Beranda / Romansa / Adik Angkatku, Kekasih Gelapku / 32. Rumah yang Mulai Hidup

Share

32. Rumah yang Mulai Hidup

Penulis: Indy Shinta
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-09 00:25:59

“Heh! Kamu tuh ya? Jadi adik yang sopan dong! Bukannya bantuin malah marah-marah!”

Amara langsung menoyor Chandra.

Para pelayan yang berdiri di lorong itu membatu seperti patung. Mata mereka membesar, bibir sedikit terbuka, dan tangan refleks saling meremas seolah sedang menyaksikan sesuatu yang melanggar hukum kerajaan rumah besar keluarga Sanjaya.

Mereka saling melirik dengan tatapan panik.

‘Astaga… baru saja Tuan Chandra kena toyor?’

Di depan mata mereka.

Secara terang-terangan.

Di wilayah kekuasaan pewaris keluarga utama.

Satu pelayan sampai menutup mulutnya dengan kedua tangan, khawatir kalau napasnya yang berlebihan bisa dianggap sebagai keterlibatan dalam tindakan pemberontakan ini.

Seorang lagi menatap lantai, seolah-olah lantai marmer itu mendadak sangat menarik untuk dipelajari.

Dan yang paling muda, menggigit bibirnya keras-keras, berusaha menahan tawa yang hampir meledak, hingga wajahnya memerah seperti kepiting rebus.

Begitu Chandra memberi mereka lirikan tajam, semua ke
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   47. Apa Kabar?

    Chandra menyetir dengan tenang, satu tangan bertumpu ringan di setir, tangan satunya bertengger santai di dekat tuas persneling. Mobil sedan mewah itu melaju stabil, seperti pemiliknya tahu persis ke mana arah hidup dan jalan yang sedang ia ambil.Di dalam kabin, lagu Perfect milik Ed Sheeran mengalir dari speaker mobil. Volumenya cukup jelas untuk didengar, cukup tenang untuk tidak menguasai percakapan. Nada-nadanya mengisi ruang sempit di antara mereka, menyatu dengan dengung mesin dan ritme jalanan sore.“I found a love… for me…”Suara Chandra terdengar lirih dan merdu, enak di telinga dengan cara yang bikin orang lupa sedang di mobil. Ia menyanyi sambil menyetir dengan satu tangan, santai, seperti ini hal paling normal di dunia.Amara melirik ke arahnya, pura-pura tidak terlalu memperhatikan. Padahal ia mendengarkan. Setiap baitnya. Cara Chandra menyanyikannya ringan, hampir malas-malasan, tapi justru itu yang membuatnya terasa… keren. Seperti suaranya itu tidak sedang dipamerkan

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   46. Naik Level

    Begitu kaki Amara menginjak lantai butik itu, insting hidupnya langsung bereaksi. Bukan reaksi kagum, tapi reaksi waspada—jenis rasa yang biasanya muncul saat seseorang sadar dirinya sedang berada di tempat yang terlalu berbahaya.Ini tempat mahal.Benar-benar mahal yang membuat orang refleks melangkah lebih pelan, takut-takut kalau sampai menyenggol sesuatu lalu harus menjual ginjal demi ganti rugi. Salah gerak sedikit saja, dompet bisa trauma seumur hidup.Amara mengedarkan pandangan. Lantainya mengilap, rak-raknya rapi berlebihan, jarak antar pakaian seperti sengaja dibuat agar tidak ada yang sembarangan menyentuh.Lampunya terang, putih, dan jujur. Terlalu jujur. Jenis cahaya yang tidak peduli apakah seseorang siap atau tidak untuk dilihat apa adanya: orang kaya silakan masuk, yang miskin tolong menyingkir. Tanpa basa-basi.Aroma yang tercium di udara pun bukan aroma mall biasa. Bukan wangi popcorn, bukan juga kopi yang mengundang orang untuk duduk santai. Udara di sini dipenuhi

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   45. Persis yang Kubayangkan

