"Kita mulai! bismillahirrahmanirrahim," ucap Om Doni. Aku pun mengikutinya. "Bimo, kamu membaca Qomat!"
Bimo pun mulai membaca Qomat sebelum melaksanakan shalat berjama'ah, Dua raka'at kami sudah menjalankan perintahnya.
Selepas melaksanakan kewajiban, Om Doni mengambil Al-Qur'an yang berada di rak, dia memberikannya pada kami satu persatu, dan mengajak kami tadarusan meskipun satu atau dua ayat.
Dia selalu berpesan, kami harus sering membaca ayat suci Al-Qur'an, apalagi di malam Jum'at selepas Maghrib, dimana para orangtua kita yang sudah tiada mengharap kiriman do'a dari keturunannya.
"Bimo, Tia, kalian kan sudah besar, jadi kalian harus bisa jaga diri! Apalagi Om sebentar lagi tidak tinggal di sini," ucap Om Doni.
"Iya Om, kami ngerti," sahutku sembari mengangguk.
"Jaga Bimo dengan baik! Om percaya kamu bisa membimbing Adik mu, Bimo, kamu juga jangan nakal! Jangan membantah jika kakak mu menyuruh kamu untuk sekolah, atau merintah kamu untuk menjalankan kewajiban kamu!"
"Ah, Om bawel," ketus Bimo.
Dia berdiri dan meletakkan Al-Qur'an di tempatnya yang tadi. Om Doni hanya tersenyum dengan sikap Bimo di barengi menggeleng pelan, Om Doni tak pernah bosan untuk menasehati dia, meskipun sering di balas umpatan.
"Tia, ini udah pagi, kamu bantu Om bikin sarapan! Sekalian kamu belajar masak!" ucap Om Doni, pandangannya beralih ke arah adik kecilku. "Bimo, kamu mandi sana! bersiap untuk sekolah, Karena kamu paling lama beresnya, kalau mau berangkat kemana-mana juga, kaya ibu-ibu mau pergi kondangan,"
"Iya," jawabnya singkat. Kami pun berlalu meninggalkan tempat itu, dan kembali ke kamar masing-masing untuk mengganti pakaian.
Ku kenakan baju rumahan daster lengan pendek bawah SE dengkul, warna merah muda, motif hello Kitty.
Aku keluar kamar menuju dapur, menghampiri Om Doni yang berdiri di meja kabinet dapur, kedua tangannya menumpu di atas meja.
"Hai Om?" Aku menepuk bahunya.
"Hm." Dia menoleh seketika.
"Om, mau masak apa kita?" tanya ku, aku mengambil pisau untuk mengupas bawang merah, untuk membuat sarapan pagi yang spesial, meskipun belum tau menu apa yang akan di masak hari ini oleh Om Doni.
"Eum, kamu maunya apa?" Om Doni balik tanya sembari menaikan alisnya kilas. Aku baru ingat, kalau semalam sudah berjanji membuatkan nasi goreng untuk Bimo.
"Bikin nasi goreng aja yuk! Yang enak, aku yang motongin sayur nya, Om yang ulek bumbunya! Biar cepet beres, kasian Bimo takutnya dia kelaparan, kan semalam makannya sedikit," ujarku. Sambil mengulas senyuman.
"Oke, cantik," puji Om Doni. Wajah ku mendadak merah, mendengar pujian dari mulutnya.
Aku jadi malu di bilang cantik, ku angkat pisau dan menatap pantulan wajahku di benda tajam terbuat dari stainless steel yang mengkilap itu.
'Eh, iya aku baru sadar, ternyata aku cantik' batinku, aish aku jadi baper cuma di bilangin begitu juga, oleh cowok ganteng, meskipun itu cowoknya mendekati usia Bapak-bapak.
Ku usap hidung ku yang bangir, bibirku merona meski tak pernah pakai lipstik, rambutku sebahu, karena aku tak suka rambut panjang, ribet rasanya.
"Tia, kok kamu melamun?" tanya Om Doni, menyentak pundak ku. Aku terlonjak kaget sehingga pisau di tanganku terpental, karena merasa kikuk, gegas aku berjongkok dan mengambil benda tajam itu.
