Tyo kembali tersenyum melihat Alisha menunduk malu. Diambilkan dua gelas air putih saat Mas Tyo membawa mie ke meja makan. Mereka makan seperti orang kelaparan, tak ada kata yang terucap hanya suara sendok dan garpu yang terkadang bersentuhan dengan mangkuk. Dalam sekejap tandas mie dalam mangkuk berpindah dalam perut yang tadi berbunyi. Alisha mengucapkan terima kasih sambil membawa mangkuk ke wastafel untuk dicuci. Mas Tyo menemani sampai Alisha selesai. “Sha, masih mengantuk? Jika tidak bisa temani mas kerja sebentar?” tanyanya sesaat Alisha merapihkan piring yang sudah dicucinya.Alisha mengangguk pelan, tak tega meninggalkannya bergadang sendirian di sini. Diperhatikannya wajah tenang Mas Tyo di hadapannya, menyelesaikan pekerjaannya. Alisha tahu beban pekerjaannya bertambah semenjak diangkat komisaris. Persada Agung perusahaan Pak Yudha, papa kandungnya. Pantas saja Mas Tyo yang diangkat menjadi komisaris bukan Mas Angga. Apakah ini ada hubungannya dengannya? “Mas, boleh Ali
Saat tersadar aku sudah berada di rumah sakit. Mencoba mengingat peristiwa sebelumnya. “Pak Angga sudah sadar?” Sopir sudah berada di samping ranjang. Luka benturan di dahinya sudah diobati. Menanyakan bagaimana kondisiku saat ini. Dia juga mengatakan belum menghubungi bunda atau yang lain. Karena hari ini Alisha sedang diwisuda, khawatir mengganggunya. “Hubungi Hendra, Pak. Segera minta ke sini.” “Baik.” Sambil menunggu Hendra, pikirannya melayang. Sebenarnya tujuan ke Bandung bukan urusan pekerjaan semata. Utamanya dia tak ingin melihat kedekatan Alisha dan Tyo saat wisuda. Perasaanku kacau semenjak mengetahui Alisha bukan adikku dan keluarga Tyo sudah terang-terangan akan melamarnya. Setelah makan siang Hendra sampai. Kutanyakan acara wisuda Alisha apakah berjalan lancar. “Lancar, Pak. Rektor dan beberapa Dekan menanyakan mengapa bapak tidak bisa hadir. Mereka menitip salam.” “Tyo datang?” “Datang sebelum acara prosesi, sekarang mereka mungkin sedang makan siang. Pak Rahard
Tante Lisa tersenyum menatapnya, kehangatan menjalar pada tangan Alisha yang tiba-tiba dingin. “Tyo, jika memang sudah siap. Bunda akan mendukung keputusan kalian. Bunda akan bicarakan dahulu dengan Angga dan Pak Yudha. Bagaimanapun ini harus melalui persetujuannya.” Mendengar nama ayahnya disebut ada rasa sakit di hati Alisha. Seorang ayah tega membiarkannya selama dua puluh dua tahun dan tak mengenalnya. Tak terasa sudut matanya meneteskan bulir bening. Kebahagiaan karena lamaran Mas Tyo beriringan dengan kesedihannya memendam kekecewaan. Walaupun dicoba untuk memahaminya, namun hingga saat ini Alisha belum bisa menerimanya. “Alisha... mama senang sekali mendengarnya sayang.” Tante Lisa memeluknya erat. Alisha membalas pelukannya, mencoba menekan isak tangisnya agar tak terdengar. Tante Lisa merasakan bahu Alisha berguncang sehingga memeluknya lebih erat dan berbisik. “Sayang, apa pun beban yang ada di hatimu, berbagilah dengan kami. Kami semua sayang padamu.” Alisha menganggu
Suara ketukan di pintu menghentikanku. Suara pintu dibuka dan bunda melangkah masuk ke dalam kamar. Aku tersenyum melihatnya. “Loh, sudah siap mau pulang, toh?” “Iya bunda, sudah bosan di sini.” Bunda tersenyum, memberikan sarapan yang sudah disiapkannya dalam kotak makan. Aku menerimanya dan membuka. Harum nasi goreng buatan bunda merasuk dalam hidungku, membuat rasa lapar tiba-tiba datang. Aku langsung menikmati sarapan yang dibawa bunda. Bunda duduk di samping ranjangku. Memperhatikanku menyantap nasi goreng. Bunda menanyakan apakah aku sudah menghubungi Pak Yudha. Aku berjanji akan menghubunginya secepatnya. Selesai sarapan dokter melakukan pemeriksaan dan memberikan resep obat. Menyarankan untuk melakukan terapi hingga amnesia yang dialaminya sembuh. Hendra datang sesaat sebelum dokter mereka meninggalkan kamar. Mengucapkan salam pada bunda dan dokter yang meninggalkan kamar. Dimatikan laptop yang masih terbuka dan menyala, dirapikan, dan dimasukkan dalam tasnya. “Hendra, c