    Amara menatap pantulan dirinya dengan dahi berkerut.Itu… bukan dia.Atau—tunggu—itu dia, tapi versi yang seperti baru saja kabur dari kehidupan lamanya dan memutuskan untuk tidak menoleh ke belakang sama sekali.Rambut pixie cut itu membingkai wajahnya dengan cara yang kejam sekaligus jujur. Tidak ada lagi helai panjang untuk disibakkan ke depan saat ia ingin bersembunyi. Tidak ada tirai aman untuk menutupi pipi atau rahang. Segalanya terbuka. Terlalu terbuka, bahkan.Ryo berdiri di belakangnya, menilai hasil akhirnya dengan ekspresi puas yang sangat profesional dan sangat tidak peduli pada krisis identitas yang sedang terjadi di kursi itu.“Sekarang alis,” katanya singkat, seolah ini hanya langkah lanjutan yang tak perlu diperdebatkan.Alis.Oh Tuhan, sekarang giliran alis.Amara ingin bertanya, ‘seberapa jauh lagi hidupku akan diutak-atik hari ini?’ tapi hanya mengangguk patuh, bertekad untuk terus maju. Ia dipindahkan ke kursi lain. Lebih kecil. Lebih dekat ke cermin. Lampunya le

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   44. Siap Berubah

    Amara duduk di kursi itu dengan kain penutup bahu.Cermin besar di depannya memantulkan wajahnya dari sudut yang tidak biasa. Cahaya lampu jatuh lembut, merata, membuat kulitnya terlihat… lebih tenang. Lebih rapi. Seolah wajah itu sedang bersiap menjadi milik seseorang yang baru.Sang hair stylist tidak banyak bicara.Ryo berdiri di belakangnya dengan sikap yang tenang namun penuh perhatian, mengamati Amara bukan seperti orang menilai penampilan, melainkan seperti seseorang yang sedang membaca karakter. Jari-jarinya bergerak ringan, menyentuh rambut Amara, mengangkat beberapa helai, menjepitnya di antara dua jari, memiringkan kepala, lalu mundur setengah langkah. Gerakannya presisi dan penuh perhitungan—seperti arsitek yang sedang menatap lahan kosong, membayangkan bangunan apa yang paling tepat berdiri di sana.Amara menelan ludah.Ini cuma potong rambut. Anggap saja buang sial. Santai, Mara. Itu cuma rambut, bukan nyawamu.Ia mengulang kalimat-kalimat itu di kepalanya seperti mantr

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   43. Yang Ketiga

    Amara tahu tempat ini mahal hanya dari caranya bernapas.Udara di dalam salon itu bersih—dingin, tenang, dan rapi. Bukan wangi parfum yang berusaha menarik perhatian, melainkan aroma ruang yang terbiasa menerima orang-orang penting tanpa perlu membuktikan apa pun.Segalanya bergerak anggun dan rapi.Tidak ada suara hair dryer meraung seperti mesin pabrik. Tidak ada tawa berlebihan. Tidak ada obrolan kosong. Bahkan langkah kaki para staf terdengar seolah sudah disepakati ritmenya sejak lama.Salon ini tidak menyambut dengan heboh. Ia hanya membuka pintu—dan mengharapkan tamunya pantas berada di dalam.Dan anehnya, Amara tidak merasa salah tempat.Ia melangkah masuk di samping Chandra dengan punggung tegak. Tidak menunduk. Tidak celingukan. Tidak merasa harus meminta maaf pada ruang semewah ini karena pernah hidup di tempat yang… sama mewahnya sih, tapi pengunjungnya khusus pria dewasa.Chandra menanggalkan kacamata hitamnya. Gerakannya santai dan enak dilihat Seperti seseorang yang tid

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   42. Pagi yang Segar

    Pagi-pagi sekali, Amara dibangunkan oleh suara yang terlalu segar untuk ukuran dunia yang seharusnya masih setengah mati.“Bangun,” kata Chandra pelan tapi tegas. “Dan cepat mandi. Mau jalan-jalan, kan?”Amara mengerjap. Sekali. Dua kali. Otaknya butuh waktu lebih lama dari biasanya untuk menyambung kenyataan dengan kata-kata itu. Ia mengangkat kepala sedikit dari bantal, dan langsung menyesalinya.Chandra berdiri di sisi ranjangnya.Bukan versi Chandra malam tadi. Versi pagi.Rambutnya masih basah, acak-acakan tapi rapi dengan cara yang tidak adil bagi manusia lain. Kaos warna gelap menempel ringan di tubuhnya, aroma sabun bercampur udara pagi menempel begitu saja di sekitarnya. Wajahnya segar. Terlalu segar. Seolah dunia tidak pernah memberinya beban apa pun.Amara menatap. Lebih lama dari seharusnya.“Baiklah. Aku tahu aku tampan,” potong Chandra santai, sudut bibirnya terangkat kecil, “jadi berhenti memandangku seperti itu. Cepat bangun.”Amara tersentak seolah baru ketahuan men

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status