"Aw," ringis ku, mata pisau yang tajam mengenai jari telunjuk ku.
Om Doni dengan sigap meraih tanganku, dia mengambil tissue yang ada di atas meja, untuk mengelap darah segar yang keluar dari lukaku.
Dia mengambil kotak obat dari dalam lemari kabinet, lalu mengoleskan obat merah dan membalutnya dengan plester.
Aku jadi gemetaran saat Om Doni membersihkan luka ku, dan mengobatinya.
"Kamu hati-hati dong Tia! Kamu lagi mikirin apa sih? Mikirin pacar ya?" godanya, seraya menaik turunkan alisnya. Aku menggeleng cepat, merasa begitu canggung di buatnya.
"Gak Om, aku gak mikirin apa-apa." lirih ku, perih rasanya, meski luka itu cuma sedikit di jari ini.
Kenapa aku jadi ge'er di bilang cantik doang oleh Om ganteng ini, sampai-sampai aku bengong, dan grogi.
Aku masih kecil jangan baperan, masa di bilang cantik aja udah melambung tinggi. Om Doni dia cuma bercanda. Aku mencoba menetralkan kegugupan ku ini.
"Tia, kamu duduk aja! Biar Om yang masak, jangan pegang pisau lagi, nanti jari kamu teriris lagi," tegasnya.
Om Doni menggeser kursi untuk ku duduk, dengan cekatan dia memasak nasi goreng untuk kami bertiga sarapan, tak membutuhkan waktu lama nasi goreng pun sudah siap.
Om Doni menata piring dan menaruh nasi di piring-piring tersebut, tak ketinggalan telur ceplok dan mentimun sebagai pelengkap.
"Taraa... Sudah siap!" ucap Om Doni dengan senyumnya yang lebar. Aku mendongak sambil balas tersenyum.
"Makasih Om, kamu emang pria idaman." Aku memujinya dengan mengacungkan dua jempol ku.
"Ah, biasa aja," jawabnya. "Kan Om sebentar lagi menikah, jadi Om harus terbiasa memasak, jika suatu sa'at istri Om hamil terus melahirkan, dia kan gak bisa nyiapin makanan, jadi Om harus belajar dari sekarang!" ujar Om Doni.
"Aku juga mau jadi istri Om." Aku keceplosan, gegas aku menutup mulut ini dengan kedua telapak tangan, mataku menyipit, rasanya malu setengah mati, kenapa mulut ini gak ada remnya, bikin malu pemiliknya saja.
Kenapa lidah ku terpeleset, niatku bukan bicara seperti itu, cuma mau muji, malah tak sengaja ucapan itu keluar begitu saja dari bibir ini, perkataan ku membuat Om Doni menatapku dengan mata membulat dan alisnya bertaut.
"Apa? Kamu ngomong apa Tia?"
"Gak, itu, aku mau punya suami, lelaki seperti Om, yang pintar dalam segala hal," ralatku tergagap, sembari menggaruk mencari yang gatal tapi badanku gak ada yang gatal.
Aku sangat malu, rasanya aku ingin berlari sejauh mungkin, menghilangkan rasa malu ini, gegara bibirku yang tak beradab.
Lalu aku beralih menatap ke arah pintu ada Bimo di sana sedang berdiri mematung, dengan wajah memberengut.
"Bimo, sini!" panggil ku melambai kecil, untuk menghilangkan kegugupan ku, perkata'an ku yang tadi membuat diri ini jengah. "Dek, kita sarapan dulu, ada nasi goreng enak banget loh, buatan Om Doni," lanjut ku.
Bimo masih berdiri tak menggubris ucapan ku, dia membuang muka lalu membalikkan badannya dan berlalu pergi.
"Tia, Bimo kenapa dia? Kok tiba-tiba ngambek," tanya pria berkaos oblong dan celana jeans se-dengkul sambil memegang sandaran kursi.
"Gak tau Om," jawabku menggeleng kecil.
"Susul dia! Ajak sarapan bareng, Sekalian kamu ganti baju siap-siap berangkat sekolah! Om juga mau mandi dulu, tar kalau udah beres kita kumpul, sarapan pagi!" titahnya.