Hari ini perasaan Alisha tak tenang. Besok sore papa dan mama Mas Tyo akan melamarnya pada bunda. Seharusnya Pak Yudha yang menerima lamarannya. Tapi Alisha masih merasa asing untuk mengakuinya. Siang nanti Mas Tyo akan mengajak Alisha ke luar. Alisha mencoba menyelesaikan pemeriksaan berkas-berkas yang ada di meja. Beberapa yang memerlukan tanda tangannya sudah lebih dahulu diselesaikan. Pak Hendra sudah datang untuk mengambil berkas yang sudah selesai. “Saya bawa berkas yang sudah selesai, Bu Alisha.” “Silakan Pak. Ada laporan lain yang harus saya cek?” “Bukan Bu, ini berkas pribadi Pak Angga. Minta diantarkan sekarang.” Alisha menanyakan apakah bisa dititipkan padanya saja. Nanti sepulang kantor baru disampaikan. Hendra menggelengkan kepalanya. Dia akan mengantarkan sendiri, karena minta secepatnya dibawakan. Alisha mengangguk. Pak Hendra tolong sampaikan pada Anita saya akan ke luar dengan Mas Tyo, jika ada yang ingin menemuinya minta ditunda besok. “Baik, Bu.” Beberapa pes
Pagi ini aku akan menghubungi Pak Yudha, menurut laporan Hendra sejak kemarin sudah di Jakarta. Kebetulan sekali, hingga aku tak perlu menyiapkan kedatangannya dari Singapura. Kucari nomor ponselnya dan melakukan panggilan. Tak lama suara di seberang terdengar mengucapkan salam. Aku membalas salamnya dan melanjutkan dengan menyampaikan permohonan bunda. “Pak Yudha sore ini apakah ada agenda penting? Bunda mengundang bapak ke rumah.” “Wah, kemarin saya baru membuat agenda untuk sore ini. Ada acara apa? Aku terdiam. Memang salahnya tidak memberitahukannya lebih dulu. Pak Yudha ke Jakarta pasti ada urusan bisnis yang mendesak. Bagaimana ini? Di seberang sana, Pak Yudha menahan senyumnya. Karena acara yang dimaksud Angga pastilah acara yang sama yang akan didatanginya. “Maaf pak, apakah bisa acara sore nanti dijadwalkan kembali dan bapak datang ke rumah?” “Saya tidak bisa mengingkari janji. Seandainya lebih dahulu menghubungi, mungkin saya masih bisa melakukan jadwal ulang.” Aku be
Waktu seakan cepat berlalu, tiga hari ini persiapan pernikahannya diurus. Mulai dari melakukan pertemuan dengan Event Organizer yang akan mewujudkan konsep pernikahan kami, sampai mengurus administrasi di Kantor Urusan Agama. Ayah menepati janjinya untuk membantu persiapan pernikahan. Bahkan urusan Persada mau tak mauTyo meminta bantuan ayah. Saat ini Shabra Desain juga sedang menangani kontrak dengan sebuah kantor baru. Waktunya sebagian besar tercurah untuk menyelesaikan kontrak tersebut dengan membuat sesuai permintaan. “Pak Bram, ada surat dari Pak Candra.” Sari menyerahkan surat yang ditujukan pada CEO Shabra Desain, kemudian kembali ke mejanya. Tyo membukanya dan membacanya. Pak Candra ingin mempercepat kerja sama ini. Waktu yang awalnya lima bulan, kini minta diselesaikan dalam waktu tiga bulan saja. Jika tidak menyanggupi maka mereka akan memutuskan kontrak dan akan membayar penalti pembatalan kontrak. Dia heran, mengapa pemberitahuannya terkesan mendadak. Sesuai kesepakata
Selepas salat subuh, Tyo memeriksa pesan pada ponselnya. Ayah memintanya menunggu kabar sebelum rapat nanti. Pagi ini rapat akan diadakan pukul sepuluh semoga ada kabar baik. -Ayah sudah bicara dengan Radinka, dia tidak mengenal Candra.- -Tapi ayah mendapat ide untuk proyek ini.- -Ayah akan ke kantormu nanti sebelum rapat.- Tyo tersenyum membaca pesan ayah. Puluhan tahun berkecimpung dalam bisnis tak salah jika dia harus belajar pada ayah. Dia akan berusaha maksimal dalam proyek ini. Tyo membalas pesan ayah jika dia akan menunggunya di kantor. Dipesannya sarapan melalui aplikasi di ponsel, sambil menunggu pesanan datang dipersiapkan semua keperluan rapat. *** “Bagaimana Tyo? Ayah rasa ini saling menguntungkan.” “Benar ayah, tapi sebelumnya aku harus tahu progres yang sudah kami lakukan. Aku tidak mau gegabah mengambil keputusan.” “Oke, ayah tunggu kabar ya. Oh ya siang ini jadi menemui EO? Ayah saja yang jemput Alisha dan bundanya,” ujar ayah meminta persetujuanku. Tyo menga