mencairkan suasana."Ayo duduk sini, Bimo!" ajak om Doni menepuk karpet bludru warna coklat bermotif raja hutan, yang menjadi alas duduk. Setelah kami sampai di lantai dasar. Aku membimbing adikku untuk duduk di sisi lelaki berbaju Koko putih dan celana bahan tersebut."Makasih, Mbak," jawab Bimo datar."Iya, Bim. Mbak ke sana dulu, ya," kataku seraya menunjuk dengan dagu ke arah Tante Amira yang berada tak jauh dari Om Doni."Bimo, tak usah cemberut, gitu. Wajahmu, jelek, tau!" ejek Om Doni tersenyum tipis, seraya mengelus bahu Bimo.Sedikit merundukkan tubuh dengan sopan saat aku berjalan menuju Tante Amira, lantas aku duduk di samping perempuan berb
Setelah Mas Rio berpamitan untuk pulang, aku pun menyusul Bibi ke kamar Bimo, ku langkahkan kaki berpijak di lantai keramik berwarna putih, berdiri di ambang pintu seraya mengetuk pelan dan meminta izin Bimo, untuk ku masuk ke dalam kamarnya."Masuk Mbak," ucapnya, tanpa menoleh ke arah ku. Saat aku masuk ke dalam, dia membalikkan badannya menyembunyikan wajah dari tatapanku.Bibi mengangguk di barengi senyuman kecil, dan bangkit meninggalkan Bimo bersama ku. Kaki ku berderap mendekati bocah berambut agak gondrong belah samping ini, ku duduk di tepian ranjang menatap dia yang tertunduk dan masih membelakangi ku."Bim, gimana keputusan kamu, apa kamu mengizinkan Mas Rio untuk melamar Mbak besok malam?" tanyaku ragu. Tangan kiri ku menggapai pundaknya lalu mengusapnya dengan lembut.Dia menganggukkan kepalanya pelan, "Iya Mbak, aku setuju moga bahagia ya! Ku harap, kamu masih mau menganggap ku adik!" ujar Bimo lirih. Bagaimana dia bisa m
POV Bimo."Mbak Tia, aku mencintai kamu," teriak ku, seraya masuk ke dalam kamar dan menutup kembali pintu dengan membantingnya.Ku hempaskan tubuh ke atas tempat tidur, dengan posisi menelungkup, ku peluk guling dan ku tutup wajahku dengan sebuah bantal. Sesak nafas ku saat ini yang ku rasa, melihat Mas Rio dan Mbak Tia semakin dekat.Terlebih tadi, ucapan Mas Rio yang meminta izin ku, untuk merestui hubungan mereka, hati ku terasa di hujam sebilah pedang, mendengar penuturan Mbak Tia yang ingin segera menikah dengan Mas Rio."Kenapa Mbak? Kenapa kamu tidak mengerti perasaanku, aku begitu mencintai mu," lirihku di sela isak tangis, dengan hati terasa teriris, perih, sunguh perih hati ini, dengan kenyataan yang ada di hadapanku, Mbak Tia akan menjadi milik orang lain, aku berusaha menepis perasa'an yang salah ini. Dan berusaha meredam rasa cinta ku pada Mbak Tia.Sedari dahulu aku memang mencintainya aku selalu berusa menghalangi hubungan Mba
"Apa ini artinya, kamu setuju Bim? Dan kamu merestui hubungan Mbak sama mas Rio," ucap ku penuh harap. "Iya, aku setuju. Aku gak berhak melarang-larang Mbak, lagian aku ini bukan siapa-siapanya Mbak, bahkan kita gak ada hubungan darah. Dan tak lebih, dari seorang adik angkat, aku ini hanya orang lain," ujar Bimo lirih, dengan wajah tertunduk, dari nada suaranya begitu lesu menyiratkan kekecewaan yang mendalam. "Maksud kamu, apa sih Bim?" Aku mengernyitkan dahi seraya menatap lekat wajahnya yang tampan, bak Oppa Korea. "Bimo, meskipun kita bukan saudara kandung, bahkan bukan kerabat sama sekali, tapi bagi Mbak, kamu adalah adik Mbak satu-satunya, jangan sebut kata orang lain lagi! Mbak gak suka kamu berkata seperti itu! Mbak sangat menyayangi kamu." Ku ayunkan tangan mengsap punggung bocah tujuh belas tahun ini dengan lembut, berharap bisa menyentuh dan meluluhkan hatinya. Bimo bangkit dari duduknya, ku mendongak lalu berdiri dan memegang bahuny
"Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget. "Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya. "Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu. "Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis. Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri jikalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun hanya bertemu sebentar dan perginya pun bukan ke tempat yang jauh. "Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas Rio, balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh,
"Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget."Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya."Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu."Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis.Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri kalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun perginya hanya sebentar."Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh, karena melam