"Iya Om." Aku bangkit dan berlalu dari ruang makan menuju kamar.
Aku berhenti di pintu kamar Bimo yang tak jauh dari tangga, aku putar kenop pintu, beruntung tak di kunci, biasanya ketika dia marah suka mengurung diri dalam kamar.
"Dek," ucapku mendekati anak berseragam SD ini. Dia membenam kan wajahnya di atas bantal.
"Apa?" ketusnya. Aku duduk di ranjang meraih tangannya yang berisi, badannya agak sedikit gemuk, ku genggam jemarinya erat.
"Kamu kenapa lagi? Kok ngambek, Mbak salah apa?" tanya ku hati-hati.
"Gak, aku kesel sama Mbak,"
"Kesel kenapa? Mbak gak punya dosa sama kamu, kok tiba-tiba marah, gak ada angin, gak ada hujan juga gak ada badai,"
"Mbak suka ya sama Om Doni? Tadi aku lihat tangan Mbak, di pegang-pegang sama dia, terus Mbak bilang mau jadi istrinya dia," tukas Bimo.
Aku menghela nafas, "Hm, kamu cemburu ya? Dasar bocah," cetus ku. Ku raih pundaknya dan membalikkan badannya menghadap padaku.
"Bimo, tangan Mbak kena pisau, tadi Om Doni cuma membatu mengobati luka Mbak,"
"Mbak, modus," tukas Bimo. Aku menangkup pipi chubby anak berhidung bangir dan berbibir mungil.
"Dek, kamu jangan salah sangka dulu! Mbak sayang sama kamu, Mbak gak mau nyakitin hati kamu." Ku mencoba menenangkan anak ini.
Ya Tuhan kenapa Bimo semakin hari kok semakin posesif gini. Aku tak mengerti mungkin saja dia mengalami pubertas dini ku rasa hal yang wajar, lambat laun juga akan hilang sendiri, hal yang biasa di alami anak yang beranjak remaja.
"Ya udah, Mbak tinggal dulu ya! Mau ganti baju," ucapku seraya mencubit pipi chubby Bimo, aku pun berlalu dari kamarnya.
Setelah beberapa saat aku membujuk Bimo untuk turun dan bergabung di acara yang begitu penting bagiku, adik lelakiku akhirnya mau juga. Kami berjalan beriringan menuruni tangga menuju ruang tengah, tanpa ada suara dari bibirnya sama sekali. Bimo sepertinya enggan untuk mengeluarkan sepatah kata pun, meski aku mengajaknya ngobrol, untuk mencairkan suasana."Ayo duduk sini, Bimo!" ajak om Doni menepuk karpet bludru warna coklat bermotif raja hutan, yang menjadi alas duduk. Setelah kami sampai di lantai dasar. Aku membimbing adikku untuk duduk di sisi lelaki berbaju Koko putih dan celana bahan tersebut."Makasih, Mbak," jawab Bimo datar."Iya, Bim. Mbak ke sana dulu, ya," kataku seraya menunjuk dengan dagu ke arah Tante Amira yang berada tak jauh dari Om Doni."Bimo, tak usah cemberut, gitu. Wajahmu, jelek, tau!" ejek Om Doni tersenyum tipis, seraya mengelus bahu Bimo.Sedikit merundukkan tubuh dengan sopan saat aku berjalan menuju Tante Amira, lantas aku duduk di samping perempuan berb
Setelah Mas Rio berpamitan untuk pulang, aku pun menyusul Bibi ke kamar Bimo, ku langkahkan kaki berpijak di lantai keramik berwarna putih, berdiri di ambang pintu seraya mengetuk pelan dan meminta izin Bimo, untuk ku masuk ke dalam kamarnya."Masuk Mbak," ucapnya, tanpa menoleh ke arah ku. Saat aku masuk ke dalam, dia membalikkan badannya menyembunyikan wajah dari tatapanku.Bibi mengangguk di barengi senyuman kecil, dan bangkit meninggalkan Bimo bersama ku. Kaki ku berderap mendekati bocah berambut agak gondrong belah samping ini, ku duduk di tepian ranjang menatap dia yang tertunduk dan masih membelakangi ku."Bim, gimana keputusan kamu, apa kamu mengizinkan Mas Rio untuk melamar Mbak besok malam?" tanyaku ragu. Tangan kiri ku menggapai pundaknya lalu mengusapnya dengan lembut.Dia menganggukkan kepalanya pelan, "Iya Mbak, aku setuju moga bahagia ya! Ku harap, kamu masih mau menganggap ku adik!" ujar Bimo lirih. Bagaimana dia bisa m
POV Bimo."Mbak Tia, aku mencintai kamu," teriak ku, seraya masuk ke dalam kamar dan menutup kembali pintu dengan membantingnya.Ku hempaskan tubuh ke atas tempat tidur, dengan posisi menelungkup, ku peluk guling dan ku tutup wajahku dengan sebuah bantal. Sesak nafas ku saat ini yang ku rasa, melihat Mas Rio dan Mbak Tia semakin dekat.Terlebih tadi, ucapan Mas Rio yang meminta izin ku, untuk merestui hubungan mereka, hati ku terasa di hujam sebilah pedang, mendengar penuturan Mbak Tia yang ingin segera menikah dengan Mas Rio."Kenapa Mbak? Kenapa kamu tidak mengerti perasaanku, aku begitu mencintai mu," lirihku di sela isak tangis, dengan hati terasa teriris, perih, sunguh perih hati ini, dengan kenyataan yang ada di hadapanku, Mbak Tia akan menjadi milik orang lain, aku berusaha menepis perasa'an yang salah ini. Dan berusaha meredam rasa cinta ku pada Mbak Tia.Sedari dahulu aku memang mencintainya aku selalu berusa menghalangi hubungan Mba
"Apa ini artinya, kamu setuju Bim? Dan kamu merestui hubungan Mbak sama mas Rio," ucap ku penuh harap. "Iya, aku setuju. Aku gak berhak melarang-larang Mbak, lagian aku ini bukan siapa-siapanya Mbak, bahkan kita gak ada hubungan darah. Dan tak lebih, dari seorang adik angkat, aku ini hanya orang lain," ujar Bimo lirih, dengan wajah tertunduk, dari nada suaranya begitu lesu menyiratkan kekecewaan yang mendalam. "Maksud kamu, apa sih Bim?" Aku mengernyitkan dahi seraya menatap lekat wajahnya yang tampan, bak Oppa Korea. "Bimo, meskipun kita bukan saudara kandung, bahkan bukan kerabat sama sekali, tapi bagi Mbak, kamu adalah adik Mbak satu-satunya, jangan sebut kata orang lain lagi! Mbak gak suka kamu berkata seperti itu! Mbak sangat menyayangi kamu." Ku ayunkan tangan mengsap punggung bocah tujuh belas tahun ini dengan lembut, berharap bisa menyentuh dan meluluhkan hatinya. Bimo bangkit dari duduknya, ku mendongak lalu berdiri dan memegang bahuny
"Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget. "Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya. "Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu. "Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis. Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri jikalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun hanya bertemu sebentar dan perginya pun bukan ke tempat yang jauh. "Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas Rio, balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh,
"Diiih... Malah melamun lagi kamu. Mikirin apa lagi sih?" tanyanya Mas Rio menepuk bahu ku, membuatku tersentak kaget."Hm, gak mikirin apa-apa," sanggah ku menatap spontan ke arahnya."Jadi gak cari Bimo? Tar keburu malam loh, udah nunggunya kelama'an, dandannya gak kelar-kelar, kaya mau kondangan aja, sekarang malam bengong mulu," protesnya menggerutu."Baru setengah sembilan juga, masih sore kali Mas," balas ku melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan ku. "Emang gak boleh apa, calon istrinya tampil cantik?" sambung ku seraya mengangkat alis.Aku selalu ingin tampil cantik di depan Pria berjaket jeans ini, entah kenapa aku merasa tidak percaya diri kalau tidak bersolek sebelum menemui dia, meskipun perginya hanya sebentar."Tentu boleh, kamu memang calon istri idaman," ucap Mas balas menaikan alisnya kilas. "Tapi jangan kebanyakan bengong, ayam tetangga aja epilepsi loh, karena melam